Perkembangan Konsep dan Pengukuran

17 Selain faktor tenaga kerja, produksi dipengaruhi oleh rasio sumberdaya kapital dengan tenaga kerja yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas dan kemiskinan. Negara dengan keterbatasan sumberdaya, teknologi yang belum baik, jaringan komunikasi dan transportasi yang buruk akan memiliki PDB per kapita yang rendah.

2.1.2 Perkembangan Konsep dan Pengukuran

Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif yaitu ukuran kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, berkaitan dengan tingkat rata-rata dari distribusi, atau proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata. Sedangkan kemiskinan absolut didefinisikan sebagai derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Suatu individu atau rumahtangga didefinisikan miskin bila individu atau rumahtangga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan berada di bawah standar minimal tingkat kebutuhan, yang diukur dengan garis kemiskinan. Banyak metoda yang dikembangkan para ahli dalam penentuan garis kemiskinan ini, yang secara rinci dibahas tersendiri pada bab ini. Dalam kaitan dengan kemiskinan absolut, diperlukan pemahaman tentang garis kemiskinan; yang diukur berdasarkan bundel kebutuhan minimum terhadap barang dan jasa. Kemiskinan absolut terkait dengan kemampuan yang dimiliki rumahtangga ataupun individu dengan berbagai karakteristiknya untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi guna memenuhi kebutuhannya. Sejak pertengahan dekade 1980-an, kemiskinan tidak lagi dipersepsikan sebagai hanya persoalan ekonomi, tetapi menyangkut kualitas hidup The Quality of Life. Amartya Sen dalam Saragih 2003 menyatakan bahwa 18 manusia tidak boleh dipandang dari hanya sekedar tingkat pendapatan, namun juga dari kualitas hidup yang dimilikinya. Alternatif pengukuran the Quality of Life diulas oleh Berg 2001 yang mengatakan bahwa kualitas hidup itu terdiri dari komponen Gross Domestic Product GDP riil per kapita, life expectancy, rata-rata lama pendidikan, tingkat kematian bayi dan anak-anak. Mulai dekade 1990-an, tolok ukur kemiskinan memasukkan dimensi sosial kemiskinan. Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial World Summit for Social Development di Kopenhagen,1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut: ”Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya”. Kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks; bisa dipandang sebagai akibat sesuatu keadaan, namun secara bersamaan juga merupakan sebab dari suatu keadaan. Kemiskinan merupakan kombinasi ketidakcukupan daya-beli, kurangnya kapabilitas, rentan terhadap kemiskinan dan kehilangan kekuatan untuk berjuang mencari nafkah. Dalam keseharian, kemiskinan dipersepsikan dalam konteks ketidak-cukupan pendapatan dan kepemilikan uang serta aset 19 dalam dimensi ekonomi Yudhoyono dan Harniati, 2004. Seseorang dinyatakan miskin ialah bila berpendapatan di bawah garis kemiskinan poverty line. Berapa besaran garis kemiskinan dan bagaimana metoda pengukuran atau penghitungannya sering dijadikan bahan analisis atau studi dan banyak diperdebatkan. Dalam perkembangannya, kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan mengalami perkembangan. Hingga dekade 1970-an, GDP dipakai sebagai patokan kesejahteraan. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa banyak dijumpai kasus dimana GDP tinggi, namun banyak penduduk miskin. Pada tahun 1995 ilmuwan dari United Naton Development Programme, diprakarsai Mahbub Ul Haq mengembangkan Human Development Index HDI atau Index Pembangunan Manusia sebagai indikator perkembangan kesejahteraan. Pada HDI ini selain dimensi ekonomi, juga dimasukkan dimensi selain ekonomi. Variabel HDI merupakan besaran agregat GNP, tingkat harapan hidup, dan tingkat pendidikan. Peringkat HDI menunjukkan komparasi kesejahteraan antarnegara. UNDP kemudian juga memperkenalkan pengukuran kemiskinan yang dikenal dengan Human Poverty Index HPI atau indeks kemiskinan manusia. Pada HPI, variabel-variabel kemiskinan antara lain persentase penduduk dengan usia harapan hidup di bawah 40 tahun, persentase keberaksaraan penduduk usia dewasa, rata-rata persentase penduduk tanpa akses kepada sumber air aman diminum, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis chronic poverty atau kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang terjadi terus menerus. Sedangkan kemiskinan 20 sementara transient poverty ialah kemiskinan yang ditandai dengan menurunnya pendapatan sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis. Berbagai literatur mendefinisikan kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek kehidupan sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya sebagaimana digambarkan oleh The World Bank 2000: Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom. Analisis kebijakan ataupun studi tentang kemiskinan pada masa lalu menggunakan pendekatan statistik klasik terhadap kemiskinan. Indikator kemiskinan yang digunakan yaitu pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Besaran pendapatan untuk penetapan kategori miskin atau batas miskin poverty line diturunkan dari survei tradisional terhadap pendapatan penduduk atau pengeluaran konsumsi rumahtangga. Menurut Robb 2003 pengukuran atau indikator tersebut gagal menangkap multidimensi kemiskinan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah melihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Dalam dimensi ekonomi, indikator kemiskinan menggunakan tingkat pendapatan, yang secara internasional besarnya pendapatan per hari per kapita US 1.00 bagi negara yang tergolong negara berpendapatan sangat rendah very low-income countries. Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan US 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang middle-level income countries dan US 14.00 bagi negara-negara kaya. Menurut Badan Pusat Statistik BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi 21 seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Di Indonesia, sejak tahun 1976, BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Komponen non-makanan ini juga dibedakan antara perkotaan dengan perdesaan. Sayogyo dalam CESS dan ODI 2003 menentukan garis kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita; yakni 320 kg beras untuk perdesaan dan 480 kg untuk perkotaan per kapita per tahun. Indikator kemiskinan yang digunakan dalam studi-studi empiris yaitu: 1. the incidence of poverty the poverty headcount index, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan, 2. the depth of poverty the poverty gap index, yang menggambarkan dalamnya kemiskinan; yakni jarakperbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, 3. the severity of poverty, yang menunjukkan keparahan kemiskinan; yang memperlihatkan ketimpangan diantara orang miskin. Indikator insiden kemiskinan dapat memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dapat mengindikasikan seberapa miskin penduduk tersebut. Besaran insiden kemiskinan ini tidak berubah andai seorang miskin menjadi lebih miskin lagi. Indeks kedalaman kemiskinan tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan di 22 antara penduduk miskin, karena itu perlu diukur dengan indeks keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman dan keparahan diturunkan dari apa yang disebut “a class of additively decomposable measures”. seperti yang diformulasikan oleh Foster, Greer dan Thorbecke dalam BPS 2005, yang dikenal dengan FGT Index. Formula FGT meliputi insiden kemiskinan, indeks kedalaman dan indeks keparahan, dirumuskan sebagai: − = = z yi z n q i P α α 1 1 dimana: α = 0,1,2; adalah parameter yang menyatakan ukuran sensitivitas kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α semakin besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan dari insiden kemiskinan y i = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapitabulan dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = 1,2,....q untuk semua y i z z = garis kemiskinan n = total jumlah penduduk q = jumlah penduduk miskin z-y i merupakan kedalaman kemiskinan untuk penduduk ke –i secara berurutan menurut besarnya pendapatan dengan ketentuan: α = 0 adalah head-count index; yang mengindikasikan proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka Po = qn. Jadi, bila 20 persen penduduk dari total penduduk diklasifikasikan miskin, maka Po =0,2 23 α =1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. Jika α =1 maka P 1 = 1n Σ z- y i z 1 . Misalkan P 1 =0,15; ini berarti bahwa gap kesenjangan antara total penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan terhadap seluruh penduduk baik miskin maupun tidak miskin, adalah 15 pesen. P1Po = 1q Σ z-y i z adalah rata-rata kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. α =2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin. Disagregasi kemiskinan dilakukan oleh Ikhsan 1999 berdasarkan kondisi kemiskinan terhadap masyarakat miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian tersebut membangun garis kemiskinan yang baru dengan mengacu pada standar kemiskinan versi The World Bank dan berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS. Disagregasi yang dilakukan yaitu karakteristik kemiskinan yang bersifat nasional Indonesia. Studi tentang kerentanan yang dilakukan oleh Sumarto dan Suryahadi 2001 mengkuantifikasi kerentanan dan menghasilkan pemilahan antara kemiskinan kronik dan kemiskinan sementara pada masa sebelum dan sesudah krisis ekonomi di Indonesia. Kerentanan terhadap kemiskinan vulnerability to poverty didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Perbedaan kerentanan terhadap kemiskinan dan insiden kemiskinan menurut Chaudhuri 2001 ialah; Vulnerability is a forward-looking ex-ante measure of a household’s well-being; poverty is an ex-post measure of a household’s well-being or lack thereof. . 24 Suatu rumahtangga dianggap rentan vulnerable terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen. Kerentanan terhadap kemiskinan ini bisa dikuantifikasi, yakni dengan menghitung atau mengkuantifikasi kemungkinan atau resiko jatuh miskin atau berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan. Kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate tersebut juga kerentanan garis kemiskinan Vulnerability to Poverty Line. Kondisi rentan dapat menjadi jatuh di bawah garis kemiskinan bila ada faktor yang mendorong atau memicu. Menurut Islam 2001, faktor-faktor tersebut dapat berupa goncangan tingkat mikrohousehold seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat mesocommunity seperti gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan; dan pada tingkat makroeconomy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997. Penelitian yang dilakukan Ikhsan 1999 dan Pritchett et al 2000 menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga miskin berubah signifikan dengan adanya krisis ekonomi. Selanjutnya, penelitian Sumaryadi 2001 menunjukkan bahwa 38-50 persen dari rumahtangga Indonesia sangat riskan terhadap gejolak perekonomian, dan sekitar 18 persen dari mereka tergolong pada kemiskinan absolut. Studi oleh The World Bank 2003 juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat 200 persen jika garis kemiskinan naik dari US 1 ke US 2 per kapita per hari. Teknik ekonometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terhadap pendapatan atau pengeluaran pada masa yang akan datang. Persyaratan penggunaan teknik ini adalah bila tersedia dua observasi dari cross-section survey, maka dimungkinkan untuk menggunakan teknik regresi untuk pendapatan atau pengeluaran pada tiap karakteristik 25 rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI 2004 merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan