Kerentanan Kemiskinan 1. Elastisitas Kemiskinan

78 rumahtangga miskin secara nasional relatif lebih merata di banding negara- negara tersebut. 5.1.2. Kerentanan Kemiskinan 5.1.2.1. Elastisitas Kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan nasional yakni sensitivitas indikator kemiskinan terhadap perubahan Garis Kemiskinan GK maka disimulasikan garis kemiskinan GK naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, proporsi rumahtangga miskin akan bertambah. Dengan menggunakan skenario ini, pada GK110 persen, proporsi penduduk miskin nasional naik dari 13.1 menjadi 18.9, dan pada GK120 persen naik dari 13.1 menjadi 25.0. Tabel 4. Tabel 4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 GK GK110 GK120 Indikator Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas P 13.1 18.9 4.35 25.0 4.54 P 1 2.3 3.6 5.65 5.1 6.09 P 2 0.7 1.1 5.71 1.6 6.43 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan versi BPS; P = headcount index dalam P 1 = poverty gap index kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK P 2 = Poverty Severity Gap IndexDistributionally Sensitive Index keparahan kemiskinan Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index P 1 secara nasional sebesar 3.6 pada GK110 persen dan 5.1 pada GK120 persen. Hal ini 79 berarti bahwa jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata rumahtangga yang jatuh miskin akan naik sebesar 1.3 pada GK110 persen, atau naik sebesar 2.8 pada GK120 persen Tabel 4. Hal yang sama terjadi juga pada indeks keparahan Poverty Severity Index, dimana Poverty Severity Gap Index P 2 sebesar 1,1 pada GK110 persen dan 1,6 pada GK120 persen. Hasil analisis kerentanan tersebut diatas menjelaskan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan nasional rentan terhadap perubahan harga barang dan jasa. Selanjutnya, hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK110 persen adalah 4.35, dan pada GK120 persen sebesar 4.54. Dengan elastisitas lebih besar dari satu seperti terlihat pada Tabel 4, maka indikator kemiskinan nasional ini sensitif terhadap gejolak harga. Sebagai ilustrasi, jika terjadi perubahan harga barang dan jasa yang mendorong bundel kebutuhan minimum sebesar 1 persen, maka pada GK110 persen insiden kemiskinan naik menjadi 4.35 persen, kedalaman kemiskinan naik 5.65 persen, dan keparahan kemiskinan 5.71 persen. Hal ini memberi makna bahwa perubahan harga barang dan jasa kebutuhan minimum sebesar satu persen mengakibatkan jumlah rumahtangga miskin akan naik sebesar 303 162 rumahtangga, sehingga rumahtangga miskin menjadi 7 272 408. Jika diasumsikan rata-rata rumahtangga memiliki anggota sebanyak empat jiwa, maka akan terdapat 29 089 633 jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan juga lebih besar dari satu, yaitu sebesar 5.65 pada GK110 persen, dan sebesar 6.09 pada GK120 persen, yang 80 berarti elastis. Dua skenario tersebut menunjukkan bahwa kedalaman kemiskinan responsif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal yang serupa terjadi pada nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan nasional, dimana sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK 110 persen adalah sebesar 5.71 dan pada GK120 persen sebesar 6.43. Dengan demikian, maka keparahan kemiskinan sensitif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal ini memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, misalnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga miskin maka akan cukup memberi dampak yang signifikan dalam penurunan angka keparahan kemiskinan. Kerentanan kemiskinan yang terjadi di Indonesia sesuai dengan penelitian Sumaryadi 2001 menunjukkan bahwa sekitar 38-50 persen rumahtangga di Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Selanjutnya The World Bank 2003 juga menunjukkan bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat, jika garis kemiskinan naik dari US1 menjadi US 2 per hari. Kerentanan kemiskinan menjelaskan bahwa walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Untuk rumahtangga seperti ini diperlukan adanya suatu sistem keterjaminan sosial. Sebagaimana diungkap oleh Crescent 2003 yang menyatakan bahwa sistem keterjaminan sosial, seperti asuransi sosial, sistem ketahanan lokal, dan program pembangunan ekonomi dan sosial merupakan antisipasi yang baik dalam menangani kemiskinan. Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga secara nasional dapat dilihat pada Gambar 5. 81

5.1.2.2. Sifat Kemiskinan

Untuk mengetahui sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan yang dilanjutkan dengan analisis regresi dengan variabel seperti pada Lampiran 1. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin di bawah garis kemiskinan terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian, 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Seperti diketahui, dua hal yang akan dapat menurunkan kemiskinan, yakni adanya penurunan rata-rata pengeluaran rumahtangga dan atau adanya peningkatan pendapatan. Gambar 5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional Pengeluaran Rp GK = Rp 90.500 GK 110 = Rp 100.800 GK 120 = Rp 111.400 Kurva Normal Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah Distribusi Frekuensi Rumahtangga 82 Dari sisi peningkatan pendapatan, variabel yang berpengaruh antara lain adalah insvestasi, penciptaan iklim usaha dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil studi dampak kebijakan ekonomi makro terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia BAPPENAS-JICA, 2004, yang menyatakan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan dan investasi di bidang infrastruktur dan sumberdaya manusia telah memberikan dampak yang signifikan. Dengan demikian, kebijakan seperti Usaha Mikro Kecil Menengah yang memberi kemudahan untuk investasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk dientaskan dari kemiskinan relatif lebih memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Untuk kemiskinan yang tergolong kronis, diperlukan intervensi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan minimum, seperti pangan. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini bahwa lebih dari dua per tiga pengeluaran penduduk miskin adalah untuk makanan, karena itu kebijakan untuk subsidi pangan, seperti Beras Miskin Raskin, Bantuan Langsung Tunai BLT relevan untuk dilakukan. Tabel 5. Sifat Kemiskinan Nasional GK GK110 GK120 Aspek Penelitian Sifat Miskin 10.9 14.1 16.3 Miskin kronis 2.2 4.8 8.7 RT Miskin menurut sifat Total miskin 13.1 18.9 25.0 Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan RT = rumah tangga Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen. 83 Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari 18.9 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan untuk mengentaskannya. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin nasional. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 6 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 116.2 persen, artinya meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka 84 sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis akan mendekati 300 persen 291.9 persen. Tabel 6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional GK110 GK120 Aspek Penelitian Sifat Miskin 29.0 49.1 Miskin kronis 116.2 291.9 perubahan akibat GK Total miskin 43.1 90.3 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Tabel 7 menggambarkan perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan persentase Beda dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan Ratio. Secara umum, dengan garis kemiskinan biasa ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis berdasarkan rataan adalah - 42.2 persen Tabel 7. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Tabel 7. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional terhadap Garis Kemiskinan GK GK110 GK120 Berdasarkan Sifat beda ratio beda ratio beda ratio Nasional Miskin Kronis - 42.2 0.578 - 39.6 0.604 - 38.3 0.617 Miskin - 13.2 0.868 -12.6 0.874 -12.2 0.878 Rataan Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Miskin Kronis - 40.0 0.600 - 37.3 0.627 - 35.8 0.642 Miskin - 12.1 0.879 -12.0 0.880 -11.9 0.881 Median Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Jika garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis 85 berdasarkan rataan sebesar 39.6 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis berdasarkan rataan dibawah 40 persen atau -38.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita golongan miskin kronis ini berbeda dengan garis kemiskinan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen.

5.1.3. Uji Proporsi Kemiskinan antar Agroekosistem