Agroekosistem dan Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan

29 3. Kemiskinan traumatissporadis karena adanya guncangan eksternal seperti kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja PHK. 4 Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi, kurangnya aksesibilitas, dan tidak memadainya teknologi. 5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya. Sedangkan tren penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan periode 1981-2006 dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: BPS 2003, 2005 dan PSEK 2007. Data diolah Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981- 2006

2.3 Agroekosistem dan Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan

Tiap agroekosistem mempunyai karakteristik, nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya. Berbagai metoda pengelompokan agroekosistem; misalnya terdiri dari hutan, pesisir laut dan pulau-pulau kecil, 10 20 30 40 50 60 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Juta Orang Kota Desa Total 30 lahan basah, lahan kering dan karst Bappenas, 2003. Sementara Ikhsan 1999 menyebutkan agroekosistem sebagai sistem sosio-ekonomi dan kondisi geografis yang sering dijumpai di Indonesia; yakni pesisirpantai, lahan basah, lahan campuran, lahan kering dan dataran tinggi. Di dalam Potensi Desa Podes yang diterbitkan oleh BPS 2003 klasifikasi desa dibuat dengan empat pendekatan ekosistem yaitu hutan di dalam dan tepi hutan, pesisirpantai, lahan basah, lahan kering, lahan campuran dan berdasarkan topografi yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Penduduk yang tinggal dan mencari nafkah pada tiap agroekosistem, memberikan gambaran profil kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan perdesaan banyak ditemukan pada agroekosistem pesisir atau pantai, pertanian khususnya lahan kering dan di dalam serta di tepi hutan; Penelitian Mukherjee 2002 melaporkan bahwa konfigurasi faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah berbeda antara pada komunitas petani padi beririgasi di Jawa Barat, komunitas sektor informal di daerah urban di Surabaya, komunitas nelayan pesisir di Lombok dan komunitas pertanian-kehutanan di Kalimantan Barat. Keluarga yang paling miskin di perdesaan adalah mereka yang tidak memiliki tanah. Penyebab kemiskinan dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi dalam Yustika 2003 berpangkal pada antara lain struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa dan fluktuasi musim penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku ekonomi. Kemiskinan masyarakat pada zona agroekosistem hutan dicirikan oleh kurangnya akses pada pelayanan publik, rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Faktor geografis dan kondisi topografi yang terpencil menyebabkan peluang-peluang ekonomi lainnya sulit diraih. 31 Kemiskinan di Indonesia tidak hanya memperlihatkan dikotomi desa dan kota, tetapi antarprovinsi dan regional dapat dicermati perbedaan yang signifikan. Ciri khas daerah yang terperangkap dalam kemiskinan poverty trap adalah daerah yang memiliki sumberdaya alam terbatas dan jauh dari pusat perdagangan utama. BPS juga membuat penetapan garis kemiskinan berdasarkan tingkat pengeluaran yang disesuaikan dengan harga di provinsi yang bersangkutan. Dilihat dari persentase jumlah penduduk miskin, provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat rekor tertinggi yakni sekitar 22 persen dari total penduduknya dikategorikan miskin. Sedangkan angka kemiskinan terendah adalah Provinsi DKI yakni sekitar tiga persen. International Fund for Agricultural Development IFAD, 2001 melaporkan bahwa karakteristik penduduk miskin di perdesaan adalah buruh atau buruh tani, tidak memiliki lahanfaktor produksi, petani gurem, petani tadah hujan, nelayan, peternak-penggembala, masyarakat di sekitar hutan dan lahan kritis, masyarakat di daerah terpencil perbukitan, pergunungan, lembah dan penduduk suku asli, masyarakat yang direlokasikan karena suatu keadaan misalnya bencana alam, konflik, serta kepala rumahtangga wanita. Penduduk miskin di perkotaan, menurut Supriatna 2000 adalah para pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, pengangguran dan buruh angkutan. CESS dan ODI 2005 melaporkan bahwa sebagian masyarakat termiskin dari masyarakat miskin perdesaan tinggal di lokasi hutan terpencil, jauh dari pasar. Masyarakat miskin di hutan terpencil ini seringkali merupakan masyarakat miskin kronis, terisolasi secara geografis, tidak memiliki jaminan ketahanan pangan. Masyarakat miskin di dalam dan tepi hutan pada umumnya 32 tinggal di lahan yang lebih tinggi, curam dan kurang subur, seringkali jauh dari pasar dan pelayanan pokok. Masyarakat miskin di hutan seringkali tidak terjangkau oleh manfaat pembangunan. Pada wilayah hutan yang sangat terisolasi, sumberdaya alam adalah tulang punggung utama penyangga kehidupan masyarakat miskin. Matapencarian penduduk di hutan, selain pertanian hampir tidak ada peluang untuk diversifikasi matapencarian dan sebagian besar kehidupannya bersifat subsisten. Sedangkan Brown dalam CESS dan ODI 2005 menyimpulkan bahwa penduduk yang menempati lahan hutan negara sebanyak 27.1 persen diantaranya 5.5 juta adalah penduduk miskin. Selanjutnya, Wollenberg et al 2004 melaporkan bahwa masyarakat yang tinggal di hutan cenderung miskin secara menahun. Masyarakat miskin di hutan sulit keluar dari kemiskinannya karena terbatasnya pilihan terhadap sumber penghidupan yang berkaitan dengan tidak adanya prasarana, sulitnya berkomunikasi dan jaraknya yang jauh dari pasar, serta minimnya sarana pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, biaya penyediaan pelayanan pemerintah menjadi sangat tinggi. Keterbatasan peluang-peluang kerja atau usaha di perdesaan pesisir karena faktor agroekosistem khususnya perdesaan pesisir juga diungkapkan Kusnadi 2002. Struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa atau karakteristik agroekosistemnya sangat menentukan peluang-peluang kerja dan usaha. Di desa-desa dengan struktur sumberdaya ekonomi yang sepenuhnya bergantung pada produksi perikanan laut, peluang kerja dan usaha sangat terbatas. Sudaryanto dan Rusastra 2006 menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yaitu: a ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar sandang, papan dan perumahan, b aksesibilitas ekonomi yang rendah 33 terhadap kebutuhan dasar lainnya kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih dan transportasi, c lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, d rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, e rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam, f ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, h terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, i ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan j mengalami ketidakmampuan atau ketidakberuntungan sosial.

2.4. Kebijakan dan Program Pengurangan Kemiskinan di Indonesia