Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Batasan hutan rakyat lebih rinci lagi diberikan oleh Menteri Kehutanan sebagaimana tercantum pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 49Kpts-II1997, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu- kayuan lebih dari 50 dan atau pada tanaman tahun I sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Menurut Simon 1999 hutan rakyat adalah hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat dibangun di atas lahan milik atau di atas lahan bukan kawasan negara dikenal dengan istilah private forest, tree farming atau wood lots. Menurut Hardjanto dalam Suharjito 2000, hutan rakyat yang juga disebut sebagai hutan milik merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan dengan kepemilikan lahan. Berkaitan dengan luas minimal hutan rakyat harus 0,25 Ha, maka keberadaan hutan rakyat di Jawa hanya sedikit yang bisa memenuhi kriteria sesuai dengan definisi hutan rakyat. Sedangkan Alrasyid 1979 mendefinisikan hutan rakyat sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon, yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha seperti koperasi dengan berpedoman kepada ketentuan yang sudah digariskan oleh pemerintah.

2.2. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Secara resmi definisi kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil UUUK no 9 tahun 1995 yaitu kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan salah satu cara dalam hubungan produksi yang hanya bisa dipraktekkan apabila paling tidak ada dua pihak yang melakukan kerjasama dalam satu satuan waktu tertentu yang diatur dalam satu kesepakatan tertulis maupun lisan, dalam hubungan kemitraan masing-masing pihak menggunakan sumberdaya yang mereka kuasai. Menurut Puspitawati 2004 konsep kemitraan idealnya kedua belah pihak yang bermitra harus saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Kerjasama kemitraan ada yang berjalan spontan berdasarkan saling membutuhkan, yang dilakukan secara insidentil dan untuk jangka waktu tertentu dan ada juga yang memang direkayasa oleh pemerintah berdasarkan kebijakan tertentu. Himbauan pemerintah yang cukup gencar bahkan disertai dengan fasilitas fisik maupun kemudahan yang disediakan oleh pemerintah seperti kemudahan dalam mendapatkan kredit bank, telah mendorong pihak swasta untuk mengembangkan usahanya melalui hubungan kemitraan. Hal lain yang mendorong pihak swasta melaksanakan kemitraan adalah sulitnya memperoleh lahan untuk berproduksi, sehingga secara perhitungan lebih efisien dengan mengontrak lahan petani daripada harus menginvestasikan dana yang cukup besar untuk penyediaan tanah Dalam pembangunan hutan rakyat yang lestari, untuk menunjang keberhasilannya ditawarkan berbagai alternatif model, diantaranya adalah pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan, yaitu dengan cara membentuk kemitraan antara petani pemilik lahan dan pihak swasta sebagai perusahaan mitra. Tujuannya antara lain adalah memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai kekuatan ekonomi, meningkatkan kemampuan perekonomian masyarakat melalui kemandirian dalam mengelola usaha serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat pola kemitraan dibangun oleh perusahaan di lahan milik masyarakat dan dikelola berdasarkan prinsip -prinsip kemitraan yang berazaskan kelestarian, sosial, ekonomi dan ekologi. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah adanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak Triyono 2004. Perusahaan memerlukan bahan baku kayu untuk industri secara berkesinambungan dan rakyat pemilik lahan memerlukan bantuan modal, pengetahuan teknis dan kepastian pemasaran. Selain itu, munculnya pemikiran untuk mengembangkan pola kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat juga didasari keinginan untuk meningkatkan peran serta pihak -pihak yang terkait langsung dengan pembangunan hutan rakyat yaitu petani, pengusahaindustri pengolahan kayu dan pemerintah Dishut Jateng 2004. Meskipun demikian pemikiran untuk mengembangkan hutan rakyat dengan pola kemitraan juga tidak terlepas untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk pemberian insentif permodalan kredit dengan bunga ringan. Pemanfaatan kredit usaha hutan rakyat KUHR dari Departemen Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi DR untuk pembangunan hutan rakyat mengharuskan dibentuknya kemitraan antara kelompok tani dengan perusahaan mitra. Dengan demikian baik perusahaan mitra maupun petani hutan rakyat diharapkan tidak menghadapi kesulitan dalam memasarkan kayu untuk pengembalian kredit usaha hutan rakyat tersebut. Permodalan berupa KUHR disalurkan kepada petani dengan status pinjaman lunak dengan bunga 6 selama 11 tahun dengan lingkup kegiatan perencanaan, persiapan lahan, pembuatan persemaianpengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengadaan sarana prasarana hutan rakyat, perlindungan dan pengamanan hutan rakyat dan pemungutan hasilpemanenan Dephut 1997. Melalui pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ini diharapkan pihak-pihak yang terkait langsung dalam pembangunan hutan rakyat dapat memperoleh manfaat yang diperoleh sekaligus Dishut Jateng 2004, yaitu : 1 Petani : - Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani - Memperoleh bantuan modal melalui pinjaman dari pemerintah - Memperoleh bimbingan teknologi dari mitra usaha dan pemerintah 2 Mitra Usaha : - Mempunyai cadangan bahan baku kayu - Memperoleh bantuan modal melalui pinjaman dari pemerintah 3 Pemerintah : - Salah satu program pemerintah dalam membangun hutan lestari dapat terealisasi Menurut Irawanti et al. 2000, dalam penggunaan KUHR ada dua bentuk pengelolaan skim kredit untuk keperluan pembangunan hutan rakyat yang dipandang aman dari segi keuangan atau efisien dalam penggunaannya, yaitu 1Perusahaan mitra menjadi penanggung jawab dalam hal pengembalian kredit sehingga semua kegiatan fisik lapangan dari penanaman sampai pemanenan dilaksanakan oleh mitra sendiri. Hal ini dikarenakan pemahaman atau penguasaan petani terhadap teknik penyediaan dan pembuatan bibit, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan sangat terbatas, di samping petani juga memiliki keterbatasan dalam permodalan. 2 Petani diberi kebebasan untuk memilih jenis tanaman yang biasa dibudidayakan oleh mereka secara turun temurun atau secar a tradisional. Apabila petani telah menguasai teknis dan ekonomis budidaya tanaman tersebut maka peluang untuk gagal dapat diminimalkan. Dalam kedua model tersebut terdapat unsur niat baik perusahaan mitra untuk menolong petani dimana mitra tidak membuka peluang untuk memotong kredit yang menjadi hak petani. Lebih lanjut dijelaskan, apabila seluruh kredit secara tunai diberikan kepada petani maka peluang gagal dalam membangun hutan rakyat sangat besar sebab hasil dari hutan rakyat diperoleh dalam jangka waktu yang lama sesuai keketentuan KUHR adalah 11 tahun. Pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ditempuh dengan beberapa pola pemanfaatan lahan, yaitu 1 tanaman kayu dikembangkan di sekeliling lahan sebagai tanaman pagar batas dan di tengahnya diusahakan tanaman semusim, 2 tanaman kayu dikembangkan di seluruh hamparan lahan tetapi menggunakan jarak tanam relatif lebar agar dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim, 3 tanaman kayu dikembangkan di seluruh hamparan lahan, pada tahun pertama dan kedua ditanam dengan sistem tumpangsari kemudian pada tahun-tahun berikutnya dilakukan penjarangan dimana hasil kayunya sudah dapat dijual. Irawanti et al. 2000. Untuk tanaman yang dikembangkan sebagai tanaman pagarbatas, kontrak kerjasama antara perusahaan mitra dengan petani dihitung berdasarkan jumlah pohon, tetapi dalam mendapatkan kredit KUHR yang berdasarkan perhitungan persatuan luas hektar, maka dalam perhitungannya jumlah pohon dikonversikan ke satuan luas dengan jumlah pohon 1.650 setiap ha atau jarak tanam 2 x 3 m. Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan sebagaimana dalam Surat Keputusan nomor 02KptsV1997 jenis tanaman yang dikembangkan untuk kegiatan usaha hutan rakyat adalah jenis tanaman yang berdaur pendek dan cepat pertumbuhannya antara lain adalah Sengon Paraserianthes falcataria, Acacia mangium, Acacia auriculiformis, Gmelina arborea , Pulai Alstonia sp, Jabon Anthocerphalus cadamba, Suren, Rotan, bambu, Kayu bawang, Karet dan sebaginya. Menurut Widiarti 2002, jenis komoditas dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan di Jawa Barat antara lain adalah bambu dan sengon. Pemilihan jenis komoditas ini disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan pertimbangan keadaan tempat tumbuh serta perkiraan pasar yang akan menampung. Hal nampak bahwa di daerah setempat sudah banyak yang mengusahakan jenis tanaman tersebut. Di Jawa Tengah jenis yang banyak dikembangkan adalah Sengon, Gmelina, Mahoni, Jati. Hal ini disebabkan di Jawa Tengah banyak terdapat industri pengolahan kayu sengon sehingga mudah dalam hal pemasaran Dishut Jateng 2004.. Di Kabupaten Wonogiri yang dikembangkan adalah jenis Jati dan Mahoni, karena jenis tersebut yang dapat tumbuh bagus di lahan yang berbatu sebagaimana kondisi Kabupaten Wonogiri. Di Sumatera Selatan jenis tanaman yang dikembangkan dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan adalah jenis Sengon, Acacia dan Pulai Irawanti et al. 2000 Keberhasilan pembangunan hutan rakyat tidak hanya diukur oleh keberhasilan tanaman tetapi juga diukur dalam pemanfaatan hasilnya yaitu oleh adanya kepastian pasar bagi hasil hutan rakyat. Dalam kemitraan di Jawa Barat, mitra usaha hutan rakyat umumnya baru bersifat menjanjikan pemasarannya, tidak menjamin akan menampung seluruh hasil produksi. Bahkan petani dibebaskan bila ada yang ingin menjual kepada pihak luar Widiarti 2002. Hal ini mengandung sisi positif dan negatif, yaitu apabila pemasaran dengan pihak luar lancar dan harga bagus, maka petani akan diuntungkan, sebaliknya apabila belum ada industri yang menampung maka petani akan mengalami kerugian. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, pengembangan hutan rakyat diprakarsai oleh perusahaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang telah memiliki pembeli tetap. Hal ini menjamin adanya kepastian dalam pemasaran hasil hutan rakyat.

2.3. Pengertian Persepsi