Penciptaan Makna Baru: dari Teks Sanskerta ke Teks Jawa Kuna

b) Penciptaan Makna Baru: dari Teks Sanskerta ke Teks Jawa Kuna

Bila menyimak dari konsepsi Bakhtinian tentang “answering com- prehension ” atau “responsive undertanding” perubahan bentuk dari teks sumber (Sanskerta) ke teks sasaran (Jawa Kuna) akan terklarifikasi. Tidak hanya “to translate is to interpret,” tetapi penerjemahan juga meli- puti prosedur dialogis yang dalam prosesnya “memahami” (to under- stand ) dapat bermakna mengambil sikap (to take a stance), merespon (to respond), dan mengambil (to take responsibility). Dalam kaitan ini, pembacaan pengarang Wirataparwa, misalnya, atas epos Mahabharata telah menuntun penerjemah pada sebuah respon penciptaan makna baru (sastra-terjemahan).

Salah satu contoh lain dapat dilihat pada catatan Zoetmulder (1983:105-106). Dikatakan bahwa salah satu alasan pengarang sastra- parwa melakukan pemotongan teks atau elaborasi dari teks Sanskerta ialah untuk menegaskan sebuah rumus yang dipandang sakral dan magis. Bahkan kadang-kadang terjadi, terjemahan Jawa Kuna dihi- langkan sama sekali, seperti dalam cerita mengenai gadis brahmin yang kemudian akan menjelas menjadi Dropadi. Ia mohon dengan sangat kepada dewa Sangkara agar ia diberi suami, dan permohonan tersebut diulangi sampai lima kali. Dan sebagai hasilnya dalam suatu reinkarnasi lain ia menjadi isteri lima orang saudara, yaitu para Pandawa. Di sini, pengarang tidak menganggap perlu menambah ter- jemahan panca permohonan itu kepada rumus aslinya: patim dehi (berilah seorang suami). Pengarang berpendapat bahwa rumus Sanskerta dengan cukup jelas mengungkapkan betapa sakti mantra

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

191 itu, biarpun tidak banyak pembaca Jawa cukup mahir dalam seluk

beluk bahasa Sanskerta untuk mengetahui bahwa di sini dehi meru- pakan bentuk imperatif dari akar ‘da’ (memberi).

Dalam proses penciptaan itu pengarang memberi napas baru pa-

da teks dan pada waktu yang sama melepaskan diri dari penjara ba- hasa. Dengan kata lain, penulisan sastra-parwa, atau penerjemahan epos Mahabharata, merupakan upaya penciptaan ulang, upaya pem- berian napas kepada teks, dan upaya pembebasan bahasa. Praktik penerjemahan ini sama dengan proses perjumpaan antara bahasa his- toris dan bahasa alami, di antara bahasa-bahasa khusus, antara tanda- tanda verbal dengan tanda-tanda nonverbal, dan antara ideologi de- ngan pandangan-dunia. Penulisan sastra-parwa menyiratkan interpre- tasi pada tataran tertinggi dialogisme, yang bermula dari sikap me- respon, disertai dengan interpretasi yang berisi dan partisipatif serta bersumbangsih terhadap kebangkitan teks. Sebagai konsekuensi lo- gisnya, akhir dari proses tersebut melahirkan diversifikasi tekstual dan, tentu saja, makna.

Untuk lebih mencermati bagaimana diversifikasi tekstual dan makna, yakni pertukaran dialogis, itu terjadi, ada baiknya menyimak konsepsi Bakhtin soal pembagian dua bentuk ekspresi nilai dalam proses penciptaan poetika. Menurut Bakhtin (via Todorov, 1984:47), kita harus membagi dua bentuk ekspresi nilai [dalam penciptaan poe- tika]: (1) fona (bunyi), dan (2) struktural [tektonicheskuju], yang fungsi- fungsinya dibagi atas dua kelompok: pertama elektif (selektif) dan kedua, komposisional (disposisional). Fungsi elektif dari evaluasi so- sial tampak pada pemilihan materi leksikal…. Dan dalam pemilihan tema, berdasarkan pengertian yang sempit dari istilah ini (seleksi kon- ten). Sementara itu, fungsi komposisional dari evaluasi menentukan hierarki dari tiap unsur verbal dalam keseluruhan karya, tingkatannya, serta strukturnya secara keseluruhan. Segala persoalan sintaksis poe- tika, persoalan komposisi, dan bicara secara ketat, persoalan tentang genre , lahir di sini. Di sini, perlu ditegaskan bahwa “terjemahan” sas- tra-parwa terlaksana di seantero lapisan bahasa, pada lapisan mikro dalam bentuk penyerapan unsur-unsur bahasa ke dalam pola morfo- logi (pemilihan leksikal), dan pada lapisan wacana dalam bentuk pemribumian pola-pola formal dan naratif itu sendiri, atau super- struktur karya secara lebih luas.

Pertama, pada tataran makro, kita bisa melihat bahwa teks Sanskerta Mahabharata disajikan dalam bentuk sloka, sementara sas- tra-parwa sebagai hasil pengalihan kodenya disajikan dalam bentuk parwa . Bahkan, Zoetmulder (1983:102) mencatat adanya penambahan

PROSIDING

pada salah satu “hasil terjemahan” Mahabharata, yakni kitab keempat Wirataparwa dalam bahasa Jawa Kuna. Wirataparwa diawali dengan pertanyaan raja Janamejaya kepada brahmin Waisampayana, yang telah menembangkan untuknya ketiga buku pertama dari Mahabharata, sebagai berikut: “Bagaimana leluhur saya mengisi waktunya ketika mereka tinggal di kota Wirata, tanpa identitas mereka boleh diketahui?” Pertanyaan ini diutarakan dalam dua sloka dan seketika dijawab oleh Waisampayana sebagai berikut: “Dengarkan, hai raja, bagaimana mereka mengisi waktunya itu di Wirata.” Teks dalam bahasa Jawa Kuna mengutip sloka pertama dalam bahasa Sanskerta dan menerjemah- kannya ke dalam bahasa Jawa Kuna, tetapi kemudian menyusullah sebuah bagian yang tak ada padanannya dalam teks asli. “Cucu Paduka (yaitu raja yang sedang berbicara) mohon dengan hormat, agar Paduka menceritakan peristiwa itu seperti sebenarnya terjadi, tanpa menghiasinya dengan embel-embel karangan Paduka sendiri; jangan mempercantiknya dengan hiasan tambahan serta macam-macam kebebasan lain seperti lazim dikerjakan oleh para penyair. Biarlah tutur Paduka tetap menyerupai sebuah parwa tanpa mengubah atau mem- perkosanya. Saya mohon agar Paduka jangan mengabaikan permo- honan cucu Paduka.” Waisampayana menjawab: “Duli tuanku, Ba- ginda tidak perlu cemas. Cerita itu akan dituturkan menurut kebenaran, tepat seperti terjadi, tanpa kiasan atau gaya berkepanjangan.”

Sebagai tambahan, kita bisa pula menyimak catatan Adiwimarta (dalam Sedyawati, dkk., 2001:2-3) mengenai penerjemahan karya sastra Sanskerta ke dalam sastra-parwa. Adiwimarta mengutarakan bahwa secara keseluruhan karya sastra senantiasa mengalami per- ubahan dari masa ke masa, sejalan dengan perkembangan proses seja- rahnya. Meskipun demikian, secara keseluruhan, karya sastra tersebut tidak dapat terpisah-pisah, melainkan tetap mempunyai pertalian yang dapat dirasakan pada unsur keterkaitan yang terdapat di dalam- nya. Pertalian karya sastra yang satu dengan yang lain itu merupakan unsur kerangka sejarah sastra. Adiwimarta mencontohkan, bahwa jika dibaca kitab-kitab parwa berbentuk prosa dari zaman Raja Dhar- mawangsa Teguh pada abad ke-10, lalu dibaca Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa dari zaman Raja Airlangga pada abad ke-10, berikutnya dibaca kitab Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dari zaman Raja Jayabhaya pada abad ke-12, dan kemudian dibaca Serat Wiwaha Jarwa karya Paku Buwana III dan Serat Bratayuda karya Ya- sadipura dari Surakarta, serta Serat Mintaraga karya Ki Siswaharsaya pada abad ke-20 ini, dapat dirasakan bahwa masih ada hubungan isi di dalamnya.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

193 Pada tataran mikro, hasil penelitian Gonda (1967) juga telah mem-

perlihatkan, bahwa pengaruh bahasa Sanskerta sangat kuat atas ba- hasa Jawa Kuna. Ini bisa dimaklumi sebab sejak awal tumbuh dan berkembangnya bahasa Jawa Kuna sekitar abad ke-7, bahasa Sanskerta sudah sangat luas menyebar dalam kontak sosial budaya di seluruh Nusantara, terutama di wilayah Sumatera pada masa kerajaan Sriwi- jaya. Bahasa Sanskerta yang demikian mendalam dan luas mem- pengaruhi segala peninggalan tertulis dari zaman Jawa Kuna, baik berupa prasasti maupun sastra, merupakan bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan orang-orang terpelajar (Zoetmulder, 1983:17). Me- ngenai ini, Zoetmulder menambahkan, bahwa bahasa Sanskerta, dengan demikian, dijunjung tinggi sebagai sebuah contoh untuk di- pelajari dan ditiru dan sambil menirunya orang Jawa memungut bagi- an dari kosa katanya dan peristilahannya yang khas. Memakai kata- kata Sanskerta sering mungkin merupakan suatu mode, tanda bahwa seseorang tidak ketinggalan zaman, mampu menerima pengaruh dari suatu kebudayaan yang lebih tinggi. Berkenaan dengan dunia kepe- ngarangan, juga dikatakan bahwa alasan yang mendorong para penga- rang untuk memasukkan kata-kata Sanskerta ke dalam karya sastra mereka, khususnya dalam puisi mereka, ialah keinginan mereka untuk memperkaya kosakata (Zoetmulder, 1983:14).

Dalam kenyataan sosial-budaya semacam ini bahasa, bila dipan- dang dari perspektif dialogisme Bakhtinian, merupakan hasil interaksi sosial, dialogis, dan negosiatif yang berlangsung dalam konteks kebu- dayaan. Ketika kita berpikir, kita pastinya berpikir dalam bentuk dia- log, yang dapat berupa dialog batin (internal dialog) maupun dialog interaksional antar-individu (external dialog). Dialog ini bisa bersifat verbal maupun non-verbal, atau kedua-duanya. Dialog bisa secara bersahabat atau berkonflik, tapi tujuan dasarnya ialah “to negotiate ways of viewing the world ,” untuk membentuk basis untuk menentukan cara berperilaku. Dalam proses inilah makna-makna baru tercipta, dan bahasa merupakan alat terpenting untuk mencengkeram dan mempertahankannya (lih. Greenall, dalam Duarte, et al. 2006:69).