PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA

PROSIDING

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN DI LINGKUNGAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

TIM PENYUNTING Pelindung:

Prof. Dr. Mashun, M.S. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengarah: Dra. Yeyen Maryani, M.Hum. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Penanggung Jawab: Drs. Tirto Suwondo, M.Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketua: Yohanes Adhi Satiyoko, S.S., M.A.

Editor: Dr. Ari Subagyo, M.Hum. Dr. Aprinus Salam, M.Hum. Y. Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Tarti Khusnul Khotimah, S.S.

Sekretaris: Ahmad Zamzuri, S.Pd. Aji Prasetyo, S.S. Dini Citra Hayati, S.Pd. Agung Tamtama Muslim Marsudi

Diterbitkan oleh: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Alamat Sekretariat: Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta Telepon (0274)562070

KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan tugas dan fungsinya berusaha untuk meningkatkan mutu hasil penelitian di bidang keba- hasaan dan kesastraan. Usaha peningkatan mutu hasil penelitian itu antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan seminar atau diskusi ilmiah. Di dalam forum ilmiah itu niscaya mutu karya tulis akan me- ningkat karena peneliti diuji sekaligus dituntut pertanggungjawaban secara ilmiah baik menyangkut masalah teori maupun metodologi. Untuk itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mendorong para peneliti bahasa dan sastra agar senantiasa menegakkan tradisi ilmiah.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyambut baik kegiatan seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogya- karta. Kegiatan seminar ilmiah yang dilaksanakan pada 6—8 Oktober 2012 di Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, dan diikuti oleh para peneliti dan pakar (ahli) kebahasaan dan kesastraan dari Balai Bahasa, Uni- versitas Gadjah Mada, Universitas Sanata Dharma, Universitas Islam Negeri, Universitas Ahmad Dahlan, dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta itu diharapkan dapat melahirkan karya- karya tulis ilmiah bermutu sekaligus memicu semangat para peneliti untuk lebih intens dan giat lagi melakukan penelitian kebahasaan dan kesastraan.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengucapkan teri- ma kasih kepada kepala Balai Bahasa Provinsi DIY, para pemakalah, dan seluruh peserta yang telah berperan aktif dalam seminar (diskusi) ilmiah tersebut. Karya-karya tulis ilmiah yang kemudian dibukukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengucapkan teri- ma kasih kepada kepala Balai Bahasa Provinsi DIY, para pemakalah, dan seluruh peserta yang telah berperan aktif dalam seminar (diskusi) ilmiah tersebut. Karya-karya tulis ilmiah yang kemudian dibukukan

an dan memperluas wawasan para peneliti bahasa dan sastra di ling- kungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa beserta seluruh UPT-nya. Sekali lagi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah bersedia bekerja sama mewujudkan kegiatan seminar ilmiah dan terbitnya buku prosiding ini.

Jakarta, 15 November 2012

Prof. Dr. Mahsun, M.S.

NIP 195909251986031004 NIP 195909251986031004

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Seminar kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan pada 6—8 November 2012 di hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, merupakan kegiatan pertemuan (forum) ilmiah para peneliti Balai Bahasa, Univer- sitas Ahmad Dahlan, Universitas Islam Negeri, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Universitas Sanata Dharma, dan Uni- versitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini bertujuan mengkaji berbagai permasalahan kebahasaan dan kesastraan yang berkembang dewasa ini khususnya di era globalisasi. Perkembangan dunia global telah memberikan efek yang besar bagi kemajuan kehidupan di segala sisi kehidupan. Budaya materialis dan kapitalis lebih mengemuka dibandingkan budaya spiritualis yang menjadi ciri khas dunia Timur. Perkembangan budaya materialis dan kapitalis itu tentu telah mene- barkan berbagai konsekuensi yang perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Sebagai salah satu UPT di lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa Provinsi DIY memiliki tanggung jawab untuk menyikapi ser- buan budaya “asing” tersebut. Salah satu sikap itu diwujudkan dalam bentuk kajian dan penelitian ilmiah terhadap permasalahan yang ter- jadi di bidang kebahasaan dan kesastraan. Karena itu, beragam masa- lah dibahas, di antaranya bagaimana penggunaan bahasa di lingkung- an remaja (generasi muda), bagaimana realitas praktik berbahasa di perguruan tinggi, sampai pada masalah kearifan lokal, revitalisasi nilai pendidikan kebangsaan, jati diri orang (masyarakat) tertentu, dan hal- hal lain yang berkenaan dengan kehidupan sastra di Indonesia.

Seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan ini telah menghasilkan sejumlah paper yang dianggap mampu memberikan ilustrasi atau jawaban atas beragam tantangan kebahasaan dan kesas- traan yang perlu diperhatikan, disikapi, dan dicari jalan keluarnya Seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan ini telah menghasilkan sejumlah paper yang dianggap mampu memberikan ilustrasi atau jawaban atas beragam tantangan kebahasaan dan kesas- traan yang perlu diperhatikan, disikapi, dan dicari jalan keluarnya

lahan yang dikemukakan dalam paper-paper itu dapat menjadi pelajar- an penting bagi kita. Oleh karena itu, penerbitan buku prosiding ini patut direalisasikan sebagai salah satu usaha memberdayakan bahasa dan sastra di Indonesia. Mudah-mudahan semua ini memicu para peneliti di Indonesia untuk lebih intens lagi melihat berbagai fenome- na yang terjadi di sekitar (lingkungan kehidupan) kita.

Yogyakarta, 10 November 2012

Drs. Tirto Suwondo, M.Hum . NIP 19621130 1982031001

xi

JADWAL KEGIATAN DISKUSI ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 6 — 8 NOVEMBER 2012 DI HOTEL GOWONGAN INN,

YOGYAKARTA YOGYAKARTA

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

TIPOLOGI SANDI SASTRA DALAM BAHASA DAN SASTRA JAWA

Slamet Riyadi Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Sandi sastra ialah tulisan—berupa kata atau ungkapan, bukan nama—yang unsur-unsurnya dirahasiakan dalam suatu karangan, khususnya dalam puisi, yang dikemas mirib dengan sandi asma. Sebagaimana sandi asma, sandi sastra termasuk salah satu unsur seni yang merupakan hasil proses kreatif- imajinatif yang bersifat dinamis. Artinya, bentuk, teknik penu- lisan, dan gaya penciptaannya dalam karangan dari waktu ke waktu dapat mengalami perkembangan. Perkembangan itu tidak dapat terlepas dari karya-karya yang hadir sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutar- balikkan esensi) konvensi, sehingga dapat menimbulkan sebut- an mitos pengukuhan (bagi yang meneruskan) dan mitos pem- berontakan (bagi yang menyimpangi). Dalam kaitannya de- ngan pembahasan, rumusan teknik penulisan sandi asma da- lam beberapa buku teori sastra Jawa dapat dijadikan rujukan. Sementara itu, dalam pemilahan tipologi sandi sastra dapat digunakan istilah kebahasaan, misalnya istilah fonemik, sila- bik, dan morfemik. Berkenaan dengan pengumpulan data di- gunakan metode studi pustaka, sedangkan pengolahannya di- gunakan metode deskriptif dan penganalisisannya digunakan metode analitik. Hasil pengkajiannya berupa sandi satra tipe: F(-onemik), S(-ilabik), M(-orfemik), S-M, dan F-S-M.

Kata kunci: sandi sastra, bahasa dan sastra Jawa, unsur seni,

tipologi.

1. Pendahuluan

Istilah “sandi sastra” berasal dari kata sandi dan sastra. Sandi ber- arti ‘rahasia’, ‘dirahasiakan’, dan sastra berarti ‘tulisan’. Dengan demi- kian, sandi sastra dapat diartikan ‘tulisan yang dirahasiakan (dalam

PROSIDING

karangan)’. Sandi sastra juga disebut “sandi karsa”, “sandi ukara”, “sandi aksara”, atau termasuk “kridha sastra” (Riyadi, 2007:55). Sandi sastra selain terdapat dalam sastra Jawa, juga terdapat dalam sastra Indonesia. Sandi sastra dalam sastra Indonesia, misalnya terdapat dalam puisi “Ucapan Selamat bagi Peredaran Bintang Hindia” karya Al Fakir Asia, “Selamat Terbit Panji Pustaka Gunawan” karya Salman, dan “Satu Sya- wal” karya Mangaraja Tiangsa (lihat Suyatno dkk., 2000:31—32; 75— 78).

Sandi sastra yang dimaksud adalah tulisan—yang berupa kata atau ungkapan, yang bukan nama—yang unsur-unsurnya dirahasiakan dalam suatu karangan, khususnya dalam puisi, yang dikemas mirip dengan sandi asma. Oleh karena pengemasannya mirip dengan sandi asma, bentuk dan penulisan serta gaya penciptaan sandi sastra ada bermacam-macam sebagaimana sandi asma. Berdasarkan data yang diperoleh, bentuk sandi sastra ada yang bersifat silabik, morfemik, dan fonemik. Dari segi teknik penulisannya, unsur-unsur pembentuk sandi sastra ada yang diletakkan pada permulaan larik, tengah larik, akhir larik, permulaan dan akhir larik, serta permulaan larik pertama dan larik terakhir suatu bait. Penciptaan sandi sastra ada yang bergaya akros- tik, telestik, dan ada yang bergaya akrostik-telestik.

Pada hakikatnya, sandi sastra sudah diciptakan sejak masa Rang- gawarsita. Dari beberapa data dapat diketahui bahwa pada kala itu ada beberapa sandi sastra yang menyertai sandi asmanya, misalnya “Na-ya-ka Da-lem Wa-dya Ka-li-won...”, “ing Ke-dhung-kol Su-ra- kar-ta A-di-ning-rat”, “Ba-sa Ka-dha-ton”, dan “Ku-la” (Riyadi, 2007:56). Sementara itu, penciptaan sandi sastra yang lepas dari atau tidak menyertai sandi asma sudah dilakukan Mangkunagara IV. Dalam gubahannya (tiga bait) tembang Pangkur terdapat sandi sastra yang berbunyi “Nglu-lu-ri Pa-kar-ti Ja-wi, Nglun-tur Pi-wu-lang Lu- hur Ngru-wat Tin-dak Ang-ka-ra”. Sandi sastra itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini (Sontodipura, 2000:9).

(1) NLULUr tutur jroning rasa RInumpaka basa mbasih pakarti

PAmote rasa ing kalbu KARegem den-agema TInulat samya amiyak wulang luhur JAmak anyimak ing tapak WIjanga piwulang Jawi.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

3 NGLUNturken sih jroning karya

TURut tembunge tembang kang sayekti PInesu amangun hayu WUwus wosing pamawas LANG langane anglangut ja nglangip ngayun LUkita rasa ing karsa HURip bisa anguripi. NGRUmpaka werdining Jawa WATak sinatriya sinartan mesthi TINilara tindak dudu DAK dakannya amendhak ANGudi ngupadi mring pakarti luhung KAlisa angga king kala RAhayu kang amengkoni.

Dari data yang diperoleh-diantaranya ditampilkan sebagai con- toh tersebut-masalah yang timbul dapat diidentifikasi yang berkenaan dengan bentuk sandi sastra, teknik penulisan, dan gaya penampilan- nya. Bagaimana ketiga masalah itu sekaligus tercermin dalam tipolo- ginya? Dengan demikian, tujuan pengkajian ini ialah untuk mengha- silkan tipologi sandi sastra yang di dalamnya mencakupi (uraian) ben- tuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya.

2. Landasan Teori, Metode, dan Data

Dapat dikemukakan di sini bahwa teknik penulisan sandi sastra cenderung mengikuti teknik penulisan sandi asma. Sehubungan de- ngan itu, secara garis besar, rumusan teknik penulisan sandi asma dalam beberapa buku teori sastra Jawa dapat dijadikan rujukan dalam teknik penulisan sandi sastra (Riyadi, 2007:13).

Sebagaimana sandi asma, sandi sastra termasuk salah satu unsur seni yang merupakan hasil proses kreatif-imajinatif yang bersifat dinamis. Artinya, bentuk sandi sastra yang diciptakan serta teknik penulisan dan gaya penciptaannya dalam karangan dari waktu ke waktu dapat mengalami perkembangan. Jika dihubungkan dengan pendapat Riffaterre (1980:23) dan Taeuw (1983:64—65) bahwa karya sastra yang ditulis kemudian, biasanya, mendasarkan diri pada karya- karya lain yang telah hadir sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi, maka bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaan sandi sastra—dalam perkembangan- nya—ada yang meneruskan konvensi dan ada yang menyimpanginya.

PROSIDING

Penerusan konvensi (tradisi) dapat disebut sebagai mitos pengukuh- an, sedangkan penyimpangan atau penolakan konvensi (tradisi) dapat disebut sebagai mitos pemberontakan (Nurgiyantoro, 2002:51—52). Kedua mitos itu wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi (Taeuw, 1983:12), mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan (Nurgiyantoro, 2002:52).

Selanjutnya, berkenaan dengan unsur-unsur pembentuk sandi sas- tra, teknik penulisannya tidak dapat terlepas dari perkembangan sistem tata tulis bahasa Jawa, dari aksara Jawa ke huruf Latin. Pada mulanya, unsur-unsur pembentuk sandi sastra berupa suku-suku kata atau silabe- silabe—karena aksara Jawa bersifat silabik—, kemudian ada yang beru- pa kata dan afiks atau morfem-morfem, baik yang menggunakan aksara Jawa maupun huruf Latin. Setelah sistem tata tulis menggunakan huruf Latin, unsur-unsur pembentuk sandi sastra kebanyakan berupa huruf- huruf atau fonem-fonem. Oleh karena itu, dalam pemilahan tipologi sandi sastra (butir 3) digunakan istilah, misalnya tipe F (-onemik) yang merujuk pada unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang berupa huruf- huruf atau fonem-fonem, tipe S (-ilabik) yang merujuk pada unsur- unsur pembentuk sandi sastra yang berupa suku-suku kata atau silabe- silabe, dan tipe M (-orfemik) yang merujuk pada unsur-unsur pemben- tuk sandi sastra yang berupa kata-kata (dan afiks) atau morfem-morfem (bandingkan Riyadi, 2007:15—16).

Sementara itu, berkaitan dengan pengumpulan data digunakan metode studi pustaka. Teknik pelaksanaannya dengan menelusuri dan mengkaji buku, media masa cetak, manuskrip, dan dokumen lain di berbagai perpustakaan dan di tempat koleksi lainnya. Dengan me- tode dan teknik itu dapat diperoleh data sandi sastra dengan beraneka ragam bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya. Sesudah itu, dilakukan pengolahan data dengan metode deskriptif, dan peng- analisisannya dengan metode deskriptif-analitik. Pengolahan data dilakukan dengan teknik seleksi, identifikasi, dan klasifikasi, sedang- kan kegiatan selanjutnya ialah penganalisisan kompponen-komponen hasil pengolahan (kegiatan) sebelumnya. Misalnya, penganalisisan tipologi sandi sastra yang mencakupi bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya.

3. Tipologi Sandi Sastra

Telah disinggung dalam pendahuluan (butir 1) bahwa berdasar- kan data yang diperoleh, terdapat bermacam-macam bentuk sandi sastra, berbagai teknik penulisannya, dan beberapa gaya penciptaan-

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

5 nya. Selanjutnya, berkenaan dengan unsur-unsur pembentuk sandi

sastra yang selalu berkaitan dengan sistem kebahasan, maka pemi- lahan tipologi sandi sastra dapat dirinci menjadi beberapa tipe, yaitu (1) tipe F, (2) tipe S, (3) tipe M, (4) Tipe S-M, dan (5) tipe F-S-M, sebagai berikut.

3.1 Sandi Sastra Tipe F

Sandi sastra tipe F diciptakan setelah sistem tata tulis mengguna- kan huruf Latin. Sandi sastra tipe F dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) sandi sastra yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik dan (2) sandi sastra yang unsur-unsurnya terletak pada permu- laan kata atau suku kata.

1) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe F pada Permulaan Larik

Sandi sastra tipe F yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik, antara lain, terdapat dalam “Mahargya Hari Natal”, satu bait tembang Dhandhanggula, gubahan Ki Dwidjo (dalam Djaka Lodang, 744/XVI/1986:29), berbunyi “J-a-k-a L-o-dh-a-n-g”; dalam “Ti-Ji-Ti- Beh”, enam bait tembang Asmaradana, karya Ki Bardan Dwidjopoes- pito (dalam Mbangun Tuwuh, 61/10/1998:10—13), berbunyi “H-a-r-i K-e-s-e-t-i-a-k-a-w-a-n-a-n S-o-s-i-a-l N-a-s-i-o-n-a-l I-n-d-o-n-e-s-i- a”, dan dalam guritan “Mojokerto” karya Firman Kasdudi (dalam La- yang Wasiat , 2002:43), berbunyi “M-o-j-o-k-e-r-t-o”. Oleh karena unsur- unsurnya terletak pada permulaan larik, kedua sandi sastra itu berga- ya akrostik. Berikut dikutipkan bait tembang Dhandhanggula tersebut.

(2) Jaka Lodhang nyugata memanis Angastuti pengetan sang kawentar Kaloka sajagad kabeh Almasihi sang Kristus Lair natal sing kenya suci Ora lya king Dyang Maryam DHasar wyosanipun Amung king mujijating Hyang Natal lair roh Allah makuwon mijil Gelar bleger manungsa.

2) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe F pada Permulaan Kata atau Suku Kata

Sandi sastra tipe F yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan kata, misalnya terdapat dalam filsafat ha-na-ca-ra-ka dalam masyarakat Tengger kuna. Masyarakat itu percaya bahwa abjad ha-na-ca-ra-ka

PROSIDING

mengandung ajaran Kejawen sebagai pedoman hidup. Di dalam pe- maknaan ajaran itu terdapat (unsur) abjad yang berupa konsonan sehingga membentuk sandi sastra “h-n-c-r-k-d-t-s-w-l-p-dh-j-y-ny- m-g-b-th-ng”, seperti dalam kutipan berikut (Wardhana, 1996:90).

(3) Hingsun Nitahake Cipta Rasa Karsa Dumadine Tetesing Salira Wadi Laksana Panca Dhawuh Jagad Yekti Nyawiji

Marmane Ganti Balia Thukul Ngakasa Di samping itu, ada sandi sastra dengan penempatan unsur-unsurnya

pada permulaan kata dan suku kata yang membentuk abjad seperti di atas. Sandi sastra itu juga terdapat dalam filsafat ha-na-ca-ra-ka hasil penafsiran Oenarto Timoer (1994:2), seperti dalam kutipan berikut ini.

(4) HaNaning Cipta Rasa Karsa Datan Salah Wahyaning Lampah PaDhang Jagade Yen Nyumurupana Marang Gambarane BaThara Ngaton

3.2 Sandi Sastra Tipe S

Sandi sastra tipe S jumlahnya cukup banyak dan teknik penem- patan unsur-unsurnya bervariasi. Teknik penempatan unsur-unsur pembentuk sandi sastra tipe S itu dapat dibedakan menjadi enam, disajikan berikut ini.

1) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Bait

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan bait terdapat dalam “Pudyastawa dhumateng Radyapustaka Surakar- ta”, sembilan bait tembang Sinom, gubahan R.T. Ranggawarsita (da- lam Nawa Windu Radya Pustaka, 1960:41), berbunyi “Ra-dya Pus-ta- ka Su-ra-kar-ta”. Oleh karena unsur-unsur pembentuk sandi sastra itu terletak pada setiap permulaan bait, dalam contoh berikut hanya dikutipkan larik-larik pertama setiap bait tersebut.

(5) RAras rining kang nagara

(bait 1)

... DYAdiniyaning pangarsa

(bait 2)

... PUSpitaning parepatan

(bait 3)

... TA haweh sukaning jalma

(bait 4)

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

7 KAcarita duk samana

(bait 5)

... SUka pirenaning driya

(bait 6)

... RAsikaning para warga

(bait 7)

... KARsaning risang Pangarsa

(bait 8)

... TAmat pamuji mring warga

(bait 9)

2) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik atau baris, antara lain, terdapat dalam tafsiran filsafat ha-na-ca- ra-ka oleh Sri Mulyono (1978:84—85). Di dalam tafsiran itu, setiap larik atau baris diawali dengan abjad Jawa secara berurutan, dari ha hingga nga, seperti dikutipkan berikut ini.

(6) Hananira sajatine wahananing Hyang Nadyan ora kasat mata mesthi aNa Careming Hyang yekti tan cetha wineCa

Rasakena rakete lan angganiRa Kawruhana jiwa kongsi kurang weweKa

Dadi sasar yen sira nora waspaDa Tamatna prabaning Hyang sung sasmiTa Sasmitane kang kongsi bisa karaSa Waspadakna wewadi kang sira gaWa Lalekna yen sira tumekeng laLis Pati sasar tan wurung manggiha paPa DHasar beda lan kang wus kalis ing goDHa Jangkane mung jenak jemjeming jiwa-raJa Yatnanana liyep luyuping pralaYa NYata Sonya nyenyet labeting kadoNYan Madyeng alam parantunan aywa saMar Gayuhaning tanna liya mung sarwa arGa Bali murba misesa ing njero njaBa THathukule widadarya tebah nisTHa NGarah-arah ing rencana mardiniNGrat

Jika diperhatikan, pada akhir setiap larik atau baris kutipan terse- but dapat membentuk abjad dalam bentuk konsonan “h-n-c-r-k-d-t- s-w-l-p-dh-j-y-ny-m-g-b-th-ng”.

PROSIDING

3) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik Pertama dan Larik Terakhir Setiap Bait

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik pertama dan larik terakhir setiap bait, antara lain, terdapat dalam “Sandi Aksama”, enam bait puisi, karya Prawiromiardjo (dalam Djaja Baja , 36/XI/1957:11), berbunyi “Su-mang-ga-sa-mi A-pu-ra-i-nga-pu- ra”. Puisi itu digubah berkenaan dengan Hari Raya Fitri, seperti berikut.

(7) SUka sukur ing Hyang Suksma dene tumekeng ri mangkya kinarilan nguswa hawa MANGga sabakdaning pwasa.

GAti tumindaking pwasa ing dalem tri-dasa dina cegah boga saben rina

SAnyata gung kang piguna. MIkantuki jiwa raga

udara linatih lapa dahaga tan nginum tirta

Adhakan yen keneng coba. PUguh panggih tyas santosa

lumuh lemer milik donya meleng mligi ing panjangka RAhab mung mamrih tumeka

Ilang tabeting tyas murka katuwuhan asih tresna ngrumangsani titah ina NGAlami cela kuciwo.

PUpunton tekading driya mamrih sirneng sanggya dosa muhung ngajab pangaksama

RAhayu sajagad raya.

4) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik

Jumlah sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik cukup banyak. Sandi sastra tipe S denga teknik itu,

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

9 terdapat dalam “Mengeti para Warga Pangreh ingkang Sampun Ti-

nimbalan ingkang Murbeng Gesang”, dua bait tembang Dhandhang- gula, karya Padmapuspita (dalam Nawa Windu Radya Pustaka, 1960:16), berbunyi “Ra-dya Pus-ta-ka Na-wa Win-du-nya ing Su-ra-kar-ta In- do-ne-si-a”; dalam “Dhawuh Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegara IV tumrap R.Ay. Hilmiyah Darmawan Pontjowolo”, dua bait tembang Sinom (dalam Mbangun Tuwuh, 40/8/1996:20), berbunyi “Ra-sa Ji- nar-wa ma-ring Rek-sa Rek-sa Ngga-wa Wer-di-ning Ra-sa”; dalam wirid “Wulang Weling Wening Dhawuh Dalem K.G.P.A.A. Mangku- nagara IV”, enam bait tembang Maskumambang-Pucung berselang- seling antarlarik (dalam Mbangung Tuwuh, 66/11/1998:27—29), berbu- nyi “Ku-wa-ga-nga Lu-hur La-ku, Ki-nan-ti Ra-sa ing A-sih, An-tep Man-tep ma-ring Ta-ta, Ta-be-ri Ngu-pa-di Ja-ti, Ja-ti-ne Jal-ma Sa- nya-ta, Ti-ni-tah Mang-ku ing Wa-jib” yang dikemas dalam tembang Kinanthi; dalam gubahan K.G.P.A.A. Mangkunagara IV yang telah dikutipkan terdahulu, yakni “Nglu-lu-ri Pa-kar-ti Ja-wi...” (lihat contoh 43 dalam Riyadi, 2007:62) dan dalam Babad Banyumas, berbunyi “San-di Ra-sa lan Is-mi” (lihat contoh 8 dalam Riyadi, 2007:62). Berikut disajikan contoh sandi sastra “Ra-dya Pus-ta-ka Sa-nga Win-du-nya ing Su-ra-kar-ta In-do-ne-si-a” dalam dua bait tembang Dhandhang- gula dan “Ra-sa Ji-nar-wa Ma-ring Rek-sa, Rek-sa Ngga-wa Wer-di- ning Ra-sa” dalam dua bait tembang Sinom.

(8) RAsaning reh sinawung memanis DYAna yoga tinrap ing wardaya

PUSpanjali neng ciptane TAtananing panungku KAtampia de Sang Hyang Widi SAdaya kang wus prapta NGAbyantareng Hyang Gung WINiwala kehing klesa DUnungena neng papaning swarga adi NYAta nir ton slireng Hyang

INGkang dhihin cinandhi neng tulis SUkertane pandirya pratama RAdine sadaya pangreh KARtine kang wus lalu TAbetira nadyan wus lalis INastawa tan sirna DOnganira tulus

PROSIDING

NEtraning pra warga mangkya SInipatken mrih bangkit nepa palupi Anulad kang wus lena.

(9) RAga anon den samia SAmi sukeng nggladhi ilmi JInejer tut swara kepyak NARima warising wuri WAnda wiraga keksi MApan iramaning kawruh RINGgu ngrenggu ja samar REKsa rasa denjajagi SAnti sedya weruha maring uripnya.

REKsa kebak marang rasa SAnepan tembung ing uni NGGAdhang piwulang tan nilar WAngun-winangun mring karti WERdi rasa akanti DImen tata datan kliru NING sedya kang angrusak RAciking tama kaesthi SAmurwat raga sagaduk maring rasa.

5) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Akhir Larik

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada akhir larik amat jarang. Dari data yang diperoleh, baru dapat ditemukan sebuah sandi sastra dengan teknik itu. Sandi sastra itu berbunyi “Ti-yang Pur-wa-san-tun”, terdapat dalam Jaka Lodhang karya K.R.T. Tanda- nagara. Sandi sastra itu tercantum pada bait terakhir tembang Puthugelut, dikutipkan berikut ini (lihat contoh 10).

(10) Prapteng kono jangkane wus tiTI

Pama gancar wa YANG Carangane kang dhina PUR Neng jroning rat Ja WA Tekeng jaman weka SAN Trahira tumrun TUN

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

6) Unsur-unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik dan Akhir Larik

Sandi sastra tipe S dengan penempatan unsur-unsurnya pada permulaan larik dan akhir larik dapat dipilah menjadi sandi sastra dengan (a) gaya akrostik-telestik, (b) pengulangan gaya akrostik-te- lestik, dan (c) gaya lumaksita.

(a) Sandi Sastra Tipe S dengan Gaya Akrostik-Telestik Sandi sastra tipe S dengan gaya akrostik-telestik terdapat dalam dua bait puisi bebas atau guritan. Unsur-unsur pembentuk sandi sas-

tra itu menciptakan abjad Jawa, ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha- ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga”, seperti berikut ini (lihat Hadisoetrisno, 1941:43).

(11) HAnaning titah wiwaHA NAra kinudang mrih iNA CAra cacat cikben murCA RAsa tama wus kasriRA KArep kliru jwa rineKA DAdi wong iku sembaDA TAlering urip tinaTA SAmobahing cipta raSA WAwasen ingkang kuciWA LA ya kuwi sing sok aLA

PAmaprase nganggo taPA DHAwuhing Hyang neng jro dhaDHA JAwaben kanthi prasaJA YA Allah ya Rasul priYA NYAmadi nyawa kang wigNYA MAnus kang bekti agaMA GAdhangan munggah suwarGA BAlik kang canggeh aroBA THAk-thakan mbeksiya nisTHA NGAlamat linalap siNGA

Di samping contoh (11), ada sandi sastra yang membentuk abjad Jawa, “ha-na-ca-ra-ka...” dengan gaya akrostik-telestik, tetapi gaya telestik- nya dibaca dari bawah ke atas. Sandi sastra dengan gaya tersebut terdapat dalam puisi mistis yang diberi judul “Kalacakra” (dalam Mba- ngun Tuwuh , 54/10/1997:18—20). Puisi mistis yang biasa disebut “Ra-

PROSIDING

jah Kalacakra” berbentuk lingkaran dapat dilihat pada lampiran, dan berikut ini disajikan transliterasinya (lihat contoh 12).

(12) HAmung nrima den aweNGA NAtas wedha dimen ceTHA

CAtur tutur kang tumiBA RAhayu tibeng ing angGA KArana ing tata kraMA DArapon slamet ing doNYA TAtanya marang wong liYA SAlami mung ambeg dwiJA WAwaton atur tulaDHA LAbuh labet mara tePA

PAmujiku kang sapaLA DHAsar tembunge wong tuWA JAlaran pangajab biSA YAta yeku mrih sataTA NYAta urip den waspaDA MAnungsa akeh panerKA GAman kang lumaku doRA BAkale gampang kaweCA THArathakan mrih sampurNA NGApura trisna nemaHA

(b) Sandi Sastra Tipe S dengan Pengulangan Gaya Akrostik-Telestik Sandi sastra tipe S dengan pengulangan gaya akrostik-telestik, antara lain, diciptakan oleh Sukirno Mardiwiyoto. Dalam gubahannya yang diberi judul “Handhandhang Rasa”, dua bait tembang Dhan- dhanggula (dalam Mbangun Tuwuh, 47/9/1996:15), terdapat sandi sastra pada bait pertama berbunyi “Mrih Dha E-mut ing Ka-bu-daya- ni-ra” dan “Pi-na-es Trus mrih Ka-su-sra ing Rat” serta pada bait kedua berbunyi “Pi-na-es Trus mrih Ka-su-sra ing Rat” dan “Mrih Dha E- mut ing Ka-bu-dayan-ni-ra”, seperti dalam kutipan berikut.

(13) MRIH budaya Jawa rum tinamPI DHAdhak pra Mpu PLKJ paNA Ebah mosiking pepaES MUTer jantra budi TRUS ING ugeran hesthi tanpa MRIH KAwahyu kang jinanKA BUdi luhur meSU

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

DAYAning reh bau saSRA NIti sastra guna pakarti endahING RAsa rum gandaning RAT.

PInaringaken tandha kartika MRIH NApak tilas wusnya winisuDHA ESthi gumregah jangkahE TRUS maju tansah tuMUT MRIHatosaken budaya gehING KAdhesek kang neneKA SUmusup lumeBU SRAna mbangun kabuDAYAn INGacaran program nagri edi peNI RATing reh kukumiRA

Dengan gaya yang sama, Sukirno Mardiwiyoto juga menciptakan sandi sastra dalam sebelas pupuh tembang (Mijil, Maskumambang, Sinom, Gambuh, Kinanthi, Asmaradana, Durma, Dhandhanggula, Pangkur, Megatruh, dan Pucung), masing-masing tujuh bait. Tiga pu- puh tembang (Mijil, Maskumambang, dan Sinom) dimuat dalam Mba- ngun Tuwuh nomor 49/9/1997, sedangkan pupuh-pupuh yang lain di- muat secara bersambung dalam terbitan-terbitan berikutnya. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan sandi sastra yang terdapat dalam tujuh bait tembang Mijil. Satu bait tembang Mijil terdiri atas 6 larik (gatra).

(14) “Sir Nggo Weh Li-li-pur”; “Di-o-pen-ni Bi-yung” (bait 1) “Di-o-pen-ni Bi-yung”;”Di-sok-ke Sih-i-pun”

(bait 2) “Di-sok-ke Sih-i-pun”;”Di-bo-reh-i Di-dus”

(bait 3) “Di-bo-reh-i Di-dus”;”Di-mong Ben Ni-ni-ru”

(bait 4) “Di-mong Ben Ni-ni-ru”;”Mrih Wong E-ring I-bu”

(bait 5) “Mrih Wong E-ring I-bu”;”Ti-non E-di-ni-pun”

(bait 6) “Ti-non E-di-ni-pun”;”Sir Nggo Weh Li-li-pur”

(bait 7) Sebagai catatan bahwa sandi sastra contoh (13) dapat digolong-

kan ke dalam sandi sastra tipe S-M karena antar-unsur pembentuk sandi sastra itu ada yang bertipe M, yakni “ing”, “daya”, dan “rat” (lihat awal larik 5, 8, bait 1, larik 10, bait 2, larik 5).

(c) Sandi Sastra Tipe S dengan Gaya Pengulangan Lumaksita Sandi sastra tipe S dengan gaya pengulangan lumaksita adalah sandi sastra yang unsur-unsurnya terletak pada setiap akhir larik suatu

PROSIDING

bait kemudian diulang pada setiap permulaan larik dalam bait berikut- nya. Sandi sastra tipe S dengan gaya itu, antara lain, terdapat dalam karya Sukirno Mardiwiyoto yang diberi judul “Sinom Prasetya”, dua bait (dalam Mbangun Tuwuh, 51/9/1997:28). Sandi sastra pada bait per- tama berbunyi “Nga-ti-a-ti Nir Du-ka Cip-ta” dan “Sa-tri-ya-ning Nagri Gung Was-ki-tha” serta pada bait kedua berbunyi “Sa-tri-ya-ning Nagri Gung Was-ki-tha” dan “Ngab-di Nagri sing wus Mardika”. Untuk me- ngetahui secara jelas sandi sastra tersebut, berikut ini dikutipkan dua bait tembang Sinom karya Sukirno itu.

(15) NGAdhep Gusti Sang Maha-SA TInrapken ing siyang raTRI Atur puji nyuwun jaYA

TInebihna memalaNING NIRbaya wong saNAGRI DUmadi rejeki aGUNG

KAtentreman datan WAS CIPta karyane ngebeKI TAta titi angentha ingkang ginanTHA

SAgung manggala lan paNGAB TRI pindhane ber ing buDI YAna yuwana mrih keNA NINGkatken kukuhing naGRI NAGRI kalis ing sing-SING GUNGgunging panggodha kang WUS WASpada datan saMAR KIwa tengen tangan mbuDI THArik-tharik niti program kang jinangKA.

3.3 Sandi Sastra Tipe M

Sandi sastra tipe M, antara lain, terdapat dalam “Susuluh We- ning” karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV (dalam Mbangun Tuwuh, 46/9/1996:2—3). Unsur-unsur pembentuk sandi sastra tipe M itu terle- tak pada permulaan larik dalam empat bait tembang Gambuh, ber- bunyi “Jambuh-ing Kawula lan Gusti, Rinasa Rumangsa wus tanpa Karsa, Amung Ana kang Rinasa Nyata, Dadi Dumadi kang Ngerti Werdi”. Dengan demikian, sandi sastra itu bergaya akrostik. Empat bait tembang Gambuh itu dikutipkan berikut ini.

(16) JUMBUHing rasa iku ING alame layaping aluyup

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

15 KAWULA kewala tan rasa kuwalik

LANdhesing nalar tan melu GUSTI nyawiji dumados.

RINASA amung hayu RUMANGSA ana netra tan ndulu WUS kawengku wewengkone kang Ma Suci TANPA dunung bisa sinung KARSA tan kinarsan yektos.

AMUNG hayu amengku ANA urip ingkang tanpa urub KANG ngerti werdining urip kang sayekti RINASA resep anyusup NYATA nyatiti ing raos.

DADI marsudi laku DUMADI jalmi wijang ing ilmu KANG den-aji laku lampahing utami NGERTI warah tanpa wuruk WERDI wadi tan winados.

3.4 Sandi Sastra Tipe S-M

Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa sandi sastra contoh (13) dapat digolongkan ke dalam sandi sastra bertipe S-M. Unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang bertipe M dalam contoh (13) itu adalah “ing”, “daya”, dan “rat”, sedangkan unsur-unsur lain- nya bertipe S.

Demikian pula, sandi sastra dalam contoh (15) dapat digolongkan ke dalam sandi sastra bertipe S-M karena salah satu unsurnya bersifat morfemik. Unsur yang bersifat morfemik itu adalah “nagri” (lihat akhir larik 5, bait 1, dan awal larik 5, bait 2, contoh 15).

3.5 Sandi Sastra Tipe F-S-M

Sandi sastra tipe F-S-M jarang diciptakan. Dari data yang ter- kumpul terdapat sandi sastra tipe F-S-M yang posisi unsur-unsurnya tidak teratur. Sandi sastra tipe F-S-M itu terdapat dalam karangan yang diberi judul “Kalapa-Kambil” karya R.M.Ng. Nindiyadi (dalam Mbangun Tuwuh , 50/9/1997:9), berbunyi “Kala-pa K-am-bil”, seperti dalam contoh kutipan berikut.

PROSIDING

(17) Bonggan kalamun KALAp lan kalimput adeging naradiPA.

Singkirna lan singkirana parangmuka Kang arsa AMbabar BILahi.

4. Simpulan

Sandi sastra dalam bahasa dan sastra Jawa hadir mengiringi keha- diran sandi asma. Pencipta sandi asma yang pertama kali adalah R.Ng. Ranggawarsita, pujangga terakhir kerajaan Surakarta, sehingga ia disebut pelopor (penggunaan) sandi asma. Beberapa sandi asma sang Pujangga juga disertai sandi sastra (lihat halaman 1). Oleh karena itu, sang Pujangga juga dapat disebut sebagai pelopor (penggunaan) sandi sastra.

Dalam perkembangannya, sandi sastra juga terus hadir sebagai- mana kehadiran sandi asma, baik secara terpisah maupun secara ber- sama-sama (menyertai sandi asma). Tipologi sandi sastra (yang meli- puti bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaan)-nya pun mirip benar dengan tipologi sandi asma. Tipologi sandi sastra terdiri atas (1) sandi sastra bertipe F(-onemik), (2) sandi sastra bertipe S(-ilabik), (3) sandi sastra bertipe M(-orfemik), (4) sandi sastra bertipe S-M, dan (5) sandi sastra bertipe F-S-M. Di antara tipe-tipe itu, sandi sastra ber- tipe S mempunyai berbagai keragaman.

Daftar Pustaka

Dwidjo, Ki. 1996. “Mahargya Hari Natal”. Dalam Djaka Lodang. Nomor 744. Tahun XVI. Yogyakarta. Dwidjopuspito, Ki Bardan. 1998. “Ti-Ji-Ti-Beh”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 61. Tahun 10. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN

Hadisoetrisno, R. S. 1941. Serat Sastra Hendra Prawata. Malang: Boekhandel. Jasawidagda, Ki dan Ki Hadiwidjana. 1954. Sasana Sastra. Jogjakarta: Dwidjaja. Kasduki, Firman. 2002. “Mojokerto”. Dalam Layang Wasiat. Surabaya: Balai Bahasa. Mangkunagara IV, K.G.P.A.A. 1996. “Sesuluh Wening”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 46. Tahun 9. Surakarta: Peguyuban Tridarma MN.

Mardiwiyoto, Sukirno. 1996. “Hadhandhang Rasa”. Dalam Mbangun Tuwuh , nomor 47. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN. _______ “Reroncen Wacana Sinandi”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor

49. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

17 _______ “Sinom Prasetya”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 51.

Surakarta: Paguyuban Tridarma MN. Mulyono, Sri. 1978. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. Padmapuspita. 1960. “Amengeti para Warga Pangreh ingkang Sampun Tinimbalan dening Inkang Murbeng Gesang”. Dalam Nawawindu Radya Pustaka. Surakarta.

Prawiroamiardjo. 1957. “Sandi Aksara”. Dalam Djaja Baja. Nomor 36. Tahun XI. Surabaya. Riffaterre, Michael. 1980. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co. Ltd. Riyadi, Slamet. 1997. “Akrostik, Mesostik, dan Telestik”. Dalam Jawa. Volume I. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa. _______. 2007. Sandi Asma dari Ranggawarsita hingga Rangga Kalayuda. Yogyakarta: Surya Sarana Utama. Ronggowarsito, R.T. 1960. “Pudyastawa dhumateng Radya Pustaka Surakarta”. Dalam Nawawindu Radya Pustaka. Surakarta. Sontodipuro, Widiyatmo (Pemimpin Redaksi). 2000. “Wejangan: Anggitan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunagara IV”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 82. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN.

Suyatno, Suyono dkk. 2000. Antologi Puisi Indonesia Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Timoer, Soenarto. 1994. “Mengkaji Makna Ha-na-ca-ra-ka, Menguak

Hakikat Sangkan Paraning Dumadi”. Makalah. Surabaya. Wardhana, Ki Wisnoe. 1996. “Sastra Jawa sebagai Sumber Pengenalan Jati Diri Budaya Nusantara”. Dalam Mempertimbangkan Sastra Jawa. Semarang: Yayasan Adhigama.

PROSIDING

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

BENTUK-BENTUK TUTUR TAK LANGSUNG DALAM BAHASA JAWA: MEMAHAMI KEMBALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

Edi Setiyanto Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Salah satu hal yang sering diprihatinkan generasi tua saat ini ialah perilaku generasi muda yang dianggap menyimpang dari nilai kearifan lokal. Pada masyarakat Jawa, lazim dicontohkan ialah ketakmampuan generasi muda untuk menggunakan krama sebagai bentuk hormat. Dalam hubungan itu, jarang diperbincangkan ketakakraban generasi muda dengan “bentuk tutur tak langsung”, seperti paribasan, tuturan tak literal, atau parikan ‘pantun Jawa’ yang juga berfungsi menyantunkan tu- turan. Oleh sebab itu, pembicaraan ini membahas bentuk-ben- tuk tutur tak langsung dalam bahasa Jawa. Kajian ini bersifat pragmatik. Teori yang digunakan ialah (1) teori implikatur dan (2) parameter pragmatik (Grice, 1975; Brown dan Levinson, 1978; lih. Wijana, 1996). Berdasarkan itu, berbahasa dipahami bukan semata peristiwa tekstual, melainkan juga peristiwa interaksional, yaitu bagaimana setiap peserta tutur menyikapi citra diri yang ditawarkan lawan tutur. Menyesuaikan dengan cara pandang itu, analisis bersifat situasional dengan memper- timbangkan aspek-aspek yang sifatnya nonkebahasaan. Kajian ini memanfaatkan data yang diambil dari sumber lisan mau- pun tulis. Berdasarkan kajian, pada bahasa Jawa ditemukan enam bentuk tutur tak langsung, yaitu (1) paribasan atau ung- kapan, (2) tindak tutur tak langsung, (3) tindak tutur tak literal, (4) wangsalan, (5) parikan, dan (6) nglulu. Kecuali bentuk nglulu, lima bentuk tutur tak langsung yang lain berfungsi memper- santun tuturan.

Kata kunci: tutur tak langsung, tak literal, muka, muka

negatif, muka positif

PROSIDING

1. Pendahuluan

Salah satu hal yang sering diprihatinkan generasi tua saat ini ialah perilaku generasi muda yang dianggap menyimpang dari nilai kearifan lokal. Pada masyarakat Jawa, salah satu wujud penyimpang- an itu—seperti dipaparkan dalam makalah salah satu pemenang Lomba Esai Remaja Tahun 2011, Balai Bahasa Yogyakarta, Mamlu Atul Karimah—ialah menghilangnya tradisi sapa dan salam dalam kehidupan sehari-hari. Contoh lain, yang justru lazim dikemukakan, ialah ketakmampuan generasi muda untuk menggunakan krama seba- gai bentuk hormat. Ketakmampuan itu, di antaranya, terlihat pada penggunaan kata mriksani ‘melihat’ yang ditujukan bagi diri penutur, seperti pada contoh berikut.

(1) Menawi mekaten, Pak; kula takmriksani papanipun rumiyin. Sasam- punipun, kula nembe wantun ngawis . ‘Jika begitu, Pak, saya melihat dulu tempatnya. Sesudahnya, baru

saya berani menawar.’ Pada contoh (1), berdasarkan penggunaan sapaan Pak ‘Pak, Ba-

pak’ dan bentuk krama yang lain, dapat diketahui bahwa O1 berstatus sosial lebih “rendah” daripada O2. Dengan demikian, kata-kata yang digunakan O1 seharusnya tak berunsur krama inggil. Penggunaan ben- tuk krama inggil mriksani ‘melihat’ seharusnya diganti bentuk krama ningali ‘melihat’.

Seperti halnya pengabaian terhadap sapa dan salam, pembicara- an mengenai merosotnya penerapan nilai-nilai kearifan lokal dalam percakapan sehari-hari juga jarang dikaitkan dengan ketakakraban generasi muda terhadap penggunaan “tutur tak langsung”, seperti paribasan , tuturan tak literal, atau parikan ‘pantun Jawa’. Padahal, seperti disebutkan Brown dan Levinson (1978), untuk mewujudkan percakapan yang kooperatif, setiap peserta tutur harus dapat me- manfaatkan “parameter pragmatik” (yang tak selalu identik dengan krama ) secara tepat. Oleh sebab itu, pembicaraan ini membahas bentuk- bentuk tutur tak langsung dalam bahasa Jawa.

Kajian ini bersifat pragmatik. Teori yang digunakan ialah (1) teori implikatur dan (2) parameter pragmatik. Implikatur adalah hal yang diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, tetapi berbeda dengan yang dikatakan oleh penutur. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud yang tidak tersimbolkan melalui kata maupun modus yang digunakan penutur. Adanya maksud lain itu dapat diperoleh mitra tutur melalui pemahaman terhadap tafsiran lokal dan analogi

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

21 (band. Grice, 1975; lih. Brown dan George Yule, 1996:31, 58—67). De-

ngan demikian, tuturan seperti pada contoh (2) berikut dapat dipa- hami sebagai sekadar pemberitahuan waktu atau justru penanda mak- sud yang lain, yang sebenarnya lebih inti. Hal itu bergantung pada kebiasaan yang berlaku.

(2) A1: “Koran sing anyar neng ndi, Sung?” pitakone Bapak.

“Koran yang baru di mana, Sung?” tanya ayah.” Jika jawaban berupa, “Teng ngarep, Pak. Teng meja tamu” ‘“Di depan,

Pak. Di meja tamu”’, tuturan A1 dipahami sebagai tuturan tak ber- implikatur. Sebaliknya, jika jawaban berupa, “Sekedhap, kula pen- dhetaken, Pak ” “Sebentar, saya ambilkan, Pak”, tuturan A1 dipahami

sebagai tuturan tak langsung dengan implikatur berupa perintah untuk mencarikan koran terbaru .

Untuk teori kedua, dalam kaitan dengan parameter pragmatik, setiap peserta tutur akan memahami bahwa pertuturan bukanlah

semata peristiwa tekstual, melainkan juga peristiwa interaksional. Oleh karena itu, setiap peserta tutur akan menyikapi citra diri yang ditawarkan lawan tutur. Dalam hubungan itu, sikap terbaik dapat diwujudkan dengan menempatkan citra mitra tutur sesuai dengan, misalnya, status atau topik interaksi melalui penggunan kata maupun laras yang tepat (band. Brown dan Levinson, 1978). Secara parameter pragmatik, tuturan (3) berikut tergolong baik jika ditujukan kepada teman dalam situasi yang wajar.

(3) “Wah, pas ra isa. Montore taknggo ngeterke anakku sekolah je.” “Wah, kebetulan tidak bisa. Motor kugunakan mengantarkan anak ke sekolah.”

Namun, tuturan yang sama tergolong tak baik jika ditujukan kepada teman dalam situasi untuk segera dapat mengantarkan seseorang ke rumah sakit. Pada situasi yang seperti itu, penutur dapat memilih tuturan seperti (4) berikut.

(4) “Wah, piye ya. Montore taknggo ngeterke anakku sekolah je.” “Wah, bagaimana ya. Motor kugunakan mengantarkan anak ke sekolah.”

Menyesuaikan dengan cara pandang seperti baru dijelaskan, ana- lisis pada kajian ini bersifat situasional. Dengan demikian, analisis mempertimbangkan aspek-aspek yang sifatnya nonkebahasaan. As-

PROSIDING

pek-aspek itu, secara terperinci, meliputi butir-butir yang lazim dise- but situasi tutur (lih. Wijana, 1996:10—13).

Kajian ini memanfaatkan data yang diambil dari sumber lisan maupun tulis. Sumber lisan ialah tuturan yang terjadi di lingkungan penulis, termasuk tuturan penulis sejauh sudah diujikan ke penutur lain. Sumber tulis berupa majalah, novel, dan buku berbahasa Jawa, termasuk hasil-hasil penelitian yang relevan. Pada novel dan cerpen, data diambil dari bagian yang berupa dialog.

2. Macam Tuturan Tak Langsung dalam Bahasa Jawa

Menurut Grice (1975; lih. juga Setiyanto dkk., 2002:6—8), dalam peristiwa komunikasi, maksud sebuah tuturan dapat diwujudkan da- lam dua cara, yaitu “terlisankan” (said) dan “tersirat” (impicated). Pe- nyampaian secara tersirat terperinci ke dalam empat cara, yaitu (1) “konvensional” (conventionally), (2) “(tak konvensional) noncakapan” ((non-conventionally) non-conversationally), (3) “(cakapan) lazim” ((con- versationally ) generally), dan (4) “((cakapan) khusus” ((conversationally) particularly ). Dalam bentuk diagram, cara-cara pengungkapan itu da- pat digambarkan sebagai berikut.

meant-nn

said implicated

conventionally non-conventionally

non-conversationally conversationally

generally particularly Mendasarkan pada kemungkinan bentuk-bentuk tersirat (implicated)

yang diajukan Grice, pada bahasa Jawa ditemukan enam bentuk tutur tak langsung, yaitu (1) peribahasa, (2) tindak tutur tak langsung, (3) tindak tutur tak literal, (4) wangsalan, (5) parikan, dan (6) nglulu.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

2.1 Bentuk Peribahasa

Peribahasa adalah satu ungkapan kebahasaan yang pendek, pa- dat dan berisi pernyataan, pendapat, atau satu kebenaran umum (Tri- yono dkk., 1988:3). Pengertian peribahasa itu mencakup pengertian bentuk-bentuk yang dalam bahasa Jawa disebut saloka, bebasan, paribasan, pepindhan, sanepa, dan isbat. Sebagai ungkapan yang padat, peribahasa dalam bahasa Jawa mencerminkan pemahaman maupun sikap manusia Jawa terhadap lingkungannya dan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Sebagai satu pegangan hidup, nilai-nilai itu lazimnya diungkapkan secara tidak langsung dalam bentuk perumpamaan- perumpamaan.

(5) Kebentus ing tawang; kesandhung ing rata ‘Terbentur di langit, tersandung di tanah yang rata’

‘Mendapat celaka karena sesuatu yang remeh’ (6) Kebo kaboten sungu

‘Kerbau terberati tanduk’ ‘Sengsara karena pengeluaran yang melebihi pendapatan’

(7) Golek geni adedamar ‘Mencari api berpelita’ ‘Mencari ilmu harus dengan berbekal ilmu’

Pada contoh (5) sifat ketaklangsungan terjadi pada penggunaan tawang ‘langit dan rata ‘rata’ sebagai penyebab kebentus ‘terbentur’ dan kesandhung ‘tersandung’. Kalau tingginya langit dan ratanya jalan menyebabkan seseorang terbentur dan tersandung, hal itu menyirat- kan adanya sesuatu yang di luar perhitungan, yang biasanya berupa hal remeh dan yang karenanya tidak diperhatikan. Pada contoh (6) makna ketaklangsungan digambarkan dengan sungu ‘tanduk’ sebagai penyebab kebo kaboten ‘kerbau terberatkan’. Tanduk, sebagai salah satu anatomi kerbau, secara wajar tidak akan pernah memberatkan. Kalau sampai memberatkan, berarti tanduk terlalu besar atau tidak propor- sional. Ukuran yang terlalu besar itu mengibaratkan pengeluaran yang tidak sesuai dengan pendapatan. Pada contoh (7), sifat ketaklangsung- an digambarkan dengan adedamar ‘berpelita’ sebagai syarat untuk tin- dak golek geni ‘mencari api’. Karena bersifat terang, dalam hal ini api melambangkan ilmu atau pengetahuan. Adanya syarat api untuk memperoleh api menyiratkan bahwa untuk memperoleh ilmu sese- orang juga harus sudah berilmu.

PROSIDING

2.2 Bentuk Tindak Tutur Tak Langsung

Tindak tutur tak langsung adalah tindak tutur dengan modus (penanda maksud) yang tidak sesuai dengan maksud yang sesung- guhnya. Jadi, penggunaan modus tak bersifat konvensional. Misalnya, modus tanya, tetapi dimaksudkan untuk memberi perintah (lihat. Setiyanto, 2006:62—65). Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa dalam bahasa Jawa ketakkonvensionalan penggunaan modus terjadi pada penggunaan modus berita dan tanya yang dimaksudkan untuk memberi perintah. Contoh untuk itu dapat dilihat pada tuturan berikut. (8) A: “Mas, sesuk aku latihan nyanyi tekan bengi je,” sambate adhiku wedok.

B: “Ra sah kuwatir. Sesuk takpethuk! Jam 10 ta?” ‘A: “Mas, besok saya latihan nyanyi sampai malam,” keluh adikku perempuan.

B: “Jangan khawatir. Besok saya jemput! Jam 10 kan?”’ (9) A: “Iki wis meh jam wolu. Ngapa kok Bambang ro Yitna rung ketok?”

B: “Ya wis, taksusule. Kowe ro liyane nunggu kene wae!” ‘A: “Ini sudah hampir jam delapan. Mengapa Bambang dan Yitna belum terlihat?”

B: “Ya sudah, saya susulnya. Kamu dan yang lain menunggu di sini saja!”’

Pada contoh (8) sifat ketaklangsungan terlihat pada penggunaan modus berita, tetapi dimaksudkan untuk memerintah. Adanya im- plikatur perintah, yaitu perintah agar A dijemput, dipahami oleh B. Pemahaman itu didasarkan pada pengetahuan bahwa anak perem- puan yang bepergian sendiri pada jam-jam itu akan dinilai tidak pantas. Sebaliknya, untuk contoh (8) sifat ketaklangsungan terlihat pada penggunaan modus tanya yang dimaksudkan untuk memberi perintah. Adanya implikatur perintah itu, yaitu agar Bambang dan Yitno dijemput, dipahami oleh B. Pemahaman itu, di antaranya, di- sebabkan dengan disebutkannya waktu yang sudah hampir menunjuk pukul 8.

2.3 Bentuk Tindak Tutur Tak Literal

Tindak tutur tak literal adalah tindak tutur yang maksud atau informasi tuturannya tidak sesuai dengan makna kata-kata pemben- tuknya. Dalam bahasa Jawa tindak tutur tak literal hanya ditemukan pada kalimat berita dan perintah (lihat. Setiyanto, 2006:65—67).

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

25 (10) A1: “Ya, jelas wareg. Wong wit esuk wis ngomba-ngombe.”

B1: “Oalah Le, mbok mau ki ya jajan-jajan! Kana saiki mangan dhisik!” A2: “Lawuhe ya wis mateng ta, Mbok?? ‘A1: “Ya, jelas kenyang. Sejak pagi sudah minum terus kok.” B1: “Ya ampun Nak, harusnya tadi singgah ke warung! Sana

sekarang makan dulu!” A2: “Lauknya juga sudah ada kan, Mbok?”’

(11) A1: “Aja diombe lho wedange!” B1: “Wah, kepeneran. Pas ngelak-ngelake je. Nek ana, joge sisan!” A2: “Beres.” ‘A1: “Jangan diminum ya minumannya!” B1: “Wah, kebetulan. Ini sedang haus-hausnya. Kalau ada, yang

untuk nambah sekalian!” A2: “Siap.”’

Pada (10) sifat ketaklangsungan terlihat pada penyebutan ngomba-ngombe ‘berulang minum’ sebagai penyebab wareg ‘kenyang’. Padahal, seperti diketahui, penyebab kenyang ialah makan, bukan minum. Bahwa A sebetulnya lapar terbukti dengan kesediaannya untuk segera makan melalui tuturan Lawuhe ya wis mateng ta, Mbok ‘Lauknya juga sudah ada kan, Mbok?’. Untuk (11) sifat ketaklang- sungan terlihat pada penggunaan bentuk larangan aja diombe ‘jangan diminum’ yang justru dimaksudkan untuk mempersilakan B minum. Bahwa bentuk larangan itu justru dimaksudkan untuk mempersilakan minum diperkuat dengan kesediaan A untuk menyiapkan tambahan minuman jika yang disuguhkan habis.

2.4 Bentuk Wangsalan