Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem

193 kenaikan rumahtangga miskin setahun terakhir ini diperkirakan mencapai 50 juta orang atau sekitar 22.0 persen The Word Bank, 2006 Tinjauan mengenai efektivitas kebijakanprogram penanggulangan kemiskinan seperti dijelaskan di atas, merupakan hasil penelitian terdahulu oleh peneliti lain. Efektivitas kebijakanprogram penanggulangan kemiskinan berkaitan dengan pendekatan yang digunakan. Kebijakanprogram yang dinillai efektif seperti Program Kemiskinan Perkotaan, Program Pengembangan Kecamatan, dan Program Usaha Mikro Kecil Menengah UMKM, adalah kebijakanprogram dengan pendekatan yang berbasis pada masyarakat, partisipatif, pemberdayaan, berorientasi investasi, bersifat demokratis dan bottom up. Secara rinci, hasil evaluasi kinerja kebijakanprogram penanggulangan kemiskinan disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Kinerja KebijakanProgram Penanggulangan Kemiskinan No. KebijakanProgram Kinerja 1. Inpres Desa Tertinggal IDT Kurang efektif 2. Pengembangan Prasarana Perdesaan Kurang efektif 3. Program Kemiskinan Perkotaan Efektif 4. Jaring Pengaman Sosial JPS Kurang efektif 5. Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal P3DT Kurang efektif 6. Pengembangan Kecamatan Efektif 7. Bantuan Langsung Tunai Kurang efektif 8. Beras Miskin Raskin Kurang efektif 9. Usaha Mikro Kecil Menengah UMKM Efektif 10. Operasi Pasar Khusus OPK Beras Kurang efektif 11. Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Ekonomi PDMDKE Kurang efektif Sumber: Berbagai Sumber

7.3. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem

Berdasarkan temuan dalam penelitian dan memperhatikan gambaran kinerja kebijakan penanggulangan kemiskinan Indonesia seperti diuraikan diatas, maka beberapa upaya penanggulangan kemiskinan masa lalu yang perlu 194 dikoreksi. Hal ini berkaitan dengan evaluasi yang antara lain upaya pengurangan kemiskinan selama ini yaitu: 1 kurang memperhatikan karakteristik orang miskin dan dan keragaman profil, 2 kurang memberdayakan masyarakat, 3 kebijakan yang terpusat dan seragam, 4 lebih bersifat karikatif, 5 memposisikan masyarakat sebagai obyek dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, 6 asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama, 7 kurang memperhatikan keragaman spasial dan 8 peranan negara yang besar tanpa melibatkan masyarakat sipil civil society sebagai beneficiaries dan stakeholders. Kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum sepenuhnya menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan. Hal ini terlihat pada kebijakan yang belum pro-poor dan sistem kontrol dari seluruh lapisan masyarakat belum berjalan secara efektif, khususnya dalam aspek pemanfaatan sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan sebagian besar penduduk perdesaan. Kebijakan eksploitasi sumberdaya alam, sampai saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat miskin, bahkan memarginalkan mereka dengan tidak mengindahkan hak-hak perolehan masyarakat seperti hak ulayat dan pengetahuan tradisional lainnya. Peraturan perundangan tentang kehutanan, perikanan, dan pertambangan serta perkreditan masih belum berpihak pada kelompok miskin. Diantara beberapa koreksi yang dikemukakan di atas, penelitian ini ingin mengkritisi tentang program-program penanggulangan kemiskinan selama ini yang lebih banyak bersifat top down berdasarkan generalisasi permasalahan. Penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui kebijakan yang sama untuk tiap daerah. Misalnya, kebijakan melalui pendidikan dengan memberikan beasiswa tidak memberikan manfaat yang sama bagi rumahtangga miskin dengan profil 195 rumahtangga yang berbeda ataupun tinggal di wilayah yang berbeda. Misalnya, bagi masyarakat nelayan dengan masyarakat dalam dan tepi hutan terkait dengan faktor spasial yang terpencil dan perbedaan aksesibilitas terhadap infrastruktur. Demikian pula kebijakan melalui fasilitas pengobatan gratis bagi rumahtangga miskin, kebijakan operasi pasar khusus OPK, bantuan langsung tunai, penciptaan lapangan kerja melalui skema kredit dan padat karya. Kemanfaatan yang diterima oleh rumahtangga miskin seharusnya tergantung pada kebutuhannya yang secara umum dapat diidentifikasi melalui tipologi kemiskinan dan kerentanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan pada rumahtangga di suatu masyarakat tertentu. Kebijakan subsidi pupuk misalnya, hanya akan bermanfaat bagi petani yang meiliki lahan, namun tidak bermanfaat bagi buruh tani, nelayan ataupun masyarakat di wilayah hutan. Disamping itu, perhatian ataupun upaya-upaya penanggulangan kemiskinan selama ini tertuju pada rumahtangga yang sudah dikatagorikan miskin, sehingga rumahtangga yang berada pada sekitar garis kemiskinan tidak tersentuh program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil penelitian ini menawarkan pendekatan baru dalam menanggulangi kemiskinan yaitu pendekatan lokasi spasial berdasarkan agroekosistem. Hal ini didasarkan pada kesimpulan penelitian yang telah membuktikan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tiap agroekosistem juga menunjukkan model dengan penciri yang berbeda dalam mempengaruhi pengeluaran sebagai cerminan kemiskinan yang diukur dengan indikator kemiskinan. Keunggulan dari penanggulangan kemiskinan berbasis agroekosistem ini antara lain: lebih sesuai dengan urgensinya, bisa dilakukan tindakan preventif, lebih menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan, lebih spesifik 196 sesuai dengan kebutuhan sasaran, lebih sesuai dengan karakteristik potensi agroekosistem yang tersedia, sehingga akan lebih efektif dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Hasil lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa kerentanan kemiskinan juga bervariasi antar agroekosistem. Temuan ini menyiratkan dua hal: pertama, perlunya kebijakan yang bersifat preventif, sehingga ketika ada gejolak tidak terjadi penambahan insiden kemiskinan secara drastis. Kedua, sasaran penanggulangan kemiskinan di masa depan hendaknya tidak pada rumahtangga miskin saja, tetapi juga diperluas terhadap rumahtangga rentan miskin. Dengan memperhatikan Tabel 48, yang menunjukkan bahwa kerentanan tertinggi terdapat di agroekosistem lahan basah, maka kebijakan yang bersifat preventif dalam bentuk perlindungan sosial seperti jaminan sosial, bantuan sosial, tabungan dan kearifan lokal menjadi prioritas di agroekosistem ini. Hal berbeda untuk agroekosistem hutan yang menunjukkan kerentanan terendah, tetapi dengan insiden, kedalaman dan keparahan tertinggi, maka sangat diperlukan kebijakan yang bersifat rescue darurat, seperti penyediaan pangan, subsidi BBM, dan subsidi pendidikan. Studi ini menemukan juga bahwa kemiskinan kronis tertinggi terjadi di agroekosistem hutan diikuti oleh agroekosistem pantaipesisir. Sebagai implikasinya maka kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam jangka pendek berupa bantuan langsung perlu dilakukan, selanjutnya dalam jangka panjang perlu dilanjutkan dengan program peningkatan akses terhadap kebutuhan dasar, perbaikan aktivitas ekonomi dan produktivitas, peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif serta pemberdayaan ekonomi. 197 Jika dilihat secara agregat menggunakan tiga indikator kemiskinan yaitu insiden, kedalaman dan keparahannya, maka kemiskinan yang paling kritis terjadi di agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisirpantai dan lahan campuran. Hal ini menyiratkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu diprioritaskan ke lokasi agroekosistem ini. Temuan lain yang akan memberi makna terhadap penanggulangan kemiskinan adalah beragamnya karakteristik atau penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem. Keragaman penciri kemiskinan ini menggambarkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan tidak bisa dilakukan dengan solusi one fits for all, namun haruslah spesifik mengacu pada tipologi dan kerentanan dan dengan memperhatikan faktor penciri kemiskinan berdasarkan agroekosistem. Tiap agroekosistem memperlihatkan karakteristik yang spesifik, namun hasil analisis memperlihatkan bahwa persentase pengeluaran untuk makanan menjadi ciri kemiskinan rumahtangga pada semua tipe agroekosistem. Oleh karena itu, aksesibilitas rumahtangga miskin terhadap pangan haruslah merupakan prioritas utama intervensi pemerintah dalam pengurangan kemiskinan. Aksesibilitas tersebut meliputi aspek ketersediaan, kecukupan dan keterjangkauan pangan oleh penduduk miskin. Intervensi pemerintah secara makro dalam kebijakan pangan antara lain persediaan pangan nasional dalam jumlah yang cukup dan distribusi yang baik yang menjamin ketersediaan bagi penduduk, dan harga yang terjangkau. Secara mikro, pemerintah bersama masyarakat dapat mendorong ketahanan pangan tingkat rumahtangga ataupun desa; misalnya program lumbung desa dan desa mandiri pangan. Selain itu, perlu didorong program diversifikasi pangan dan kecukupan gizi dengan menggunakan sumberdaya lokal. Selain itu, empat variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga hampir di setiap agroekosistem 198 yaitu variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah, luas lantai per kapita dan variabel modal fisik. Tabel 52. Faktor Penciri Kemiskinan dan Implikasi Kebijakan Agroekosistem Variabel Aspek Intervensi Pemerintah Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi rumah tangga Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Fasilitas Kesehatan : Puskesmas Kondisi fisik rumah tangga Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Penyakit Marasmus infrastruktur fisik dan sosial Tempat membuang sampah : Lubangdibakar Infrastruktur fisik dan sosial Lahan Basah Persen pengeluaran untuk kesehatan : 20 Kondisi ekonomi keluarga 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan ketersediaan, keterjangkauan dan kecukupan, 2. akses pada pelayanan kesehatan dan subsidi kesehatan 3. akses pada modal fisik dan perumahan 4. perbaikan infrastruktur fisik dan sosial,

5. perbaikan sanitasi dan

lingkungan Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi keluarga Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik dan sosial Lahan Kering Jenis Lantai : Bukan Tanah Kondisi ekonomi keluarga 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan keterangkauan, ketersediaan dan kecukupan 2. subsdi BBM atau sumber alternatif 3. akses pada modal fisik 4. Perbaikan infrastruktur fisik dan sosial Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi keluarga Sumber penghasilan dari peternakan infrastruktur fisik dan sosial Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Sumber air mandicuci : PAM Infrastruktur fisik dan sosial Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Lalu lintas sebagian keluarga : Darat infrastruktur fisik dan sosial Lahan Campuran Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya Kondisi pendidikan rumah tangga 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan 2. akses pada modal fisik 3. akses terhadap pelayanan pendidikan 4. infrastruktur fisik dan sosial 5. pengembangan alternatif usaha sumber nafkah 6. perbaikan sanitasilingkungan Jenis kloset : PlengsenganJemplung Infrastruktur fisik dan sosial Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Kondisi ekonomi keluarga Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Infrastruktur fisik dan sosial Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi keluarga Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik dan sosial Pantai Pesisir Sumber Penerangan : listrik infrastruktur fisik dan sosial 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan 2. akses terhadap BBM 3. akses pada modal fisik 4. infrastruktur fisik dan sosial 5. akses terhadap listrik 199 Tabel 52. Lanjutan Agroekosistem Variabel Aspek Intervensi Pemerintah Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi keluarga Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Sumber air mandicuci : PAM Infrastruktur fisik dan sosial Dataran Tinggi Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik dan sosial 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan 2. akses pada air bersih 3. akses pada modal fisik 4. infrastruktur fisik dan sosial Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1 - 75 Kondisi ekonomi keluarga Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1 - 50 Kondisi ekonomi keluarga Luas lantai perkapita : 10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik dan sosial Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga : 6-8 tahun Kondisi pendidikan rumah tangga Jenis Lantai : Bukan Tanah Kondisi fisik rumah tangga Hutan Tempat membuang sampah : Lubangdibakar Infrastruktur fisik dan sosial 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan 2. akses BBM 3. modal fisik 4. akses terhadap pendidikan peningkatan SDM 5. infrastruktur fisik dan sosial Pada Tabel 52 ditunjukkan secara rinci penciri kemiskinan dan implikasi kebijakannya. Dengan mengacu pada penciri kemiskinan disetiap agroekosistem, maka dapat ditarik kebijakan umum bagi seluruh agroekosistem yang difokuskan pada kebijakan penyediaan pangan, BBM dan perbaikan modal fisik. Faktanya, studi ini juga menemukan bahwa penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara mikro melalui peningkatan kapabilitas rumahtangga atau individu human capital dan memperkuat modal fisik physical capital. Di sisi lain, penanggulangan kemiskinan juga harus didukung secara makro sebagai necessary condition dengan memperbaiki indikator-indikator ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menetes ke bawah dan menyebar trickle down and spread effect yang disertai perbaikan distribusi pendapatan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, diharapkan akan mendorong berkembangnya dimensi lain, seperti infrastruktur fisik dan sosial, pelayanan 200 kesehatan dan pendidikan serta peluang-peluang kerja dan usaha yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 201 VIIl. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemiskinan berasosiasi kuat dengan faktor lokasi spasial berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem dimana. hutan memiliki insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisirpantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan di pantaipesisir. Jadi, untuk melihat kemiskinan, angka insiden kemiskinan perlu disertai besaran magnitude jumlah rumahtangga miskin supaya tidak misleading dalam menentukan prioritas pengurangan kemiskinan. 2. Agroekosistem hutan menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan tertinggi diikuti lahan campuran dan pantaipesisir; sementara lahan kering, dataran tinggi dan lahan basah lebih rendah secara berurutan. Indeks kedalaman kemiskinan ini mengindikasikan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pengeluaran di hutan paling jauh di bawah indeks kebutuhan minimum atau garis kemiskinan. 3. Agroekosistem hutan juga menunjukkan indeks keparahan kemiskinan tertinggi, jauh di atas rata-rata nasional. Agroekosistem selain hutan indeks keparahan kemiskinannya di bawah angka nasional; terendah pada agroekosistem lahan basah dan di dataran tinggi. Jadi, di dataran tinggi 202 jumlah rumahtangga miskin atau proporsi insiden kemiskinan tinggi namun kedalaman dan keparahannya lebih rendah dari yang lainnya. 4. Jika dilihat secara agregat menggunakan tiga indikator kemiskinan yaitu insiden, kedalaman dan keparahannya, maka kemiskinan yang paling kritis terjadi di agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisirpantai dan lahan campuran. 5. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan ekonomi agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Agroekosistem lahan basah memperlihatkan elastisitas insiden dan kedalaman kemiskinan yang tertinggi. 6. Kemiskinan kronis yang terbesar terjadi pada agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisirpantai. Selain peluang untuk keluar dari garis kemiskinan reatif paling kecil, jumlah rumahtangga miskin kronis terbesar juga di agrokesistem hutan diikuti dengan lahan campuran. 7. Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu systematic patterns. Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman dalam insiden kemiskinan antar agroekosistem. Kerentanan vulnerability yang merupakan sensitivitas indikator kemiskinan mencerminkan besaran elastisitas yang berbeda pada tiap agroekosistem. Tiap agroekosistem menunjukkan respon yang berbeda terhadap perubahan harga barang dan jasa pada bundel garis kemiskinan. Kemiskinan sementara transient poverty ataupun kemiskinan kronis chronic poverty yang diklasifikasikan berdasarkan peluang rumahtangga melewati 203 batas garis kemiskinan juga ditunjukkan oleh model yang berbeda pada tiap agroekosistem. 8. Faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Secara umum, pengeluaran rumahtangga untuk makanan merupakan proporsi terbesar yang berkontribusi terhadap pengeluaran rumahtangga terjadi pada semua agroekosistem yakni sekitar 50-75 persen. Faktor pemilikan rumah sebagai modal fisik merupakan faktor penciri lainnya pada semua agroekosistem. Sedangkan faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Lahan campuran menunjukkan ciri yang berbeda dari agroekosistem lainnya yakni adanya sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan. Sedangkan di dataran tinggi, lahan kering, dan hutan serta pantaipesisir menunjukkan faktor bahan bakar minyak tanah merupakan penentu pengeluaran. Berbeda dengan agroekosistem lainnya, sumber penerangan listrik merupakan ke khas-an agroekosistem pantaipesisir sebagai penentu nyata terhadap pengeluaran rumahtangga. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. 9. Model pengeluaran konsumsi rumahtangga yang mencerminkan kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem. Hal ini dijelaskan oleh besaran parameter dan konfigurasi parameter-parameter yang signifikan pada tiap agroekosistem.

8.2. Saran Kebijakan