Faktor Spasial dan Infrastruktur

52 kepemilikan modal fisik dapat menjadi alternatif sumber pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga. Sehingga, suatu rumahtangga terlindung dari kemiskinan atau relatif tidak rentan terhadap goncangan terhadap pendapatan atau pengeluaran. Yang dimasukkan dalam variabel modal fisik yaitu kepemilikan aset-aset produktif seperti lahan, rumah dan kendaraan. Kenyataan bahwa kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD 2002 yang menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Asia adalah buruh tani, dan petani gurem. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan rumah tangga berjumlah 37 variabel yang diolah berdasarkan data Susenas 2004 yang menggunakan instrumen core.

3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur

Selain faktor kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya produktifnya, faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial dan infrastruktur adalah penting. Hal ini disebabkan oleh eratnya kaitan antara insiden kemiskinan dengan faktor-faktor spasial dan infrastruktur. Kenyataannya, penduduk miskin dengan kemiskinan kronis secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi. Konsentrasi kemiskinan spasial ini merefleksikan perbedaan peluang ekonomi economic opportunities. Jika kemiskinan bersifat kronis, dapat dikatakan bahwa terjadi kemiskinan struktural yang ada hubungannya dengan faktor sumberdaya alam setempat local resource endowments. Kondisi lahan dan lokasi daerah akan mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai contoh, daerah-daerah marginal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mengurangi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut. 53 Kondisi dan lokasi daerah tertentu umpamanya daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat meningkatkan peluang terjadinya kemiskinan. Argumen tersebut di atas diperkuat oleh referensi terdahulu bahwa suatu komunitas dalam suatu lokasi tertentu seperti terperangkap dalam kemiskinan; bahkan seperti terjadi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Selanjutnya, kondisi ini dipersepsikan sebagai fenomena ”spatial poverty trap”. Kajian IFAD dalam Assessment of Rural Poverty Asia and Pacific 2002 yang menyebutkan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan serta daerah pesisir atau pantai. Mengacu pada kajian tersebut, analisis dalam penelitian ini akan difokuskan pada pengurangan kemiskinan ke dalam ruang lingkup pertanian dalam arti luas. Kondisi kemiskinan di agroekosistem erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur; sejalan dengan Bank Dunia 2001 yang menyebutkan bahwa infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut; 1. kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan ”rates of return” yang tinggi terhadap infrastruktur, 2. kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh penduduk miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Ruang lingkup infrastruktur mencakup pelayanan publik dari pemerintah seperti energi listrik, komunikasi, persediaan air dan sanitasi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan jalan umum. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka aspek irigasi dan sistem drainase dimasukkan dalam variabel infrastruktur. 54 Selain infrastruktur fisik yakni perumahan dan lingkungan, juga infrastruktur sosial-ekonomi seperti regulasi, kebijakan dan kelembagaan masyarakat atau lebih dikenal dengan social capital dapat mempengaruhi kerentanan rumahtangga miskin. Social capital diidentifikasikan dengan ada atau tidaknya lembaga seperti lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan mikro, koperasi simpan pinjam di lokasi rumahtangga miskin. Asumsinya, masyarakat yang memiliki atau dapat mengakses lembaga tersebut, maka kemanfaatannya bagi rumahtangga relatif tinggi. Sehingga, bila ada faktor shock terhadap rumahtangga dan pendapatannya, lembaga ini dapat membantu mencarikan alternatif solusi dan membantu kebutuhan untuk sementara waktu. Karena itu, kekuatan modal sosial juga mempengaruhi kerentanan terhadap kemiskinan. Diasumsikan juga bahwa bila ikatan kelembagaan kuat, secara bersama- sama sejumlah rumahtangga akan lebih efektif dibina kapasitasnya dalam menggali peluang-peluang ekonominya. Diasumsikan bahwa prospek untuk ”meninggalkan kemiskinan” dapat dipengaruhi oleh kerabat, tetangga, nilai-nilai dalam komunitas lokal dan lingkungan sosial. Kelembagaan tersebut juga dapat mempengaruhi aspirasi dan ekspektasi individu dalam upaya mencari peluang- peluang ekonomi. Variabel spasial dan infrastruktur diolah berdasarkan data Podes 2003 dengan asumsi tidak terjadi perubahan signifikan tentang kondisi penduduk antara tahun 2003 dengan 2004 dimana data Susenas menggunakan versi 2004. Data Podes menggunakan basis desa sedangkan data Susenas menggunakan basis rumahtangga. Analisis penciri kemiskinan rumahtangga pada penelitian ini menggunakan basis rumahtangga. Karena itu, untuk mengkonversikan variabel spasial dan infrastruktur pada unit analisis rumahtangga maka diasumsikan 55 semua rumahtangga menggunakan atau menikmati kondisi atau fasilitas yang ada di desa tempat tinggalnya dengan kesempatan atau peluang yang sama. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan spasial dan infrastruktur berjumlah 70 variabel yang diolah berdasarkan data Podes 2003. 3.4. Identifikasi Rumahtangga Miskin 3.4.1. Garis Kemiskinan