Landasan Teori dan Metodologi

4. Landasan Teori dan Metodologi

Penelitian “Wong Jawa dalam guritan “Serere Adhuh Lae” karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” karya Djaimin Kariyodimejo” tidak diawali dari tinjauan terhadap serat-serat Jawa, seperti Wedhatama, Wulang Reh, atau Panitisastra yang sarat akan ajaran moral dan pitutur luhur bagi tata kehidupan orang Jawa atau buku-buku populer yang sudah menyarikan ajaran-ajaran tersebut seperti Nasihat Hidup Orang Jawa karangan Iman Budi Santoso (2011) terbitan Diva Press, Etika Hidup Orang Jawa karangan Suwardi Endraswara (2010) terbitan Na- rasi, Etika Jawa karangan Frans Magnis Suseno (1983) terbitan Kanisius, Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa yang disusun oleh Sartono Kartodirjo dkk. (1988) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk lebih mendekatkan jagat Jawa (pemahaman mengenai wong Jawa) de- ngan penalaran remaja, khususnya penulis sastra Jawa yang aktif di SSJY, penelitian ini diawali dengan mengambil objek materi dua gu- ritan karya anggota SSJY. “Serere Adhuh Lae” (SAL) karya Turiyo Ragil- putro dan “Siter Gadhing” (SG) karya Djaimin Kariyodimejo. Kedua guritan tersebut pernah memenangi lomba dan penghargaan kesas- traan. “SAL” karya Turiyo Ragilputro pernah menjadi juara lomba penulisan puisi yang diadakan oleh Taman Budaya Yogyakarta dan Dewan Kesenian Yogyakarta dan diterbitkan dalam Antologi Geguritan dan Cerita Cekak oleh Taman Budaya Yogyakarta tahun 1991, sedang- kan “SG” karya Djaimin K pernah menjadi pemenang hadiah Rancage tahun 1997.

Guritan, sebagai salah satu genre karya sastra, merupakan ak- tualisasi atau realisasi dari suatu sistem konvensi atau kode sastra dan budaya (Teeuw, 1980:11). Guritan, menurut Zoetmulder (1982:560), adalah tulisan, komposisi, terutama, dalam bentuk puisi. Pengertian guritan tersebut mengacu pada geguritan sebagai puisi ga- grag anyar atau puisi Jawa modern yang mempunyai kebebasan dalam tata tulis. “SAL” dan “SG” memuat sistem konvensi atau kode sastra dan budaya Jawa, maka kedua guritan tersebut dihadirkan sebagai objek materi untuk menggambarkan wong Jawa.

Menyitir pernyataan Elizabeth dan Tom Burns (1973: 9) bahwa kesusastraan hadir sebagai upaya untuk memberikan pertimbangan mengenai kehidupan kita, maka kehadiran “SAL” dan “SG” dapat dimaknai dan dibaca sebagai karya sastra yang diciptakan sebagai usaha positif dalam membangun kehidupan sosial budaya masyarakat yang diwakilinya. Sebagai produk sosial (Wolff, 1981:12), “SAL” dan “SG” dihasilkan dengan muatan-muatan arti (meaning) dan pesan (messages) yang terdapat di dalam perlambangannya.

PROSIDING

Pembahasan “SAL” dan “SG” dilakukan menggunakan pende- katan sosiologi sastra, sedangkan langkah penelitian memanfaatkan teori sosiologi sastra Janet Wolff. Wolff (1981:1) mengemukakan tiga bagian dasar metodologi pendekatan sosiologi sastra verstehen untuk menunjukkan bahwa sebuah karya dapat dipahami sebagai produk sosial dengan perspektif sosiologi. Tiga langkah pendekatan tersebut, yaitu menemukan fenomena sosial budaya masyarakat yang menonjol dalam lebenswelt (dunia sosial) yang menjadi latar belakang karya (ta- hap fenomenologi dan konstruksi sosial dunia). Pada tahap ini kondisi sosial budaya masyarakat Jawa dipaparkan dengan memfokuskan pa-

da fenomena sosial masyarakat Jawa yang dianggap menonjol atau khusus atau baru yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Feno- mena kemodernan yang sudah merambah kehidupan masyarakat de- sa adalah fenomena sosial budaya yang menonjol dan menjadi fokus pembahasan dalam “SAL” dan “SG”.

Selanjutnya adalah tahap menemukan perlambangan dalam “SAL” dan “SG” (tahap bahasa dan pengetahuan dunia). Perlam- bangan diperoleh dari catatan-catatan mengenai indeks sosial budaya Jawa yang terdapat dalam “SAL” dan “SG” berupa nama-nama khas Jawa, seperti nama orang, sapaan, nama tempat, pola pikir masyarakat, sistem kepercayaan, dan berbagai hal yang menjadi bagian dari entitas kehidupan masyarakat Jawa dalam aktivitas kehidupan mereka se- hari-hari. Perlambangan yang diperoleh, kemudian, “dibaca” secara heuristik dan hermeneutik untuk menemukan arti (meaning) di balik penghadirannya.

Tahap terakhir adalah menemukan ideologi pengarang yang di- hadirkan melalui arti (meaning) yang diperoleh. Untuk memperoleh meaning , tahap interpretasi isi karya sastra dilakukan dengan bantuan filsafat hermeneutik dan ideologi (Wolff, 1975:5). Dengan demikian, metodologi penelitian “SAL” dan “SG” dilakukan melalui tiga tahapan tersebut untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, yaitu me- nemukan citra atau gambaran wong Jawa dalam “SAL” dan “SG”.