Wong Jawa

3.3 Wong Jawa

Pemahaman mengenai citra wong Jawa pada tahap ideologi ada- lah menafsirkan sistem representasi yang menggabungkan ide-ide, konsep, konsep, atau imaji dari orang-orang yang hidup dengan hu- bungan imajiner pada kondisi nyata yang dialami (Makaryk, 1993:559). Ideologi verstehen, dalam sosiologi sastra Wolff, adalah sebuah usaha untuk memahami (verstehen) karya sastra sedekat mungkin dengan cara berpikir pengarang (Wolff,175:6). Turiyo Ragilputro dan Djaimin Kariyodimejo menciptakan “SAL” dan “SG” sebagai sebuah represen- tasi ide dan konsep yang mereka alami.

Alam desa yang diangkat Turiyo sebagai latar dalam guritan “SAL” tidak hanya menggambarkan keadaan geografis semata, tetapi juga memuat perlambangan-perlambangan dalam komunikasi penga- rang-pembaca. Konsep desa digunakan Turiyo Ragilputro karena dia hidup di daerah pedesaan. Turiyo dilahirkan di Kaibon, Ambal, Kebu- men Jawa Tengah pada 7 April 1964. Ibunya bernama Saniyem (alm.), seorang petani, beragama Islam, dan berasal dari etnis Jawa varian Kebumen (Banyumas). Ayahnya bernama Kartopawiro, pernah men- jadi seorang Kamituwa, beragama Islam, berasal dari etnis yang sama pula. Pendidikan SD ditempuh di desa kelahirannya, yakni SD Negeri Kaibon, tamat tahun 1976. Pendidikan SLTP diselesaikan tahun 1981 di SMP Pemda Ambal, Kebumen. Pendidikan SLTA ditempuh di SPG Negeri Kebumen, lulus tahun 1983. Setelah tamat SPG, tahun 1986, ia diangkat menjadi guru SDN Benerwetan, Kecamatan Ambal, Kabu- paten Kebumen (Suwondo, dkk., 2004:399). Sebagai pemuda desa, Turiyo sangat akrab dengan dinamika kehidupan di desa, sehingga gambaran alam pedesaan beserta individu-individu yang hidup dan beraktivitas di desa menjadi perhatiannya dan diekspresikan dalam “SAL”. Melalui representasi pemuda-pemuda desa yang sudah mulai melupakan tanah kelahiran mereka, Turiyo mencoba menggambarkan tone keprihatinan akan hadirnya gaya hidup kota yang dilandasi bu- daya modern.

Kemudahan memperoleh uang memberikan pengaruh bagi pe- muda-pemudi desa untuk pergi ke kota dengan meninggalkan desa tempat tinggal mereka. Mereka memilih menjadi masyarakat urban yang mengejar uang, kekuasaan, dan kemasyuran. Bahkan, pelajar dan mahasiswa yang berasal dari desa ketika sudah memperoleh gelar sarjana enggan pulang ke desa menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan desa.

Sebagai seorang guru, Turiyo mempunyai pandangan pragmatis- didaktis yang diterapkan kepada anak didiknya. Sifat “tut wuri anda-

PROSIDING

yani” kental masuk dalam gaya ekspresi guritan Turiyo. Ini dubukti- kan dengan kekuatan rasa dalam tone yang meninggi pada bagian tembang durma dan dhandhanggula. Di dalam keprihatinan penyair ter- hadap fenomena kemodernan kota yang telah “menculik” generasi muda desa, dia tetap saja dengan rendah hati meminta para pemuda untuk sadar dan mau kembali ke desa tanah kelahiran mereka. Bah- kan, dengan rendah hati dan ketulusan, penyair mendoakan mereka.

Walaupun begitu, seperti analogi ketika meyakinkan murid-mu- ridnya bahwa dengan belajar secara tekun masa depan akan dapat diraih, Turiyo mengajak dan mengingatkan para pemuda desa bahwa mereka akan terjamin hidupnya dengan tetap tinggal dan bekerja membangun desa. Desa mempunyai logika tersendiri untuk “meng- hidupi” penduduknya, sehingga, menurut penyair, para pemuda desa tidak perlu khawatir akan kelangsungan hidup mereka dan mereka dapat mengembangkan diri sesuai dengan talenta mereka. Desa mem- punyai sistem sosial yang teratur, seperti manajemen bercocok tanam dengan memperhatikan siklus alam, budaya panen dan bersih desa sebagai rasa syukur akan hasil panen, gotong-royong, dan lain seba- gainya. Siklus penanggalan yang dipercaya masyarakat desa dapat dimanfaatkan dalam berbagai sisi kehidupan dapat dilakukan oleh orang desa dengan memperhatikan fenomena alam di sekitarnya. Ma- ka, ketika Turiyo menggunakan diksi /gengsi dhong/,/duwe ijasah/ untuk menunjukkan bahwa anak-anak muda sudah tidak mau kem- bali ke desa, dapat disimpulkan bahwa para pemuda tersebut adalah pemalas dan tidak setia terhadap tanah kelahiran mereka. Sifat ter- sebut berimplikasi bahwa mereka tidak mempunyai kreativitas mem- bangun, sehingga tidak mampu melihat potensi desa dan kekayaan yang dipunyai mereka untuk dikembangkan. Representasi desa-kota mengimplikasikan dua kutub, yaitu lokalitas dan modernitas. Mo- dernitas telah mencabut para pemuda/generasi muda dari asal-usul- nya, bahkan mereka telah kehilangan jati diri mereka. Pengingkaran jati diri tersebut terungkap dari sikap mereka yang menafikan desa sebagai tanah kelahiran yang membesarkan mereka. Idealisme penyair dengan mengekspresikan tone keprihatinan pada keadaan yang diha- dapinya adalah harapan besar terhadap generasi muda supaya tidak terpengaruh oleh budaya modernitas yang menyesatkan. Lebih lanjut, harapan penyair tertumpu pada pemuda supaya setia dengan desa, berkreasi membangun desa dengan talenta mereka, sehingga kehi- dupan di desa akan semakin terjaga dengan kearifan lokalnya.

Harapan yang muncul melalui tone dalam ekspresi guritan juga dimunculkan oleh Djaimin Kariyodimejo dalam “SG” dengan meng-

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

247 ambil lambang siter sebagai media ekspresinya. Siter sebagai salah

satu instrument gamelan Jawa digunakan Djaimin menjadi metafora nadi kehidupan manusia yang perlu dan mampu diseimbangkan un- tuk memperoleh keselarasan jiwa-raga. Presentasi kehidupan yang berkonotasi pada perjuangan hidup di kota (representasi jagad) me- merlukan pengendalian diri. Pengendalian diri diperlukan untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin supaya segala tindakan manu- sia tidak arogan dan bernafsu hanya untuk mengejar uang, kekuasaan, dan kemasyuran belaka.

Gambaran kehidupan kota dialami sendiri oleh Djaimin K. yang lahir di Yogyakarta tahun 1939 dan tinggal di Jalan Gedongkiwo 55, Yogyakarta. Djaimin berbeda dengan pengarang-pengarang sastra Jawa pada umumya yang berprofesi sebagai guru. Djaimin tidak tamat SLTP dan jalan hidupnya tidak senyaman para pengarang lain. Dia bekerja sebagai buruh srabutan, namun pekerjaannya tersebut telah mampu menghantarkan dirinya menerjemahkan dan mempresentasi- kan pemahamannya terhadap wong cilik melalui guritan dan cerkak- nya (Suwondo, dkk. 2004:152). “Siter Gadhing” adalah salah satu karya Djaimin K. yang selalu berpihak pada orang-orang kecil dan dinamika kehidupannya. Perjuangan hidup untuk tetap semangat dan tidak cengeng menjadi kredo kepengarangannya.

Rasa cengeng akan menimbulkan kemalasan. Kemalasan itulah yang juga “diusik” oleh Turiyo ketika menggambarkan eksodus re- maja yang sudah enggan “membangun” desa. Djaimin pun meng- ingatkan kepada kita bahwa untuk menghadapi “osiking jagad” kita harus behati-hati dan waspada seperti senar siter yang mudah putus jika tidak disetel dengan hati-hati dan tepat. Ibarat senar siter yang halus, “kita” masing-masing mempunyai talenta yang bermacam-ma- cam, seperti juga senar siter yang mempunyai beraneka nada. Jadi, lebih baik “kita” mengoptimalkan talenta di tempat kita berada dan berselaras dengan lingkungan untuk menciptakan keadaan dan suasa- na hati yang menyenangkan dan indah /nuju prana/. Yang penting adalah berusaha dan tidak malas. Sebagai seorang pekerja keras, Djaimin sadar dan percaya bahwa jika kita mau bekerja dan berusaha dengan tulus /kanthi swara sutra/, maka bukan tidak mungkin kita akan mampu menghasilkan karya yang besar, bahkan lebih dari yang kita bayangkan /sapa ngerti kwawa ngeluk wesi gligen/.

Pembahasan mengenai “SAL” dan “SG” mengerucut pada hasil citraan tentang wong Jawa, bahwa wong Jawa adalah wong atau orang yang secara sadar mau menghargai dan mencintai tanah kelahirannya. Desa dianalogikan sebagai tanah Jawa atau tempat yang masih kuat

PROSIDING

memegang kearifan-kearifan lokal yang perlu dipertahankan. Sedang- kan kota menyimbolkan modernisasi dan globalisasi yang sudah sa- ngat mempengaruhi generasi muda dalam segala aspek kehidupan. Maka, ketika ada ungkapan “wong Jawa ilang Jawane” dapat dimaknai sebagai orang Jawa yang sudah tidak lagi peduli, tidak lagi setia, dan tidak lagi mau membangun tanah kelahirannya walaupun orang Jawa tersebut mempunyai talenta yang dapat dikembangkan untuk disum- bangkan kepada tanah kelahirannya. Talenta yang dapat disumbang- kan, salah satunya, adalah talenta menulis karya sastra Jawa. Kesadar- an akan jati diri generasi muda tersebut akan memunculkan kesela- rasan pikiran dan tindakan mereka, sehingga mampu memaksimalkan talenta mereka melalui kreativitas belajar dan bekerja membangun tanah kelahiran. Jadi wong Jawa yang dimaksud adalah generasi muda yang mau peduli dengan kearifan lokal yang tercermin dalam kebu- dayaan Jawa. Kepedulian itu mengejawantah dari kesadaran dan ke- relaan untuk menyumbangkan talenta mereka untuk tetap menjaga dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Menghasilkan karya sastra Jawa (guritan) adalah salah satu wujud nyata kiprah remaja sebaga wong Jawa .