Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan

25 rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI 2004 merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan

Kemiskinan di Indonesia Potret kemiskinan Indonesia berdasarkan data BPS 2005 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di perdesaan sebanyak 22.7 juta jiwa; sementara jumlah total penduduk miskin sebesar 35.1 juta jiwa atau 15.7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan data tahun 2003, mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia 38.4 juta jiwa. Sekitar 65.4 persen dari penduduk miskin tersebut berada di perdesaan dan 82.1 pesen di antaranya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Perkembangan kondisi kemiskinan menurut BPS 2002 adalah sebesar 37.7 juta jiwa 17.9 persen, yang terdistribusi sebanyak 14.3 persen di perkotaan dan 20.5 persen di perdesaan. Penyebaran penduduk miskin tersebut sebanyak 58.1 persen di Jawa dan Bali, 20.5 persen di Sumatera dan 21.4 persen di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2.55 pada tahun 1996 sebelum krisis menjadi 4.35 pada tahun 1998 saat krisis, dan di perdesaan meningkat dari 0.71 menjadi 1.27. 26 Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 3.53 menjadi 5.01 dan di perdesaan dari 0.96 menjadi 1.48. Peningkatan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2002, indeks kedalaman kemiskinan mengalami perbaikan menjadi 3.01 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0.79. Menurut data The World Bank 2001, pada awal tahun 1999 jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 36.7 juta jiwa dan di perkotaan 19.1 juta jiwa. Kemiskinan perkotaan sering dikatakan sebagai efek dan tumpahan kemiskinan di perdesaan. Selanjutnya, IFAD 2001 melaporkan bahwa 75.7 persen penduduk miskin berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 2001, penduduk miskin yang tinggal di perdesaan sekitar 75.7 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya kemiskinan merupakan fenomena perdesaan. Secara lebih spesifik, Pasaribu dalam Rusastra et al 2006 menyebutkan bahwa karakteristik penduduk miskin dicirikan oleh beberapa hal antara lain; a masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencarian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian 60 persen; b penduduk miskin dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas dan tingkat adopsi teknologi yang rendah. Berdasarkan sumber penghasilannya, sebesar 63.0 persen rumahtangga miskin menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian, 6.4 persen dari kegiatan industri, 27.7 persen dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan, pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan. 27 Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran BPS, 2001. Tinjauan spasial menunjukkan bahwa 75.7 persen rumahtangga miskin berada di perdesaan dengan basis sektor pertanian dalam arti luas, mencakup pertanian pangan, perkebunan dan peternakan sebagai penghasilan utama. Sementara di perkotaan, sebanyak 75 persen rumahtangga miskin memperoleh penghasilan utama di luar sektor pertanian dan 24 persen yang mengandalkan sektor pertanian. Jumlah anggota keluarga memberikan perbedaan tingkat kemiskinan. Menurut data BPS 1999, rata-rata jumlah anggota keluarga rumahtangga miskin di Indonesia adalah 4.9 jiwa, sementara keluarga tidak miskin menanggung beban rata-rata 3.9 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa beban tanggungan keluarga miskin lebih besar daripada beban tanggungan keluarga tidak miskin. Bila dilihat tingkat pendidikan keluarga miskin, 72.1 persen rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar SD, dan 24.3 persen dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57.0 persen rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala keluarga tidak tamat SD, dan 31.4 persen berpendidikan SD. Menurut laporan riset dari The World Bank 2003, pada akhir tahun 2002 dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita US 1.00 per hari untuk negara berpendapatan sangat rendah, maka sebanyak 50 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini 20 persen lebih tinggi daripada kemiskinan dengan menggunakan standar BPS. Bila diukur dengan US 2.00 per hari yakni standar untuk negara berpendapatan sedang, maka 60 persen penduduk 28 Indonesia atau sekitar 126 juta orang penduduk Indonesia tergolong orang miskin. Sekitar 87 persen dari penduduk miskin ini berada pada 20 persen pendapatan paling rendah the bottom quintile. Ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, pada medio 1997 jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Pada akhir 1998 menjadi 49.5 juta jiwa 24.23 persen dari total penduduk; terdiri dari 17.6 juta 21.92 persen di perkotaan dan 31.9 juta 24.23 persen di perdesaan. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin tidak termasuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku sebesar 37.3 juta jiwa terdiri dari 9.1 juta di perkotaan dan 25.1 juta di perdesaan. Analisis-analisis mengenai karakteristik kemiskinan sering dibahas dengan berbagai pendekatan menggunakan terminologi tipologi kemiskinan sebagaimana yang dilakukan oleh dua organisasi internasional yakni Swedish International Development Cooperation Agency SIDA dan International Fund for Agricultural Development IFAD. Pendekatan yang digunakan SIDA untuk membangun tipologi kemiskinan yaitu: 1. Kemiskinan berdasarkan pekerjaan: buruh tani, petani gurem, nelayan tradisional, dan lain-lain. 2. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakberuntungan sosial: masyarakat dengan kasta rendah, masyarakat terasing, suku dalam atau penduduk asli. 3. Kemiskinan karena adanya diskriminasi. 4. Kemiskinan berdasarkan letak geografis. Sedangkan IFAD menggunakan lima pendekatan untuk membangun tipologi kemiskinan khususnya kemiskinan perdesaan rural poverty yaitu: 1. Kemiskinan karena pencabutan hak dan tersisihkan. 2. Kemiskinan karena faktor daerah terisolasi dan daerah marjinal. 29 3. Kemiskinan traumatissporadis karena adanya guncangan eksternal seperti kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja PHK. 4 Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi, kurangnya aksesibilitas, dan tidak memadainya teknologi. 5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya. Sedangkan tren penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan periode 1981-2006 dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: BPS 2003, 2005 dan PSEK 2007. Data diolah Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981- 2006

2.3 Agroekosistem dan Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan