Kategorisasi skor penalaran moral

2. Kategorisasi skor penalaran moral

Berdasarkan skor penalaran moral yang diperoleh, dapat dibuat pengelompokan subjek ke dalam 3 kategori yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional dan pasca- konvensional. Pengelompokan ini didasarkan pada tahap penalaran moral 2, 3, 4, 5A, 5B, dan 6. Tingkat pra-konvensional meliputi tahap 2. Tingkat konvensional meliputi tahap 3 dan 4. Tingkat pasca-konvensional meliputi tahap 5A, 5B, dan 6. Sebelum dilakukan pengelompokan terlebih dahulu melakukan konversi skor penalaran moral subjek disetiap tahapnya ke dalam skor Z. nilai skor Z yang paling tinggi menunjukkan tahap penalaran moral yang dimiliki subjek. Deskripsi kategorisasi tahap penalaran moral yang dimiliki subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Deskripsi Pengelompokan Tahap Penalaran Moral Tahap Penalaran Moral Jumlah Subjek N Persentase 2 12 17.14 3 12 17.14 4 16 22.85 5A 11 15.71 5B 9 12.85 6 10 14.28 Total 70 100 Tabel 12 menunjukkan bahwa subjek yang penalaran moralnya berada pada tahap 2 berjumlah 12 orang 17.14 , yang berada pada tahap 3 berjumlah 12 orang Universitas Sumatera Utara 17.14 , yang berada pada tahap 4 berjumlah 16 orang 22.85 , yang berada pada tahap 5A berjumlah 11 orang 15.71 , yang berada pada tahap 5B berjumlah 9 orang 12.85, dan subjek yang berada di tahap 6 berjumlah 10 orang 14.28 Selanjutnya dari tabel 12 dapat dibuat kategorisasi subjek penelitian ke dalam tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Deskripsi kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penalaran moral dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. Deskripsi Kategorisasi Subjek Berdasarkan Tingkat Penalaran Moral Tingkat penalaran moral Jumlah Subjek N Persentase Pra-konvensional 12 17.14 Konvensional 28 40 Pasca-konvensional 30 42.85 Total 70 100 Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada tingkat pra-konvensional berjumlah 12 orang 17.14, subjek yang berada pada tingkat konvensional berjumlah 28 orang 40, dan subjek yang berada pada tingkat pasca- konvensional berjumlah 30 orang 42.85. C. PEMBAHASAN Hasil penelitan pada sampel remaja yang delinkuen menunjukkan bahwa r xy = - 0.010 ≤ 0 dan nilai p 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang positif antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral. Nilai korelasi yang negatif dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan semakin tingginya tingkat penalaran moral Universitas Sumatera Utara remaja. Sebaliknya semakin rendahnya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan semakin rendahnya tingkat penalaran moral remaja. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa tidak selamanya tingkat keharmonisan yang tinggi menghasilkan penalaran moral yang tinggi. Demikian juga sebaliknya, sebuah keluarga dengan tingkat keharmonisan yang rendah tidak selamanya menghasilkan tingkat penalaran moral yang rendah pula. Hal ini dapat dilihat dari hasil kategorisasi variabel keharmonisan keluarga yang menunjukkan bahwa terdapat 2 orang remaja 28.5 yang memiliki tingkat keharmonisan keluarga yang redah, 26 orang remaja 37.14 memiliki tingkat kerharmonisan keluarga yang sedang dan 42 orang remaja 60 memiliki tingkat kerharmonisan keluarga yang tinggi. Sementara berdasarkan kategorisasi variabel penalaran moral menunjukkan bahwa terdapat 12 orang remaja 17.14 berada pada tingkat pra-konvensional, 28 orang remaja 40 berada pada tingkat konvensional, dan 30 orang remaja 42.85 subjek yang berada pada tingkat pasca-konvensional. Tidak terbuktinya hipotesa penelitian kemungkinan disebabakan ada faktor lain yang lebih berperan dari pada keharmornisan keluarga terhadap penalaran moral, yaitu faktor peer group atau teman sebaya. Piaget dalam Kohlberg, 1995 menyatakan bahwa kelompok sebaya merupakan faktor yang turut berperan mempengaruhi proses perkembangan penalaran moral seorang remaja. Hal ini menurut Simon dan Bronfenbrenner dalam Santrock, 2007 dikarenakan pada masa remaja, jumlah waktu yang dihabiskan individu bersama teman sebayanya adalah dua kali lipat lebih banyak daripada waktu bersama orangtuanya. Kondisi tersebut Universitas Sumatera Utara sekaligus menggambarkan kebutuhan remaja untuk disukai dan diterima oleh teman- temannya. Adanya penolakan dari teman sebaya dapat menyebabkan tekanan dan kecemasan pada diri remaja. Untuk menghindari itu tidak jarang remaja melakukan konformitas sosial, yaitu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena adanya tekanan, baik disadari maupun tidak disadari. Selain itu, Farley dan Reyna dalam Wulandari, 2008 juga menyatakan bahwa sebenarnya bila dibandingkan dengan orang dewasa, remaja menghabiskan 170 milisekon lebih banyak untuk mempertimbangkan baik buruknya akibat yang mungkin terjadi sebelum melakukan perilaku yang menyimpang. Dalam hal ini remaja masih membandingkan dampak-dampak yang mungkin terjadi dengan manfaat yang dapat diperoleh. Keputusan yang diambil oleh remaja seringkali didorong oleh teman-teman sebanyanya walaupun perilaku tersebut berisiko. Menurut Kohlberg 1995, faktor lain yang dapat mempengaruhi inkonsistensi antara penalaran moral dan perilaku moral yaitu faktor situasional, motivasional, emosional, dan ketahanan ego ego strength. Artinya dalam situasi yang berbeda, seseorang dapat menghasilkan perilaku moral yang berbeda pula. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki standar moral yang tetap, namun pandangannya itu dapat berubah sesuai dengan situasi dimana dia berada. Pernyataan ini didukung data penelitian yang ada, bila diperhatikan dengan seksama skor keharmonisan keluarga yang tinggi pada seseorang belum tentu diikuti dengan tahap penalaran moral yang tinggi pula. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa subjek yang penalaran moralnya berada pada tahap 2 berjumlah 12 orang 17.14 , yang berada pada tahap 3 berjumlah 12 orang 17.14 , yang berada pada tahap 4 berjumlah 16 orang 22.85 , yang berada pada tahap 5A berjumlah 11 orang 15.71 , yang berada pada tahap 5B berjumlah 9 orang 12.85, dan subjek yang berada di tahap 6 berjumlah 10 orang 14.28 . Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari rentang usia subjek penelitian yaitu usia 18-21 tahun, tahap penalaran moral yang dimiliki menyebar pada semua tahapan, baik pra-konvensional, konvensional, maupun pasca- konvensioanal. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena menurut Kohlberg dalam Martani, 1995 perkembangan moral itu tidak ditentukan oleh usia kronologis. Setiap orang mempunyai kecepatan perkembangan yang berbeda. Jadi sangat dimungkinkan orang dengan usia yang sama memiliki tahap penalaran moral yang berbeda. Menurut Kohlberg, ini disebabkan karena perkembangan penalaran moral itu tergantung pada kematangan intelektual dan pengalaman sosiomoral yang dimiliki sesorang Glover, 1997. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan hasil penelitian, dan pada akhir bab ini akan dikemukakan saran-saran untuk pengembangan penelitian di masa mendatang dan saran-saran bagi pihak yang terkait dengan penelitan ini.

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian dan analisis data, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dan penalaran moral pada remaja delinkuen. 2. Hubungan antara keharmonisan keluarga dan penalaran moral adalah hubungan yang negatif dengan nilai korelasi sebesar r xy = -0.010 dengan nilai p = 0.467 tidak signifikan, yang artinya tingginya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja tinggi. Sebaliknya, rendahnya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja rendah. 3. Skor total variabel keharmonisan keluarga menghasilkan 3 kategorisasi, yaitu keharmonisan keluarga tinggi, keharmonisan keluarga sedang, dan keharmonisan keluarga rendah, dimana subjek dengan kategori tinggi lebih banyak jumlahnya. Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Delinkuen Pada Remaja.

0 2 15

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Delinkuen Pada Remaja.

0 6 19

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA SMP NEGERI 3 SRAGEN Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Delinkuen pada Remaja SMP Negeri 3 Sragen.

0 3 13

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA SMP NEGERI 3 SRAGEN Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Delinkuen pada Remaja SMP Negeri 3 Sragen.

0 2 17

DAFTAR PUSTAKA Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Delinkuen pada Remaja SMP Negeri 3 Sragen.

0 7 4

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Harga Diri pada Remaja.

0 10 14

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Harga Diri pada Remaja.

0 4 17

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Prososial Pada Remaja.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Prososial Pada Remaja.

1 13 15

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA Hubungan Antara Persepsi Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja.

0 2 13