Spesifikasi pada Tema

5.2.1Spesifikasi pada Tema

Tema merupakan unsur sastra yang amat penting. Persoalan pokok yang diceritakan pengarang dalam suatu karya sastra (puisi) pada dasarnya adalah tema. Ada 4 jenis tema puisi yang spesifik dalam surat kabar MP, yaitu tema yang menunjukan hubungan manusia dengan masalah: (1) cinta, (2) sosial, dan (3) Tuhan.

5.2.1.1 Tema yang Menunjukkan Hubungan Manusia dengan Masalah Cinta

Puisi Indonesia yang ditulis di surat kabar MP yang mengung- kapkan tema yang menunjukkan hubungan manusia dengan masalah cinta amat banyak jumlahnya. Masalah cinta merupakan sesuatu yang abstrak; cinta merupakan hasil sebuah interaksi yang positif antara manusia dengan suatu yang berada di luar dirinya, misalnya dengan manusia lain, masyarakat, dan alam sekitarnya (gunung, laut, sungai, binatang, dan sebagainya).

Perasaan seorang remaja yang sedang dilanda cinta, misalnya terlihat dalam “Sajak-sajak Cinta” karya Arwan Tuti Artha. Kekuatan cinta mampu membuat hidup seseorang menjadi indah atau seba- liknya. Hal itu tergambar dalam penggalan sajaknya sebagai berikut.

PROSIDING

“masih ada lagikah waktu/untuk mencumbumu/seperti ketika/bumi kusulap jadi awang-awang/dan aku melambung di dalamnya/seperti ketika/bumi kusulap/jadi asap// ” (I Juni 1980)..

Sebaliknya, ketika rindu itu tidak bisa ditahan lagi, hati terasa sakit “seakan kukumu menggores dada”. Kerinduan kepada kekasih juga dapat dirasakan dalam “Pupuh dari Panti Wreda” karya Ken Rahatmi (Okto-

ber 1986), “Sajak Malam” karya Achmadun YH, “Sepuluh Tahun Ber- lalu” karya Robert Yustinus Mardjuki (Mg 3 Agustus 1986), “Selendang” karya Linus Suryadi (Mg 3 November 1986), “Ekstase (I) dan (II)” karya

Ismet N.M. Haris (Mg 2, Mei 2000), “Cinta Sang Burisrawa” karya Akhmad Supriyohadi (14 Juni 1981), “Kepada MW” (5 Juli 1981) karya Wong Agung Satrio Lanang (10 Mei 1981), “Jalan Mayor Suryotomo”(12

Oktober 1980) karya Bambang Sulistyanto Bernadus, “Cinta Sang Bu- risrawa” (14 Juni 1981) karya Akhmad Supriyohadi, “Kado Ulang Tahun Buat Istriku” karya Achmad Supriyadi (11 Mei 1986), dan “Sajak 3”

karya Arwan Tuti Artha (6 April 1986). Selain itu, terdapat puisi yang menggambarkan ketidakpastian dalam bercinta, misalnya dalam “Sajak Kebosanan” (21 Juni 1981), dan

“Pendapa Taman Siswa” (29 November 1981) karya Bambang Widiat- moko, “Megatruh” karya Maria Pratiwi (Oktober 1986), “Sajak Biru Bagi Rusmi” karya Marjuddin Suaeb (24 Mei 1981), dan “Tengah Malam

Dulu Pintu Sering Terbuka” karya Irwan S. Sabeno (7 Juni 1981). Ketika cinta itu tidak bisa dipersatukan lagi karena ada masalah yang meng- hadang, aku harus “membungkus angan dan membunuh perasaan rindu-

nya”. Hal itu diungkapkan Indra Tranggono dalam puisi “Saat Kerindu- an Menggingit Kutepis Bayangmu” /(N0.17, 27 Juli 1980). Masalah yang sama tercermin pula dalam “Kereta Senja, Gerimis Basah di Rambutmu”

karya Cho Cho Tri Laksana (18 Desember 1983), “Mawar Pagi’ (20 Juli 1980) karya Sunardian Wirodono, “Asmaradana untuk Bayang-bayang Vita” karya Goprak Harsono (30 Agustus 1981), dan “Pada Angin”

karya Tantraswara (16 Januari 1983). Dalam ketidakberdayaan menghadapi masalah, aku mencoba mengatasinya dengan mengubur luka-luka. Hal itu tercermin dalam

penggalan puisi Dorothea Rosa Herliany “Sampan”.

“dalam sampan kuletakkan bayanganku/:perempuan yang lelah/ mengubur luka-luka/menghitung jarak, tak terbaca/sampan tanpa kayuh akan senantiasa/dipermainkan angin// (1 Oktober 1986).

Berbeda halnya dengan puisi Connie Rinto Widihapsari “Sebelum Titik Api” (26 Febrauri 19840, dan Rina Ratih dalam “Luka adalah

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

217 Luka”.(Mg 3, Juli 1986). Aku dalam puisi itu melukiskan perasaan luka

menjadi kian “menganga”, “kian sakit dan melilit”. Ketika harapan untuk mendapatkan gadis yang dicintai kandas di tengah jalan, aku menye- rahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Hal itu diungkapkan Arie MP dalam “Di Atas Korban Kutemukan Kamu” (19 Juli 1981).

Selain itu terdapat juga penggambaran cinta kasih sebatas ke- puasan seksual (lahiriah). Hal itu seperti terungkap dalam “Perempuan- perempuan” karya Muhammad Husen Kertanegara (10 Mei 1981). Aku liris digambarkan sebagai kuda jalang yang setiap saat mempermainkan perempuan.

“Aku kuda jalang yang harus mempermainkan Kau/sebagai lubang panjang yang harus kumasuki lewat birahiku/yang entah karena apa musti datang dengan sengaja/dan tak pernah terhenti setelah tubuhku yang kecil/mirip burung manyar diam di sarang dan merindukan/ kepergianku sendiri dari pengap waktu ”//.

Sementara, ketika cinta itu merasa dikhianati, menumbuhkan dendam di hati aku sehingga dunia hitam menjadi pelarian satu-satu- nya untuk menumpahkan segala kesal. Hal itu tercermin dalam “Ca- tatan Manusia” karya Wahyu Prasetya (3 Juni 1986). Hal itu akan ber- beda dengan Anton Suparyanto yang melukiskan kegundahan dan ketakutan menyaksikan “topeng” suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Hal itu tercermin dalam puisinya “Topeng Suami” dan “Topeng Istri” (Mg V, Juli 2000).

Dalam puisi yang lain, cinta dapat menumbuhkan optimisme di sela-sela penderitaan karena kecewa dan sebagainya. Hal itu tergambar dalam “Lebaran” karya Panji Patah ( Mg II, Juni 1986). Aku yang kecewa karena cintanya mengalami hambatan, merasa tetap optimis karena gadis itu masih menunggunya. Demikian pula dalam “Semakin Paham Semakin” karya Ida Ayu Galuhpethak, “ia terus kan kujabat/tak ingin kulepas barang sekejap// ” (Juni 1986). Di sisi lain, di tengah penderitaan yang panjang karena kemiskinan, aku tetap optimis karena ada istri yang setia mendampinginya. Hal itu diungkapkan Agus Yudo Basuki dalam “Ranjang” (7 Juni 1981). Keoptimisan untuk mendapatkan cinta- nya itu muncul pula dalam “Sang Puisi” karya Munawar Syamsudin “aku yang senantiasa menunggu dengan keyakinan yang tegar”. dan Bam- bang Sulistyanto Bernadus dalam “Tempelak Kapal” (11 Mei 1986).

Selanjutnya, tema cinta menjadi sebuah refleksi tentang hu- bungan manusia dengan lingkungan alam/keluarga. Banyak penyair memanfaatkan lingkungan alam (desa) sebagai sumber inspirasi dalam membuat sajak, bahkan ungkapan kerinduan, ketakjuban, dan

PROSIDING

kesedihan dihubungkan dengan suasana alam. Dalam penggalan puisi “Surat Seorang Anak Hartawan”, Ragil Suwarno Pargolapati mengemukakan kecintaan manusia dengan lingkungan alam dan keluarga secara kontradiktoris/berbalikan.

Nenek, aku rindu dusunmu damai di kaki gunung/halaman rumahku jadi toko, kebon jadi garasi/tetanggaku membangun rumah baru, tingkat tujuh/Aku rindu pohon dan burung, alam hijau yang asri//Nenek, aku kangen kemesraaanmu yang enak, hangat/Ibuku sibuk arisan dan rapat. di rumah suka marah/bapak cari duwit terus, pergi pagi, pulang malam/ kini aku haus, kasih sayang, amat lapar perhatian// (Mg IV, Juli 1986).

Penyair mencoba menggambarkan keindahan alam di kampung ‘desa’ secara objektif. Puisi itu mencerminkan kecintaan dan kerindu- an aku pada nenek di kampung halamannya. Pemakaian kosakata Jawa kangen ‘rindu’ menunjukkan gambaran latar budaya Jawa di- tambah dengan keramahan orang-orang dan lingkungannya yang hijau serta asri. Dengan gaya bahasa tersebut penyair menunjukkan perkembangan kehidupan di desa dan kota yang paradoksal. Sajak itu sekaligus kritik pada kehidupan diperkotaan yang individual, di- buru waktu, kurang memperhatikan lingkungan, termasuk keluarga. Kritik serupa dikemukakan juga oleh Ragil Suwarno dalam “Bunga- bunga Taman Kota”, “Puisi Mawar Kuning” (Mg ke-4, Juli 1986), dan sebagainya.

Dalam puisi yang lain, ungkapan kecintaan/pesona akan ke- kuasaan Tuhan dihubungkan dengan keindahan alam, dikemukakan juga oleh Munawar Syamsudin dalam “Gerhana Matahari Total” (16 Februari 1986), Sutrimo Edy Noor dalam “Bahasa Batang-batang Bam- bu” (12 April 1981), Husen Kertanegara dalam “Sajak Gelatik dan Tempua” (19 September 1982).

Berdasarkan data di atas, tema puisi yang menunjukkan hu- bungan manusia dengan masalah cinta meliputi cinta antara laki-laki dan perempuan dengan segala problematikanya (kesetiaan, patah hati, cinta sebatas kepuasan seksual, cinta menumbuhkan optimisme); dan cinta pada tanah air/keindahan/lingkungan alam serta cinta pada keluarga.

5.2.1.2 Tema yang Menunjukkan Hubungan Manusia dengan Masalah Sosial

Puisi Indonesia yang ditulis dalam surat kabar MP tahun 1980— 2000, yang menunjukkan keterkaitan manusia dengan masalah sosial amat banyak jumlahnya, bahkan sangat mendominasi dari tema-tema

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

219 yang lain. Persoalan sosial yang dilukiskan pun sangat beragam,

misalnya menyangkut masalah keluarga, penderitaan, kemisikinan, ketabahan, kebebasan, keresahan sosial, dan kritik sosial.

Puisi yang mengungkapkan hubungan manusia dengan penderi- taan masyarakat karena kemiskinan, misalnya, terlukis dalam “Pe- tani” karya Rachmat Djoko Pradopo. Perjuangan seorang petani yang hidup dalam kemiskinan tergambar dalam penggalan puisinya berikut.

“Hari yang kering menyusul/dalam hidupnya/yang compang-camping/ dan kerontang//tapi ia tidak duka dalam hidup duka/dicangkulnya hari- hari di sawahnya/ditanam benih dihari-harinya/diangankan harapan/ dalam panennya yang kemarau/diangankan panenan subur/di tiap kelahiran anak-anaknya/meniru sungai mengalir/sepanjang musim yang getir// ” (1986).

“Kepasrahan” hidupnya yang tidak duka di dalam hidup duka seper- ti filosofinya yang meniru sungai mengalir sepanjang musim yang getir.

Puisi senada dikemukakan oleh Achmadun Y Herfanda dalam “Sajak Katak I”, “Sajak Katak II” (No. 16, 20 Juli 1980). Ketidakputusasaan merentangkan harapan baru untuk bisa “menjahit luka lama kita me- nutup ”. Hal itu tercermin dalam “Pada Suatu Pagi Anak Hilang itu Kembali” karya Agnes Purwani Angsih, (20 September 1981). Doro- thea Rosa Herliany mencoba memotret kehidupan yang membawa kebahagiaan dan kesedihan itu ke dalam puisinya “Orkes Penganten”, Orkes Penguburan”, “Orkes Keberangkatan”, dan “Orkes di Halte- halte” (21 Mei 1988).

Dalam puisi “Untuk Murid-muridku” karya Nana Ernawati diki- sahkan tentang penderitaan dan kemiskinan seorang anak sekolah. Hal itu dicitrakan oleh aku, sosok guru, yang selalu memotivasi anak didiknya untuk tetap bersemangat dalam meraih ilmu.

“Kita gali ilmu dengan telanjang kakimu/dengan nafsu memburu walau sobek kemejamu/penuh tisikan celanamu/tak tersentuh shampo rambutmu/../pelajaran untukmu tidak pernah cukup/hidup minta ditimba lebih dalam/meski air sumur selalu mengering/keduk lebih dalam, nak/ ”(1 Oktober 1986).

Puisi tersebut menyiratkan harapan agar pembaca (pemerintah) turut memikirkan kesejahteraan anak-anak sekolah. Hal berbeda tampak dalam puisi Krishna Miharja “Puisi Pagi Burung Prenjak” (3 Februari 1980), yang mencoba memertanyakan nasibnya pada ling- kungan, seperti berikut

PROSIDING

“ada berita dari pucuk bambu/depan rumahku/burung prenjak berlagu/ bakal ada tamu?/seperti biasanya/dukaku akan terbagi/atau aku akan kau beri duka?/”

Pada periode 1980—2000 muncul pula puisi-puisi yang menyam- paikan kritikan atas kepincangan di dalam masyarakat, termasuk terja- dinya penembakan misterius (petrus) yang menewaskan ribuan orang

tersangka kriminal. Hal itu diungkapkan Bambang Sulistyanto Berna- dus dalam “Kisah Kumuh” dan “Sajak Bulan Kali Code” (23 Maret 1986) berikut.

“Malam jenderal ini/siapa lagi yang bersembunyi di situ?/menghindar dari kejaran/kutahu, bulan telah terkepung!/memudar bayangnya di atas aliran/ dari seratus jurusan ke seratus kejaran/memperebutkan yang bukan bukan, dan bukan kesenangan/ didengar dari jauh dor berkali/ lalu bungkam/ .

Puisi Ulfatin Ch “Peluru di Kota Lama” (Mg IV, Juli 2000), meng- ingatkan pula pada peristiwa “Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998”. Per- juangan membela negara, setelah Indonesia merdeka, dimaknai oleh mahasiswa dengan bentuk perjuangan yang lain. Empat mahasiswa telah gugur sebagai pahlawan reformasi. Hal itu tersirat dalam peng- galan puisinya. “Peluru itu pun menjerit/ sebelum ia menembus jantung/ mahasiswa/ peluru itu berkhalwat/ di otak kepala/ mencari jasad/ senapannya/ / Peristiwa itu sampai sekarang belum terkuak siapa dalang penem- bakan mahasiswa di balik itu. Hal itu tersirat dalam akhir puisi “Di kota lama/ di kota itu juga/ yang menyimpan rahasia ”.

Sementara, Santosa Warna Atmaja dalam “Sebuah Notasi” (Oktober 2000), menyampaikan protes terhadap kesewenang-wenangan pihak penguasa “ada yang luput dituliskan angin/di dinding sejarah/tentang yang berserak/di jalanan peristiwa berdarah/tapi, siapa peduli?/sebab sejarah melulu basa-basi/dan tak pasti. Kepincangan dalam masyarakat yang semakin besar dirasakan pula oleh Dharmadji SS dalam “Debu-debu” sehingga ia menggambarkan berbagai peristiwa yang melanda di bumi bagai tebaran debu-debu.

“berteriak debu-debu. gemuruh/serta gaung jerit/sepanjang orbit/ bertebaran debu-debu. Mengepul/datang dan pergi/bergantung di kabut- kabut galaxy/antara neraka dan sorgawi/gelimang lumpur abadi/ (6 September 1998).

Selain itu, kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum lemah dilukiskan juga dalam “Bilung Grundelan” karya Linus Suryadi Ag,

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

221 (No. 32, Mg. III, November 1986), dan “Telah Turun Ke Bumi” karya

Dharmadji SS, (6 September 1998). Hidup didunia ibarat permainan di atas panggung. Kebohongan memang sifat manusia yang sering ditu- tup-tutupi untuk membersihkan diri sendiri. Sikap itu tercermin dalam baris-baris sajak “Catatan dalam Diam”, karya Wong Agung Satrio Lanang berikut.

“dusta-dusta tidur di jiwanya/bakal jadi janin dan beranak/diamku dan diammu/tak pernah berjabat/kita tak usah mencari tanya/bukankah hidup adalah permainan di atas panggung// (5 Juli 1981).

Puisi tersebut sebagai kritik atas sikap manusia yang sering melakukan pembohongan publik. Berbagai persoalan kehidupan menumbuhkan kegelisahan di hati penyair. Hal itu diungkapkan Bam- bang Widiatmoko dalam “Pertempuran” (30 Maret 1980), yang melu- kiskan persoalan hidupnya menjadi dendam yang membara. Indra Trang- gono dalam “Mega Hitam Berarak” (27 Juli 1980), melukiskan persoalan hidupnya “selalu hadir mengiringi pemburuan nasib, menantang segala nyata. Kegelisahan yang sama terungkap pula dalam “Yang Bersilang” karya Bambang Sulistyanto Bernadus (30 Maret 1980), “Yang Ada Disini” karya Agus Yudo Basuki (30 Agustus 1981), “Lanskap Kota” karya Su- nardian Wirodono (20 Juli 1980). Hal itu berdampak pada kesedihan masyarakatnya, seperti terlukis dalam “Himne Ungu di Muka Jendela” karya Marjuddin Suaeb (No.47, 24 Mei 1981).

Puisi yang menuntut hak-hak asasi manusia yang ingin bebas dari pencemaran teknologi dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak penguasa terlukis dalam penggalan puisi Retna Larasati “Aku Menyesalkan” berikut.

“tanah lapang ditumbuhi rumah orang/ sawah ladang dibenami benteng panjang/tetumbuhan ditumbangkan/,.. /hutang yang belum mereka bayarkan/ , dan aku menyesalkan/hakikat kesungguhan jadi bahan ejekan// (Mg III, Juni 1986).

Puisi yang menunjukkan hubungan manusia dengan masalah sosial lainnya, misalnya, masalah tawanan yang mendapatkan hu- kuman mati (“Sel” karya Dharmadji SS, 6 September 1986), masalah mempekerjakan anak di bawah umur (“Hari-hari yang Buas” karya Indra Tranggono, 2 Mei 1986), masalah perubahan kehidupan sosial dan lingkungan (“Malioboro” karya Munawar Syamsudin, Februari 1986), (“Panitia Nasional Indonesia: Mengenai Rehabilitasi Sosialnya” karya Bambang Supriyohadi, 26 Juli 1981), dan sebagainya.

PROSIDING

Berdasarkan data di atas, puisi yang mempunyai tema yang me- nunjukkan hubungan manusia dengan masalah sosial meliputi hu- bungan manusia dengan masalah; penderitaan karena kemiskinan, minimnya kesejahteraan untuk anak sekolah, kepincangan dalam masyarakat, kesewenang-wenangan pihak penguasa terhadap rakyat kecil, tuntutan hak asasi manusia yang ingin terbebas dari pencemaran teknologi, dan masalah sosial lainnya.

5.2.1.3 Tema yang Menunjukkan Hubungan Manusia dengan Masalah Religius

Puisi Indonesia yang ditulis di surat kabar MP yang mengung- kapkan tema yang menunjukkan hubungan manusia dengan masalah religius meliputi ketakwaan manusia terhadap Tuhan, kepasrahan diri, cinta kasih, kerinduan, dan penentangan manusia kepada Tuhan; se- perti protes terhadap nasib dan sebagainya. Banyaknya persoalan yang melanda di bumi, menyadarkan manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.

Puisi yang mengungkapkan rasa iman dan takwa manusia kepada Tuhan terlihat pada “Kita Adalah” karya Dharmaji Sosropuro (Mg I Januari 2000), “Musyahadah Ketika Sunyi” dan “Menyeberang” karya Muhammad Nur Hidayatullah (5 Juli 1981), “Gundah” karya Nanang Sugeng Atmanto (No.I, 12 April 1981). Ketika rasa iman dan takwa itu mulai luntur, Tuhan memberikan teguran untuk hambanya yang alpa melalui bencana Tsunami di Aceh. Hal itu diungkapkan dalam puisi Salman Yoga “Dari Sekantin Bunga Kantin”, dan “Ia Memberi Arah Mata Angin” ( Januari 2000).

Penyerahan diri kepada Tuhan akan menghasilkan ketabahan, ketulusan, dan keikhlasan hati. Hal itu terungkap dalam penggalan puisi “Intro Peribadatan” karya Akhmad Muhaimin Azzet (Mg IV Juli 2000). “selain sepotong kepasarahan menggigil/apalagi yang dapat kutangkap di altar/setelah telaga dunia betapa kering/kucercap setuntasnya/dan yang mengaku sebagai bibir kekasih/ibarat pelangi, pergi meninggalkan luka/:saat ada guntur mengusir kemarau/para pejalan mengajarkan, tinggallah/di kaki hujan, rindu, meski terkoyak/menggelar kembali sejodoh lorong hati/tidak de- ngan tangis dan bening airmata ”//. Hal yang sama tergambar pula dalam “Rindu” dan “Usai Romadhon” karya Andrik Purwasito (19 September 1982), “Tuhan Mendesah” karya Ady Kismadi (21 Juni 1981), “Saat Ungu” karya Nanang Sugeng Atmanto (No.I, 12 April 1981), dan “Mem- baca Kehidupan” karya Ragil Suwarno Pragolapati (11 Desember 1983).

Selain hal itu, puisi yang memertanyakan kekuasaan Tuhan terdapat dalam “Kata Tuhan” karya M. Husen Kertanegara,. “kata Tuhan

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

223 daun bakal kering/ kata Tuhan dalam sejengkal tanah/aku dapat bersembah/

kata Tuhan aku bakal diberi surganya/kata Tuhan bumi bakal tergolek/dan masih banyak lagi kata-kata Tuhan/dalam kelanggengan”// (12 Juli 1981). Gaya ulangan (kata Tuhan) yang digunakan dalam puisi itu melukiskan aku liris yang memertanyakan kuasa Tuhan. Hal yang sama diung- kapkan Emha Ainun Nadjib dalam “Tuhan Meludah” (7 Desember 1980). Puisi itu menyiratkan bahwa sebagai manusia harus bisa me- yakini akan kekuasaan Tuhan, memercayai bahwa dunia; termasuk bumi, langit, dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan. Untuk itu, manu- sia diwajibkan menjalankan perintah-Nya, termasuk memercayai akan hari akhir (kiamat).

Berdasarkan data di atas, puisi yang mempunyai tema yang me- nunjukkan hubungan manusia dengan masalah religius, meliputi hu- bungan manusia dengan keimanan dan ketakwaan pada Tuhan, penye- rahan diri pada Tuhan, dan memertanyakan kuasa Tuhan.