Hutan FAKTOR PENCIRI KEMISKINAN

164 Sebagai implikasinya, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi hendaknya meliputi perbaikan komponen kondisi fisik rumahtangga, kondisi ekonomi keluarga, dan infrastruktur fisik.

6.6. Hutan

Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan menunjukkan bahwa variabel- variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga pada agroekosistem hutan adalah variabel bahan bakar jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m 2 , persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 -100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, dan tempat membuang sampah lubangdi bakar. Tabel 44 menjelaskan bahwa ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem hutan yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah luas lantai per kapita dan jenis bahan bakar memasak, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m 2 . Tabel 44. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Hutan Variabel GK GK110 GK120 Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah 15.0 10.2 10.1 Jenis Lantai : Bukan Tanah 11.8 Jenis kloset : PlengsenganJemplung 11.0 11.0 Luas lantai perkapita: 10 m 2 19.5 21.2 21.2 Pengeluaran untuk makanan: 25.1 -50 26.0 27.9 27.8 Pengeluaran untuk makanan: 50.1 -75 98.2 104.7 104.6 Rata-rata lama sekolah kepala keluarga: 6-8 tahun 12.1 Sumber air minummasak PAM 24.2 24.1 Sumber air minummasak: Sungai 14.9 14.8 Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya 12.9 13.0 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: Sel yang kosong berarti Beta 0.10 165 Pemilikan modal dapat melindungi rumahtangga dari kemiskinan atau kerentanan terhadap kemiskinan. Di sisi lain, ternyata variabel minyak tanah memberi makna bahwa kemiskinan di hutan sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak. Dengan simulan dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah: variabel jenis bahan bakar minyak tanah, kloset jenis plengsenganjemplung, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m 2 , persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, sumber air minummasak PAM, sumber air minum sungai, sumber penghasilan dari pertambangan, dan tempat membuang sampat lubangdi bakar. Jadi, ada penciri utama yang berbeda yaitu jenis kloset plengsenganjemplung, sumber air minummasak PAM, sumber air minum sungai, dan sumber penghasilan dari pertambangan tidak muncul pada GK biasa 100 persen tetapi muncul pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen. Dan dua variabel penciri jenis lantai bukan tanah, dan rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun muncul pada GK biasa, tetapi tidak muncul pada GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen. Pada skenario ini juga pengeluaran untuk makanan menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel di atas yang jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumahtangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial. 166 Tabel 45. Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan Variabel penciri Kelompok Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik Jenis Lantai: Bukan Tanah Kondisi fisik rumah tangga Jenis kloset: PlengsenganJemplung Kondisi fisik rumah tangga Luas lantai per kapita: 10 m 2 Kondisi fisik rumah tangga Pengeluaran untuk makanan: 25.1 -50 Kondisi ekonomi keluarga Pengeluaran untuk makanan: 50.1-75 Kondisi ekonomi keluarga Rata-rata lama sekolah kepala keluarga:6-8 tahun Kondisi pendidikan rumahtangga Sumber air minummasak : PAM Infrastruktur fisik Sumber air minummasak: Sungai Infrastruktur fisik Sumber penghasilan dari pertambangan Infrastruktur fisik dan spasial Tempat membuang sampah: Lubangdibakar Infrastruktur fisik Sumber: Hasil Perhitungan Penelitian ini menemukan, bahwa penciri kemiskinan pada kawasan hutan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumah tangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial. Variabel- variabel ini secara nyata sangat mempengaruhi terjadinya kemiskinan di kawasan ini. Jika dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan, maka dari sisi pengeluaran diketahui bahwa persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen merupakan variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan, sehingga pengeluaran rumahtangga ditentukan oleh pengaruh harga makanan terutama makanan pokok dan jenis bahan bakar minyak tanah Tabel 45. Infrastruktur fisik ditemukan juga sebagai faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Akses terhadap infrastruktur sangat nyata berpengaruh kuat, hal ini sejalan dengan Zeller 2002, infrastruktur fisik antara lain membangun jaringan komunikasi dan informasi, akan meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja Dari sisi peningkatan pendapatan, misalnya infrastruktur sosial yang menjadi variabel penciri kemiskinan di wilayah ini, berpengaruh terhadap 167 pendapatan. Ketiadaan collective action dari suatu struktur sosial akan jadi faktor penghalang peningkatan pendapatan mereka dan menjadi faktor kerentanan Zeller, 2002. Selanjutnya, Hebel 2004 menambahkan bahwa struktur sosial sangat signifikan untuk melahirkan rumahtangga terbelakang. Sistem kekerabatan, struktur rumahtangga, struktur kelompok umur, kelompok etnik dan keagamaan, tingkat kasta dan pendidikan, dapat menghasilkan kekuatan yang memecah belah hubungan berbagai kelompok dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya di satu sisi hak asasi manusia, di sisi lain tidak berkembangnya masyarakat dan terhalangnya usaha-usaha ekonomi. Seperti diungkap di atas, bahwa hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena komoditas yang di agroekosistem ini adalah komoditas unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Selain memungut hasil hutan dan melakukan ladang, rumahtangga di hutan relatif terbatas terhadap alternatif usaha lain. Sebagai masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka hampir tidak mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan ketika mereka membutuhkan. Pada kenyataannya, sesuai dengan temuan penelitian bahwa infrastruktur sosial juga menjadi penciri kemiskinan di wilayah ini, maka masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan minimum penghidupannya. Kondisi fisik, ekonomi dan pendidikan rumahtangga juga menjadi variabel yang nyata mempengaruhi kemiskinan di kawasan hutan. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya kesempatan rumahtangga untuk meraih peluang- peluang ekonomi yang melintas di hadapan mereka sebagai sumber pendapatannya. Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel 2004 yang menjelaskan 168 kemiskinan adalah persoalan yang multidimensi. Tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kurangnya kesempatan dan rendahnya tingkat konsumsi rumahtangga. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan pemilikan dan distribusi dari aset-aset fisik seperti lahan, sumberdaya manusia dan sosial, dan peluang-peluang pasar dan nilai atau harga sumberdaya yang dimiliki. Kemiskinan yang terjadi di hutan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terjadi karena tidak berdayanya masyarakat di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik untuk memihak masyarakat miskin. Sedang secara eksternal, terdapat pihak tertentu yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Ketiadaan kebijakan publik yang memihak miskin ini menyebabkan masyarakat terpinggirkan dan sulit untuk mengakses segala sumberdaya yang ada di hutan; sebagaimana diperluas oleh CESS dan ODI 2005. Dikaitkan dengan temuan variabel penciri yang signifikan pada agroekosistem hutan, terutama persentase pengeluaran untuk makanan sekitar 50.1–75 persen yang menunjukkan angka tertinggi diantara variabel-variabel penciri yang signifikan dan meningkat terus dari 98.2 pada GK, menjadi sebesar 104.7 pada GK110 persen, dan sebesar 104.6 pada GK120 persen. Artinya, variabel ini menjadi variabel penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap insiden kemiskinan. Selain itu, variabel infrastrutur fisik dan sosial menjadi elemen penting terjadinya kerentanan pada agroekosistem ini yang mengakibatkan rumahtangga di hutan terpinggirkan dan kurang berpartisipasi, seperti yang diungkap oleh Hebel 2004, bahwa kurangnya partisipasi dan terpinggirkan menjadi penyebab 169 kemiskinan. Masyarakat yang terpinggirkan tidak dapat mengakses sumberdaya seperti lahan seperti pada banyak wilayah sebagai dampak dari suatu kebijakan.

6.7. Pantai Pesisir