Musik dalam Upacara Mapag Penganten pada Masyarakat Sunda di Kota Medan : Keberlanjutan dan Perubahan

(1)

MUSIK DALAM UPACARA MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN:

KEBERLANJUTAN DAN PERUBAHAN Skripsi Sarjana

Dikerjakan o

l e h

IRMAN F. SAPUTRA NIM : 020707035

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

IRMAN F. SAPUTRA NIM 020707035

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D. Dra. Frida Deliana, M.Si.

NIP 131 842 851 NIP 131 785 636

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP 131 785 636


(4)

Pengesahan

Diterima oleh:

Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada

Hari : Selasa Tanggal : 24 Juni 2008

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP. 132 098 531

Panitia Ujian

No. Nama Tandantangan

1. Dra. Frida Deliana, M.Si. ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.d. ( )

4. Drs. M. Takari, M.Hum. ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Teriring ucap syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam atas kuasaNya yang membuat segalanya menjadi mungkin dan atas kuasaNya jugalah skripsi ini bisa terwujud.

Skripsi yang berjudul MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG

PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN ini

merupakan kulminasi dari perjuangan panjang menimba pengetahuan dalam bidang etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara yang penulis jalani selama sekitar enam tahun. Namun tak berarti juga ini adalah pengakhiran dari proses belajar penulis.

Etnomusikologi telah mengubah pandangan penulis tentang musik. Dari tidak tahu menjadi tahu dan faham, dari tidak suka menjadi sangat cinta, dan dari pikiran yang sempit menjadi luas seluas jagat kebudayaan manusia. Dan semua itu membuat penulis semakin bergiat untuk mencari tahu, memahami dan mencintai tradisi musik bersama segala fenomena budayanya dengan rasa penghargaan yang tinggi tanpa rasa keakuan yang mengarah pada pandangan bahwa satu kebudayaan lebih baik dari yang lainnya.

Skripsi ini juga adalah implementasi nyata dari apa yang selama ini dipelajari. Prinsip-prinsip disiplin etnomusikologi, metode dan teknik-teknik penelitian didukung oleh teori-teori dan konsep melebur menjadi satu. Semoga skripsi ini bisa memberi kontribusi bagi kemajuan disiplin etnomusikologi di Indonesia.


(6)

Dengan segala kerendahan hati, kepada yang tercantum di bawah ini dan juga kepada siapa saja yang tak dapat disebutkan satu per satu, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta dan dukungannya kepada penulis. Beberapa di antaranya antara lain:

1. Yang terhormat ibunda Rd. Siti Zainab bt. Rd. Soleh dan ayahanda Sudirman Rd. Sastradipura atas cinta dan do’anya yang tak terhingga. Juga kepada tétéh Santy Susanty, Winda Widia As Tuti dan Susi Hendarti dan a’ Achmad, S.Pd. yang tak henti mengalirkan dukungan dan semangatnya.

2. Yang terhormat ibunda Hj. Rosni Mamat Sugiman atas kasih sayangnya selama penulis tinggal di rumah beliau. Juga keluarga téh Nining Ismayani, S.E., Rizal M. Renaldi, S.P. dan si cantik Naila Fathma Chairunisa.

3. Yang terhormat kang Anton Pribadi Hadimulyono, S.E.,M.M. yang tak pernah bosan memberikan dukungan dalam bentuk material dan immaterial. Juga kepada téh Ineu Agustini dan si cantik Shabrina Putri Pribadi Hadimulyono serta Pak Sedang dan Iwan yang menjadi teman sehari-hari penulis di rumah.

4. Yang terhormat guru sekaligus sahabat, Prof. Mauly Purba, Ph.D. yang juga merupakan Pembimbing Skripsi I yang membimbing dan mengajarkan banyak hal kepada penulis. Terimakasih atas diskusi-diskusi yang menarik selama ini, yang telah membuka lebar pengetahuan penulis dalam bidang etnomusikologi.


(7)

5. Yang terhormat Dra. Frida Deliana, M. Si. yang merupakan Dosen Pembimbing Akademik dan Pembimbing Skripsi II yang banyak memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

6. Yang terhormat Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah memberi kemudahan administrasi selama penulis kuliah di Departemen Etnomusikologi. Terimakasih banyak telah menjadi sahabat dan ibu yang baik sekali bagi penulis.

7. Yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Fadlin, Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Drs. Dermawan Purba, M.Si., Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Arifni Netrirosa, S.ST., dan seluruh Dosen Luar Biasa dan dosen dari Departemen/Fakultas lain yang mengajar di Departemen Etnomusikologi yang membuka luas wawasan dan pengetahuan, juga mengajari penulis melihat dengan cara pandang yang baru.

8. Yang terhormat kang Ade Herdiyat, S.Sn. dan kang Ayi Chidmat Kurnia selaku informan yang banyak sekali memberi informasi untuk skripsi ini dan sempat mengajari penulis bermain gamelan dengan baik. Juga kepada keluarga besar Paguyuban Wargi Sunda atas kemudahannya dalam mengakses informasi berkaitan dengan paguyuban dan warga Sunda di Sumatera Utara. 9. Kepada teman-teman mahasiswa dan alumni Etnomusikologi USU angkatan


(8)

S.Sn., Decy Christy, S.Sn., Tommy W. Manurung, S.Sn., Elisabeth Sitompul, Nelia Sihombing,S.Sn., Herbert F. Simanjuntak, S.Sn. Senovian Butar-butar, Irbet N. Barus,S.Sn., Ophir Yanto Sihombing, S.Sn., Siti Harviah Saragih, Hotmauli Manalu, Galumbang Sihombing… dan terkhusus kepada sahabat terdekat dan terbaik yang tak pernah bosan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini: Intan M. Sinambela.

10.Kepada alumni Etnomusikologi USU yang kepada mereka penulis banyak belajar: Drs. Asep Nata, Edward Fransisco Bangun, S.Sn., Franmi Karto Sinulingga, S.Sn., Karto Situmorang, S.Sn., Tanjung Simanjuntak, S.Sn.

11.Kepada adik-adik kelas teman diskusi dan teman jalan yang seru: Rie Purnamasari, Rofina ‘pienz’ Fitrian Lubis, Saidul Irfan Hutabarat, Brata Andreas Simamora, Welly Simbolon, Fera M. Sitompul, Ferry E. Panggabean, Markus Bona Sirait, Martahan Sitohang, Andy Mangaritua Sirait, Daniel Limbong, Jeffry Hutagalung, Ucok Silalahi, Heidy Eveline, Novalinda Tringani, Sansri Nuari dan teman-teman yang lain yang akan terlalu panjang jika disebutkan satu per satu di sini, dan terkhusus pada adik kecil penulis Evi Nenta Sipahutar yang tak pernah bosan memberi semangat pada penulis untuk segera mnyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada teman-teman dari institusi lain yang dengan sabar membantu mencarikan buku, artikel, bahan-bahan, informasi, serta mengingatkan dan memberi semangat: Anggi Fauziani Yusuf (Univ. Trisakti), Ramadhan Khairun Nisa (STSN), Salmah bt Ahmad Janab, Nurul Hidayah Samadi dan


(9)

Mohd Husaini Tokimin (Univ. Sains Islam Malaysia). Terimakasih atas email, comments, tulisan di blog masing-masing, dan sms-sms yang terbalas, maupun yang tidak. Itu semua sangat berarti bagi penulis.

13.Kepada sopir angkot, sopir taksi dan abang becak di Kota Medan yang dengan selamat telah mengantar penulis pulang pergi dari rumah ke kampus dan ke mana saja setiap hari, yang oleh karenanya juga berpartisipasi aktif dalam melancarkan segala urusan selama lebih lima tahun penulis tinggal dan menimba ilmu di Kota Medan.

14.Kepada Café Mbak Yanti serta semua orang yang bekerja di sana, tempat makan siang sekaligus tempat diskusi-diskusi panjang tentang segala hal yang menginspirasi penulis untuk terus belajar tentang apa saja.

15.Kepada perpustakaan-perpustakaan, warnet-warnet, toko buku dan semua pegawainya yang memberi kemudahan kepada penulis untuk mencari informasi berkaitan dengan penelusuran kepustakaan dan pengumpulan data dalam rangka penulisan skripsi ini.

Terimakasih juga kepada siapa saja yang langsung ataupun tidak langsung terlibat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semuanya, semoga segala kebaikannya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.


(10)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah 1

1.2. Pokok Permasalahan 8

1.3. Tujuan Penelitian 9

1.4. Manfaat Penelitian 9

1.5. Konsep 10

1.6. Kerangka Teori 11

1.7. Metode Penelitian 14

1.7.1. Studi Kepustakaan 15

1.7.2. Penelitian Lapangan 16

1.7.3. Kerja Laboratorium 17

1.7.4. Metode Transkripsi 17

1.7.5. Lokasi Penelitian 20

BAB II : ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN

2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda di Kota Medan 23 2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda

di Perantauan 28


(11)

2.3.1. Mata Pencaharian 32

2.3.2. Sistem Bahasa 32

2.3.3. Sistem Religi 37

2.3.4. Sistem Kekerabatan 41

2.3.5. Sistem Pengetahuan 42

2.3.6. Kesenian 47

BAB III : ADAT PERKAWINAN SUNDA

3.1. Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam 51

3.2. Tahapan Adat Perkawinan Sunda 53

3.2.1. Neundeun Omong 53

3.2.2. Ngalamar 54

3.2.3. Siraman 56

3.2.4. Seserahan 59

3.2.5. Ngeuyeuk Seureuh 61

3.2.6. Walimah (Akad Nikah) 68

3.2.7. Upacara Mapag Pangantén 70

3.2.8. Numbas 72

3.2.9. Ngunduh Mantu 73

3.3. Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu 73

BAB IV : UPACARA MAPAG PANGANTEN


(12)

4.1.1. Waktu dan Tempat Upacara 77

4.1.2. Pendukung Upacara 77

4.1.3. Peralatan dan Perlengkapan Upacara 81

4.1.4. Proses Upacara 85 4.2. Musik Dalam Upacara Mapag Pangantén 96 4.2.1. Gending Bubuka 96 4.2.2. Rajah Lengser 98

4.2.3. Rajah Payung 99

4.2.4. Gending Punggawa 100

4.2.5. Lengser Midang 101

4.2.6. Pajajaran 102

4.3.7. Bagja Diri 103

4.3. Keberlanjutan dan Perubahan 104

BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan 111


(13)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Upacara Adat Mapag Panganten merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Sunda. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut. Maka mapag panganten adalah acara menyambut kedatangan pengantin dan keluarganya. Dalam hal ini yang disambut adalah pihak pengantin laki-laki karena pada umumnya upacara perkawinan masyarakat Sunda dilaksanakan di kediaman keluarga pengantin perempuan.

Seluruh rangkaian upacara mapag panganten tersebut diiringi oleh musik yang dimainkan oleh gamelan degung, seperangkat gamelan terdiri dari bonang (15-18 gong-chime set), saron (metallophone), jenglong (8 gong-chime set), goong, kendang (double-sided barrel drum set) dan suling degung (end-blown flutes). Studi tentang musik gamelan degung dalam konteks upacara mapag penganten ini menjadi salah satu bagian pokok dalam penelitian ini.

Penelusuran historis yang penulis lakukan untuk mengetahui sejak kapan gamelan degung dipakai untuk mengiringi mapag panganten belum menemui titik terang. Mungkin sama tidak jelasnya dengan sejarah gamelan degung itu sendiri.

Tjarmedi, seperti yang dikutip Herdini, meyakini bahwa seni degung lahir sekitar abad ke-14, di mana Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sebagai yang pertama menciptakannya (Herdini 1992:34). Pendapat ini didukung oleh penelitian


(14)

Kumalasari (1981) bahwa upacara-upacara pada jaman kerajaan Pajajaran diiringi oleh gamelan degung. Pendapat ini didasarkan pada naskah carita pantun Sunda yang menurut sebagian ahli perlu dibuktikan lagi (Herdini 1992:34).

Pendapat lain muncul dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan degung berasal dari perkembangan goong renteng1

1

Istilah goong renteng berasal dari salah satu instrumen berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak (rak). Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang (gong-chimes), saron (metallophones), cecempres (metallophones), beri (gong-chimes), goong alit (gong kecil), dan goong gede (gong besar). Lihat Soepandi (1974), Heins (1977), dan Herdini (1992).

yang direkonstruksi oleh Pak Idi, seorang nayaga, menjadi gamelan degung pada sekitar tahun 1920-an (Soepandi, 1974:8). Pendapat ini didasari oleh kesamaan repertoar pada goong renteng dan gamelan degung.

Kang Ade Herdiyat dan Kang Ayi, informan yang penulis wawancarai, sepakat bahwa upacara mapag panganten telah dilaksanakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, sekitar abad ke-14. Waktu itu upacara ini hanya dilaksanakan ketika ada putri raja atau keluarga kerajaan yang akan menikah. Tidak ada rakyat biasa yang boleh melaksanakan upacara ini. Namun setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, upacara-upacara ritual yang tadinya hanya diselenggarakan di lingkungan kerajaan, mulai dilaksanakan oleh masyarakat biasa, meskipun pelaksanaannya terbatas pada orang-orang kaya, karena mahalnya biaya upacara. Kang Ayi juga menyakini bahwa gamelan degung telah dipakai dalam mengiringi berbagai upacara sejak jaman kerajaan Pajajaran, termasuk upacara mapag panganten (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007 dan Kang Ayi, 6 Agustus 2007).


(15)

Upacara mapag panganten dimulai ketika pengatin laki-laki serta rombongan telah datang ke tempat upacara. Pengantin laki-laki didampingi orang tua dan kerabat dekatnya datang beriringan. Rombongan harus menunggu kesiapan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan mapag (menyambut, Ind.).

Setelah semuanya siap, Ki Lengser2 (penetua adat) yang bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda kepada para panayagan3

Di depan rumah sudah menanti mempelai perempuan beserta keluarga. Setelah berhadap-hadapan, ibu mertua menyambutnya dengan mengalungkan bunga. Kemudian kedua mempelai berhadapan dan bersiap akan melaksanakan ritual nincak endog (menginjak telur). Pengantin laki-laki menginjak sebutir telur dan pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki sebagai tanda pengabdian. Selanjutnya, (pemain musik), pager ayu (penari), punggawa (prajurit penjaga), dan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan menyambut kedatangan pengantin laki-laki, bahwa upacara akan segera dilaksanakan.

Repertoar gending bubuka menandai dimulainya upacara. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin laki-laki beserta rombongan. Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan, para pager ayu (penari) yang terdiri dari enam orang kemudian menyambut kedatangan rombongan dengan tarian dan tabur bunga.

2

Ki Lengser merupakan jelmaan Ki Semar, seorang tokoh pawayangan yang mengabdikan hidupnya

untuk melayani umat manusia (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007)

3


(16)

kedua pengatin membakar harupat4

Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag panganten, terus melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Termasuk juga masyarakat Sunda yang telah berpindah tempat dari Tanah Sunda

dan memecahkan kendi yang berisi air bunga sebagai tanda bahwa segala sifat buruk harus dibakar dan semua masalah yang muncul dalam kehidupan harus dipecahkan bersama-sama.

Setelah itu selesai, maka kedua mempelai diiring ke depan pintu guna melaksanakan ritual buka pintu. Buka pintu adalah satu ritual yang melambangkan bahwa pengantin laki-laki akan memasuki rumah dengan tatakrama seperti mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dan salam. Dengan begitu sahlah pengantin laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga di keluarganya.

Dengan berakhirnya buka pintu tersebut, maka berakhir pula rangkaian upacara mapag panganten. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah dan disandingkan di pelaminan untuk sungkeman kepada keluarganya.

5

Catatan-catatan mengenai perpindahan orang Sunda ke Sumatera Utara yang penulis dapatkan, menyebutkan bahwa orang Sunda datang pertama kali pada sekitar

ke pulau Sumatera. Wilayah penelitian akan penulis batasi hanya pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan.

4

Harupat adalah batang lidi pohon enau. Ada satu ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi: getas

harupateun, yang artinya putus harapan. Masyarakat Sunda percaya dengan membakar harupat,

maka sifat putus asa (yang disimbolkan oleh harupat yang rapuh) dalam menjalani kehidupan rumahtangga akan hilang dan perceraian pun bisa dihindari.

5

Tanah Sunda sebagai tempat asal orang Sunda sering juga disebut parahyangan (tempat para

hyang, dewa, Ind.) atau pasundan (pa-Sunda-an, tempat tinggal orang Sunda). Sekarang menempati


(17)

awal 1900-an ketika perusahaan perkebunan Deli Matschapij kekurangan pekerja, maka didatangkanlah kuli dari Jawa6

Sedikit sekali informasi mengenai kapan dan siapa yang berperan dalam pembentukan paguyuban yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini, karena sebagian besar informasi tersebut dituturkan secara lisan, tanpa ada catatan resmi. Beberapa tokoh yang berperan dalam pendirian paguyuban pada masa sebelum kemerdekaan, yang saat itu sedang menderita kemiskinan dan pengangguran (Buiskool 2005:274-5). Sebagian kecil kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, kuli-kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Hartono 2005:433)

Setelah Kemerdekaan, kebanyakan orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara adalah aparat keamanan (TNI/POLRI) dan pegawai negeri. Namun ada juga yang datang untuk berwiraswasta. Seperti industri sepatu di Cibaduyut, Bandung yang melakukan pemasaran dari-pintu-ke-pintu yang menyebabkan para penjualnya datang ke Kota Medan untuk berjualan sepatu. Komunitas (penjual sepatu) ini tinggal di Medan Selayang dan Medan Polonia.

Semakin banyaknya orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara, menimbulkan usaha untuk tetap menjaga identitas ke-Sunda-annya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dirintislah satu institusi adat yang kemudian dikenal dengan nama Paguyuban Wargi Sunda.

6

Selain dari Jawa, Deli Matschapij juga mengimpor kuli orang Cina dan orang India dari P. Penang dan Singapura. Ini dilakukan karena penduduk Sumatera (Melayu dan Batak) tidak tertarik dengan kerja perkebunan. Diperkirakan tiga ratus ribu orang Cina telah didatangkan ke Sumatera antara tahun 1870 s.d. 1930, dan dua puluh ribu orang Jawa didatangkan pada awal 1900-an (Buiskool 2005: 275).


(18)

sempat penulis temui pada tahun 2006 lalu, namun karena usianya yang telah uzur, mereka tidak dapat lagi mengingat kapan tepatnya paguyuban dibentuk. Informasi terakhir yang penulis dapatkan dari informan lain, bahwa paguyuban didirikan pada sekitar tahun 1936. Namun informasi tersebut tidak sempat dikonfirmasikan kebenarannya karena tokoh tersebut telah meninggal dunia pada tahun 2007. Namun dalam Anggaran Dasar Paguyuban yang direkonstruksi pada bulan September 2007, menyebutkan bahwa Paguyuban Wargi Sunda didirikan pertamakali pada 27 Juni 1936 dan “disempurnakan dan diperbaharui” pada tanggal 9 April 2005 (PWS, 2007). Jadi, paguyuban inilah yang melayani dan memelihara keberlanjutan tradisi Sunda selama tujuh dekade terkahir, termasuk upacara adat perkawinan.

Literatur mengenai upacara perkawinan adat Sunda pun telah lama dilakukan oleh para penulis dan peneliti. RH. Hasan Mustafa, seorang tokoh adat, mungkin yang pertama menulis hal-hal mengenai adat perkawinan dalam bukunya yang terkenal Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti éta (1913) yang kemudian diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya menjadi Adat Istiadat Sunda (1996). Buku tersebut merupakan kumpulan adat-adat dalam daur hidup orang Sunda, termasuk adat perkawinan.

Peneliti lain yang lebih spesifik membahas adat perkawinan adalah Prawirasuganda (1950) dan Tim Peneliti dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud yang dipimpin oleh Bambang Suwondo (1975). Keduanya menjelaskan secara rinci hal-hal mengenai adat perkawinan orang Sunda.


(19)

Buku terbaru yang membahas adat perkawinan Sunda secara praktis adalah buku Perkawinan Adat Sunda oleh Artati Agoes (2003). Buku ini berisi kiat-kiat bagaimana menyelenggarakan upacara perkawinan adat Sunda pada masa sekarang.

Penulis mendapat banyak pengetahuan dari keempat buku hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan tersebut. Baik Mustafa (1913), Prawirasuganda (1950), Suwondo (1975) maupun Agoes (2003) menjelaskan secara komprehensif detil-detil upacara perkawinan adat Sunda. Namun begitu, tak satupun dari keempatnya menjelaskan musik yang mengiringi upacara perkawinan, khususnya upacara mapag panganten.

Mustafa bahkan tidak menyinggung upacara mapag panganten, meskipun ritual-ritual setelah akad nikah yang dijelaskannya merupakan bagian dari upacara mapag panganten. Begitu juga dengan Prawirasuganda dan Suwondo. Sedangkan Agoes secara tegas memisahkan upacara sebelum perkawinan, akad nikah, dan upacara mapag panganten sebagai bagian dari acara resepsi perkawinan. Namun tak satupun yang menjelaskan fenomena musikal dalam upacara itu.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa musik yang digunakan untuk mengiringi upacara mapag panganten adalah repertoar gamelan degung. Repertoar-repertoar tersebut merupakan keberlanjutan tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, meskipun pada kenyataannya upacara mapag panganten khususnya, dan upacara adat perkawinan Sunda umumnya, telah berubah seiring dengan perubahan masyarakat, terkhusus lagi pada dua dekade terakhir yang menjadi perhatian utama skripsi ini.


(20)

Perubahan-perubahan tersebut meliputi adat-adat sebelum perkawinan yang semakin “diperpendek”, di mana beberapa ritualnya tidak lagi dilaksanakan. Hal ini juga terjadi dalam upacara mapag panganten yang meliputi materi, waktu dan tempat upacara yang disesuaikan dengan kebiasaan lokal dan pengaruh interaksi sosial dengan suku lain. Meskipun begitu, aspek-aspek musikal dan ekstra musikal tetap dipertahankan secara konseptual.

Oleh karenanya penulis tertarik membahas upacara adat perkawinan Sunda, khususnya upacara mapag panganten dari perspektif etnomusikologi. Penelitian skripsi ini akan melihat mapag panganten dengan pendekatan deskripsi-analisis untuk melihat musik pada upacara tersebut dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat Sunda. Pendekatan musikologis dilakukan untuk menganalisis fenomena bunyi musikal yang terjadi, dan pendekatan sosio-antropologis ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang latarbelakang budaya Sunda yang menjadi pendukung mapag panganten. Pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan secara sinergis dalam rangka mendapatkan pemahaman mengenai upacara mapag panganten secara komprehensif.

I.2. Pokok permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain bagaimana fenomena musikal yang terjadi dalam upacara tersebut, apakah terjadi perubahan, --mengingat orang Sunda yang ada di Kota Medan merupakan orang Sunda yang tidak


(21)

berada di wilayah kebudayaannya— aspek-aspek apa saja yang berubah dan apa saja yang tetap dipertahankan, dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya.

I.3. Tujuan penelitian

Pada dasarnya, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara mapag panganten dan mendapatkan pengetahuan tentang aspek-aspek apa saja yang tetap bertahan --setelah kepindahan—dan unsur-unsur apa yang berubah. Lebih jauh lagi penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban mengapa fenomena ini terjadi dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kota Medan.

Pendekatan analisis musikologis dilakukan untuk mendeskripsikan musiknya, dan pendekatan antropologis untuk membahas konteks sosialnya dan penulis akan melihat hubungan antara keduanya.

Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

I.4. Manfaat penelitian

Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti budaya Sunda sebelumnya. Juga untuk memperdalam pengetahuan tentang adat perkawinan Sunda dan menambah referensi dan dokumentasi budaya Sunda. Itulah beberapa manfaat dari penelitian skripsi ini.


(22)

I.5. Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian.

Musik7

Masyarakat Sunda yang penulis maksud adalah masyarakat Sunda yang telah bermigrasi dari Tanah Sunda dan menetap (termasuk juga yang lahir dan tumbuh) di yang dimaksudkan di sini adalah repertoar gamelan degung yang mengiringi tarian penyambutan pengantin yang terdiri dari repertoar Gending Bubuka, Rajah, Payung Agung, Umbul-Umbul Punggawa, Ki Lengser Midang dan Tari Pager Ayu. Repertoar-repertoar ini menjadi inti dari upacara mapagpanganten.

Mapag panganten sendiri berasal dari kata mapag yang berarti menyambut (Ind.), dalam hal ini yang disambut (dipapag) adalah pengantin laki-laki serta rombongan keluarganya oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Upacara penyambutan ini merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan Sunda.

Pengertian masyarakat dapat dipahami sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, di mana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaranigrat 1986:160).

7

Masyarakat Sunda tidak memiliki istilah musik secara khusus untuk menyebut fenomena musikal dalam budaya musiknya. Yang ada hanya istilah sekar untuk menyebut seni suara (musik vokal) dan

waditra yang merujuk pada musik instrumenal. Terminologi musik sendiri (seperti pada kebudayaan


(23)

Kota Medan. Mengingat hal ini, perlu dipahami bahwa budaya Sunda telah berinteraksi dengan budaya lain di Sumatera Utara seperti Melayu, Batak, Karo dan sebagainya selama lebih dari satu abad. Kondisi ini menyebabkan persinggungan antar-budaya dan perilaku saling mempengaruhi8

Koentjaraningrat (1986:377-8) memberikan pengertian upacara sebagai suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai

.

Keberlanjutan yang penulis maksudkan adalah keberlanjutan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan. Keberlanjutan ini meliputi keberlanjutan material sebagai produk budaya dan keberlanjutan yang menyangkut konsep dan nilai-nilai budaya Sunda di tengah interaksi sosial dengan budaya lain di Kota Medan.

Sedangkan perubahan yang dimaksud adalah perubahan unsur kebudayaan yang diakibatkan oleh persebaran secara geografis (difusi), adaptasi dan interaksi sosial. Perubahan yang dicakup dalam tulisan ini meliputi perubahan struktur upacara, materi upacara dan perubahan konsep dan sistem nilai dalam konteks upacara mapag pangantén.

I.6. Kerangka teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini.

8


(24)

dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat upacara, waktu upacara dilaksanakan, benda-benda atau alat-alat upacara, orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara. Teori tentang upacara tersebut relevan digunakan dalam meneliti rangkaian pelaksanaan upacara mapag panganten.

Untuk membahas perpindahan unsur-unsur budaya Sunda di Sumatera, Koentjaraningrat menyarankan teori difusi, yaitu proses persebaran kebudayaan secara geografis. Ada beberapa jenis teori difusi antara lain; (a) difusi yang masing-masing unsur kebudayaannya tidak berubah, (b) difusi stimulus yang meliputi jarak yang besar melalui suatu rangkaian pertemuan antara suatu deretan suku bangsa, (c) difusi hirarki yang menyebar dari satu pihak yang dianggap penting ke pada masyarakat lain, dan (d) difusi yang disebabkan perdagangan yang menimbulkan dampak yang lebih besar dari difusi jenis (a).

Berdasarkan teori tersebut, kebudayaan Sunda yang ada di Sumatera bisa digolongkan pada difusi stimulus, di mana unsur-unsur kebudayaan Sunda berinteraksi melalui serangkaian pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang telah ada di Sumatera, seperti Melayu dan Batak. Pertemuan kebudayaan ini mempengaruhi pola hidup orang Sunda, yang juga berimplikasi pada pelaksanaan upacara mapag panganten.


(25)

Kingsley Davis berpendapat bahwa pertemuan-pertemuan kebudayaan ini terjadi karena hubungan secara fisik antar dua masyarakat9 sehingga terjadi perilaku saling mempengaruhi (Davis 1960: 622-3). Pada tahap selanjutnya, perilaku saling mempengaruhi ini mengakibatkan perubahan sosial yang dicirikan dengan perubahan unsur kebudayaan seperti berubahnya struktur dan fungsi masyarakat.

Perubahan sosial juga terjadi pada unsur-unsur material di mana masyarakat pendatang harus mengadaptasi ketersediaan materi-materi budaya di tempat baru. Namun demikian, konsep-konsep nilainya tetap dipertahankan (Cowell 1959: 40).

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, khusunya di Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan masyarakat lain seperti Melayu dan Batak. Interaksi sosial ini menimbulkan perubahan budaya secara material sebagai akibat dari adaptasi terhadap ketersediaan materi-materi budaya di luar wilayar budaya Sunda. Meskipun demikian, nilai-nilainya tetap dipertahankan secara konseptual.

Kerangka berpikir teoretis di atas penulis gunakan dalam rangka menganalisis musik pada upacara mapag panganten dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat Sunda di Kota Medan.

9

Conrad Philip Kottak mengistilahkannya dengan inter-ethnic-contact sebagai akibat dari

persinggungan antara dua masyarakat yang berbeda tingkat dominasi, daya tahan, dan modifikasi terhadap kebudayaan asalnya (Kottak 2002: 615).


(26)

I.7. Metode Penelitian

Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor 1975:4-5).

Pendekatan emik dan etik10

Dalam upaya untuk mendapat gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara, maka dilakukan transkripsi terhadap musik yang dipakai dalam upacara tersebut. Nettl (1964:99-103) menganggap transkripsi merupakan cara yang baik untuk dapat mempalajari aspek-aspek detail pada suatu musik dengan dua pendekatan; pertama menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan kedua

juga menjadi penting karena penulis adalah ’orang dalam’ (insider). Hal ini membuat penulis mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi. Pada dasarnya, dalam penelitian lapangan, pendekatan emik merupakan identifikasi fenomena budaya menurut pandangan pemilik budaya tersebut, sedangkan etik adalah identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsep-konsep sebelumnya (Kaplan dan Manners 1999:256-8). Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Sunda dengan pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk medapatkan data yang objektif.

10 Pendekatan

emik dan etik merupakan pendekatan di bidang linguistik. Namun kemudian diadaptasi


(27)

mendeskripsikan apa yang dilihat dan menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan tertentu. Pendapat ini sejalan dengan May yang menganggap penting transkripsi untuk memvisualisasikan apa yang didengar sehingga peneliti mampu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta untuk membantu mengkomunikasikannya pada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar (May 1978:109).

I.7.1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.

Penelusuran kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat perkawinan orang Sunda yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Mustafa 1913, Prawirasuganda 1950, Suwondo 1975, Agoes 2003). Studi kepustakaan juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang urbanisasi, etnografi, sejarah, musikologi, dan lain-lain.


(28)

I.7.2. Penelitian lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman dan mencatat jalannya upacara secara keseluruhan, serta melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, pemain musik, dan juga informan lainnya. Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan.

Perekaman audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung. Perekaman audio menggunakan mixer yang disediakan penyelenggara upacara untuk menangkap gelombang suara yang masuk ke mixer. Selain itu juga ada rekaman di luar untuk menangkap sinyal yang keluar dari loudspeaker dan merekam ambiences yang muncul selama upacara berlangsung. Keduanya direkam pada pita kaset SONY C60. Rekaman luar menggunakan alat perekam SONY TCM150. Kedua rekaman ini dilakukan bersama-sama.

Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat upacara. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang muncul—dari repertoar yang dimainkan sesuai dengan yang penulis minta—direkam secara


(29)

langsung dari microphone ke hardisk melalui perangkat audiocard di komputer dan perangkat lunak CoolEdit Pro2.

Semua hasil rekaman ini kemudian dianalisis, di-edit, dan dirangkai kembali untuk menghasilkan rekaman yang memadai untuk ditranskripsi.

Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara dilakukan dengan menggunakan kamera video Panasonic dan kamera foto Nikon E5500 dan Canon EOS20D.

I.7.3. Kerja laboratorium

Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

1.7.4. Metode Transkripsi

Proses memindahkan bunyi dari apa yang didenganr menajdai simbol visual disebut transkripsi. Pekerjaan mentranskripsi bunyi musik adalah salah satu upaya uantuk mendeskripsikan musik, yang merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi.

Seperti yang dikemukakan Phillys (1991:1) bahwa pentranskripsian musik suatu bunyi musik adalah penting dilakukan karena musik memiliki dimensi waktu, sehingga musik tidak pernah dipresentasikan secara keseluruhan pada suatu saat


(30)

tertentu pula. Ini berarti bahwa deskripsi dan analisis yang didasarkan pada suara adalah penting, namun deskripsi juga harus selalu dilengkapi dengan analisis yang didasarkan atas tulisa/notasi (Nettl 1964:98). Jadi suatu transkripsi dibutuhkan utnuk memvisualisasikan apa yang didengar apa yang didengar untuk memkomunikasikan tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar kepada orang lain (Phillys 1991:1).

Dalam mentranskripsi gamelan degung yang digunakan dalam upacara mapag pangantén, penulis melakukan beberapa tahapan; tahap perekaman, pengukuran frekuensi, pentranskripsian, dan penotasian. Pada tahap perekaman, penulis merekam bunyi gamelan degung menggunakan rekaman digital dengan bantuan computer dan perangkat lunak CoolEditPro 2.0. Perekaman dilakukan dalam upacara (in-context) dan di luar upacara. Rekaman dalam upacara bertujuan untuk merekam seluruh ambience (suara lingkungan) pada saat terjadinya upacara dan rekaman di luar upacara dilakukan dengan meminta pemain gamelan untuk memainkan repertoar-repertoar yang dimainkan pada saat upacara di luar konteks upacara yang bertujuan utnuk merekam bunyi yang tidak jelas terekam pada saat upacara.

Tahap berikutnya adalah mengukur frekuensi masing-masing nada dalam gamelan. Penulis mengambil sampel suara saron karena instrumen ini adalah instrumen yang membawa melodi dan penentu jalannya komposisi (master instrumen). Dari pengukuran yang penulis lakukan, dihasilkan informasi bahwa nada 1 (da) pada saron frekuensi suaranya sebesar 762,05 Hz atau hampir sama dengan


(31)

nada g -49 pada sistem musik Barat. Nada-nada berikutnya dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 1. Frekuensi nada saron

Nada da mi na ti la

Frekuensi (Hz) 762,05 727,57 573,14 510,78 485,5

Nada Barat g -49 f# -29 d -42 c -41 b -29

(lihat Lampiran 1)

Berdasarkan penghitungan frekuensi di atas, maka penulis menyusun tangganada berdasarkan sistem musik Barat. Tangga nada yang dihasilkan dpat dilihat sebagai berikut:

Tangganada inilah yang penulis gunakan untuk mentranskripsikan musik dalam upacara mapag pangantén, karena penulis berasumsi bahwa dengan memakai analogi sistem musik Barat, maka pembaca akan lebih mudah melihat musik dalam upacara mapag pangantén.

Tahap berikutnya adalah mentranskripsikan musik dalam upacara. Penulis mengambil sampel instrumen saron dan bonang untuk ditranskripsi karena kedua instrumen ini merupakan instrumen pokok yang membawa melodi dan menentukan jalannya komposisi. Repertoar yang ditranskripsi antara lain Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran, dan Bagja Diri. Kemudian hasil

-49 -29 -42 -41 -29


(32)

transkripsi tersebut dinotasikan dalam sistem notasi musik Barat agar lebih mudah dibaca.

I.7.4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di tempat-tempat komunitas Sunda tinggal di Kota Medan. Desa Pematang Johar Kec. Sampali Kab. Deli Serdang merupakan tempat sebagian besar orang Sunda menetap. Selain itu juga orang Sunda banyak tinggal di Kampung Banten Medan Helvetia, Jalan Angkasa Medan Polonia, dan selain itu Sanggar PWS di kawasan Setiabudi Pasar IV juga menjadi tempat penulis mengumpulkan data.

Wawancara penulis lakukan di rumah Ketua PWS di Komp. Johor Indah I dan di rumah masing-masing informan; Kang Ade di jalan Darmawan no. 1 dan kang Ayi di Pematang Johar Sampali. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara bebas pada saat acara riung mungpulung (pertemuan) rutin di Wisma Kartini Jl. T. Cik Ditiro Medan.

Untuk perekaman upacara, penulis lakukan di tempat upacara mapag panganten berlangsung; di Kawasan Gaperta (perkawinan Yayat-Ina) dan di Asr. Singgasana Glugur (perkawinan Rizal-Nining). Perekaman tambahan (untuk merekam bagian-bagian yang tak jelas terekam ketika upacara) juga penulis lakukan dengan meminta para pemusik memainkan repertoar-repertoar sesuai yang dimainkan pada saat upacara. Perekaman ini dilakukan di rumah informan dan di rumah penulis di Asr. Singgasana Glugur Medan.


(33)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN

Bab ini akan membahas migrasi masyarakat Sunda dari Tanah Sunda ke Sumatera dan etnografi masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara umumnya dan di Kota Medan khususnya. Uraian sejarah disusun secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tercatat maupun informasi-informasi yang diperoleh dari wawancara. Sedangkan penjelasan etnografi akan dibatasi pada aspek-aspek kehidpan secara umum dan berhubungan langsung dengan upacara perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan.

Sedikit sekali catatan-catatan sejarah tentang masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Para penulis sejarah yang secara khusus membahas sejarah Sumatera Utara cenderung mengaburkan masalah etnisitas; di mana orang Sunda sering sekali “dipandang” sama sebagai “orang Jawa”11

11

Pada umumnya orang-orang di luar Jawa menganggap masyarakat yang berasal dari P. Jawa adalah orang Jawa, meskipun pada kenyataannya tidak demikian karena di P. Jawa juga tinggal suku-suku lain seperti Sunda, Tengger, Baduy dan suku-suku pendatang lainnya, seperti Batak, Bugis, Maluku, Papua dan sebagainya.

. Penulis Belanda (Buiskool 2005, Berman 1997) menganggap bahwa orang-orang yang didatangkan sebagai kuli perkebunan di Sumatera Utara adalah orang Jawa. Pun dengan penulis Indonesia seperti Sinar (2005), Hartono (2005), dan Aulia (2006) mengabaikan fakta bahwa sebagian dari kuli itu adalah orang Sunda. Mungkin masalah kesukuan tidak menjadi perhatian utama para penulis tersebut, karena titik fokus perhatian mereka terletak pada


(34)

bagaimana sistem kuli kontrak diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama pembangunan perkebunan di Sumatera Utara sepanjang kurun 1850 sampai 1930-an.

Lain daripada itu penulis menemukan bahwa sebagian kecil kuli kontrak itu adalah orang Sunda yang berasal dari daerah kulon (Banten dan sekitarnya) dan daerah wetan (Ciamis, Garut dan Tasik). Pemukiman Kampung Banten yang ada di kawasan Medan Helvetia dan pemukiman orang Sunda di Sampali Deli Serdang membuktikan hal ini.

Oleh karenanya penulis agak kesulitan dalam menyusun catatan sejarah tentang masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Informasi yang didapat dari buku-buku sejarah dipilah-pilah untuk “memisahkan” orang Sunda dan orang Jawa. Sebagian informasi yang lain berasal dari wawancara yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan akurasi yang memadai untuk dipertanggungjawabkan.

Maka dari itu, penulisan sejarah masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera ini belum sampai pada tahap komprehensif, selain karena migrasi orang Sunda masih berlangsung sampai sekarang.


(35)

2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda Ke Sumatera Utara

Masuknya Orang Sunda ke Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah perburuhan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 yang disebut koeli contract12

12

Koeli contract adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya terikat perjanjian untuk bekerja pada pemerintah Kolonial maupaun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Para pekerja kemudian disebut kuli.

.

Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka ladangnya di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar 2006: 207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik di Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Perkebunan tembakau di Deli tersebut kemudian berkembang dengan pesat dan Nienhuys dengan bantuan modal dari Janssen dan Clemen mendirikan perusahaan perkebunan tembakau yang dikenal dengan nama Deli Maatschapij pada tahun 1866.

Karena pasar tembakau di Eropa sedang naik, Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Kemudian Nienhuys membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal (1869) dan Sungai Besar dan Kelumpang (1875). Semakin luasnya kebun memerlukan semakin banyak kuli.


(36)

Sejak dibukannya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah. Buiskool (2005) menggambarkannya sebagai berikut:

Local labor was in short supply on the east-coast of Sumatera and, as the native Malay and Batak population was not interested in plantation work, the solution was to import the labor force… at this time China were suffering from high unemployment, with its concomitant poverty and hunger, so workers from these places were easily contracted to work in Sumatera. Eventually three hundred thousand Chinese were shipped from China to Sumatera between 1870 and 1930. [buruh setempat sangat sedikit di pantai timur Sumatera dan karena penduduk asli Melayu dan Batak tidak tertari pada pekerjaan perkebunan, maka solusinya adalah mengimpor buruh… pada saat itu Cina sedang menderita pengangguran, pada saat yang sama terjadi kemiskinan dan kelaparan, sehingga pekerja dari daerah ini dengan mudah dapat dikontrak untuk bekerja di Sumatera. Pada akhirnya, tiga ratus ribu orang Cina didatangkan ke Sumatera antara 1870 dan 1930] (Buiskool, 2005:274-5).

Maka dengan mudah perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda dapat mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.

Tahun-tahun berikutnya, merupakan tahun yang penting bagi perkembangan perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884, telah berdiri 12 perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang meliputi wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur sebagai produsen tembakau terbesar di Asia (Sinar 2006:311).


(37)

Namun perkembangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan taraf hidup para kuli bahkan kehidupan kuli kontrak ini sangat memprihatinkan. Mereka mendapat perlakuan yang buruk dari Tuan Kebun. Kuli-kuli dimaki dan dipukuli jika malas bekerja. Pesta yang sengaja digelar oleh Tuan Kebun ketika habis gajian membuat para kuli menghabiskan gajinya untuk berjudi, mabuk, dan prostitusi. Kuli-kuli itu terpaksa berhutang pada makelar dengan bunga yang tinggi (lihat Breman 1997 dan Aulia 2006).

Jika seorang kuli melarikan diri, maka dia akan dikejar-kejar oleh opas dan penduduk setempat demi imbalan yang besar jika mendapatkannya. Kuli yang tertangkap akan dihukum dengan berat. Hukuman ini disebut poenale sanctie13, berupa hukum cambuk dan pukulan (Soegiri dan Cahyono, 2005:10). Ada juga seorang kuli perempuan yang ikat tanpa busana dan kemaluannya digosok dengan lada (Breman 1997:xv, Aulia 2006:73)14

13

Poenale Sanctie tidak hanya diberlakukan di jajahan Belanda namun juga di jajahan Inggris dan Perancis (Breman 1997:xxii). Poenale sanctie diberkalukan karena perkebunan-perkebunan tersebut dikelola seperti perkebunan yang mengandalkan budak (unfee labour) di Amerika Selatan. Dengan cara ini kuli sebenarnya berkondisi seperti budak.

14 Buku Breman didasarkan pada laporan Jaksa Tinggi J.L.T. Rhemrev yang penyelidikannya tersebut

tidak diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena berisi tentang berbagai pelanggaran HAM di Hindia Belanda. Sedangkan buku Aulia, didasarkan pada brosur yang ditulis oleh Johannes van den Brand yang berjudul Millioenen uit Deli yang terbit di Belanda pada tahun 1902. Brosur itu beisi tentang kekejaman Tuan Kebun terhadap kuli kontrak.

.

Perlakuan buruk terhadap kuli ini menyebabkan pemerintah Cina berusaha mengurangi ekspor kuli kontraknya. Pada tahun 1874, pemerintah Cina mengeluarkan larangan migrasi kuli yang dikontrak pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Inggris pun mulai berusaha melarang pengiriman kuli dari India.


(38)

Maka perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur mulai melirik kuli-kuli dari Jawa. Kuli-kuli tersebut dibujuk dengan janji-janji oleh makelar agar mau dikontrak. Aulia (2006) menggambarkan bujukan-bujukan tersebut secara dramatis dengan:

Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit, arak, emas, perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini? (Aulia, 2006:10).

Pada tahun 1875, sebanyak 250 kuli dari Jawa tiba di Deli. Rombongan kuli ini yang pertama tiba di Sumatera Timur yang membuka gelombang-gelombang migrasi kuli kontrak selanjutnya.

Peraturan Koelie Ordonnatie15

Penulis menduga bahwa pada gelombang inilah kuli-kuli orang Sunda bermigrasi ke Sumatera Timur bersama dengan kuli-kuli dari Jawa. Dugaan ini didasarkan pada bincang-bincang penulis dengan seorang informan di Kampung Banten yang mengutarakan bahwa kakeknya datang ke Sumatera ini sebagai kuli , mempermudah para makelar untuk merekrut lagi kuli-kuli dari Jawa (Sinar, 2006:314). Pada tahun 1880, lebih banyak lagi kuli dari Jawa didatangkan. Sepanjang 1880 sampai 1884 telah ada sekitar 30.000 kuli kontrak dari Jawa didatangkan.

15

Koelie Ordonnatie adalah undang-undang tenaga kerja di mana dalam undang-undang tersebut

diuraikan bahwa majikan harus menyediakan perumahan dan pemeliharaan kesehatan yang memadai, buruh hanya terikat dengan perkebunan selama kontrak yang berlaku. Kontrak harus ditandatangani di hadapan hakim dan dapat dipertikaian di pengadilan. Namun dalam praktiknya

koelie ordonnatie disalahgunakan menjadi media untuk membujuk para kuli agar mau dikontrak dan


(39)

kebun sebelum masa “orang Indonesia disuruh sekolah” (wawancara Darman, Juli 2007). Mungkin maksud dari kalimat tersebut adalah sebelum pemberlakuan Politik Etis yang yang dimulai pada tahun 1901.

Kebanyakan kuli orang Sunda diambil dari daerah Banten dan Pandeglang. Pada gelombang berikutnya, semakin banyak kuli orang Sunda didatangkan ke Deli untuk dipekerjakan di perkebunan Buluh Cina dan Sampali.

Setelah kontrak berakhir, mereka tidak kembali ke P. Jawa dan kemudian membentuk komunitas terbatas di dekat perkebunan tempat mereka dulu bekerja. Seperti yang ditulis oleh Hartono (2005):

…at the same time, Javanese workers were also being transported in large number from Java. At the end of their contract period, most of these laborers chose to stay and started their own way of earning living.[…pada saat yang sama, para pekerja Jawa juga didatangkan dalam jumlah besar dari Jawa. Di akhir masa kontraknya, kebanyakan pekerja tersebut memilih untuk tinggal dan mencarai penghidupannya sendiri.] (Hartono, 2005: 433).

Setelah masa Kemerdekaan, motif migrasi orang Sunda ke Sumatera Timur (belakangan diganti namanya menjadi Sumatera Utara) menurut pengamatan penulis dapat dibedakan menjadi tiga motif; pertama, migrasi karena tugas Negara. Dalam kategori ini termasuk orang-orang yang yang bekerja sebagai aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, karyawan BUMN, serta dokter dan perawat yang ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kedua, migrasi karena kehendak sendiri untuk mengadu nasib, di mana yang termasuk kategori ini adalah orang-orang Sunda yang bekerja sebagai karyawan


(40)

swasta, wiraswasta, para pedagang dan sejenisnya. Ketiga, migrasi karena tuntutan pendidikan. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Barat datang untuk belajar di perguruan-perguruan tinggi, baik perguruan tinggi milik pemerintah atau milik swasta di Kota Medan.

Jika dibandingkan dengan migrasi kuli kontrak, maka ketiga pola migrasi tersebut adalah migrasi yang bersifat sementara. Orang Sunda yang bekerja sebagai aparat Negara, karyawan swasta maupun mahasiswa yang belajar di Kota Medan biasanya kembali ke Jawa Barat setelah tugas maupun pendidikannya selesai. Rata-rata mereka tinggal selama 5 sampai 30 tahun.

Berbeda dengan kuli kontrak orang Sunda yang tetap tinggal secara turun termurun di Sumatera Utara. Menurut hasil wawancara, mereka tidak kembali ke Jawa Barat karena tidak lagi mempunyai saudara di sana. Bahkan beberapa di antaranya sudah tidak tahu lagi dari daerah mana mereka berasal.

Di Kota Medan, seluruh orang Sunda, baik yang bermigrasi maupun orang Sunda keturunan kuli kontrak diafiliasi oleh sebuah institusi adat yang bernama Paguyuban Wargi Sunda.

2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda di

Perantauan

Paguyuban Wargi Sunda (PWS) merupakan suatu institusi adat yang dibangun beradasarkan kesadaran atas integritas ke-Sunda-an. Selain itu, PWS dibentuk berdasarkan nostalgia terhadap suasana Sunda. Acara-acara yang digelar PWS


(41)

direkonstruksi sedemikian rupa guna menghadirkan suasana kesundaan sehingga orang Sunda kembali teringat akan kampung halamannya (wawancara Rahmat Warganda, September 2007). Paguyuban Wargi Sunda Medan (PWS Medan) merupakan salah satu konstelasi dari seluruh jaringan PWS yang ada di perantauan.

Sedikit sekali catatan tertulis mengenai awal pembentukan PWS Medan. Satu-satunya data adalah Anggaran Dasar PWS Medan yang direkonstruksi pada September 2007 di mana disebutkan bahwa PWS Medan pertama kali dibentuk pada 27 Juni 1936 dan telah mengalami “pembaharuan dan penyempurnaan” yang diresmikan pada tanggal 9 April 200516

16

Anggaran Dasar PWS Medan ini ditetapkan di Medan pada tanggal 9 September 2007 ditandatangani oleh Ketua PWS Terpilih Dani Kustoni. Sebelumnya PWS Medan berjalan tanpa Anggaran Dasar.

. Informasi tersebut tidak menyertakan siapa yang berperan dalam pembentukan PWS Medan.

Menurut keterangan yang diperoleh dari wawancara, diketahui bahwa sejak pembentukannya pertamakali pada tahun 1936, PWS Medan berjalan sebagai sebuah komunitas dan tidak berbentuk organisasi struktural. Jadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga seperti yang lazim mendasari setiap organisasi tidak diperlukan. Pada tahun 2005, terbentuk ide untuk mengubah struktur paguyuban menjadi sebuah organisasi masyarakat non-politik. Artinya PWS Medan tidak bergerak dalam bidang politik, namun hanya berkecimpung dalam bidang kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan ekonomi untuk menigkatkan kesejahteraan warganya.


(42)

Sejak terpilihnya ketua baru untuk periode 2007-2009 pada tanggal 2 September 2007, maka paguyuban berubah menjadi sebuah organisasi (wawancara Rahmat, September 2007). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga disahkan sebagai dasar organisasi.

Dalam Anggaran Dasar PWS Medan disebutkan bahwa paguyuban didirikan untuk; mempererat tali silaturahmi dan mempertebal rasa sosial di antara sesama anggota maupun dengan seluruh masyarakat Indonesia; memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya, seni, olahraga, dan kepribadian wargi Sunda; menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan kesehatan.

Dalam praktiknya, sebagai implementasi dari tujuan berdirinya paguyuban, PWS Medan melakukan upaya-upaya untuk tetap memelihara persaudaraan di kalangan warga Sunda. Pertemuan-pertemuan rutin, seperti acara pengajian bulanan, arisan keluarga dan riung mungpulung diadakan untuk terus mempererat silaturahmi. Penerbitan Bulletin PWS Medan yang terbit setiap bulan juga menjadi media komunikasi di kalangan warga Sunda di Kota Medan. Selain itu, dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, PWS Medan juga membuka berbagai jenis usaha seperti pabrik tahu Sumedang, toko bahan bangunan (panglong) dan lain-lain.

Dalam bidang kebudayaan, sejak berdirinya, PWS Medan secara konsisten memelihara keberlanjutan tradisi Sunda. Pembentukan sanggar seni yang mengajarkan kesenian gamelan degung dan kacapi suling, merupakan salah satu upaya memelihara kesenian Sunda di Kota Medan.


(43)

Begitu juga dalam konteks upacara mapag pangantén. PWS Medan terus melayani warganya untuk melaksanakan upacara mapag penganten. Jika ada orang Sunda yang bermaksud menikah secara adat Sunda, maka pihak keluarga perempuan sebagai penyelenggara upacara biasanya berkonsultasi dengan tokoh-tokoh adat di PWS untuk mendiskusikan hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara. Bahkan sanggar seni PWS pun dilibatkan sebagai pemain musik dalam upacara mapag pangantén.

Melalui upaya-upaya yang telah diuraikan di atas, PWS bertanggungjawab untuk terus memelihara keberlanjutan budaya Sunda di perantauan. Selain itu, PWS Medan juga menjadi sarana berkumpul yang efektif untuk membangun integrasi masyarakat Sunda di tengah kehidupan Kota Medan yang plural.

Fenomena ini yang menarik perhatian Edward Bruner dalam kunjungannya ke Kota Medan (1974). Bruner memandang masyarakat Kota Medan sebagai masyarakat yang plural dan tak ada kebudayaan yang dominan di dalamnya. Ketiadaan suatu kebudayaan dominan membuat kaum migran cenderung untuk mengelompok bersama dengan sesama warga suku bangsanya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan (Bruner 1974 dalam Lubis 2005:64). Sedangkan Usman Pelly menganggap asosiasi-asosiasi yang tumbuh untuk menghimpun kelompok etnik dan agama di Kota Medan merupakan mekanisme adaptif untuk menjaga identitas (Pelly, 1994:285).


(44)

Begitu juga dengan PWS Medan. Kehadirannya di Kota Medan didukung oleh intergitas yang kuat dari seluruh komponen masyarakat Sunda untuk menegaskan identitas dan integritas ke-Sunda-annya.

2.3. Masyarakat Sunda di Kota Medan 2.3.1. Mata Pencaharian

Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa orang Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, khususnya Kota Medan dapat dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya.

Jenis-jenis profesi itu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, seperti pegawai pemerintah, misalnya aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, Staf Pengajar dan karyawan BUMN yang ditugaskan ke Kota Medan. Golongan selanjutnya adalah orang yang bekerja untuk pihak swasta, seperti pegawai bank swasta, karyawan perusahaan-perusahaan kontraktor, buruh pabrik dan kuli bangunan musiman. Golongan selanjutnya adalah wiraswasta, seperti pengusaha kuliner, pengusaha bahan bagunan, pengusaha budidaya ikan, pedagang sepatu dan lain-lain.

2.3.2. Sistem Bahasa

Basa (bahasa) Sunda adalah bahasa ibu sebagian besar masyarakat Sunda. Hampir seluruh masyarakat Sunda di Jawa Barat menggunakan basa Sunda sebagai media komunikasi formal maupun percakapan sehari-hari.


(45)

Alfabet Sunda terdiri dari 18 huruf konsonan (h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, j, y, ny, m, g, b, ng) dan tujuh huruf vokal (a, i, u, e, é, o, eu ). Alfabet ini disebut cacarakan yang biasanya dihafal sambil dinyanyikan.

Basa Sunda dikategorikan sebagai bahasa afiksasi di mana posisi kata dalam kalimat dan imbuhan gramatikal sangat berperan dalam menentukan makna (Suwondo, 1978:32). Imbuhan-imbuhan yang terdiri dari rarangkén hareup (awalan), rarangkén tengah (sisipan), dan rarangkén tukang (akhiran) menentukan arti kata, misalnya kata dasar asih yang diberi rarangkén berikut ini:

Kata dasar Rarangkén Makna

asih diasih disayang

dipikaasih disayangi

pangdipikaasih paling disayangi pangdipikaasihna yang tersayang

Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana rarangkén berperan menentukan makna kata. Selain rarangkén di atas, masih banyak lagi rarangkén lainnya dalam basa Sunda yang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya.

Selain rarangkén, basa Sunda pun mengenal undak-usuk basa, yang merupakan stratifikasi bahasa menurut tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat dibagi berdasarkan kasar-halusnya bahasa (basa lemes, basa loma, dan basa kasar) dan berdasarkan pada siapa kita bicara (basa ka diri sorangan, basa kasaluhureun, dan basa kasahandapeun). Perbedaan tingkatan tersbut dapat dilihat pada contoh berikut:


(46)

Bahasa Indonesia Basa lemes Basa loma Basa kasar Makan neda, tuang, emam. dahar, ngawedang lelebok

Bahasa Indonesia Basa lemes ka diri sorangan

Basa lemes kasaluhureun

Basa lemes kasahandapeun

makan neda tuang emam

Undak-usuk basa ini adalah pengaruh kebudayaan Hindu di India, di mana kebudayaan India membagi masyarakatnya ke dalam kasta-kasta bertingkat. Pengaruh ini semakin lekat ketika Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Mataram memiliki hubungan yang erat sepanjang abad ke 16 sampai abad 17, karena Mataram sendiri merupakan kerajaan Hindu Dharma yang identik dengan kebudayaan India (Faturohman, 1982: 47-48). Ketika Belanda menguasai Indonesia, undak-usuk basa itu semakin terasa, karena Belanda memang memisahkan masyarakat Sunda golongan menak (bangsawan) dan golongan cacah (rakyat jelata) untuk kepentingan kolonialisme (Kosoh et., 1979: 120). Pada Konferensi Basa Sunda tahun 1953 di Bandung, ditetapkan bahwa undak-usuk basa tidak dihilangkan, tapi penggunaannya dialihkan dari bahasa untuk golongan menak menjadi bahasa untuk orang yang dihormati (Faturohman, 1982: 49).

Pada dasarnya basa Sunda digunakan secara luas di seluruh wilayah Jawa Barat, namun kondisi masyarakat dan perbedaan tingkat evolusi sosial menyebabkan munculnya aksen dan dialek bahasa yang spesifik. Dialek lokal ini kemudian dikenal dengan istilah basa wewengkon, seperti basa wewengkon Banten, wewengkon


(47)

Cirebon, wewengkon Priangan dan lain-lain. Meskipun demikian, masyarakat Sunda dapat saling berkomunikasi menggunakan basa Sunda yang umum dipakai.

Penelitian dan pengajaran basa Sunda telah lama dilakukan. Buku tentang gramatikal basa Sunda karya Coolsman pada tahun 1873 mungkin buku tata bahasa Sunda yang pertama diterbitkan. Buku tersebut kemudian direvisi pada tahun 1904. Buku Coolsman tersebut memicu penelitian lain dari ahli linguistik H.J. Oosting yang kemudian menyusun kamus basa Sunda-bahasa Belanda (1884). Kiprah Oosting diteruskan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda yang kemudian menyusun kamus umum basa Sunda-bahasa Indonesia (1975, 1980, 2000).

Kehidupan sastra Sunda pun telah lama menunjukkan geliatnya. Karangan-karangan R.H. Muhammad Musa yang terbit antara tahun 1860 sampai 1871 merupakan awal gerakan sastra Sunda modern (Rosidi, 1966:107). Pada saat itu ada stigma bahwa karangan yang bermutu adalah karangan yang berbentuk dangding17

17

Dangding adalah cara penyajian karya sastra yang dilagukan menurut pupuh tertentu seperti pupuh

Sinom, Kinanti, Asmarandana atau Dangdanggula. Setiap pupuh terikat pada aturan guru wilangan

yang mengatur jumlah suku kata dalam tiap baris dan jumlah baris dalam setiap bait, dan guru lagu yang menentukan fonem pada akhir suku kata pada setiap barisnya.

. Namun Musa membuat terobosan baru dengan membuat karangan berbentuk prosa. Karya-karya Musa antara lain: Wawacan Raja Sudibya (1862), Carita Abdurahman Abdurahim (1863), Wawacan Secamala (1863), dan Wawacan Panjiwulung (1871). Sastrawan lain pada masa itu diantaranya adalah R.A.A. Martanagara dan Haji Hasan Mustapa yang karya-karyanya turut mendukung gerakan baru dalam kesusastraan Sunda.


(48)

Pengajaran basa Sunda juga telah dimulai sejak akhir abad ke 19 ketika pemerintah Kolonial mendirikan SekolahKlas II yang diperuntukkan bagi anak-anak golongan rendah di kota-kota kabupaten di Jawa Barat. Basa Sunda dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut. Ketika Etishce Politiek mulai diberlakukan pada 1901, semakin banyak sekolah-sekolah didirikan untuk anak-anak bumiputra. Hal ini mendukung perkembangan pengajaran basa Sunda, karena basa Sunda kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah selain pengajaran bahasa Belanda dan bahasa Melayu (Kosoh et.al: 120-7). Sampai sekarang, basa Sunda tetap diajarkan di sekolah tingkat dasar (SD dan SLTP) di Jawa Barat dan menjadi bahasa pengantar paling umum yang dipakai di Jawa Barat.

Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, pada dasarnya masih menggunakan basa Sunda sebagai media komunikasi antara sesama orang Sunda. Ini dapat dilihat ketika ada orang Sunda yang bertemu dengan orang Sunda lainnya pada saat formal maupun pertemuan biasa. Atau ketika acara riung mungpulung yang rutin diadakan oleh paguyuban, di mana basa Sunda menjadi bahasa pengantar formal dan bahasa percakapan informal.

Namun lain dari itu, interaksi sosial masyarakat Sunda dengan suku lain yang ada di Kota Medan, menjadikan orang Sunda harus menggunakan bahasa yang lebih nasional; bahasa Indonesia. Selain itu, orang Sunda juga mengadaptasi “bahasa


(49)

Medan”18

2.3.3. Sistem Religi

yang merupakan ragam bahasa perpaduan antara bahasa-bahasa Melayu, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain.

Dalam konteks upacara mapag pangantén, bahasa pengantar yang digunakan adalah basa Sunda, baik itu dalam acara ritual maupun dalam percakapan biasa. Tembang-tembang dan kawih yang dipakai dalam upacara tetap menggunakan bahasa Sunda yang dapat dipandang sebagai keberlanjutan tradisi dan penguat integritas masyarakat Sunda.

Pada umumnya masyarakat Sunda adalah pemeluk agama Islam. Invasi Islam ke Jawa Barat pada abad ke 14 sampai abad ke 16 mengkonversi hampir seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam.

Penyebar agama Islam yang terpenting adalah Fatahillah (Faletehan) yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan kemudian mendirikan Kota Jakarta, juga mendirikan Kerajaan Islam Cirebon dan Kerajaan Islam Banten. Pendirian kedua kerajaan Islam di Jawa Barat ini kemudian semakin memojokkan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian membawanya menuju keruntuhan pada tahun 1579 (Kosoh et.al. 1979: 82-5).

Sebagian kecil masyarakat Sunda yang tidak mau beralih agama ke Islam, menyingkir ke pegunungan dan membentuk komunitas yang ekslusif dan tertutup. Komunitas ini kemudian disebut orang Baduy. Sebutan orang Baduy bukan

18

Keunikan bahasa Medan ini menarik perhatian beberapa pemerhati bahasa di internet yang kemudian bersama-sama menyusun Kamus Bahasa Medan yang dapat diakses siapa saja di halaman web http://kamus-medan.blogspot.net/.


(50)

merupakan sebutan dari mereka sendiri. Istilah Baduy diberikan oleh orang di luar wilayah Baduy dan kemudian digunakan oleh laporan-laporan etnografi Belanda. Dalam laporan tersebut, masyarakat itu disebut badoe’i, badoei, atau badoewi (Hovell 1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909 dalam Permana 2006).

Orang Baduy memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam ajaran ini, kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau disebut juga sebagai Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa).

Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan keagamaan diatur oleh pikukuh (aturan adat yang bersifat mutlak) agar orang dapat hidup menurut aturan itu demi kesejahteraan dan keseimbangan alam. Konsep keagamaan yang terpenting dalam pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apapun” (Garna 1988 dalam Permana 2006:38-39). Ini yang menyebabkan orang Baduy sangat eksklusif dan tidak fleksibel terhadap perubahan, berbeda dengan masyarakat Sunda pemeluk agama Islam.

Pada umumnya masyarakat Sunda di Jawa Barat (termasuk juga yang bermigrasi ke Sumatera) merupakan pemeluk Islam yang baik. Ajaran-ajaran Islam dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Islam. Konsep-konsep ketauhidan dan hukum-hukum fiqih menjadi landasan yang mendasari seluruh kegiatan kehidupan masyarakat Sunda.


(51)

Meskipun begitu, pengaruh Hindu yang telah berakar selama lebih dari seribu lima ratus tahun19

Hal ini memicu perdebatan panjang selama lebih dari satu abad di kalangan orang Islam. Satu pihak berpendapat bahwa praktik-praktik tersebut merupakan ritual yang tidak diajarkan dalam Islam (bid’ah

menyebabkan praktik-praktik ke-Hindu-an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda tetap dilakukan. Contohnya adalah peringatan kematian tiluna (tiga hari), tujuhna (tujuh hari), matangpuluh (40 hari), mendak taun (setahun), newu (seribu hari) dan haul (peringatan tahunan) yang tidak diajarkan oleh agama Islam tetap saja dilaksanakan dengan konsep dan bentuk yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

20

) dan dapat menjerumuskan ke dalam ke-murtad-an21

Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag pangantén, pada dasarnya melandaskan upacara mapag pangantén (yang notabene merupakan ritual

. Pihak lain berdalih bahwa penyelenggaraan ritual-ritual tersebut sebagai pemeliharaan adat yang pelaksanaannya telah disesuaikan ajaran agama Islam.

Disadari atau tidak, perbedaan pandangan ini kemudian memicu terbentuknya golongan-golongan masyarakat yang berbasis agama di Jawa Barat. Golongan-golongan tersebut, misalnya Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Nahdatul Ulama dan lain-lain tumbuh seiring berkembangnya kondisi politik di Indonesia (Surjadi 1985: 65).

19

Agama Hindu diyakini mulai masuk ke Jawa Barat pada saat kerajaan Tarumanagara berdiri pada abad ke 3 M.

20 Bid’ah; perilaku keagamaan yang tidak ada dalam ajaran Islam. 21


(52)

peninggalan Kejaraan Pajajaran) pada ajaran Islam. Rajah22(do’a-do’a) pada upacara tersebut ditujukan pada Allah SWT sebagai permohonan perlindungan atas penyelenggaraan upacara. Juga dalam ritual buka pintu yang menggunakan kalimat syahadatain (dua kalimat Syahadat) dan ucapan salam merupakan salah satu contoh “penyesuaian” upacara adat dengan ajaran agama Islam.

Begitu juga dengan adat perkawinan secara keseluruhan dilandasi oleh perintah dan ajaran-ajaran Islam. Perintah menikah dalam Al Qur’an dan Hadist menjadi dasar kuat bagi terlaksananya perkawinan. Perintah tersebut salah satunya termaktub dalam Surat Ar Ruum ayat 21 sebagai berikut:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Ruum 30:21).

Ajaran-ajaran Islam lain yang mengatur syarat dan rukun nikah, hukum-hukum talak dan rujuk serta aturan-aturan kehidupan sehari-hari juga berlaku dalam kehidupan perkawinan masyarakat Sunda.

22

Pada awalnya rajah berbentuk mantra-mantra yang berisi do’a pada Yang Maha Kuasa agar penyelenggaraan upacara dapat berjalan dengan baik. Rajah yang disampaikan oleh Ki Lengser tetap dilaksanakan sebagai bagian dalam upacara mapag pangantén (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007).


(53)

2.3.4. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Sunda bersifat bilateral di mana kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Garis genealogis ibu atau ayah baik ke atas atau ke bawah mempunyai derajat yang sama.

Dalam adat Sunda tidak ada kewajiban untuk menikahi seseorang dari garis keturunan tertentu, karena itu orang Sunda diperbolehkan mengambil jodoh dari garis keturunan mana saja, baik itu dari luar maupun dari dalam kekerabatannya selama tidak melanggar ketentuan agama.

Satuan terkecil dalam sistem kekerabatan yang terbentuk karena keturunan disebut keluarga batih, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Setelah anak-anak anggota kelurga batih tersebut menikah dan membentuk keluarga batih sendiri, maka terbentuk keluarga besar. Kumpulan dari kelurga besar ini yang membentuk kolektif masyarakat.

Dalam kolektif masyarakat ini, dikenal sebutan-sebutan untuk setiap generasi. Dari ego ke atas urutannya: ego—bapa—aki—uyut—bao—janggawareng—udeg-udeg—gantungsiwur, sedangkan dari ego ke bawah urutannya: ego—anak—incu— buyut—bao—janggawareng—udeg-udeg—gantungsiwur.

Panggilan dalam keluarga Sunda tidak memiliki aturan yang tetap dan berbeda pada setiap keluarga. Anak-anak bisa memanggil ayahnya dengan panggilan abah, bapa, rama, atau ayah, sedangkan untuk memanggil ibu dengan panggilan ibu, emak, mamah, atau emah. Untuk memanggil saudara laki-laki yang lebih tua, biasanya digunakan panggilan akang atau aa, dan saudara perempuan yang lebih tua


(54)

dipanggil tétéh. Panggilan ini berlaku juga untuk setiap orang yang dituakan, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan.

Sedangkan sistem kekerabatan yang terbentuk karena perkawinan di antaranya adalah mitoha, minantu, bésan, ipar dan dahuan. Mitoha (mertua) adalah panggilan kepada orang tua istri atau suami, sedangkan minantu (menantu) adalah panggilan pada istri atau suami anak. Bésan adalah hubungan dua keluarga batih karena perkawinan anak-anak mereka. Maka orang tua pihak laki-laki merupakan bésan dari orang tua pihak perempuan, atau dalam kata lain kedua belah pihak ber -bésanan. Ipar adalah bentuk bésanan yang lebih spesifik di mana panggilan ipar ditujukan pada saudara kandung dari istri atau suami. Sedangkan dahuan adalah hubungan yang terjadi karena dua laki-laki yang istrinya bersaudara. Jadi jika ada kakak dan adik yang telah memiliki suami, maka suami mereka saling memanggil dahuan. Panggilan ini juga berlaku bagi istri-istri dari laki-laki yang bersaudara.

2.3.5. Sistem Pengetahuan

Orang Sunda memahami alam sekitarnya berdasarkan pengalaman, seperti iklim dan pergantian musim. Pengetahuan ini digunakan dalam bidang pertanian, terutama untuk mengatur waktu penanaman padi di sawah. Upaya untuk mengetahui siklus musim hujan dan musim kemarau telah dilakukan sejak lama, yaitu dengan


(55)

mempelajari pranatamangsa23

Mangsa

untuk kepentingan pertanian. Pranatamangsa adalah perhitungan waktu berdasarkan jalannya matahari (solar calendar) yang terbagi ke dalam dua belas mangsa, urutannya sebagai berikut:

Jumlah hari Kalender Masehi

Kasa 41 22 atau 23 Juni

Karo 23 2 atau 3 Agustus

Katiga 24 25 atau 26 Agustus

Kapat 25 18 atau 19 September

Kalima 27 13 atau 14 Oktober

Kanem 43 9 atau 10 November

Kapitu 43 22 atau 23 Desember

Kawolu 26 atau 27 3 atau 4 Februari

Kasanga 25 1 atau 2 Maret

Kasadasa 24 26 atau 27 Maret

Desta 23 19 atau 20 April

Sada 41 12 atau 13 Mei

Jumlah hari: 365 atau 366 hari (Gonggripj 1934:300 dalam Suwondo 1979: 45).

Pada mangsa kanem, béntang wuluku (konstelasi Orion) muncul di ufuk timur pada pagi hari, ini tanda bagi para petani untuk mulai mengerjakan sawah. Sedangkan pada

23

Pranata; aturan, mangsa; waktu. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan pranatamangsa ini mulai berlaku, namun kemudian pranatamangsa menjadi kalender pertanian masyarakat Sunda sampai sekarang.


(56)

mangsa desta, bentang wuluku itu kelihatan terbalik di ufuk barat pada saat matahari tenggelam. Ini saatnya bagi para petani untuk menyimpan bajaknya karena padi telah dipanen. Di waktu tersebut, biasanya orang Sunda bersuasana gembira karena telah sukses memanen sawahnya dan saat seperti inilah merupakan kesempatan baik bagi orang Sunda jaman dahulu untuk melangsungkan pernikahan.

Masuknya kebudayaan Islam ke Tanah Sunda, juga membawa sistem kalender Hijriyah yang didasarkan pada siklus bulan (lunar calendar). Masyarakat Sunda kemudian mengadaptasi sistem kalender tersebut sesuai dengan jiwa Sunda (Suwondo 1979:46). Adapun urutannya sebagai berikut:

Nama bulan Hijriyah Jumlah hari Nama bulan Hijriyah di Sunda

Muharram 30 Muharam

Safar 29 Sapar

Rabiul-Awal 30 Mulud

Rabiul-Akhir 29 Silihmulud

Jumadil-Awal 30 Jumadil Awal

Jumadil-Akhir 29 Jumadil Akhir

Rajab 30 Rajab

Sya’ban 29 Rewah, Ruwah

Ramadhan 29 atau 30 Puasa

Syawal 29 Sawal


(57)

Zulhijjah 29 Rayagung Jumlah hari: 354 atau 355 hari

Dalam hubungannya dengan upacara perkawinan, masyarakat Sunda telah lama menentukan bulan-bulan apa saja yang baik dan yang dilarang untuk menikah. Bulan Rayagung dianggap sebagai bulan yang yang baik untuk menikah, karena bulan ini adalah bulan ketika orang pergi beribadah haji yang do’anya dipercaya akan dikabulkan. Bulan Sawal juga merupakan bulan yang baik untuk menikah, karena bulan ini masih dalam suasana keberkahan bulan Puasa. Sedangkan bulan Sapar adalah bulan yang paling dilarang untuk menikah, karena pada bulan ini saatnya anjing-anjing berkelahi dan bersetubuh (Suwondo 1979:47).

Untuk mengetahui baik-buruknya perjodohan, masyarakat Sunda juga membuat perhitungan-perhitungan menurut tanda-tanda bulan dan hitungan nama. Perhitungan ini disebut néang répok yang biasanya dilakukan oleh orang-orang tua atau penetua adat. Sistem perhitungan baik-buruknya waktu dalam masyarakat Sunda tersebut terhimpun dalam buku yang disebut paririmbon.

Adapun salah satu cara menghitung baik-buruknya perjodohan melalui nama antara lain dengan mencocokkan naktu (nilai) cacarakan (alfabet Sunda). Cacarakan terdiri dari 18 huruf konsonan yang masing-masing memiliki naktu (nilai). Susunannya sebagai berikut: h=5, n=3, c=3, r=3, k=3, d=4, t=3, s=3, w=6, l=4, p=4, j=3, y=9, ny=3, m=5, g=4, b=4, dan ng=1. Kemudian jumlah naktu dari kedua nama mempelai dibagi tujuh dan sisanya dijadikan ketentuan watak baik-buruknya perjodohan. Watak-watak tersebut antara lain:


(58)

Jika sisa angka 1 : Gedong Kuta, wataknya baik, mendapat restu dunia dan diberkahi orang banyak, banyak beruntung, senantiasa selamat dan dekat rejekinya.

Jika sisa angka 2 : Gajah Palangsungan, wataknya pertentangan, sering berselisih, membuat orang marah, dijauhi orang, dan malas bekerja.

Jika sisa angka 3 : Sumur Bandung, wataknya sabar, dianuti orang banyak, kuat terhadap godaan, tidak menyusahkan, mendapat cintakasih orang banyak.

Jika sisa angka 4 : Sangar Waringin, wataknya bebal, banyak cita-cita tapi tak terlaksana, orang kurang menaruh simpati, dan selalu bertengkar dengan tetangga.

Jika sisa angka 5 : Bale Bandung, wataknya agung, dihargai orang, dapat menjadi pejabat karena jiwa kepemimpinan yang tinggi, hidup serba kecukupan.

Jika sisa angka 6 : Pisang Punggel, wataknya buruk sekali, tidak cocok secara lahir dan batin, walau penjang umur namun selalu susah dan melarat.

Jika sisa angka 7 : Aluring Macan, wataknya pertengkaran, hidupnya dijauhi orang, renggang dengan keluarga dan tidak berwibawa. (Paririmbon, tanpa tahun: 20-22).


(59)

Contoh perhitungannya, misalnya Ujang akan menikah dengan Nénéng jika dihitung maka perhitungannya sebagai berikut: Ujang (hu+ja+nga=5+3+1) ditambah Neneng (né+né+nga=3+3+1). Hasilnya adalah 16 yang bersisa dua jika dibagi tujuh, maka wataknya adalah gajah palangsungan.

Perhitungan perkawinan yang berhubungan dengan waktu yang dianggap baik untuk menikah masih dilaksanakan sampai sekarang. Pasangan-pasangan yang akan menikah biasanya bertanya pada orang-orang tua yang tahu waktu yang baik untuk melangsungkan perkawinan. Namun perhitungan yang menyangkut baik-buruknya perjodohan mulai ditinggalkan. Tingkat pendidikan dan perubahan cara hidup menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai hal-hal yang dianggap mitos.

Begitu juga dalam upacara perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan. Waktu perkawinan biasanya ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak, baik itu melibatkan keluarga atau pun atas kesepakatan calon mempelai saja. Sedangkan perhitungan baik-buruknya perjodohan melalui naktu tidak lagi dilakukan.

2.3.6. Kesenian

Kebudayaan Sunda kaya sekali dalam hal kesenian. Laporan penelitian Atmadibrata sampai tahun 1976 menyebutkan terdapat 180 jenis kesenian24

24

Laporan ini disusun oleh Laboratorium Kesenian untuk Arsip Kesenian Daerah, Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Jawa Barat. Penelitian dipimpin oleh Enoch Atmadibrata dan dilakukan selama tiga tahun dari 1973 s.d. 1976 dan kemudian dilanjutkan pada awal 1980-an.

dan menjadi 243 jenis kesenian pada laporan tahun 1981 yang terhimpun ke dalam 19


(60)

rumpun kesenian25

Semakin berkurangnya seniman tradisi karena mereka beralih ke pekerjaan yang lain (karena semakin sedikitnya pertunjukan) atau bahkan seniman yang meninggal dunia tanpa ada penerusnya membuat kehidupan seni tradisi semakin mengkhawatirkan

di seluruh wilayah kebudayaan Sunda di Jawa Barat (Atmadibrata, 1987). Laporan penelitian ini membuktikan kekayaan kesenian dalam kebudayaan Sunda.

Meskipun pada perkembangannya tidak semua jenis kesenian yang berhasil dihimpun itu bertahan sampai sekarang. Beberapa di antaranya kemudian “mati suri”, bahkan menuju kepunahan. Masuknya jenis-jenis kesenian dari luar (Barat) menyebabkan masyarakat Sunda mulai meninggalkan kesenian tradisinya. Perkembangan tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, perubahan pola pikir dan gaya hidup juga menyebabkan semakin sedikitnya minat orang Sunda, khususnya orang muda untuk mempelajari kesenian tradisinya.

26

Namun ada juga kesenian yang dipertahankan baik secara formal maupun informal. Institusi formal yang berusaha melanjutkan kehidupan kesenian tradisi lewat jalur pendidikan adalah Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Departemen Sendratasik Universitas Pendidikan Indonesia dan Sekolah Menengah Karawitan di

.

25

Atmadibrata mengelompokkan jenis-jenis kesenian di Jawa Barat ke dalam rumpun-rumpun yang meliputi angklung, gamelan, macakal, ronggengan, beladiri, helaran, ngotrek, sandiwara,

celempungan, ibing, orkes, pantun, terebangan, debus, kacapian, sekaran, lawak, quro dan wayang.

26

Gejala ini juga diungkapkan oleh Prof. Mauly Purba, Ph.D. ketika membicarakan kehidupan kesenian di Sumatera Utara dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, 2007.


(61)

Bandung. Institusi tersebut mendukung upaya keberlanjutan kehidupan kesenian tradisi Sunda melalui penelitian dan pengajaran karawitan Sunda seperti gamelan degung, gamelan salendro, tembang Sunda Cianjuran dan lain-lain. Tari dan teater pun diajarkan di sana. Selain itu, sanggar-sanggar seni dan paguyuban-paguyuban yang memiliki kelompok kesenian juga turut mendukung kehidupan kesenian Sunda di Jawa Barat.

Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara juga membawa jenis-jenis keseniannya, seperti wayang golek, gamelan degung, dan kacapi suling. Wayang golek dibawa dan dikembangkan oleh Edi Suryana, seorang dalang, yang telah 20 tahun tinggal di Kota Medan. Pada era 1980-an sampai awal 1990-an pertunjukan wayang golek ini sering sekali digelar karena banyak orang Sunda yang menggemarinya (wawancara Edi Suryana, 27 Juni 2007). Setelah krisis moneter pada 1997, wayang golek mulai jarang dipertunjukkan karena mahalnya biaya pergelaran dan ditinggal pergi sebagian besar pemain musiknya.

Berbeda dengan kehidupan gamelan degung dan kacapi suling di Kota Medan. Kesenian-kesenian ini terus hidup karena didukung oleh institusi adat Paguyuban Wargi Sunda yang tetap memelihara kehidupan kesenian gamelan degung dan kacapi suling, baik dalam konteks upacara adat, maupun untuk kebutuhan pertunjukan dalam acara-acara yang diadakan oleh paguyuban.

Selain itu, beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung yang belajar di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara juga turut mendukung keberlanjutan kehidupan kesenian Sunda di Kota Medan.


(62)

Mahasiswa-mahasiswa tersebut, selain belajar disiplin etnomusikologi, juga mengajar kesenian Sunda di Departemen Etnomusikologi. Dibukanya mata kuliah Musik Sunda sebagai salah satu mata kuliah praktik di Departemen Etnomusikologi, berperan aktif dalam melanjutkan kehidupan kesenian Sunda di Kota Medan.


(63)

BAB III

ADAT PERKAWINAN SUNDA

3.1. Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam

Institusi perkawinan dalam persepektif adat Sunda merupakan suatu upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Nilai-nilai biologis sebagai kebutuhan dasar manusia diimplementasikan dalam suatu lembaga perkawinan agar dapat diarahkan, diawasi dan dijalankan sesuai dengan aturan-aturan adat demi tercapainya kebahagiaan.

Selain nilai-nilai biologis, perkawinan juga membawa aspek sosio-politis di mana dalam konsep masyarakat Sunda ada ungkapan yang berbunyi geus cumarita yang berarti seseorang yang telah “diperbolehkan” secara adat untuk berbicara. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan mengubah status seseorang secara sosial karena pada masa lalu orang yang mempunyai hak untuk berbicara adalah orang yang sudah menikah. Sedangkan orang yang belum menikah dipandang sebagai can boga wiwaha (belum punya kebijaksanaan). Untuk itulah masyarakat Sunda memandang pentingnya perkawinan yang dipandnag sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ibadah sesuai denag ajaran Islam.

Pada dasarnya Islam menganjurkan setiap umatnya untuk menikah. Perintah-perintah menikah dalam kitab suci Al-Qur’an secara implisit mengarahkan umatnya menuju perkawinan untuk mencapai kebahagiaan hidup.


(1)

Rajah Lengser

Ditranskripsi oleh Irman F. Saputra

dari rekaman 22 April 2005


(2)

Rajah Payung

Ditranskripsi oleh Irman F. Saputra dari rekaman 22 April 2005


(3)

Léngsér Midang

Ditranskripsi oleh Irman F. Saputra dari rekaman 22 April 2005


(4)

(5)

Gending Punggawa

Ditranskripsi oleh Irman F. Saputra dari rekaman 22 April 2005


(6)

Bagja Diri

Ditranskripsi oleh Irman F. Saputra dari rekaman 22 April 2005