BAB III ADAT PERKAWINAN SUNDA
3.1. Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam
Institusi perkawinan dalam persepektif adat Sunda merupakan suatu upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Nilai-nilai biologis sebagai
kebutuhan dasar manusia diimplementasikan dalam suatu lembaga perkawinan agar dapat diarahkan, diawasi dan dijalankan sesuai dengan aturan-aturan adat demi
tercapainya kebahagiaan. Selain nilai-nilai biologis, perkawinan juga membawa aspek sosio-politis di
mana dalam konsep masyarakat Sunda ada ungkapan yang berbunyi geus cumarita yang berarti seseorang yang telah “diperbolehkan” secara adat untuk berbicara. Hal
ini membuktikan bahwa perkawinan mengubah status seseorang secara sosial karena pada masa lalu orang yang mempunyai hak untuk berbicara adalah orang yang sudah
menikah. Sedangkan orang yang belum menikah dipandang sebagai can boga wiwaha
belum punya kebijaksanaan. Untuk itulah masyarakat Sunda memandang pentingnya perkawinan yang dipandnag sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ibadah
sesuai denag ajaran Islam. Pada dasarnya Islam menganjurkan setiap umatnya untuk menikah. Perintah-
perintah menikah dalam kitab suci Al-Qur’an secara implisit mengarahkan umatnya menuju perkawinan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Ajaran Islam tersebut dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat Sunda pada umumnya. Aturan-aturan adat dan ajaran agama menjadi pendukung utama dalam
membangun sistem perkawinan di mana hukum-hukum perkawinan, hukum waris dan pengaturan hak dan kewajiban suami-istri bersinergi dengan konsep-konsep adat
tentang perkawinan
27
27
Untuk diskusi lebih jauh tentang konsep dan aturan adat perkawinan lihat Mustapa 1913.
. Salah satunya misalnya, ajaran agama Islam yang memerintahkan laki-laki
untuk menikahi satu perempuan saja, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk berpoligami sebanyak empat orang perempuan seperti yang tercantum dalam Al-
Qur’an Surat A-Nisa ayat 4: “…maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja…”. QS An-Nisa:4
Masyarakat Sunda pun hanya membatasi perkawinan sekali saja. Apalagi dengan orang Baduy yang hanya memperbolehkan laki-laki untuk menikahi satu
perempuan saja dan cadu pantang untuk berpoligami Permana 2006:31. Barangsiapa yang melanggar pacaduan tersebut, maka dia akan diusir dari kampung.
Namun lain halnya pada masyarakat Sunda yang meskipun membatasi perkawinannya, tapi pada praktiknya seorang laki-laki Sunda bisa saja nyandung
menikah lagi sampai batas yang ditentukan oleh ajaran agama Islam yaitu empat istri.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep perkawinan Sunda, setiap suami mengarahkan kehidupan perkawinannya sedemikian rupa sehingga dianggap memiliki éwé dénok sawah ledok
istri cantik, sawah subur yang menbuatnya menjadi terpandang di komunitasnya. Maka perkawinan merupakan ritus peralihan yang memberikan kedudukan baru pada
laki-laki Sunda dalam perspektif sosial. Selain itu, nilai-nilai ekonomi juga diarahkan dalam kehidupan perkawinan sehingga setiap keluarga Sunda sejahtera sesuai dengan
ungkapan imah pageuh, paké weuteuh, pamajikan arang reuneuh rumah bagus, pakaian baru, istri jarang hamil—sehingga kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi.
Nilai-nilai seperti yang diungkapkan di atas adalah hal-hal yang hendak dicapai dalam menjalankan lembaga perkawinan.
3.2. Tahapan Adat Perkawinan Sunda 3.2.1. Neundeun Omong