Bermula dari Parwa

6.1 Bermula dari Parwa

Supomo mengutarakan, dalam “Men-Jawa-kan Mahabharata,” (Chambert-Loir, 2009:933-946). bahwa 14 Oktober 996 merupakan hari yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

185 penerjemahan karya asing di Indonesia (baca: Nusantara, penulis).

Sebab, pada hari itulah untuk pertama kalinya berlangsung acara pem- bacaan Wirataparwa, sastra-parwa pertama yang dapat diselesaikan dalam suatu proyek penerjemahan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna (lih. Supomo, dalam McGlynn, 2001:18-19). Bahkan, dikatakan, bahwa dalam kaitannya dengan terjemahan epos besar Sanskerta Mahabharata – dan bahkan di antara semua karya asing – ke dalam bahasa daerah mana pun di Indonesia, tanggal tersebut merupakan tanggal tertua yang dapat dicatat. Chambert-Loir (2009:933) mengata- kan bahwa kitab pertama adalah Adiparwa secara urutan isi, bukan Wirataparwa . Tapi, seperti yang dinyatakan oleh Raghuvira, karena Wi- rataparwa lebih populer dari parwa lainnya, acara pembacaan Ma- habharata dimulai dengan membaca Wirataparwa, bukan dengan Adi- parwa . Bahkan, terjemahan yang pertama kali dirampungkan sekali- pun adalah kitab Wirataparwa (lih. Supomo, dalam Chamber-Loir, 2009:933-945).

Ada sembilan dokumen yang masih tersisa dari delapan belas Asta- dasaparwa Mahabharata ini; yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udayogaparwa , Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prastha- nikaparwa , dan Swargarohanaparwa. Menurut Zoetmulder (1983:112), naskah parwa kedua (Sabhaparwa) sudah tidak ada lagi sehingga yang tersisa sekarang hanya delapan parwa. Fakta penerjemahan parwa- parwa ini bukan bermaksud menafikan bahwa masa sebelumnya wi- racerita Mahabharata atau Ramayana belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia, sebab sejak masa itu, dan masa sebelumnya pun, peradaban Sanskerta telah tersebar di Nusantara. Saat proses penerjemahan epos Mahabharata sekalipun, kala itu wiracerita Ramayana, dengan berbagai versinya, telah banyak ditulis secara anonim. Dikatakan “anonim” karena tak satu pun catatan sejarah yang memberi petunjuk tentang siapa pengarang-pengarang wiracerita ini (lih. Zoetmulder, 1983; Poerbatjaraka, 1957). Memang, tidak dapat disangkal bahwa jauh sebelum Mahabharata diterjemahkan, kisah epos Ramayana sudah banyak ditulis dalam bentuk kakawin. Fakta ini dipertegas oleh Pigeaud (1967:116), menyatakan bahwa “the development of Old Javanese epic poetry began with the Ramayana kakawin .”

Pengaruh sastra-parwa dan kakawin sebagai semaian satra terje- mahan begitu kuat sehingga karya-karya itu tidak hanya memperkaya kosakata linguistik Jawa Kuno, tetapi menjadi pemicu lahirnya karya- karya sastra berikutnya. Menurut Supomo, pentingnya sastra-parwa terjemahan itu terhadap perkembangan kesusastraan Jawa Kuna, dan kebudayaan Jawa pada umumnya, terbukti jelas pada kenyataan bah-

PROSIDING

wa sastra-sastra terjemahan itu kemudian menjadi sumber utama bagi penulisan kakawin dan cerita-cerita wayang (Pigeaud, 1967:117; Gonda, 1973; Zoetmulder, 1983:10-20).

Bagi Zoetmulder (1983:101-102), “Men-Jawa-kan Byasamata” mengimplikasikan makna yang lebih luas: yakni, mengalihkan karya yang terkandung dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa yang jelas. Dengan kata lain, para penulis sastra-parwa melakukan Jawanisasi buah pikiran Byasa. Dapat dibayangkan, tujuan Jawanisasi itu dapat dicapai lewat berbagai jalan. Penulis misalnya dapat mencoba meng- adakan suatu terjemahan, entah harfiah entah dengan kebebasan yang dianggap sesuai. Jadi, tidak mengherankan bahwa sastra-parwa ba- nyak melakukan kutipan dari teks aslinya (bahasa Sanskerta). Menurut Gonda (1974:21, via Zoetmulder, 1983:104), kutipan-kutipan itu sering dipakai sedemikian rupa sehingga kita dapat menduga bahwa fungsinya ialah sebagai semacam patokan untuk mempertahankan hubungan dengan teks asli, sehingga mudah sekali dicari kembali dari bagian mana versi Jawa Kuna diambil.

Berdasarkan pemikiran Bakhtinian, kutipan-kutipan tersebut me- negaskan terjadinya dialog antara pengarang (teks Sanskerta) dengan penerjemah (teks Kawa Kuna). “A translation is at once in the voice of the original and in the voice of the translator ” (Daniel J. Pinti, 1995:113, via Greenall, dalam Duarte et al. 2006:70). Jadi, sastra-parwa dapat dikategorikan sebagai “half someone else’s” (Bakhtin 1981: 293).

Salah satu contoh kutipan tersebut berupa kata-kata yang diucap- kan oleh salah seorang tokoh dalam cerita. Misalnya bertepatan de- ngan swayambara Dropadi, Karna menyapa Arjuna yang menyamar sebagai seorang brahmin, sebagai berikut: “Kas twam yathaksatra dha- nurdharajnah (siapakah engkau yang mau mengukur kepandaianmu dengan kepandaianku? Adakah kamu penjelmaan dari Seni Memanah sendiri, atau Wisnu dalam bentuk seorang brahmin?...; padahal seha- rusnya teks terjemahan Sanskerta itu berbunyi “Siapakah kamu yang mirip dengan ksatriya yang pandai memanah?). Dari perspektif dialogisme, fakta tekstual dalam bentuk ‘pengutipan dalam sastra- parwa’ analogis dengan utterance within utterance; yakni suatu kutipan yang dianggap pengarang-penerjemah sebagai tuturan yang meru- pakan kepunyaan orang lain. Suatu kutipan tuturan aslinya sangat bebas (totally independent), konstruksinya rampung, dan sebenarnya berada di luar konteks yang ada. Nah, dari eksistensi yang bebas itulah kutipan-kutipan dibawa masuk ke dalam konteks sastra-parwa (Vo- loshinov, 1973:116). Dengan demikian, kutipan-kutipan yang terdapat pada sastra-parwa secara eksplisit memperlihatkan heteroglosia

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

187 (multi-voiced), yang di dalamnya terpatri, jalin-menjalin, dan berke-

lindan antara suara pengarang-penerjemah dengan suara Bhatti-kavya.