“Semut Ireng Anak-anak Sapi”

4.1.1Baris I “Semut Ireng Anak-anak Sapi”

“Semut ireng” merupakan metafora dari tokoh bernama Dewi Sapudi yang berasal dari daerah Wandan Kuning. Ia juga dikenal de- ngan nama Putri Wandan Kuning. Daerah Wandan termasuk jajahan kerajaan Majapahit. Dewi Sapudi disamakan dengan semut ireng ‘semut hitam’ karena warna kulitnya yang hitam manis seperti orang Negro. Adapun menurut sejarahnya, Putri Wandan adalah putri boyongan yang dipekerjakan menjadi kepala juru masak di kraton Majapahit.

Selanjutnya, kata-kata anak-anak sapi berarti ‘beranakkan sapi’. Kata sapi dalam hal ini merupakan metafora dari tokoh Lembu Peteng atau Bondhan Kejawan. Di dalam kosa kata Jawa kata sapi dan lembu memiliki makna yang sama. Sementara itu, kata peteng berarti ‘gelap’. Jadi makna lembu peteng berarti ‘anak yang lahir akibat dari adanya hubungan gelap’ atau anak yang lahir akibat dari perselingkuhan atau dikenal dengan istilah anak jadah.

Jadi, ungkapan “Semut Ireng Anak-anak Sapi’ berarti bahwa Dewi Sapudi, putri boyongan dari Wandan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki (bernama Lembu Peteng) karena melakukan hubungan gelap dengan Prabu Brawijaya, di Majapahit. Di dalam sejarah, Lembu Pe- teng diambil menantu oleh Ki Ageng Tarub, dinikahkan dengan Dewi Nawangsih atau Rara Kasihan.

4.1.2 Baris II, Kebo Bongkang Nyabrang Kali Bengawan

Ungkapan itu terdiri atas dua frase kata benda (Kebo bongkang dan Kali Bengawan ) dan kata kerja (nyabrang). Kata kebo berarti ‘kerbau’, sedangkan kata bongkang berarti ‘tua sekali’ bagi jenis binatang. Jadi, kebo bongkang berarti ‘kerbau tua yang sudah tidak bisa bergerak apa- apa’ karena dimakan usia. Kebo bongkang merupakan lambang dari dua tokoh besar yang bernama Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Ke- duanya memakai nama masing-masing kebo ‘kerbau’. Sementara itu, kata nyabrang (‘menyeberang’) mengandung pengertian “berseberangan paham”. Sementara itu kata kali bengawan (‘sungai bengawan’) mengan- dung makna “jalan hidup atau pilihan hidup”.

Jadi, ungkapan “Kebo Bongkang nyabrang kali bengawan” berarti ‘dua tokoh yang bernama kebo ‘kerbau’ (yakni Kebo kenanga dan Kebo Kani- gara) yang masing-masing memilih jalan hidup yang berseberangan.

PROSIDING

Kebo Kenanga memilih mengikuti ajaran Seh Siti Jenar, sedangkan Kebo Kanigara tetap memilih kepercayaan lama, yakni beragama Budhdha. Maka di akhir hayatnya, Kebo Kanigara pergi bertapa di tengah hutan untuk mencapai nirwana, sedangkan Kebo Kenanga memeluk agama Islam dengan mengikuti ajaran Seh Siti Jenar.

4.1.3 Baris III, Keyong Gondhang Jarak Sungute

Di dalam kosa kata Jawa kata keyong berarti ‘siput yang besar’ yang hidupnya di dalam air. Selanjutnya, kata gondang berarti ‘besar’. Jadi keyong gondang berarti ‘siput yang besar’. Selanjutnya kata jarak berarti ‘pendek’, sedangkan kata sungute berasal dari kata sungut yang berarti ‘antena’ atau ‘rambut panjang yang tumbuh bagian depan (atau tangkai benangsari bagi bunga). Jadi, keyong gondhang jarak sungute berarti ‘keyong besar, tetapi sungutnya atau senjatanya pendek’. Per- nyataan itu memberi makna bahwa keyong melambangkan tokoh Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya (tokoh yang berasal dari daerah Peng- ging. Dalam sejarah, nama Pengging dikenal dengan umbul ‘sumber air’-nya, yakni umbul Pengging. Maka, tokoh Jaka Tingkir dilambang- kan sebagai binatang keyong ‘siput’ yang tinggal di dalam air. Sementara itu, kata gondhang ‘besar’ memberikan makna bahwa Jaka Tingkir diibaratkan sebagai keyong gondhang ‘siput yang besar’ yang pendk sungut- nya pendek antenanya). Ungkapan jarak sungute itu memberi makna bahwa Prabu Adiwijaya bertahta sebagai raja (sultan) di Pajang tidak terlalu lama. Bahkan, putranya, Pangeran Benawa, tidak bisa mewarisi menjadi raja (sultan) besar sebagaimana ayahandanya karena kekuasaannya dipegang oleh Sutawijaya atau Panembahan Senapati.

4.1.4 Baris IV Timun Wuku Gotong Wolu

Ungkapan di atas terdiri atas dua frase, yaitu timun wuku,dan gotong wolu. Kata timun berarti ‘buah ketimun’, kata wuku berarti ‘kecil’. Jadi, timun wuku berarti ‘ketimun yang kecil’, sedangkann kata gotong berarti ‘angkat’, kata wolu berarti ‘delapan’. Jadi, gotong wolu berarti ‘diangkat oleh delapan orang. Kata Timun wuku ‘mentimun kecil’ me- rupakan lambang dari tokoh Panembahan Senapati atau Sutawijaya. Sementara itu, kata gotong wolu memberi makna bahwa Sutawijaya (Panembahan Senapati) bisa bertakhta menjadi raja Mataram berkat dukungan dari delapan tokoh besar Kedelapan tokoh itu masing-ma- sing adalah: 1) Ki Ageng Pemanahan, 2) Ki Jurumartani, 3) Ki Penjawi,

4) Ki Jurukithing, 5) Ki Buyut Wirasaba, 6) Tumenggung Mayang, 7) Pangeran Made Pandan, dan 8) Adipati Batang.

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

4.1.5 Baris V, Surabaya Geger Kepati

Kata “Surabaya” berarti ‘kota Surabaya’, sedangkan geger kepati berarti ‘terjadi huru-hara besar’ atau perang besar yang menimbulkan bencana kematian yang cukup banyak’. Ungkapan “Surabaya geger ke- pati ” ini menggambarkan kisah perang besar yang terjadi pada zaman Sultan Agung. Musuh besar kerajaan Mataram pada waktu itu adalah Kadipaten Surabaya. Waktu itu, Surabaya sangat kuat karena dipimpin oleh Sunan Giri. Maka, terjadilah perang besar antara Mataram dan Surabaya dan dimenangkan oleh Mataram, Peristiwa itu kemudian di- lambangkan dengan ungkapan Surabaya geger kepati. Menurut sejarah, yang bertindak sebagai penguasa (adipati) di Surabaya bernama Pa- ngeran Ratu Agung, sedangkan Senapati perang Mataram bernama Tumenggung Mangun Oneng dan Tumenggung Sepanjang. Dalam peperangan itu, prajurit Mataram berhasil menguasai Surabaya.

4.1.6 Baris VI Ana Wong Ngoyak Macan

Ungkapan “Ana wong ngoyak macan” berarti ‘ada orang mengejar singa’. Kata macan berarti ‘singa’. Ungkapan ini menggambarkan peris- tiwa pemberontakan yang terjadi di kerjaan Kartasura. Yang dilam- bangkan sebagai macan ‘singa’ adalah Pangeran Puger. Pangeran Pu- ger adalah saudara Sunan Amangkurat Agung atau sunan Mas (raja Mataram). Pangeran Puger disamakan dengan macan ‘singa’ karena ia adalah bangsawan kerajaan.

4.1.7 Baris VII, Denwadhahi Bumbung

Kata “denwadhahi” berarti ‘dimasukkan’, sedangkan kata “Bum- bung ” berarti ‘tabung bambu’ yang berasal dari potongan bambu yang masih utuh. Denwadhahi Bumbung ‘dimasukkan dalam bambu’ mengi- sahkan peristiwa pemberontakan yang terjadi pada zaman Kraton Kar- tasura. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Puger itu bisa diredakan dengan mudah oleh Tumenggung Urawan (orang keperca- yaan Sunan Mangkurat). Karena pemberontakan itu dapat diatasi de- ngan mudah, peristiwa itu digambarkan sebagai singa yang dimasuk- kan ke dalam bumbung ‘tabung bambu’.

4.1.8 Baris VIII, Alun-alun Kartosura

Baris kedelapan ini berbunyi “Alun-alun Kartasura”. Baris ini sangat berarti karena merekam peristiwa bersejarah yang terjadi di alun-alun Kartasura. Peristiwa yang dimaksud adalah tertangkapnya seorang kraman atau pemberontak yang bernama Dirana.

PROSIDING

4.1.9 Baris IX, Gajah Meta Cinancang Wit Sidaguri

Kata gajah meta bertarti ‘gajah yang sedang marah’, sedangkan kata cinancang (berasal dari kata cincang) berarti ‘dibelenggu dengan tali’. Jadi, kata “cinancang” berarti ‘dibelenggu dengan cara ditali’, sedang- kan kata wit sidaguri ‘rumput sidaguri’adalah rumput yang mudah putus. Ungkapan tersebut mengisahkan peristiwa pemberontakan yang diprakarsai oleh tokoh bernama Dirana, tetapi pemberontakan itu de- ngan mudah dapat diredakan karena Dirana dapat ditangkap. Dirana dilambangkan sebagai “gajah yang marah, tetapi bisa dibelenggu atau ditali dengan rumput sidaguri”. Dirana adalah anak seorang lurah srati yang bernama Buyut Dirada. Dirana dilambangkan sebagai gajah karena keberaniannya atau kebesaran jiwanya. Namun, dengan keberanian saja tidak cukup untuk melawan pasukan kerajaan. Maka, ia dengan mudah dapat ditangkap dan dibelenggu dengan rumput sidaguri, arti- nya dengan mudah, ia diringkus oleh prajurit kerajaan. Adapun kata sidaguri merupakan lambang dari pohon beringin di alun-alun Karta- sura. Jadi, Dirana dapat diringkus dan dicincang di pohon beringin yang berada di alun-alun.

4.1.10 Baris X, Mati Cineker Ayam

Kata mati cineker ayam ‘mati dicakar ayam’ mengandung arti bahwa Dirana tewas karena dihukum picis ‘dihukum dengan cara ditusuk de- ngan silet dan jarum sampai tewas’. Adapun yang melakukan hukuman adalah seluruh rakyat di Kartasura yang dilambangkan dengan kata ayam.