Metafor Simbolik

5.2 Metafor Simbolik

Pada simbol, hubungan antara penanda dan petanda bersifat ar- bitrer (manasuka). Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendi- rinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional atau simbol lokal, personal, dan universal.

5.2.1. Simbol Lokal

Simbol lokal berkaitan dengan sifat kultural. Dalam ungkapan tersebut simbol lokal (Jawa) terdapat pada tanda-tanda yang diguna- kan seperti sapi ‘sapi’, kebo bongkang ‘kerbau tua’, gajah, timun wuku ‘ketimun kecil’, dan macan ‘harimau’.

Dalam bahasa Jawa kata sapi bersinonim dengan lembu. Kata lembu biasa digunakan untuk memberi nama tokoh bangsawan atau tokoh besar seperti Lembu Sura (dalam wayang) atau Lembu Ampal (dalam sejarah kerajaan Singasari). Maka dalam konteks ini kata sapi meru- pakan penanda simbolis tokoh Lembu Peteng (putra Raja Brawijaya, Majapahit). Seperti halnya sapi, kata kebo ‘kerbau’ merupakan penanda

PROSIDING

(simbol lokal) dari tokoh bangsawan Kebo Kenanga dan Kebo kanigara. Di dalam sejarah Jawa Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara adalah sau- dara seperguruan. Namun, saying di akhir hayatnya, mereka memilih jalan yang berbeda.

Penggunaan nama “gajah” seperti dalam ungkapan “gajah meta” ‘gajah mengamuk’ merupakan penanda (simbolik) dari tokoh Dirana yang memberontak terhadap raja yang dianggapnya semena-mena. Penanda simbolik bisa dilakukan karena adanya persamaan sikap, kebe- ranian, kekuatan, dan sebagainya. Gajah yang mengamuk tidak akan takut menghadapi siapa saja. Demikian juga seorang tokoh Dirana berani menghadapi kekuatan besar seperti ribuan prajurit kerajaan. Namun, karena kekuatannya tidak seimbang, ia tertangkap dan dihu- kum picis.

Selanjutnya, secara simbolik timun wuku ‘ketimun kecil’ menjadi penanda (simbolik) dari tokoh Sutawijaya (calon raja Mataram yang pertama) yang akhirnya bergelar Panembahan Senapati. Di dalam peribahasa Jawa terdapat ungkapan “Timun wungkuk jaga imbuh” ‘timun kecil sebagai cadangan’. Sutawijaya disamakan dengan timun karena di dalam perebutan kekuasaan dari Pajang ke Mataram, Sutawijaya hanyalah sebagai alat atau cadangan, bukan peran utama. Setelah pe- perangan dimenangkan, ia didaulat menjadi raja menggantikan Sultan Adiwijaya di Pajang.

Di samping timun, macan juga merupakan penanda simbolik dari tokoh Pangeran Puger. Pangeran Puger disimbolkan dengan macan ‘harimau’ (dalam ungkapan “Ana wong ngoyak macan” ‘ada orang yang mengejar ‘singa atau harimau’).

5.2.2. Simbol Personal

Di samping simbol lokal (kultural) dalam ungkapan itu juga ter- dapat simbol-simbol personal. Simbol personal terlihat pada ungkapan bumbung , gajah meta, ayam, dan keyong gondang. Kata bumbung ‘potongan bambu yang belum dibelah’ sebagai simbol perangkap tawanan me- rupakan sesuatu yang personal. Di samping itu, bumbung merupakan kiasan dari perangkap atau penjara. Makna semacam itu akan diketahui jika pembaca mengenal konteks sosial dan personal.

Di samping kata bumbung sebagai simbol perangkap, dalam unen- unen itu juga terdapat kata kata wit sidaguri ‘nama rumput sidaguri’. Di zaman sekarang, rumput sidaguri bisa dimanfaatkan untuk mengobati sakit tekanan darah tinggi. Dalam hal ini simbol lokal personal tampak pada pilihan kata sidaguri sebagai kiasan dari pohon beringin di alun-

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

207 alun kraton. Jadi, gajah meta cinancang wit sidaguri berarti gajah yang

sedang mengamuk kemudian ditangkap dan diborgol (ditali) dengan pohon beringin.

Selanjutnya, simbol personal juga terlihat pada kata “cineker ayam” dalam baris mati cineker ayam. Cineker ayam memberi makna yang personal. Ayam termasuk jenis binatang sembelihan yang dikonsumsi oleh manusia. Namun, dalam hal ini, ayam dijadikan sebagai simbol rakyat jelata. Pernyataan tersebut bersifat ironi, dalam arti bahwa ke- matian Dirono terkesan sangat nistha karena rakyat dilibatkan ikut mengadili dengan hukum picis, yaitu mengiris tubuhnya dengan kulit bambu atau siladan hingga tewas.