Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu

3.2.9. Ngunduh Mantu

Setelah beberapa saat pengantin tinggal di rumah keluarga perempuan, keluarga pihak laki-laki mengadakan upacara ngunduh mantu yang merupakan bagian penutup dari seluruh rangkaian upacara perkawinan adat Sunda. Ngunduh mantu dimaksudkan untuk memberikan pengalaman bagi pengantin perempuan untuk hidup di lingkungan keluarga laki-laki. Upacara ini juga merupakan syukuran pihak keluarga laki-laki karena telah berhasil mendapatkan menantu yang sesuai dengan harapan keluarga. Ngunduh mantu dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki dan dihadiri kerabat- kerabat dekat. Biasanya dilaksanakan pada siang hari, namun ada juga yang menyelenggarakannya pada malam hari seusai waktu isya’. Ngunduh mantu ditandai dengan kedatangan kedua pengantin didampingi oleh orang tua pengantin perempuan dan kerabatnya ke rumah keluarga laki-laki. Pada beberapa kasus, ada acara sawer untuk menyambut kedatangan rombongan, namun ini bukan suatu keharusan. Kemudian rombongan disambut meriah dan dipersilahkan masuk dengan hormat. Selanjutnya adalah acara makan dan hiburan. Hari-hari berikutnya, pengantin untuk sementara tinggal di rumah keluarga laki-laki.

3.3. Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu

Masyarakat Sunda yang melaksanakan upacara perkawinan di Kota Medan biasa melaksanakan tepung tawar setelah walimahan selesai. Tepung tawar adalah Universitas Sumatera Utara suatu tradisi Melayu yang dimaksudkan untuk memberi keberkatan bagi yang ditepungtawari. Tepung tawar dalam konsep masyarakat Melayu merupakan suatu cara penyampaian do’a dan keberkatan melalui simbol-simbol dalam ramuan penabur dan ramuan perincis yang digunakan dalam tepung tawar. Ramuan perincis terdiri dari beras [utih yang melambangkan kesuburan, beras kuning sebagai simbol kemajuan yang baik, ditambah bunga rampai untuk keharuman nama dan tepung beras sebagai tanda kebersihan hati Sinar dan Syaifuddin 2002:65. Sedangkan ramuan perincis adalah segenggam tujuh macam daun-daunan yang terdiri dari daun-daun kalinjuhan, pepulut, gandarusa, jejurun, sepenuh, sedingin dan pohon sambau dengan akarnya yang dicipratkan pada ramuan air jeruk purut dan beras putih sebagai lambang keberkatan dan rezeki yang melimpah. Gambar 7. Pasangan pangantén Sunda yang sedang ditepungtawari Universitas Sumatera Utara Pada praktiknya, tepung tawar dilakukan dengan cara mengambil sedikit-sedikit dari ramuan penabur beras putih, beras kuning, bungan rampai dan tepung beras oleh penepungtawar lalu ditaburkan kepada yang ditepungtawari. Kemudian penepungtawar mencipratkan ramuan air jeruk purut menggunakan ikatan daun-daun tersebut kepada yang ditepungtawari. Terakhir, yang ditepungtawari mengangkat kedua tangan sebagai tanda penghormatan dan terimakasih. Menurut penelusuran penulis, tepung tawar mulai dilakukan dalam rangkaian perkawinan adat Sunda sejak awal era 1990-an. Meskipun pelaksanaannya bukan merupakan sesuatu yang wajib dilakukan, namun sepanjang tahun 1990-an masyarakat Sunda biasa melaksanakan tepung tawar setelah acara akad nikah walimahan yang dimaksudkan sebagai do’a para penepung tawar demi kebahagiaan hidup rumahtangganya wawancara Ibu Sri, 20 Juni 2007. Dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan, tepung tawar merupakan salah satu bentuk interaksi budaya antara budaya Sunda dan budaya Melayu. Dalam kehidupan sosial masyarakat Sunda di Kota Medan memang cenderung dekat dengan masyarakat Melayu. Kedekatan sosial ini menimbulkan interaksi yang lebih kuat dibanding dengan kebudayaan lain yang eksis di Kota Medan. Penulis berasumsi bahwa kedekatan ini disebabkan keidentikan masyarakat Sunda dan Melayu terhadap agama Islam. Pengaruh Islam yang kuat terhadap kedua suku tersebut menyebabkan interaksi sosial yang terjadi di antara keduanya menjadi lebih akrab. Konsepsi dimelayukan pada masyarakat Melayu untuk menyebut orang Universitas Sumatera Utara yang baru masuk Islam atau yang mengadakan upacara adat secara Islam, telah lekat juga pada orang Sunda. Sehingga orang Sunda yang mengadakan upacara adat di Kota Medan terpengaruh dengan kuat oleh konsep bahwa ritus-ritus peralihan tersebut kurang tepat jika tidak diselenggarakan menurut adat Melayu. Akhirnya, tepungtawar dalam konteks upacara mapag Pangantén diterima secara konseptual dan praktis sebagai bagian integral dari keseluruhan rangkaian perkawinan adat Sunda. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Sunda secara adaptif mengadopsi unsur kebudayaan Melayu dan kehidupannya. Universitas Sumatera Utara BAB IV MUSIK DALAM UPACARA MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN

4.1. Upacara Mapag Pangantén