Spesifikasi pada Bentuk

5.2.2Spesifikasi pada Bentuk

Puisi-puisi Indonesia yang dimuat di surat kabar Minggu Pagi memiliki berbagai spesifikasi bentuk ekspresi, yaitu (1) lirik prosa, (2) mantra, (3) imajis, dan (4) lugu.

5.2.2.1 Ekspresi lirik prosa

Puisi dengan bentuk ekspresi lirik prosa ialah jenis puisi yang berupa cerita, tetapi cenderung mengemukakan ide, pikiran, dan pera- saan penyair. Puisi dengan menggunakan bentuk ekspresi lirik prosa juga ditemukan dalam MP. Bentuk ekspresi itu—dimofikasi menjadi lirik prosa—merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya yang per- nah dikembangkan oleh Chairil Anwar. Puisi “Kuburan kuncen” karya Muhammad Husen Kertanegara (10 Mei 1981) berikut, misalnya, ditu- turkan dengan bentuk dan tatanan larik seperti bentuk puisi pada umumnya. Namun, puisi ini secara keseluruhan menekankan pada unsur penceritaan secara prosa.

Dengan baju lengan pendek celana warna coklat membawa langkahku memasuki kuburan kuncen. Dengan tanpa kepastian tujuan tiba-tiba muncul cintaku pada kuburan. Menarik nafas biar senggang, menangkap makna yang bakal tersangkut. Di sinilah saat munculnya siapa aku, siapa bumi, siapa gunung, siapa batu, siapa rumput, siapa langit.

PROSIDING

Orang telah terlanjur memberi nama nisan Dan aku menghitung satu-satu. Telah terbangun rumah-rumah dan saat kutanyakan siapa punya? jawabnya ada padaku. Aku pun tahu pada suatu saat nanti bakal terjadi pertempuran dan pertikaian perebutan bingkah-bingkah tanah kuburan. Dan membawa korban manusia. Kemudian dikuburkan di situ juga Kuburan Kuncen sangat luas seluas sandal jepitku yang telah membawa langkah cintaku pada kuburan, di bawah rindang pohon bau kembang Kamboja tibalah giliran orang yang membutuhkan makan Menjelang Romadhon: ambil kipas-tiup tungku kemenyan kemudian mendapatkan uang Kuburan bukan melulu tempat pembaringan Kuburan kuncen telah menjadi lapangan pekerjaan ya, ini membantu bangsaku yang bakal murah sandang pangan dalam era pembangunan

Kuburan kuncen sangat luas seluas sandal jepitku yang telah membawa langkah cintaku pada kuburan, di bawah rindang pohon bau kembang Kamboja ibu dengan seorang putranya: membawa kantong plastik tongkat bambu mencari siput untuk dimakan. Ah, sengaja aku catat seorang ibu telah memproklamirkan siput untuk lauk makan bangsaku.

sekarang tentang kematian dan eksesnya semua orang pasti kedatangan masa yang merenggang mengapa barang yang pasti mesti ditakuti bukan hanya seorang Plato yang berkata tentang kekuatan di balik wadak diri manusia. Seperti aku meyakini puisi ini barang kesenian. (Namun puisi pun sekaligus racun diri. maka lebih baik diam jangan bicara soal keyakinan).

kuburan Kuncen sangat luas nisan bertebaran daun kering berhamburan dalam langkahku yang penuh keyakinan ketika aku masuk lebih dalam kudengar Azan dari luar kuburan

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

225 ada gemerincing dari kucur-kucur darahku

ada matahari di atas ubun-ubunku dan kakiku tercelup ke dalam lautan batu

maafkan aku Tuhan, ya maafkan aku, Tuhan puisi hanyalah sekedar nisan-nisan puisi hanyalah sekedar tonggak-tonggak pengabdian yang pernah sekali waktu penyair bersembah

aku bangkit dengan sandal jepit kulangkahkan kaki keluar batas makam, kuburan. Masjid yang dingin yang ada di luar kumasuki denganpuisi segenggam ya, siapa aku? Apakah sebutan untukku? sembahyang duhur jawaban kepastian.

Puisi dengan bentuk lirik prosa tersebut mencoba mengangkat suasana kuburan Kuncen yang telah beralih fungsi. Dalam puisi itu “aku” sebagai saksi bahwa kuburan Kuncen bukan hanya sebagai huni-

an orang-orang yang meninggal dunia, tetapi juga menjadi lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Puisi itu meru- pakan kritik sekaligus saran agar manusia selalu ingat dan tidak melu-

pakan Tuhan sebelum kematian datang menjemput. Puisi dengan bentuk ekspresif lirik prosa yang lain, misalnya “Malioboro” karya Munawar Syamsudin (16 Februari 1986), “Mari Ke”

(20 Desember 1981), “Membaca Kehidupan” (11 Desember 1983) dan “Kucing Pasir Putih” karya Ragil Suwarno Pragolapati (Mg. V, Agustus 1986), “Mangkunegaran” karya Andrik Purwasito (Mg I, September

1986), “Lagu Tentang Seorang Ledhek” karya Linus Suryadi Ag. (1986), “Perempuan-Perempuan” karya M. Husen Kertanegara (8 Maret 1981), “Daerah Kenangan” karya Bambang Supriyohadi (30 Agustus 1981),

“The Last Sadness Song (Rhapsodia)” karya Endang Susanti Rustamaji (Mg. I, Januari 2000), “Aceh Mencintaimu Hingga Kini adalah Meng- hirup Asap Ganja” karya Salman Yoga (Mg II, Januari 2000), “Sajak

Seorang Prajurit” karya Suminto A Sayuti (30 Januari 1983), “Kisah Penjaga Kamar Mayat Pada Suatu Malam Jumat” karya Iman Budi San- tosa (Mg IV, April 2000), “Laki-Laki yang Ditembus Tiga Peluru” karya

Boedi Ismanto S.A. (Mg III, September 2000), dan sebagainya.

5.2.2.2 Ekspresi Mantra

Menurut Pradopo, (1995:51), puisi berbentuk mantra memper- gunakan sarana kepuitisan berupa: ulangan kata, ulangan frase/

PROSIDING

ulangan kalimat (baris-baris) berupa parelelisme, dikombinasi dengan hiperbola dan enumerasi untuk mendapatkan efek sebanyak-banyak- nya. Di samping itu, dieksploitasi tipografi yang sugestif, diperguna- kan kata-kata nonsense yang secara linguistik tidak berarti, seperti satuan bunyi tak berarti, kata-kata diputus-putus, di balik suku kata- nya secara metatesis, diulang berkali-kali salah satu suku katanya. Semua itu untuk mendapatkan makna baru.

Puisi-puisi Indonesia yang dimuat di surat kabar MP tahun 1980—2000 juga memiliki spesifikasi bentuk ekspresi Mantra. Bentuk mantra itu merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya yang dikembangkan oleh Sutradji Calzoum Bachri, hanya tidak banyak me- munculkan kata-kata nonsense. Puisi dengan bentuk mantra itu, misal- nya, terdapat dalam “Menggelar” karya Rachmat Djoko Pradopo (1986) berikut.

Waktu menggelar waktu dari waktu ke waktu tempat menggelar tempat dari tempat ke tempat orang-orang menggelar apa-apa yang bisa digelar mengisi ruang mengisi waktu

kami sendiri yang tak menggelar apa-apa tak menggelar waktu tak menggelar tempat tak menggelar kerja, tak menggelar mainan kami orang-orang lemah orang-orang tersisih tak kebagian ruang tak kebagian waktu tak kebagian mainan tak kebagian kerjaan kami tak menggelar apa-apa kecuali lamunan sia-sia impian tanpa makna

lihatlah kami menciut lihatlah, kami tertutup kami tertutup ruang, tertutup waktu kami tertutup kesempatan tertutup yang membeku kami orang-orang tanpa daya orang-orang tersisih dari jalan raya

Perulangan kata “menggelar” pada setiap baris (1—3, 5—7, dan 11), dan “kami” tersebut memperlihatkan bentuk ekspresif mantra. Se- lain itu, perulangan bunyi “r”, “u”, “t” hampir di setiap baris menim- bulkan nada yang padu dan indah. Perulangan kata itu untuk me- nyampaikan maksud secara berlawanan, misalnya, antara kaya-miskin, senang-susah, dan kehidupan orang pekerja dan pengangguran. Pe- makaian ironi dalam puisi itu digunakan agar pembaca berbelaskasihan terhadap orang-orang lemah/yang terpinggirkan.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

227 Puisi dengan bentuk/gaya mantra juga ditemukan dalam “Sa-

lam” karya Bambang Supriyohadi (15 Maret 1981), “Masmur Pantai Krakal” karya Bambang Sulistyanto Bernadus (10 Mei 1981), “Sajak Malam” karya Arwan Tuti Artha (11 Maret 1984), “Pilihan yang Me- milih” karya Rh. Djoko Pradopo (1986), “Kebenaran” karya Evi Ida- wati (Mg II September 2000), dan “Riwayat” karya Zainal Arifin Thoha (Mg II, Desember 2000).

5.2.2.3 Ekspresi Imajisme

Bentuk ekspresi imajisme juga cukup banyak mendapat perhatian penyair karena sudah muncul pada periode sebelumnya, misalnya pada puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Cukup banyak puisi- puisi di surat kabar MP yang menggunakan bentuk imajisme sebagai ungkapan ekspresinya. Puisi-puisi itu, misalnya, “Cinta Sang Buri- srawa” karya Akhmad Supriyohadi (14 Juni 1981), “Catatan dalam Diam” karya Wong Agung Satrio Lanang (5 Juli 1981), “Lanskap Kota” karya Sunardian Wirodono (No. 42, 2 Maret 1980), “Tuhan Meludah” karya Emha Ainun Najib (7 Desember 1980), “Stupa” karya Linus Suryadi Ag. (Desember 1983), “Lagu Pemetik Gitar” karya Dorothea Rosa Herliany (2 Oktober 1995), “Intimidasi” karya Mathori A Elwa (11 Februari 1996), “Kita Adalah” karya Dharmadi Sosropuro, (1 Januari 2000), “Parangkasumo Malam Hari” karya Sri Wintolo Akh- mad (Mg IV, Oktober 2000), “Malam Antara Malioboro-Vredeburg” karya Ulfatin Ch. (Mg.IV, Desember 2000), dan sebagainya.

Melalui bentuk ekspresi imajisme, Akhmad Supriyadi dalam “Cinta Sang Burisrawa” mencoba mengangkat kisah pewayangan Burisrawa yang mencintai Genduk Lara Ireng sebagai berikut.

Duh genduk, lara ireng

hari-hari berkembang memburu nafsu rimba jadi malam pekat dan angin mengeluh di ambang cendela sambil mendekam rindunya

duh genduk laraireng

di sela reranting kau rintis jalan musim ranjangnya mimpi rebah dan segarnya sang bagaskara

duh genduk laraireng wangi esemmu obat lumpuh

Penyair lewat puisi tersebut mencoba untuk membangun imaji- imaji dengan kiasan “Cinta Sang Burisrawa” sehingga menimbulkan

PROSIDING

suasana romantik. Endapan rasa cinta di hati Burisrawa mampu ‘me- lumpuhkan jiwa’nya sehingga wangi esemmu ‘senyum manis dari Gen- duk Laraireng (Wara Sembadra)’ diharapkan dapat mengobati ke- rinduannya. Dengan pengiasan tersebut, tergambar kecintaan dan kerinduan Burisrawa yang mendalam pada Genduk Lara Ireng. Di samping itu, terdapat puisi-puisi-pendek yang cenderung disebut puisi imajisme karena di dalamnya terkandung pikiran yang padat, dan pikiran tersebut tersirat dalam gambaran angan penyair. Berikut tiga dari tujuh bentuk ekspresi puisi imajis yang digunakan Lephen Pur- waraharja: “Malioboro”, sesak jejal nafas/raga mal rebah di sudut/kesunyian di keramaian’’// ; “Parangtritis”, pelabuhan api asmara/pantai sperma mem- bara/matahari membakar gubuk//; “Kalicode”, mengalir air orang kampong/ curam tajam meratap jurang/buang duka hilang suka// (April 2000). Puisi tersebut menggunakan latar (tempat) budaya daerah di Yogyakarta. Dengan pengiasan tersebut tergambar suasana pantai Parangtritis se- bagai ‘tempat “berlabuhnya” sepasang muda-mudi yang sedang dima- buk asmara’; suasana kontradiktif kota Malioboro yang penuh sesak, manusia berjejal menikmati keindahan kota, sementara, kesunyian di tengah keramaian menghinggapi hati penyair; dan suasana kehidupan orang-orang di pinggiran Kalicode yang hidup dalam suka-duka.

5.2.2.4 Ekspresi Lugu

Puisi dengan bentuk ekspresi lugu mempergunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-kata serebral, kalimat- kalimat biasa atau polos (Pradopo, 1995:51). Masih ada beberapa penyair di surat kabar MP yang menulis puisinya dengan menggunakan kata- kata sederhana yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Na- mun, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan bentuk puisi yang lain (imajisme dan mantra).. Puisi dengan bentuk ekspresi lugu itu, misalnya “Kado Ulang Tahun Buat Istriku” karya Achmad Supriyadi (11 Mei 1986), “Puisi Pagi Burung Prenjak” karya Krisna Miharja (3 Februari 1980), “Untuk Murid-Muridku” karya Nana Ernawati (Mg.I Oktober 1986), dan “Petani” karya Rh. Djoko Pradopo (1986), dan seba- gainya.

Berikut, misalnya, puisi “Bilung Grundelan” karya Achmad Supriyadi (11 Mei 1986) yang diungkapkan dengan ekspresi lugu.

Waduh, nasib awak jadi wong cilik Dapat dapukan apa saja tetap kojur Ke sini digencet, ke sana dipepet Tak ada yang enak kecuali tidur

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

229 Ngalor ngidul harus pakai seragam

Alhamdulillah... negeri pacak baris Dasi kupu-kupu pun jatah pembagian Warga Alengka ngantor serba necis

Tidak rapi batin ya rapi badan Hem batik katok famatek, lumayan Pakaian seragam kecemplung comberan Astagafirullah! Togog congklang

Dasar sial numpak sepeda kejeglong Beras kupon 6 bulan di pundak tumpah.

Puisi tersebut dipenuhi kata-kata daerah dan latar budaya daerah (Jawa), seperti grundelan ‘menggerutu’, wong cilik ‘orang kecil’, dapukan ‘peran’, kojur ‘celaka’, digencet ‘dianiaya’, dipepet ‘dijepit’ dan sebagainya. Penggunaan kata-kata daerah dan lat budaya daerah itu untuk member warna lokal dan ekspresivitas. Secara umum, kata-kata yang dipergu- nakan penyair dalam puisi tersebut relatif sederhana sehingga makna puisi itu secara keseluruhan tidak terlampau sulit untuk dicerna. De- ngan pengungkapan yang polos, puisi itu untuk mengungkapkan kritik sosial atas kesewenang-wenangan pihak penguasa terhadap kaum le- mah. Bentuk ekspresi dengan menggunakan puisi lugu tersebut secara estetis mampu memberikan citra puisi-puisi di surat kabar Minggu Pagi.