Dialog Penerjemah: Penerjemah vs. Teks Sumber

a) Dialog Penerjemah: Penerjemah vs. Teks Sumber

Sastra-parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama. Zoetmulder (1983:114) memberikan kesimpulan ini berdasarkan kajian komparatif yang dilakukan terhadap bahasa-bahasa sastra-parwa.

PROSIDING

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa parwa di- tulis oleh pengarang yang sama. Salah satu dasar yang dikemukakan bahwa sastra-parwa tidak ditulis oleh pengarang yang sama tampak pada keanekaan bentuk yang dipakai dalam kata pengantar. Misalnya, jika Adiparwa diawali dengan suatu tindak bakti terhadap dewa Siwa beserta isterinya (karena persatuan mereka yang mistis di atas puncak gunung Kailasa, mereka telah menciptakan kembali segala sesuatu setelah seluruh dunia dihancurkan), kata pengantar Wirataparwa pertama dialamatkan kepada Krsna Dwaipayana yang sama dengan Byasa, pengarang mistis yang menulis Mahabharata (ia diminta agar “menjadi sumber berkat bagi dia yang akan mengalihkan cerita Wirata ke dalam bahasa pribumi.”).

Catatan pengantar tersebut jelas menyiratkan berlangsungnya dialog antara penulis sastra-parwa dengan teks sumber yang dijadikan acuan penulisan. Jadi, penulisan sastra-parwa merupakan bentuk penerjemahan yang berpijak pada pertukaran dialogis antara pener- jemah (pengarang) dengan teks sumber. Dalam konteks ini, mekanis- me responsivitas, responsibilitas, dan adresitivitas dilakukan oleh pe- nulis sastra-parwa. Menurut Zoetmulder (via Hunter, dalam Cham- bert-Loir, 2009:38), para pengarang sastra-parwa Jawa Kuna bukanlah betul-betul “penerjemah”, melainkan: mereka “…menanggapi bahan terkenal dengan cara tersendiri…[yaitu] mengikuti cara kerja yang sudah berabad-abad lazim bagi rekan-rekan sastra mereka di India. Dengan ini, penulisan sastra-parwa merupakan langkah awal terha- dap jenis sastra yang oleh Braginsky diperikan sebagai “kesusastraan pembentuk wilayah…yang terbentuk dalam rangka kesadaran sastra.”

Fakta tersebut di atas dapat dibenarkan dengan menimbang bah- wa teks sumber Sanskerta senyatanya bukan sebuah teks yang utuh. Bahkan, identitas penulisnya sebenarnya tidak terlalu tegas diketahui. Ada keyakinan bahwa ada pula yang meyakini bahwa kisah Mahabha- rata sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 se- belum Masehi. Sedikit pengecualian adalah catatan Zoetmulder (1983:101-102), yang menyinggung kepengarangan teks sumber sastra- parwa. Ia mengutarakan soal kepengarangan versi Sanskerta ini mela- lui ungkapan “mengalihkan karya yang terkandung dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa yang jelas (mengjawekan Byasamata)”. Pengarang seka- ligus tokoh dalam cerita asli Mahabharata ialah Veda Vyasa (http:// en.wikipedia.org/wiki/Vyasa).

Kenyataan bahwa adanya beberapa pengarang sastra-parwa dan bahwa teks sumber Sanskerta bukanlah sebuah teks yang utuh tetapi

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

189 terpencar-pencar, menuntun pada sebuah kesimpulan bahwa penu-

lisan sastra-parwa merupakan hasil dari aktivitas penerjemahan yang dialogis. Dalam konsepsinya tentang penciptaan karya artistik yang baru, Bakhtin menegaskan bahwa pengarang juga berdialog dengan dirinya sendiri. Menurut Bakhtin, bahasa penyair adalah bahasanya sendiri; penyair seutuhnya terbenam di dalamnya, dan tidak terpisah- kan darinya; ia mempergunakan tiap kata, bentuk, ekspresi berdasar- kan pada kehendaknya yang bertujuan (tanpa tanda kutip, apa ada- nya), yakni sebagai bentuk ekspresi murni (pure) dan langsung (un- mediated ) demi tujuannya sendiri (dalam Todorov, 1984:65).

Dalam kaitan penerjemahan, banyak orang beranggapan bahwa acapkali terjadi perusakan suatu karya sastra, seperti “menambah sesuatu suasana mengikut rasanya sendiri, merosakkan keaslian, ke- manusiaan serta keindahan kehidupan” (lih. Horst Frenz, dalam Stall- knecht, N.P. dan Horst Frenz, 1990:74-88). Akan tetapi, penerjemahan karya sastra merupakan sesuatu yang berbeda, jika dibandingkan de- ngan penerjemahan biasa. Dalam penerjemahan karya sastra, terlebih melalui suatu hubungan dialogis yang bebas, tidak ada bedanya an- tara seniman dengan penerjemah, di mana mereka dapat mengem- bangkan ceritanya sendiri secara bebas dan kreatif. Jadi, alih-alih mengikuti bentuk dan konten karya sumber yang kemungkinannya tidak dapat memenuhi tujuannya sendiri untuk mencipta, penerjemah karya sastra, setuju atau tidak setuju, berhak melakukan suatu “peng- khianatan” demi sebuah keberterimaan dalam konteks situasi.

Hipotesis dialogisme pengarang-penerjemah sastra-parwa juga dapat disimak dari penjelasan (Zoetmulder, 1983:101-102), yang mengutarakan bahwa, pada umumnya, para “pengarang” sastra-par- wa Jawa Kuna tidaklah menyimpang dari tujuan yang oleh salah se- orang di antara mereka, yaitu di dalam kata pengantar terhadap Wira- taparwa, dilukiskan sebagai berikut: Dapat dibayangkan, bahwa tujuan penggubahan sastra-parwa, misalnya Wirataparwa, dicapai le- wat berbagai jalan. Pengarang, misalnya, mencoba mengadakan suatu terjemahan, entah harfiah entah dengan kebebasan yang dianggapnya sesuai. Ia juga dapat mengarahkan minatnya pada sebuah karya yang bermutu sastra asli, tetapi yang bertitik-pangkal pada sebuah cerita yang dipinjam dari sebuah epos Sanskerta. Akhirnya ia dapat memu- tuskan untuk memperkenalkan isi epos-epos tersebut dalam suatu bentuk yang jelas dan mudah dibaca.

Dengan demikian, tidaklah salah jika status kepenulisan (authorial ownership ) sastra-parwa, khususnya, dan karya-karya sastra lain tu- runannya, disebut sebagai Pengarang-Penerjemah. Pandangan yang

PROSIDING

lebih jernih menyangkut “status” ini bisa kita lihat pada uraian Pollock. Pollock (2001:87 dan 100, via Worsley, dalam Chambert-Loir, 2009:755-789). mengungkapkan bahwa peniruan suatu estetika budaya sangat menentukan kecepatan persebaran dari kegiatan berbagai bu- daya yang terkait dengan kosmopolit Sanskerta dan kemunculan ba- hasa-bahasa daerah kosmopolit di keraton-keraton di seluruh wilayah India dan Asia Tenggara. Jika “peniruan yang sengaja dan teliti” meng- hargai “kelestarian gaya dan keterampilan”, peniruan itu adalah per- buatan yang kreatif. Perbuatan itu “tidak terbatas pada meniru dengan pasif atau seperti robot” dan sebaliknya “menghargai, mengembang- kan dan memikirkan ulang norma-norma dari karya-karya besar dan dari repertoar-repertoar gaya” yang bagi para seniman dan kalangan pendengarnya merupakan sumber “alat-alat ekspresinya masing-ma- sing dalam keruwetan reproduksi”.