Ngeuyeuk Seureuh Tahapan Adat Perkawinan Sunda 1. Neundeun Omong

diperlihatkan kepada seluruh hadirin. Setelahnya, acara ditutup dengan do’a oleh penetua tadi. Masyarakat Sunda di Kota Medan pada dasarnya tetap melaksanakan seserahan, meskipun dengan bentuk yang lain. Bingkisan-bingkisan yang dibawa biasanya lebih sederhana, hanya berupa pakaian dan makanan ringan. Sedangkan uang yang akan diserahkan sebagai biaya pelaksanaan upacara dimasukkan ke dalam amplop saja, dan diserahkan secara pribadi oleh orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan Wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007. Seserahan diucapkan dalam bahasa Indonesia agar semua hadirin bisa mengerti, mengingat tidak semua yang hadir adalah orang Sunda.

3.2.5. Ngeuyeuk Seureuh

Ngeuyeuk berasal adari kata heuyeuk, yang memiliki dua pengertian. Pertama, artinya mengurus, mengatur, atau mengerjakan Suwondo 1979:91. Contoh pemakaian katanya dapat dilihat pada frase ngaheuyeuk nagara mengatur Negara atau ngeuyeuk paré mengerjakan gilingan padi supaya butirnya lepas dari bulirnya. Kedua, artinya berpegang-pegangan atau berkait-kaitan, seperti pada frase paheuyeuk-heuyeuk leungeun berpegang-pegangan tangan. Kedua arti tersebut sesuai dengan praktek ngeuyeuk seureuh, di mana para upacara ngeuyeuk seureuh seluruh peserta upacara mengerjakan sirih sehingga daun- daun sirih tadi berkaitan satu sama lain. Universitas Sumatera Utara Upacara ini dilaksanakan pada sore hari sehari sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Biasanya bertempat di ruang tengah rumah atau di tempat tertutup yang luas lainnya. Semua peserta duduk di lantai membentuk lingkaran. Kedua calon pangantén duduk ditengah-tengah menghadapi peralatan upacara. Peserta upacara terdiri dari pangeuyeuk yang memimpin jalannya upacara. Pangeuyeuk biasanya wanita yang sudah berumur dan dianggap mengerti segala sesuatu yang berkaitan dengan adat-adat perkawinan. Sedangkan peserta upacara yang lain adalah wanita-wanita setengah baya yang sudah berumahtangga yang berjumlah kelipatan tujuh, seperti 14, 21, 28 dan seterusnya. Pada zaman dahulu, upacara ini hanya diperuntukkan bagi kedua pangantén dan sesepuh terbatas, karena material ngeuyeuk seureuh berisi nasihat-nasihat tentang kehidupan rumahtangga secara mendalam, khususnya meliputi kehidupan seksual. Sehingga gadis-gadis dan anak laki-laki yang belum menikah tidak diperbolehkan ikut ngeuyeuk seureuh Agoes 2003:50. Namun dalam perkembangannya, acara ngeyeuk seureuh kemudian dikemas sedemikian rupa dengan penuturan lewat simbol- simbol tertentu supaya tidak terlalu vulgar, sehingga sekarang remaja-remaja diperkenankan ikut dalam ngeuyeuk seureuh, walaupun sebatas sebagai penonton. Perlengkapan yang diperlukan dalam ngeuyeuk seureuh antara lain; seureuh satangkayan sirih beranting, setandan pinang muda, gambir dan kapur, tujuh buah ajug pelita yang berbentuk lampu minyak dari bambu, lumpang dan alunya, waluh gedé labu besar, bokor berisi air bunga tujuh rupa, parukuyan pedupaan tempat membakar kemenyan, peralatan sawer uang logam, beras putih, irisan kunyit dan Universitas Sumatera Utara permen, sehelai kain kafan, benang tenun, selembar kain sarung, selembar tikar pandan dan pakaian pengantin yang akan dipakai pada saat upacara perkawinan. Gambar 2. Perlengkapan ngeuyeuk seureuh Tikar pandan dihamparkan dan perlengkapan yang lain disusun di atasnya. Di sebelah kiri posisi dukuk calon pangantén ditaruh labu dan bokor berisi air bunga tujuh rupa. Agak di tengah, sirih, pinang muda, labu dan ramuan sirih disusun rapi dan kemudian ditutup dengan kain sarung. Sedangkan pelita, parukuyan, lumpang dan alu diletakkan di sebelah kanan pangeuyeuk. Separangkat pakaian yang akan dipakai pada upacara perkawinan ditaruh tepat di depan pangeuyeuk. Seluruh peserta upacara duduk melingkari peralatan ngeuyeuk seureuh di lantai yang dialasi tikar. Kedua pangantén duduk ditengah-tengah menghadapi peralatan ngeuyeuk seureuh tersebut. Di belakangnya adalah tempat duduk orang tua kedua pangantén. Pangeuyeuk duduk di seberangnya dan peserta lain duduk melingkar. Antara peserta upacara dan penonton dibatasi oleh benang tenun. Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Pangeuyeuk sedang memandu upacara ngeuyeuk seureuh Ngeuyeuk seureuh dimulai dengan kata pembuka dari pangeuyeuk yang berisi ucapan syukur pada Allah SWT dan memohon perlindungan agar upacara bisa berjalan dengan baik. Setelah itu, pangeuyeuk meminta orang tua calon pangantén laki-laki untuk membakar kemenyan di parukuyan, lalu parukuyan tersebut dikelilingkan agar seluruh peserta membakar kemeyan secara bergiliran. Setelah selesai, pangeuyeuk menyalakan ketujuh ajug sambil menjelaskan bahwa kita harus belajar dari ilmu ajug; tujuh buah ajug melambangkan jumlah hari dan dengan menyalanya pasangan suami-istri tersebut bisa saling terus terang dan menerangi kehidupan rumahtangganya setiap hari. Kemudian daun-daun sirih dilepas dari rantingnya dan dibagikan ke seluruh peserta ngeuyeuk seureuh. Masing-masing mendapatkan dua helai daun sirih dari Universitas Sumatera Utara ranting yang berbeda, lalu mulai ngeuyeuk. Kedua helai daun tersebut dirapatkan dan kedua ujungnya digulung menuju ke tengah-tengah, kemudian diikat dengan benang tenun bentuk ini disebut lungkun. Setelah membuat lungkun, diambil lagi dua helai daun sirih dari ranting yang berbeda salah satunya diolesi kapur basah kemudian dirapatkan dan dilipat dua atau tiga lipatan ke samping sehingga merupakan lipatan panjang. Lalu dibubuhi gambir halus dan irisan pinang. Bagian bawah lipatan dipintal ke atas dan ujugnya di lipat ke dalam sehingga berbentuk kerucut susuh. Bentuk ini disebut tékték. Rongganya diisi dengan tembakau kasar sehingga sepintas lalu terlihat seperti rongga berbulu. Dipertemukannya kedua daun helai daun sirih dari ranting yang berbeda melambangkan dua insan yang berasal dari keturunan yang berbeda. Daun sirih lungkun disimbolkan sebagai alat kelamin laki-laki dan bentuk tékték melambangkan alat kelamin perempuan. Tékték juga melambangkan kerukunan. Jika isi dalam tékték tidak seimbang, maka akan berakibat buruk bagi pemakan sirih, setidak-tidaknya tidak akan terasa nikmat. Sementara pangeuyeuk menerangkan berbagai simbol dalam ngeuyeuk seureuh, para peserta terus membuat lungkun dan tékték sampai semua persediaan habis. Setelah selesai, semua lungkun dan tékték disimpan dan semua peralatan upacara dikesampingkan. Pangeuyeuk kemudian mempersilahkan kedua calon pangantén duduk berhadapan, lalu ia meminta calon pangantén perempuan untuk Universitas Sumatera Utara memegang lumpang dan calon pangantén laki-laki memegang alu. Keduanya diminta membaca basmallah tiga kali, syahadat dan diakhiri dengan shalawat. Setelah itu, pangeuyeuk meminta calon pangantén laki-laki untuk menumbuk alu. Gerakan- gerakan menumbuk alu ini sebagai simbol praktek seksual. Dengan penuh canda dan bahasa perlambangan, pangeuyeuk menjelaskan berbagai teknik dan filosofi dalam aktivitas seksual dalam kehidupan rumahtangga. Gambar 4. Menumbuk alu pada lumpang sebagai simbol praktik seksual Setelah acara menumbuk selesai, lumpang dan alu disimpan. Lalu pangeuyeuk menggelar tikar pandan dang menebar uang logam di bawahnya. Pangeuyeuk kemudian memberi aba-aba pada kedua pangantén untuk mencari dan mendapatkan uang logam tadi secara serentak. Para peserta dan penonton bersorak-sorak untuk memberi semangat. Siapa yang mendapatkannya lebih banyak, diyakini dialah yang paling banyak dapat rezeki. Universitas Sumatera Utara Untuk mengakhiri upacara, pangeuyeuk membaca do’a. Lalu semua benda hasil ngeuyeuk di simpan ke dalam kamar pengantin dan sisanya sampah kemudian dibungkus dengan kain kafan dan digulung dalam tikar pandan. Pangeuyeuk menjelaskan bahwa dalam kehidupan, kita tidak sepatutnya angkuh, karena bagaimanapun juga ketika manusia meninggal, hanya akan dibungkus dengan kain kafan dan tikar pandan. Gulungan tikar pandan tersebut kemudian dibuang oleh kedua pangantén sebagai tanda membuang “sial”. Tikar pandannya dibawa kembali, yang dibuang adalah sampahnya. Kedua pangantén tidak diperbolehkan menoleh ke tempat pembuangan itu. Gambar 5. Kedua calon pangantén membuang sisa ngeuyeuk Universitas Sumatera Utara

3.2.6. Walimah Akad Nikah