Potensi Sumber Daya System of Small Pelagic Fisheries Development in Southeast Maluku District Waters

5 PEMBAHASAN

5.1 Potensi Sumber Daya

Informasi tentang status potensi sumber daya yang tersedia perlu diketahui untuk pengelolaan sumber daya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumber daya yang ada. Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan overfishing. Suyasa et al. 2007 menyatakan bahwa potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dimana sekitar 73,43 persen atau 4,7 juta ton diantaranya adalah dari kelompok ikan pelagis, baik itu ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil. Potensi ikan pelagis diperkirakan sekitar 3,6 juta ton per tahun atau 56,25 persen dari potensi ikan secara keseluruhan, dan baru dimanfaatkan sekitar 49,50 persen. Hasil analisis produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukkan bahwa nilai MSY terbesar di perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah ikan kembung sebesar 10.172,26 ton per tahun dan sebaliknya yang paling rendah adalah ikan tembang sebesar 657,52 ton per tahun. Ikan lemuru yang memiliki effort optimal yang tertinggi sebesar 41.072 trip per tahun Tabel 26 dan yang effort optimal terendah yaitu ikan kembung sebesar 6.159 trip per tahun. Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara dalam kurun waktu lima tahun terakhir 2004-2008 belum mencapai titik maximum sustainable yield MSY. Kondisi tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi, mengingat pada batas yang melebihi potensi lestari belum tercapai sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly 1979 dan Panayotou 1982 yang diacu dalam Atmaja dan Haluan 2003, menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum sustainable yield MSY menurut Cunningham 1981 yang diacu dalam Atmaja dan Haluan 2003, hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumber daya ikan dalam jangka waktu yang pendek. Secara umum sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara tingkat pemanfaatannya masih dibawah MSY. Hal ini disebabkan karena teknologi penangkapan masih bersifat tradisional berdampak pada produksi yang rendah akibat produktifitas yang rendah. Berbeda seperti yang dilaporkan Atmaja dan Nugroho 2006, tentang perikanan pelagis di Laut Jawa yang telah mengalami kelebihan kapasitas dan kondisi stok ikan pelagis yang menurun drastis, maka perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara dapat dikatakan underfishing. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan, yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien Solihin 2003. Wisudo 2008 menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pada suatu wilayah penangkapan ikan fishing ground diupayakan sesuai dengan ketersediaan sumber daya ikan yang boleh dimanfaatkan nilai potensinya. Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan melebihi nilai optimumnya, maka akan terjadi penurunan efisiensi usaha penangkapan ikan, bahkan akan menyebabkan fenomena tangkap lebih overfishing. Sebaliknya, bila tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya tidak optimal underfishing, tentu juga akan merugikan, karena kelimpahan sumber daya ikan yang ada hanya disia- siakan mati secara alamiah natural mortality atau bahkan dimanfaatkan oleh para nelayan asing, sehingga tidak memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakatnya. Tujuan konsep MSY adalah pengelolaan sumber daya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumber daya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas Hermawan 2006. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara perlu ditingkatkan hingga batas optimum. Murdiyanto 2004 menyatakan bahwa bila tingkat pemanfaatan dibawah angka MSY, akan terjadi apa yang disebut underutilization atau tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidah membahayakan ketersediaan stok ikan tetapi sumber daya ikan tersebut masih kurang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan dari laut, banyak ikan yang mati secara alami tanpa dimanfaatkan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, kebijakan untuk mengupayakan tercapainya tingkat pemanfaatan yang optimal antara kapasitas stok yang terkandung dalam sumber daya ikan di setiap wilayah penangkapan dan hasil tangkapannya adalah hal yang sangat penting dalam menuju tercapainya pelaksanaan usaha perikanan yang berkelanjutan. Tabel 34 memperlihatkan tentang alokasi optimal unit-unit penangkapan ikan yang dihubungkan dengan effort optimal dan tingkat pengupayaan masing- masing jenis ikan pelagis kecil. Dari hal tersebut direkomendasikan pengurangan atau penambahan alat tangkap yang dialokasikan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 34 Usulan alokasi optimal dari unit-unit penangkapan terpilih yang dikembangkan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara Jenis ikan Effort optimal trip Tingkat pengupayaan Alokasi optimum LGP Unit Jumlah aktual unit Penambahan pengurangan Keterangan X1 = 12 10 + 2 X2 = 46 33 + 13 X3 = 408 284 + 124 Kembung 6.159 125,43 X4 = 332 332 - Tembang 10.332 60,11 X2 = 46 33 + 2 X3= 408 284 + 124 Lemuru 41.072 150,08 X4 = 332 332 - Teri 16.330 38,03 X2 = 46 33 + 2 X1 = 12 10 + 2 X2 = 46 33 + 13 X3 = 408 284 + 124 Selar 10.979 162,54 X4 = 332 332 - X1 = 12 10 + 2 Layang 9.895 160,95 X2 = 46 33 + 13 Upaya yang ditempuh untuk pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara adalah dengan penambahan unit alat tangkap pelagis kecil dan perluasan daerah penangkapan ikan. Tabel 34 menunjukan bahwa tingkat pengupayaan ikan kembung, ikan lemuru, ikan selar, dan ikan layang telah melampaui upaya penangkapan optimum. Alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan ikan-ikan tersebut adalah purse seine, bagan, jaring insang hanyut dan jaring insang lingkar. Dilihat dari tingkat pengupaayan terhadap jenis ikan tersebut, seharusnya dibatasi jumlahnya hingga batas optimumya. Pada lain pihak, berdasarkan perhitungan LGP alat tangkap purse seine, bagan dan jaring insang hanyut masih dapat ditambahkan yaitu sebanyak 2 unit untuk purse seine, 13 unit untuk bagan, dan 124 unit untuk jaring insang hanyut. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan terbatas hanya pada daerah pantai. Tingkat pengupayaan tertinggi ditunjukkan oleh jenis ikan selar dengan tingkat pengupayaan sebesar 162,54 dan effort optimal sebesar 10.979 trip. Tingkat pengupayaan terendah pada jenis ikan teri sebesar 38,03 dan effort optimal 16.330 trip. Peningkatan produksi hasil tangkapan harus diimbangi dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya ikan, sebab dengan demikian tidak akan terjadi kelebihan tangkap ikan yang masih dalam pertumbuhan growth overfishing, kelebihan tangkap terhadap ikan dalam peremajaan recruitment overfishing dan kelebihan tangkap akibat penggunaan alat tangkap dengan intensitas penangkapan yang tinggi sehingga memperoleh hasil tangkapan yang semakin kurang Namsa 2006. Muripto 2001 menyatakan bahwa dengan hasil analisis MSY menggambarkan penetapan jumlah armada dan alat tangkap yang diperbolehkan, musim penangkapan ikan dan peraturan daerah dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Pengembangan perikanan pelagis kecil dalam pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal di perairan Kabupaten Maluku Tenggara dapat dilakukan dengan menambah unit penangkapan purse seine karena alasan menempati prioritas pertama pengembangan setelah dilakukan multy criteria analysis MCA. Selain purse seine, unit penangkapan yang perlu ditambahkan juga yakni bagan dan jaring insang hanyut. Penambahan unit penangkapan tesebut dapat dilakukan namun harus diikuti dengan kebijakan pengembangan teknologi penangkapan sehingga penangkapan tidak hanya terkonsentrasi pada pantai atau wilayah pesisir atau dengan kata lain adanya perluasan daerah penangkapan ikan fishing ground.

5.2 Teknologi Penangkapan Tepat Guna