Latar Belakang Masalah Drs. Torang Naiborhu

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Upacara Adat Mapag Panganten merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Sunda. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut. Maka mapag panganten adalah acara menyambut kedatangan pengantin dan keluarganya. Dalam hal ini yang disambut adalah pihak pengantin laki-laki karena pada umumnya upacara perkawinan masyarakat Sunda dilaksanakan di kediaman keluarga pengantin perempuan. Seluruh rangkaian upacara mapag panganten tersebut diiringi oleh musik yang dimainkan oleh gamelan degung, seperangkat gamelan terdiri dari bonang 15-18 gong-chime set , saron metallophone, jenglong 8 gong-chime set, goong, kendang double-sided barrel drum set dan suling degung end-blown flutes. Studi tentang musik gamelan degung dalam konteks upacara mapag penganten ini menjadi salah satu bagian pokok dalam penelitian ini. Penelusuran historis yang penulis lakukan untuk mengetahui sejak kapan gamelan degung dipakai untuk mengiringi mapag panganten belum menemui titik terang. Mungkin sama tidak jelasnya dengan sejarah gamelan degung itu sendiri. Tjarmedi, seperti yang dikutip Herdini, meyakini bahwa seni degung lahir sekitar abad ke-14, di mana Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sebagai yang pertama menciptakannya Herdini 1992:34. Pendapat ini didukung oleh penelitian Universitas Sumatera Utara Kumalasari 1981 bahwa upacara-upacara pada jaman kerajaan Pajajaran diiringi oleh gamelan degung. Pendapat ini didasarkan pada naskah carita pantun Sunda yang menurut sebagian ahli perlu dibuktikan lagi Herdini 1992:34. Pendapat lain muncul dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan degung berasal dari perkembangan goong renteng 1 1 Istilah goong renteng berasal dari salah satu instrumen berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak rak. Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang gong-chimes, saron metallophones, cecempres metallophones, beri gong-chimes, goong alit gong kecil, dan goong gede gong besar. Lihat Soepandi 1974, Heins 1977, dan Herdini 1992. yang direkonstruksi oleh Pak Idi, seorang nayaga, menjadi gamelan degung pada sekitar tahun 1920-an Soepandi, 1974:8. Pendapat ini didasari oleh kesamaan repertoar pada goong renteng dan gamelan degung. Kang Ade Herdiyat dan Kang Ayi, informan yang penulis wawancarai, sepakat bahwa upacara mapag panganten telah dilaksanakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, sekitar abad ke-14. Waktu itu upacara ini hanya dilaksanakan ketika ada putri raja atau keluarga kerajaan yang akan menikah. Tidak ada rakyat biasa yang boleh melaksanakan upacara ini. Namun setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, upacara- upacara ritual yang tadinya hanya diselenggarakan di lingkungan kerajaan, mulai dilaksanakan oleh masyarakat biasa, meskipun pelaksanaannya terbatas pada orang- orang kaya, karena mahalnya biaya upacara. Kang Ayi juga menyakini bahwa gamelan degung telah dipakai dalam mengiringi berbagai upacara sejak jaman kerajaan Pajajaran, termasuk upacara mapag panganten wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007 dan Kang Ayi, 6 Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara Upacara mapag panganten dimulai ketika pengatin laki-laki serta rombongan telah datang ke tempat upacara. Pengantin laki-laki didampingi orang tua dan kerabat dekatnya datang beriringan. Rombongan harus menunggu kesiapan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan mapag menyambut, Ind.. Setelah semuanya siap, Ki Lengser 2 penetua adat yang bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda kepada para panayagan 3 Di depan rumah sudah menanti mempelai perempuan beserta keluarga. Setelah berhadap-hadapan, ibu mertua menyambutnya dengan mengalungkan bunga. Kemudian kedua mempelai berhadapan dan bersiap akan melaksanakan ritual nincak endog menginjak telur. Pengantin laki-laki menginjak sebutir telur dan pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki sebagai tanda pengabdian. Selanjutnya, pemain musik, pager ayu penari, punggawa prajurit penjaga, dan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan menyambut kedatangan pengantin laki-laki, bahwa upacara akan segera dilaksanakan. Repertoar gending bubuka menandai dimulainya upacara. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin laki-laki beserta rombongan. Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan, para pager ayu penari yang terdiri dari enam orang kemudian menyambut kedatangan rombongan dengan tarian dan tabur bunga. 2 Ki Lengser merupakan jelmaan Ki Semar, seorang tokoh pawayangan yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007 3 Panayagan adalah bentuk jamak dari nayaga pemain gamelan, Ind. Universitas Sumatera Utara kedua pengatin membakar harupat 4 Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag panganten, terus melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Termasuk juga masyarakat Sunda yang telah berpindah tempat dari Tanah Sunda dan memecahkan kendi yang berisi air bunga sebagai tanda bahwa segala sifat buruk harus dibakar dan semua masalah yang muncul dalam kehidupan harus dipecahkan bersama-sama. Setelah itu selesai, maka kedua mempelai diiring ke depan pintu guna melaksanakan ritual buka pintu. Buka pintu adalah satu ritual yang melambangkan bahwa pengantin laki-laki akan memasuki rumah dengan tatakrama seperti mengucapkan syahadatain dua kalimat syahadat dan salam. Dengan begitu sahlah pengantin laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga di keluarganya. Dengan berakhirnya buka pintu tersebut, maka berakhir pula rangkaian upacara mapag panganten. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah dan disandingkan di pelaminan untuk sungkeman kepada keluarganya. 5 Catatan-catatan mengenai perpindahan orang Sunda ke Sumatera Utara yang penulis dapatkan, menyebutkan bahwa orang Sunda datang pertama kali pada sekitar ke pulau Sumatera. Wilayah penelitian akan penulis batasi hanya pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan. 4 Harupat adalah batang lidi pohon enau. Ada satu ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi: getas harupateun, yang artinya putus harapan. Masyarakat Sunda percaya dengan membakar harupat, maka sifat putus asa yang disimbolkan oleh harupat yang rapuh dalam menjalani kehidupan rumahtangga akan hilang dan perceraian pun bisa dihindari. 5 Tanah Sunda sebagai tempat asal orang Sunda sering juga disebut parahyangan tempat para hyang, dewa, Ind. atau pasundan pa-Sunda-an, tempat tinggal orang Sunda. Sekarang menempati wilayah administratif Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan sebagian kecil wilayah DKI Jakarta. Universitas Sumatera Utara awal 1900-an ketika perusahaan perkebunan Deli Matschapij kekurangan pekerja, maka didatangkanlah kuli dari Jawa 6 Sedikit sekali informasi mengenai kapan dan siapa yang berperan dalam pembentukan paguyuban yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini, karena sebagian besar informasi tersebut dituturkan secara lisan, tanpa ada catatan resmi. Beberapa tokoh yang berperan dalam pendirian paguyuban pada masa sebelum kemerdekaan, yang saat itu sedang menderita kemiskinan dan pengangguran Buiskool 2005:274-5. Sebagian kecil kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, kuli-kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara Hartono 2005:433 Setelah Kemerdekaan, kebanyakan orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara adalah aparat keamanan TNIPOLRI dan pegawai negeri. Namun ada juga yang datang untuk berwiraswasta. Seperti industri sepatu di Cibaduyut, Bandung yang melakukan pemasaran dari-pintu-ke-pintu yang menyebabkan para penjualnya datang ke Kota Medan untuk berjualan sepatu. Komunitas penjual sepatu ini tinggal di Medan Selayang dan Medan Polonia. Semakin banyaknya orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara, menimbulkan usaha untuk tetap menjaga identitas ke-Sunda-annya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dirintislah satu institusi adat yang kemudian dikenal dengan nama Paguyuban Wargi Sunda. 6 Selain dari Jawa, Deli Matschapij juga mengimpor kuli orang Cina dan orang India dari P. Penang dan Singapura. Ini dilakukan karena penduduk Sumatera Melayu dan Batak tidak tertarik dengan kerja perkebunan. Diperkirakan tiga ratus ribu orang Cina telah didatangkan ke Sumatera antara tahun 1870 s.d. 1930, dan dua puluh ribu orang Jawa didatangkan pada awal 1900-an Buiskool 2005: 275. Universitas Sumatera Utara sempat penulis temui pada tahun 2006 lalu, namun karena usianya yang telah uzur, mereka tidak dapat lagi mengingat kapan tepatnya paguyuban dibentuk. Informasi terakhir yang penulis dapatkan dari informan lain, bahwa paguyuban didirikan pada sekitar tahun 1936. Namun informasi tersebut tidak sempat dikonfirmasikan kebenarannya karena tokoh tersebut telah meninggal dunia pada tahun 2007. Namun dalam Anggaran Dasar Paguyuban yang direkonstruksi pada bulan September 2007, menyebutkan bahwa Paguyuban Wargi Sunda didirikan pertamakali pada 27 Juni 1936 dan “disempurnakan dan diperbaharui” pada tanggal 9 April 2005 PWS, 2007. Jadi, paguyuban inilah yang melayani dan memelihara keberlanjutan tradisi Sunda selama tujuh dekade terkahir, termasuk upacara adat perkawinan. Literatur mengenai upacara perkawinan adat Sunda pun telah lama dilakukan oleh para penulis dan peneliti. RH. Hasan Mustafa, seorang tokoh adat, mungkin yang pertama menulis hal-hal mengenai adat perkawinan dalam bukunya yang terkenal Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti éta 1913 yang kemudian diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya menjadi Adat Istiadat Sunda 1996. Buku tersebut merupakan kumpulan adat-adat dalam daur hidup orang Sunda, termasuk adat perkawinan. Peneliti lain yang lebih spesifik membahas adat perkawinan adalah Prawirasuganda 1950 dan Tim Peneliti dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud yang dipimpin oleh Bambang Suwondo 1975. Keduanya menjelaskan secara rinci hal-hal mengenai adat perkawinan orang Sunda. Universitas Sumatera Utara Buku terbaru yang membahas adat perkawinan Sunda secara praktis adalah buku Perkawinan Adat Sunda oleh Artati Agoes 2003. Buku ini berisi kiat-kiat bagaimana menyelenggarakan upacara perkawinan adat Sunda pada masa sekarang. Penulis mendapat banyak pengetahuan dari keempat buku hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan tersebut. Baik Mustafa 1913, Prawirasuganda 1950, Suwondo 1975 maupun Agoes 2003 menjelaskan secara komprehensif detil-detil upacara perkawinan adat Sunda. Namun begitu, tak satupun dari keempatnya menjelaskan musik yang mengiringi upacara perkawinan, khususnya upacara mapag panganten. Mustafa bahkan tidak menyinggung upacara mapag panganten, meskipun ritual-ritual setelah akad nikah yang dijelaskannya merupakan bagian dari upacara mapag panganten. Begitu juga dengan Prawirasuganda dan Suwondo. Sedangkan Agoes secara tegas memisahkan upacara sebelum perkawinan, akad nikah, dan upacara mapag panganten sebagai bagian dari acara resepsi perkawinan. Namun tak satupun yang menjelaskan fenomena musikal dalam upacara itu. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa musik yang digunakan untuk mengiringi upacara mapag panganten adalah repertoar gamelan degung. Repertoar- repertoar tersebut merupakan keberlanjutan tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, meskipun pada kenyataannya upacara mapag panganten khususnya, dan upacara adat perkawinan Sunda umumnya, telah berubah seiring dengan perubahan masyarakat, terkhusus lagi pada dua dekade terakhir yang menjadi perhatian utama skripsi ini. Universitas Sumatera Utara Perubahan-perubahan tersebut meliputi adat-adat sebelum perkawinan yang semakin “diperpendek”, di mana beberapa ritualnya tidak lagi dilaksanakan. Hal ini juga terjadi dalam upacara mapag panganten yang meliputi materi, waktu dan tempat upacara yang disesuaikan dengan kebiasaan lokal dan pengaruh interaksi sosial dengan suku lain. Meskipun begitu, aspek-aspek musikal dan ekstra musikal tetap dipertahankan secara konseptual. Oleh karenanya penulis tertarik membahas upacara adat perkawinan Sunda, khususnya upacara mapag panganten dari perspektif etnomusikologi. Penelitian skripsi ini akan melihat mapag panganten dengan pendekatan deskripsi-analisis untuk melihat musik pada upacara tersebut dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat Sunda. Pendekatan musikologis dilakukan untuk menganalisis fenomena bunyi musikal yang terjadi, dan pendekatan sosio-antropologis ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang latarbelakang budaya Sunda yang menjadi pendukung mapag panganten. Pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan secara sinergis dalam rangka mendapatkan pemahaman mengenai upacara mapag panganten secara komprehensif.

I.2. Pokok permasalahan