13
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan. Keadaan geografis yang luas dan terdiri dari lebih dari 13.000 pulau, menyulitkan transportasi dan komunikasi. Hal
ini yang mendorong penggunaan sistem pendidikan jarak jauh dan terbuka. Salah satu bentuk sistem pendidikan ini adalah SMP Terbuka Suparman Zuhairi,
2004. Sampai pada tahun 2011 ini jumlah SMP Terbuka sebanyak 2.111 sekolah dan 7.413 tempat kegiatan belajar TKB yang tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia, dengan jumlah siswa sebanyak 248.432 orang, jumlah guru bina sebanyak 26.248 orang serta jumlah guru pamong sebanyak 15.221 orang
http:pikiran-rakyat.com. Mengacu dari data ini SMP Terbuka dapat menjadi alternatif pendidikan, sehingga tidak berlebihan jika SMP Terbuka mendapatkan
perhatian khusus baik dari pemerintah maupun masyarakat. Saat ini SMP Terbuka telah menjadi bagian integral dalam sistem
pendidikan di Indonesia. SMP Terbuka adalah suatu subsistem pendidikan pada tingkat SMP yang mengutamakan siswanya belajar secara mandiri dengan
bimbingan terbatas dari orang lain Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005. Sistem pendidikan jarak jauh termasuk juga SMP Terbuka, menurut
Suparman dan Zuhairi 2004 telah di tempatkan sebagai sistem pendidikan yang bersifat komplementer terhadap sistem pendidikan biasa. Bahkan lebih tegas,
Miarso 2004 memandang bahwa SMP Terbuka bukan sekedar pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan sebagai pendidikan kompensatorik
14
yang bisa menjadi pengganti yang statusnya paralel terhadap lembaga pendidikan yang telah ada. Sedangkan menurut Belawati 1999 SMP Terbuka merupakan
sekolah yang didirikan pemerintah untuk siswa yang memiliki kendala dalam memperoleh pendidikan pada bidang ekonomi, sosial dan geografis.
Sesuai dengan misi SMP Terbuka, dengan adanya SMP Terbuka diharapkan dapat melayani anak tamatan SDMI terutama yang berusia 13-15
tahun atau maksimal 18 tahun yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis atau menghadapi
kendala waktu, sehingga tidak memungkinkan untuk mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP reguler Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005. Kendala
dalam bidang geografis, menyulitkan siswa untuk pergi ke sekolah setiap hari karena tinggal di daerah terpencil yang jauh dari gedung sekolah dan juga tidak
ada transportasi, maka anak itu tidak dapat menghadiri pelajaran di sekolah seperti anak lainnya Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005. Bahkan
sekalipun di lokasi tersebut dibangun sekolah, belum tentu siswa dapat mengikuti pendidikan seperti di sekolah reguler karena kendala ekonomi yang
mengharuskannya membantu orangtua dengan bekerja pada jam-jam sekolah
Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005.
Oleh karena itu metode pembelajaran di SMP Terbuka disesuaikan dengan karakteristik dari para pembelajarnya yaitu menerapkan metode belajar
mandiri, dengan metode belajar mandiri menghendaki siswa untuk belajar sendiri atau kelompok yang tidak terlalu bergantung kepada guru pamong atau fasilitator
atau tutor. Tidak seperti sistem pendidikan konvensional reguler yang
15
menggunakan sistem belajar tatap muka di kelas. Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005.
Dalam proses belajar mengajar di SMPT jumlah jam tatap muka dengan guru bina guru mata pelajaran di sekolah induk hanya 6-12 jam perminggu, dan
selebihnya siswa belajar di Tempat Kegiatan Belajar TKB dibimbing oleh guru pamong, yang merupakan anggota masyarakat yang diserahi tugas untuk
membimbing kegiatan belajar siswa di TKB. Lokasi TKB diusahakan berada dekat dengan tempat tinggal siswa, jadi setiap SMP Terbuka memiliki beberapa
TKB yang jumlah dan penyebaran lokasinya ditentukan berdasarkan keadaan dan kondisi siswanya Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005.
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa siswa SMP Terbuka tidak belajar bersama guru, tidak ada orang yang mengatur belajar
siswa sehingga siswa harus dapat mengatur belajarnya sendiri, seperti harus dapat menyusun jadwal kegiatan belajarnya sendiri sesuai dengan waktu yang
dimilikinya dan juga ketika menghadapi kesulitan dalam mempelajari suatu topik pelajaran siswa dapat mencari bantuan kepada orang lain yang dianggap mampu
dan mau membantu memecahkan persoalannya seperti orang tua, teman, kakak, guru atau lainnya Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Depdiknas, 2005.
Pengaturan diri dalam belajar tersebut perlu dilakukan agar siswa SMP Terbuka berhasil dalam mengikuti proses belajar di SMP Terbuka. Sesuai dengan
visi SMP Terbuka yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas, mandiri dan bertanggung jawab serta menjangkau sasaran yang luas Bahan Sosialisasi SMP
Terbuka Depdiknas, 2005. Jadi penyelenggaraan SMPT tidak hanya
16
menitikberatkan pada segi kuantitas yakni hanya sekedar menampung siswa sebanyak mungkin, melainkan penekanan untuk diberikan pada segi kualitas
pendidikan, dengan kata lain penyelenggaraan SMP Terbuka diharapkan pada lulusannya memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan Nurhayati,
2006. Untuk mencapai visi tersebut siswa SMP Terbuka dituntut memiliki prestasi belajar yang baik, karena seperti yang diungkapkan Winkel 1996 bahwa
prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Namun, Prestasi belajar siswa SMP Terbuka tahun ini masih terhitung
rendah. Hal itu dapat di lihat dari taraf kelulusan siswa SMP Terbuka pada Ujian Nasional UN tahun 2011, contohnya SMP Terbuka Pragan Sumenep, Jawa
Timur, SMP Terbuka Cepiring Jawa Tengah, SMP Terbuka Tretep Temanggung, Jawa Tengah, SMP Terbuka Tembarak Temannggung, Jawa
Tengah dan SMP Terbuka Bulun Temanggung, Jawa Tengah yang memiliki taraf kelulusan 0, artinya tidak ada satupun siswa SMPT yang lulus dalam ujian
pada sekolah-sekolah tersebut. Jadi jika dilihat pada tingkat SMPsederajat di
seluruh Indonesia yang mengikuti ujian nasional, ketidaklulusan tertinggi terjadi pada SMP Terbuka yang persentasenya mencapai 28,92, sedangkan SMP dan
MTs, masing-masing sebesar 7,01 serta 4,71 http:kompas.com. Tentunya prestasi belajar seperti itu sangat tidak diharapkan oleh lembaga pendidikan
apapun, karena prestasi belajar dapat dikatakan sebagai indikator keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar Hakim, 2000.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu diupayakan berbagai hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Seperti yang
17
sudah diungkapkan sebelumnya, salah satu cara agar siswa dapat berhasil dalam belajarnya yaitu dengan mengatur belajarnya. Dalam psikologi pendidikan,
bagaimana siswa mengatur belajarnya sendiri dikenal dengan istilah self-regulated learning.
Self-regulated learning digambarkan sebagai strategi-strategi yang digunakan siswa untuk mengatur kognisinya menggunakan strategi-strategi
kognitif dan metakognitif dan juga penggunaan strategi mengelola sumber pengetahuan Pintrich, 1999
Senada dengan pengertiannya, ada tiga komponen utamapenting dalam self-regulated learning. Pertama Strategi kognitif cognitive strategy, strategi ini
digunakan siswa untuk belajar yaitu mengingat dan memahami materi pelajaran. Strategi kognitif ada tiga macam yaitu rehearsal, elaboration, dan organization.
Kedua strategi metakognitif metacognitive startegy, strategi metakognitif digunakan siswa untuk merencanakan, memonitor dan meregulasi berbagai hal
untuk mencapai tujuan. Ketiga strategi mengelola sumber pengetahuan resource management strategy, pada dimensi ini untuk melihat bagaimana siswa
mengelola atau mengatur sumber pengetahuannya, seperti; waktu, lingkungan belajar, kerjasama dengan teman sebaya dan mencari dukungan atau
bantuan.Pintrich, 1999. Self-regulated learning siswa dapat diketahui dengan melihat strategi-
strategi self-regulated learning yang digunakan siswa karena strategi self- regulated learning merupakan aksi dalam proses mendapatkan informasi dan
keterampilan secara langsung, sehingga penggunaan strategi self-regulated
18
learning ini sangat penting bagi siswa Zimmerman, 1989. Tentunya strategi- strategi self-regulated learning ini berkaitan dengan kognitif, metakognitif serta
pengelolaan sumber pengetahuan. Dengan meregulasi dirinya dalam belajar, siswa dapat memperluas
pengetahuan dan menjaga motivasinya, secara periodik memonitor kemajuannya dalam mencapai tujuan, dapat mengevaluasi halangan yang muncul dan
melakukan penyesuaian yang dibutuhkan Winne, dalam Santrock 2001. Riset sebelumnya mendukung pentingnya pengaturan diri terhadap
prestasi belajar. Seperti Zimmerman dalam Santrock 2001 telah menemukan bahwa siswa yang berprestasi tinggi adalah para self-regulated learner yaitu siswa
yang mengatur belajarnya. Penelitian senadapun dilakukan oleh Pintrich dan De Groot dalam Chen 2002 yang hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang
berprestasi tinggi dilaporkan lebih banyak menggunakan strategi-strategi self- regulated learning daripada siswa yang meraih prestasi rendah.
Dari hasil riset para tokoh tersebut, dapat dikatakan bahwa self- regulated learning merupakan salah satu langkah dalam pencapaian prestasi
belajar yang baik. Seperti yang di ungkapkan Zimmerman dan Schunk 2001 bahwa penggunaan berbagai proses untuk mengatur belajarnya self-regulated
learning adalah faktor yang berpengaruh dalam prestasi akademis. Namun ada pula yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara
self-regulated learning dengan prestasi belajar menunjukkan hasil yang berlawanan dengan hasil penelitian para tokoh. Seperti hasil penelitian Indri
2001 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara self-regulated
19
learning dengan prestasi belajar. Senada dengan hasil penelitian Pelt 2008 yang menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara self-regulated learning dengan
prestasi belajar. Walaupun demikian secara teoritis self-regulated learning merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Tentunya
prestasi belajar ini tidak hanya dipengaruhi oleh self-regulated learning saja, namun dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.
Salah satu faktor lainnya yang diasumsikan mempengaruhi prestasi belajar adalah daya juang atau yang dikenal dengan istilah adversity quotient
AQ. AQ didefinisikan oleh Stoltz 2000 dalam tiga bentuk. Pertama, AQ sebagai konsep kerangka kerja yang baru dalam memahami dan mempertinggi
semua bagian dari kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan. Ketiga, AQ sebagai alat yang
didasarkan pada penelitian ilmiah untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam berespon terhadap kesulitan.
Singkatnya AQ merupakan suatu upaya untuk melihat bagaimana respon seseorang terhadap kesulitannya, apakah akan terus berusaha dalam
mengatasi kesulitannya tanpa menyerah, yang dikenal dengan istilah ”mendaki”,
ataukah seseorang akan menyerah pada kesulitannya. Seseorang yang terus mendaki dapat disebut seseorang yang memiliki daya juang tinggiAQ yang tinggi
dan sebaliknya seseorang yang menyerah pada kesulitan, ia dapat disebut memiliki daya juang rendahAQ rendah Stoltz, 2000.
Konsep AQ ini muncul karena menurut Stoltz 2000, IQ intelligence quotient dan EQ emotional quotient belum cukup untuk memprediksi
20
keberhasilan seseorang sehingga Stoltz mengajukan suatu teori yang menjembatani antara IQ dan EQ yang merupakan faktor penting yang mampu
membuat seseorang memaksimalkan potensi EQ dan IQ nya. Sebab tanpa ada usahadaya juang yang tinggi, maka EQ dan IQ seseorang akan menjadi sia-sia,
tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu daya juang sangat diperlukan dalam pencapaian keberhasilan. Dengan demikian AQ perlu ditingkatkan, terlebih
untuk siswa SMP Terbuka yang tidak hanya memiliki permasalahan dalam bidang akademis karena perannya sebagai siswa tetapi seperti yang telah disinggung
sebelumnya bahwa siswa SMP Terbuka memiliki masalah lainnya yaitu dalam bidang sosial, ekonomi dan juga geografis, sehingga jika siswa SMP Terbuka
ingin berhasilsukses dalam belajarnya maka diperlukan AQ yang tinggi. AQ mempunyai dimensi yang dikenal dengan istilah CO
2
RE, yaitu control pengendalian, origin dan ownership asal usul dan pengakuan, reach
jangkauan dan endurance daya tahan Stoltz, 2000. Dari dimensi ini dapat melihat bagaimana seseorang merespon kesulitannya, sekaligus dapat melihat
hubungan antara AQ dan keberhasilan termasuk keberhasilan akademis. Tingginya dimensi control menunjukkan individu mempersepsikan
lebih banyak kendali yang ia miliki pada kesulitan yang sedang dihadapi sehingga memungkinkan untuk bertahan melewati kesulitan yang ada, sedangkan individu
dengan control yang rendah sering merasa tidak berdaya bila dihadapkan dengan kesulitan, karena menganggap kesulitan merupakan hal diliuar kendalinya.
Individu dengan dimensi origin dan ownership yang tinggi menunjukkan seseorang menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi
21
disebabkan oleh dirinya sendiri dan diri kita sendiri yang bertanggung jawab atas kegagalankesalahan yang terjadi serta cepat bangun untuk memperbaikinya.
Rendahnya dimensi reach ini menunjukkan seseorang menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi akan menjangkau pada aspek
kehidupannya yang lain, sedangkan tingginya nilai dimensi ini menunjukan seseorang membatasi jangkauan masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi
saja. Dimensi endurance yang tinggi menunjukkan seseorang memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi kesulitan sehingga kesulitan dianggap hanya akan berlangsung sebentar sehingga hal ini akan meningkatkan
optimisme dan kekuatan untuk menyongsong tantangan hidup yang lebih sulit, dan sebaliknya dengan endurance yang rendah seseorang menganggap kesulitan
akan berlangsung lama. Secara umum seseorang yang memiliki CO
2
RE yang tinggi, ia akan merespon kesulitan dengan rasa berdayamampu, optimis, bersemangat sehingga
peluang meraih keberhasilan menjadi lebih besar. Demikian pula dengan siswa SMP Terbuka yang memiliki CO
2
RE yang tinggi akan lebih mudah meraih prestasi yang baik karena mampu melokalisir kesulitan-kesulitan yang ada.
Penelitian sebelumnya mendukung pentingnya AQ terhadap prestasi belajar. Seperti William 2003 telah menemukan bahwa siswa dengan AQ yang
tinggi menunjukkan prestasi yang lebih baik dibanding siswa dengan AQ yang rendah. Dweck dalam Stoltz, 2000 telah menemukan bahwa anak-anak dengan
22
respon pesimis terhadap kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi rendah bila dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola lebih optimis.
Dari penelitian-penelitian tersebut memperkuat asumsi bahwa AQ mempengaruhi prestasi belajar. Namun penelitian mengenai AQ dengan prestasi
belajar yang dilakukan Mamahit 2000 menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara AQ dan prestasi belajar. Begitu pun penelitian yang dilakukan
Tjundjung 2001 yang menunjukkan hasil serupa yaitu tidak ada kaitan antara AQ dengan prestasi belajar. Walaupun demikian secara teoritis AQ merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Seperti yang diungkapkan Stoltz 2000 yang bahwa AQ merupakan prediktor global terhadap kesuksesan.
Dan kesuksesan atau keberhasilan dalam bidang pendidikan, khususnya sekolah ditunjukkan dengan prestasi belajar yang baik.
Berdasarkan fakta, teori dan penelitian-penelitian sebelumnya, yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
“Pengaruh self- regulated learning dan adversity quotient terhadap prestasi belajar siswa SMP
Terbuka ”.
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah