Pluralitas Mazhab Siyãsah

PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL POLITIK

1. Pluralitas Mazhab Siyãsah

Dalam Pemikiran Politik Islam 21 Pendahuluan Dalam kehidupan umat manusia khususnya umat Islam, politik – sebagaimana ekonomis, social, budaya – merupakan bagian yang inheren dan urgen. Hampir semua lini kehidupan umat tidak ada yang terlepas dari pemikiran dan kebijakan politik. Politik bukanlah suatu barang haram atau kotor. Baik buruknya sebuah fenomena politik sangat ditentukan oleh tampilan aktor politik itu sendiri. Bukankah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, khususnya khulafã al-rãsyidîn telah mampu menampilkan wawasan dan prilaku politik yang elegan dan terhormat sesuai konteks zamannya. Maka, tugas generasi Islam masa kini dan masa depan untuk melanjutkan tradisi positif dari politik Islam era klasik dimaksud. Namun yang perlu dipahami adalah dalam realitas historisnya, wawasan sosial politik Islam pada hakikatnya tidaklah bersifat tunggal atau monolitik, namun lebih bersifat plural dan heterogen. Dialektika Pemikiran Politik Islam di Kalangan Ulama Filsafat politik al-Farabi 1 terlihat jelas dilandasi oleh filsafat kenabian, dalam hal ini al-Farabi tergolong filosof politik yang idealistik. Al-Farabi cenderung menekankan baik hubungan antara politik dan pemerintah maupun hubungan antar anggota masyarakat. Bagi al-Farabi, kebahagiaan hidup warga dan masyarakat akan diperoleh melalui konsep kepemimpinan yang etis. Menurut al-Farabi, aspek pemerintahan lebih bersifat keahlian, sedangkan aspek politik merupakan bentuk operasionalnya. 2 Aspek politik ini juga merupakan 1 Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, desa di Farab Transoxania tahun 870 M. Menurut keterangan, ia berasal dari Turki dan orangtuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah jadi hakim. Dari Farab kemudian ia pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan saat itu. Di sana ia belajar pada Bishr Matta ibnu Yunus penerjemah dan menetap di Baghdad selama 20 tahun. Selanjutnya ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif al-Daulah, berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Saif al-Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli pengetahuan dan filsafat di waktu itu. Pada usia 80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo, pada tahun 950 M Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 23. 2 Abu Ahmadi, dkk, Filsafat Islam Semarang: Toha Putra, 1988, hlm. 138 22 tindakan sadar serta bentuk kepatuhan terhadap pemerintah yang berkuasa. Al-Farabi memfokuskan perhatian pada pemimpin kepala negara serta kaitannya dengan sistem pemerintahan “negara kota”. Bagi al-Farabi, antara negara dan masyarakat memiliki keterkaitan seperti tubuh manusia yang sifatnya saling mengisi satu sama lainnya. Lebih penting lagi menurut al-Farabi, seorang kepala negara ibarat jantung sebuah pemerintahan. Al-Farabi memberikan 12 kriteria 3 bagi seorang kepala negara yang ideal. Bahkan seorang kepala negara harus memiliki akal fa’al akal aktif yang mampu menyerap ilham atau wahyu. Tentang kriteria terakhir ini keinginan al-Farabi memang terlalu ideal, dimana filosof dan nabi merupakan tokoh tertinggi yang layak sebagai kepala negara. Tetapi al-Farabi juga memberikan alternatif dari idealismenya tersebut, dalam artian, bila masyarakat atau negara kesulitan dalam mencari kepala negara yang berstatus Nabi atau filosof, bisa digantikan dengan sistem presidium. 4 Di sini tampak ada pengaruh pemikiran politik Plato atau Socrates terhadap cara berpikir al-Farabi. Dibanding dengan al-Mawardi, bila al-Farabi bersifat idealistik dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin kepala negara, maka al-Mawardi cenderung lebih realistik dan berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan. Bagi al-Mawardi, agar tercipta kerjasama yang baik antar warga masyarakat, maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan. Penyelenggaraan pemerintah kenegaraan harus melalui apa yang disebut dengan “kontrak sosial” social contract yakni kooperasi antara kepala negara eksekutif dengan kelompok ahl al- hall wa al-‘aqd legislatif 5 Kepala negara merupakan khilafah kenabian. 6 Beberapa faktor pendukung utama negara adalah: penghayatan keagamaan yang kuat, penguasa yang berwibawa, tegaknya nilai keadilan, stabilitas keamanan, basis ekonomi serta sistem pembangunan yang berkelanjutan sustainable development. Sistem 3 Al-Farabi, Ãrã’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Richard Walzer, al-Farabi on the Perfect State Oxford: Clarendon Press, 1985, hlm. 248 Adapun 12 kriteria dimaksud yakni kepala negara harus: 1 sehat jasmani; 2 baik inteligensianya; 3kualitas intelektual; 4 piawi dalam mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti; 5 pecinta pendidikan dan gemar mengajar; 6 tidak loba; 7 pecinta kejujuran; 8 berbudi luhur; 9 tidak mengutamakan keduniaan; 10 bersifat adil; 11 optimisme dan besar hati; 12 kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme dan tidak berjiwa kerdil. 4 Ibid. 5 Ibid, hlm. 67 6 Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991, hlm. 32 23 pemerintahan a la al-Mawardi bersifat realis karena berangkat dari kondisi riel masyarakat itu sendiri. Al-Mawardi juga menekankan pentingnya suku Quraisy sebagai prasyarat seorang pemimpin negara. Yang dimaksud di sini tentu karena waktu itu suku Quraisy dianggap mewakili golongan elit sosial yang mahir dalam memimpin, di samping karismatis. 7 Bagi al-Mawardi konsep suksesi haruslah melalui dewan legislatif ahl al-ikhtiyãr. Menurut al-Mawardi ada tujuh syarat kepala negara yang laik memimpin negara. 8 Bentuk operasional suksesi bisa juga melalui cara wasiat atas penunjukan. Tampaknya al-Mawardi tidak memastikan secara mutlak bagaimana konsep suksesi itu dilaksanakan, karena tergantung situasi dan kondisi. Jadi suksesi bisa dilaksanakan secara pemilihan, tergantung situasi dan kondisi. Jadi situasi bisa dilakukan baik secara pemilihan pemilu, team formateur maupun penunjukan secara langsung. Al-Mawardi ternyata telah lebih dulu memperkenalan teori kontrak sosial 9 pada awal abad XI M, dan baru lima abad kemudian pertengahan abad XVI mulai bermunculan teori kontrak sosial di Barat, seperti Hubert Languet 1519-1581 M. Thomas Hobbes 1588-1679 M, John Locke 1632-1704 M dan Jean Jaques Rousseau 1712-1778 M. Al-Mawardi juga merupakan satu-satunya pemikir politik Islam sampai abad pertengahan yang berpendapat bahwa kepala negara dapat diganti kalau ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas dengan baik disebabkan oleh persoalan moral, misalnya, maupun oleh masalah-masalah lainnya. Namun Al-Mawardi belum memberikan sistem atau mekanisme yang jelas tentang itu. 10 7 Hak prerogatif bagi suku Quraisy menurut al-Mawardi didukung oleh sabda Rasulullah s.a.w.: “Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahuluinya”. Teks ini diterima oleh semua pihak, tidak ada yang meragukannya, dan tidak pula disanggahnya. Lihat al-Mawardi, Al-Ahkãm al- Sulthãniyyah Beirut: Dar el-Fikr, 1966, hlm.4-5 8 Ibid, hlm. 6 9 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 67 10 Munawir Syadzali. Islam dan Tatanegara. hlm. 67-69. 24 Pemikiran politik al-Ghazali 11 memiliki kekhasan tersendiri baik dibanding al-Farabi maupun al-Mawardi; al-Ghazali menekankan soal profesi kerja yakni: pertanian, pemintalan tenun, pembangunan dan politik. Tentang profesi politik, menurut al-Ghazali, merupakan profesi terbaik, tentunya sesuai dengan kondisi waktu itu. Al-Ghazali memperkenalkan empat departemen pokok dari profesi politik ini yakni bidang agraria, hankam, kehakiman dan kejaksaan. 12 Menurut al-Ghazali, kehidupan dunia ini merupakan ladang akhirat. Karena itu negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin terselenggaranya berbagai profesi rakyat soal lapangan kerja. Bagi al-Ghazali, agama dan negara penguasa ibarat selain fondasi juga pelindung. Agama dan negara itu menyatu dan tidak sekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi, sedangkan negara dipimpin oleh raja; keduanya merupakan manusia 11 Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali 1058-1111 terkenal dengan Ihyã ‘Ulûm al-Dinnya. Ia juga dikenal dengan gelar hujjah al-Islãm, karena pandangannya yang luas tentang agama. Dalam bidang politik ia dijuluki amîr al-muslimîn. Salah satu karya politiknya adalah al-Ţibr al-Masbûk fi Naşîhah al-Mulk Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 74. 12 Ibid, hlm. 74-75 25 39 pilihan Tuhan. 13 Al-Ghazali juga mencetuskan bahwa Sultan merupakan bayangan Tuhan di bumi zhillullãh fî al-ardl. Konsep atau pemikiran politik al-Ghazali ini cenderung berwatak teokratis. 14 Al-Ghazali mengemukakan tujuh syarat kepala negara sebagaimana telah terdahulu keterangannya, dan kaum wanita tidak berhak untuk menjabat sebagai kepala negara berdasarkan hadits Nabi: “Tidak akan sukses suatu masyarakat yang menyerahkan untuk memimpin urusan mereka kepada perempuan”. 15 Ada indikasi bahwa ketika hadits tersebut disabdakan, secara kondisional dan situasional maupun sosio-geografis-kulturalderajat wanita dalam masyarakat masih berada di bawah derajat lelaki; hanya laki-laki yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti itu tidak saja terjadi di Persia, tetapi juga di jazirah Arab dan wilayah-wilayah sekitarnya. 16 Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerima mereka sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat menjadi pemimpin, termasuk kepala negara. 17 Di sisi lain, karena dekat dengan sistem teokrasi, al-Ghazali tidak perlu berbicara tentang mekanisme suksesi kepala 13 Al-Ghazali, Al-Iqtişad fî al-I’tiqâd , Kairo, 1320 H, hlm. 125 14 Munawir Syadzali,Islam dan Tatanegara, hlm. 71-72 15 Ketujuh syarat itu adalah: 1 merdeka; 2 laki-laki; 3 mujtahid; 4 berwawasan luas; 5 adil; 6 dewasa; dan 7 bukan perempuan, orang buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo. Lihat al-Ghazali, al-Wajiz, juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 237. Lihat juga Abu Ishâq al-Syairâzî, al-Muhâdz, juz II, hlm. 240. Tentang hadits Nabi yang melarang perempuan menjadi pemimpin tersebut, lihat dalam al-Bukhari, Şahîh al-Bukhârî, juz IV, hlm.228. Musnad Ahmad, juz V, hlm.38 dan 47; Sunan Turmudzî, juz III, hlm. 360. Jumhur ulama memahami hadits tersebut – juga berdasarkan QS. An-Nisâ’: 34 - secara tekstual bahwa kaum perempuan dilarang menjadi baik hakim maupun kepala Negara. Mereka menyatakan bahwa menurut syara’, perempuan hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya al-Şan’ânî, Subul al-Salâm, juz IV, hlm. 123; Fath al-Bârî, juz VIII, hlm. 128. Namun perlu dicatat bahwa hadits tersebut disabdakan Nabi tatkala beliau mendengar penjelasan dari sahabat tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia, namanya Buwaran binti Şairawaih bin Kisrâ bin Barwayz yang ketika itu secara politik belum dianggap capable dan acceptable khususnya dalam konteks sosio-antropo- historis bangsa Arab dan Persia Bandingkan Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 65; juga Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1986, hlm.314 16 Qasim Amin telah menulis sejarah tentang kedudukan wanita dalam pandangan Islam, dalam dua buku: Tahrîr al- Mar’ah Kairo: tt., h. 25-289; dan Al-Mar’ah al-Jadîdah Kairo: tt., h 3—223. Di Indonesia lahirnya UU No. 174 tentang perkawinan, menghendaki adanya hakim wanita. Karena itu Menteri Agama saat itu mengadakan pertemuan ulama tingkat nasional untuk membicarakan boleh tidaknya wanita menjadi hakim, dan ternyata oleh pertemuan itu - meskipun cukup alot - dapat disetujui yang ketika itu KH Ibrahim Hosen membolehkannya. Lihat Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Putra Harapan, 1990, hlm. 146. 17 Syuhudi Ismail, ibid,hlm. 58. menjelaskan pandangan masyarakat terhadap wanita makin meningkat dan akhirrnya dalam banyak hal diberi kedudukan yang sama dengan laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan. 40 negara dan tidak pula menyinggung soal dapat dan tidaknya kepala negara digantikan dari kedudukannya. 18 Ibnu Taimiyah 19 mengemukakan filsafat politik terutama yang berkaitan dengan teori khilãfah. Ia mengatakan bahwa konsep khilãfah sebagaimana pemahaman di masa dinasti Abbasiyah bukanlah bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Pemahaman konsep khilafah di masa klasik awal Islam lebih ideal ketimbang masa Abbasiyah. Walaupun bagi Taimiyah, historisitas khilafah hanya sebuah aksiden politik dan bukan suatu keharusan normatif. 20 Sikapnya ini cenderung sering dinilai bahwa pemikiran politik Ibnu Taimiyah lebih dekat kepada kaum Khawarij. Menurut Ibnu Taimiyah, konsep negara tidak ada dalam al-Qur’an, yang ada adalah unsur-unsur negara itu sendiri seperti: keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian, kepatuhan dan lain-lain. 21 Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam, 22 dan ini memang sangat utopis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengakui, secara implisit, istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, yang penting, setiap negara secara nasional tetap sebagai penyelenggara syariah. Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi; ia menyatakan Islam bukan monarki, aristokrasi dan bukan demokrasi. Ibnu Taimiyah agaknya bergeser dari pemikiran sistem khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih pragmatis, fungsional dan rasional. 23 Sungguh pun demikian, secara tekstual pemikiran Ibnu Taimiyah identik dengan al-Ghazali dalam hal kepala negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa serta harta rakyat dan telah terpenuhinya kebutuhan bidang material. Namun, lebih dari itu, yaitu untuk menjamin berlakunya syariat. 18 Munawir Syadzali. Islam dan Tata Negara. hlm. 79 19 Ia lahir 22 Januari 1262 di Haran dekat Damaskus, dan meninggal di penjara pada tanggal 26 September 1328 M. Nama lengkapnya Taqy al-Dîn Abu ‘Abbâs Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halîm Ibnu ‘Abd al-Salâm Ibnu Taimiyah. Umur 25 tahun ia sudah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid. Taimiyah dikenal sebagai pemikir yang tajam, bebas, piawai dalam berpidato, penuh keberanian dan ketekunan Khâlid Ibrâhîm Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah, terj., Masrohin Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 21. 20 Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah Islamabad:, Islamic Research Institute, 1973, p. 106- 107 21 Khalid Ibrahim Jindan, Ibid., hlm. 47 22 Ibnu Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syarî’ah Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tt.,, hlm. 174 23 Bandingkan, Majmû’ Fatâwâ, jilid 28, hlm. 66-68 41 Kepala negara adalah bayangan Allah di muka bumi zhillullãh fî al-ardl, sebagai wakil yang berkuasa dan berwenang memerintah atas dasar syariat. Pada dimensi kontekstualnya, ia lebih jauh ke depan daripada al-Ghazali. Ia pernah mengatakan bahwa keberadaan kepala negara sekalipun zalim, masih lebih baik daripada tanpa kepala negara. 24 Kalau saja kepala negara sebagai bayangan Allah di muka bumi, tentu tidak ada kepala negara yang zalim. Namun karena Ibnu Taimiyah melihat dari analisis fungsional sosiologis, bisa saja terjadi hal yang demikian. Bahkan lebih jauh lagi, bukan mustahil kepala negara yang adil sekalipun kafir, lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil kendatipun muslim. Adapun Ibnu Khaldun 25 mengemukakan bahwa sistem politik itu sangat diperlukan untuk terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk sosial politik. Negara amat memerlukan adanya solidaritas politik. Agama juga termasuk pendorong lahirnya solidaritas bahkan lebih dominan ketimbang aspek lainnya. Konsep solidaritas yang pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Khaldun ini demi terciptanya rasa kebersamaan dari setiap warga negara. 26 Adapun hakekat eksistensi penguasa dan rakyat, terletak pada adanya hubungan btin atau solidaritas kepercayaan. Bagi seorang kepala negara, cara dan teknik memimpin personal approach amat diutamakan oleh Ibnu Khaldun. Pemimpin tidak harus memiliki jarak yang jauh dengan rakyat. 27 Konsep kepemimpinan primus interpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Ini berarti bahwa kepemimpinan yang terlalu karismatik Bapak bangsa pada hakikatnya kurang disetujui oleh Ibnu Khaldun. Selain itu, Ibnu Khaldun mensyaratkan etnis Quraisy sebagai kepala negara, karena aspek kemampuan dan kecerdasannya sesuai kondisi waktu itu. Ibnu Khaldun juga menyatakan bahwa kepala negara harus dibantu dan didukung 24 Ibnu Taimiyah, Log.cit 25 Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan, filosof dan sosiolog yang diakui baik di dunia Timur maupun Barat. Ia dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 1332 M dan meninggal dunia pada tahun 1406 M. Dua pertiga umurnya tidak pernah menikmati stabilitas politik, melainkan tempat kancah perebutan kekuasaan antar dinasti. Ibnu Khaldun selalu berpindah-pindah jabatan dan sering pula bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Hal itu pula yang memperkaya wawasannya tentang jatuh bangunnya sebuah dinasti atau pemerintahan Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 91-92. Karyanya yang cukup terkenal adalah Muqaddimah yang berisi pemahaman mendasar tentang masalah negara dan kekuasaan A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. ix-x. 26 Ibid, hlm. 160, 191 27 Bagi Ibnu Khaldun, penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi yang bersifat “di tengah-tengah” dan “menengahi”, al-mahmûdah huwa al-tawâsuţ. Sebagaimana ungkapan hadits Nabi: “Berjalanlah sesuai dengan langkah orang yang terlemah di antaramu” Ibid, hlm. 192. 42 oleh para menteri serta beberapa departemen. Mekanisme kontrol terhadap kepala negara juga amat diperlukan. Aturan kenegaraan tidak mesti bersifat normatif wahyu belaka dan sistem perundang-undangan yang rasional dan berdasarkan sistem konvensi dibenarkan oleh Ibnu Khaldun. Agak berbeda dari para pendahulunya, Ibnu Khaldun sangat menekankan aspek solidaritas, mekanisme kontrol dan sistem perundang-undangan yang rasional konvensional, yang banyak segi kesamaan dengan sistem politik modern. 28 Dalam konteks filsafat politik Islam era modern, dapat penulis kemukakan beberapa corak pemikiran politik Islam seperti yang ditampilkan oleh baik Afghani, Abduh Ridha, Al- Raziq, Al-Ikhwan, Haikal maupun Al-Maududi. Pada pemaparan berikut ini, penulis kemukakan secara umum dari berbagai pemikiran mereka sekaligus beberapa catatan kritis. Afghani 29 dikenal sebagai tokoh inti bagi bangkitnya sentimen politik di dunia Islam terutama pada abad XIX. Ia dikenal sebagai - oleh sementara ahli - agitator politik, bukan pemikir. 30 Hal ini karena reaksi yang diberikannya terhadap berbagai dominasi Barat di dunia Islam. Namun tak dapat dipungkiri bahwa berbagai refleksi pemikirannya sangat besar pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Afghani juga dikenal sangat selektif dan kritis terhadap ideologi-ideologi sekuler. Secara umum filsafat politik Afghani didasarkan pada ide Pan-Islamisme al-Jâmi’ah al- Islãmiyyah. 31 Filsafat politiknya ini, dalam rangka menggalang solidaritas dunia Islam tanpa menafikan eksistensi negara nasional umat Islam masing-masing. Untuk contoh kasus di jaman sekarang, kehadiran lembaga Organisasi Konferensi Islam OKI 32 merupakan implikasi lanjut dari filsafat Pan Islamisme-nya Afghani. Bila Pan-Islamisme a la Sultan Hamid II Turki, lebih bersifat internationalism, maka Pan-Islamisme al-Afghani lebih bercorak nasionalisme Islam. Dalam pengertian solidaritas negara-negara Islam tanpa menafikan aspek nasionalitas negara 28 Bandingkan, Ibid, hlm. 198 29 Jamaluddin al-Afghani lahir di As’adabad, Afghanistan, pada tahun 1838 M. Dia mempelajari segala cabang ilmu keislaman, filsafat dan ilmu eksakta. Ia banyak mengunjungi negeri-negeri seperti: India, Mesir, Inggris, Paris, Persia, Rusia, Eropa, Turki Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 116-120. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin pembaharuan politik di dunia Islam pada abad ke-19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 11. Ia banyak menguasai bahasa seperti: Afghan, Arab, Turki, Persia, Perancis dan Rusia. Selain dunia politik, bidang pers juga cukup intens digeluti Afghan. 30 Lihat J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 282 31 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 125 32 Untuk ulasan lebih mendalam tentang pemikiran politik OKI baca tesis penulis, Muhammad Azhar, Pemikiran Politik OKI dan Tata Dunia, Pascasarjana UIN Yogyakarta, 1994 belum diterbitkan. 43 muslim. Boleh dikatakan, Afghani merupakan politikus muslim yang ingin melakukan sintesis antara pemikiran politik Islam Barat. Salah satu kader Afghani yang menonjol adalah Muhammad ‘Abduh. Dipengaruhi oleh latar belakang pemikiran teologisnya yang bercorak rasional Mu’tazilah, prinsip qadariyah antroposentris yakni kebebasan manusia dalam berkehendak indeterminism, bagi ‘Abduh soal bentuk pemerintahan Muslim juga bersifat “liberal” atau bebas dalam memilih bentuk atau sistem pemerintahan apa saja, sepanjang dapat mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang universal. ‘Abduh juga membenarkan sistem khilafah sepanjang tetap bersifat terbuka inklusif dengan perkembangan zaman. 33 Tampaknya ‘Abduh tidak terlalu banyak mewariskan teori-teori kenegaraan, boleh jadi akibat “liberalisme” politiknya tersebut, 34 membuat ia merasa tidak perlu terlalu banyak untuk melahirkan teori-teori politik Islam. Dunia Islam pun lebih mengenal ‘Abduh sebagai pemikir bidang keilmuan dan pendidikan ketimbang pakar politik. Walaupun Ridha adalah murid ‘Abduh, ternyata pemikiran politik ‘Abduh tidak terlalu banyak mempengaruhi Ridha. Secara filosofis, malah Ridha ingin menghidupkan kembali doktrin politik khilãfah, di mana doktrin ini erat kaitannya dengan penguasaan fiqh Islam. Oleh para ahli, pemikiran Ridha ini masih dinilai konservatif, karena ingin menegakkan kekhilafahan yang absolut dan otokratif. Sekalipun demikian ada hal positif dari Ridha yang mengakui perlunya lembaga legislatif ahl al-hall wa al-‘aqd 35 sebagai lembaga shũrâ, sebagai antisipasi agar khilãfah tidak diwariskan secara turun temurun. Lembaga legislatif ini tidak hanya mencakup para kaum birokrat akan tetapi juga ulama, pengusaha serta tokoh masyarakat lainnya. 36 Walaupun Ridha ingin mengembalikan lembaga khilãfah ini, namun ia belum banyak merincikan teori khilãfah tersebut. Misalnya tentang mekanisme pemilihan seorang khalifah 33 Lihat ‘Abd. Al-‘Aţi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsî li al-Imâm Muhammad ‘Abduh Mesir: al-Maiat al- Mişriyyah al-‘Ammat li al-Kitâb, 1978, hlm. 69 34 Liberalitas pemikiran Abduh terlihat, misalnya, pandangannya mengenai syariat Islam. Bagi Abduh, syariat ada yang sempit dan ada yang luas. Syariat dalam pengertian sempit adalah himpunan hukum-hukum Allah dan Rasul- Nya, yaitu pokok-pokok ajaran Islam yang tidak berkembang dan tidak berubah. Adapun syariat Islam dalam pengertian luas adalah kaidah-kaidah atau dasar-dasar yang mengatur kehidupan kaum muslimin yang dapat disamakan dengan al-tasyrî’ al-Islâm. Perundang-undangan yang dihasilkan oleh ijtihad melalui penafsiran dasar- dasar agama secara rasional di bidang muamalah selalu berkembang untuk memelihara kemaslahatan masyarakat Ibid, hlm. 151-152. 35 Rasyid Ridla, Al-Khilâfah au al-Imâmah al-‘Uzhmâ Kairo: al-Manar, 1341 H, hlm. 73 36 Ibid, hlm. 136 44 secara tuntas, walaupun Ridha telah berupaya menawarkan pelatihan calon khalifah melalui lembaga pendidikan tinggi Islam. 37 Dalam soal seleksi calon khalifah, Ridha hanya menawarkan bahwa seorang khalifah harus berilmu dan mampu berijtihad. Kedua syarat itu memungkinkan seorang khalifah lebih mandiri serta memiliki pengetahuan yang esensiel tentang peradaban pada umumnya. Bertolak belakang dengan filsafat politik Ridha di atas, maka ‘Ali ‘Abd. Al-Razîq menolak sama sekali lembaga khilãfah tersebut yang lebih bersifat institusional. Bagi Al-Razîq yang “sekuler” itu term khalifah identik dengan imãmah serta lebih berkonotasi historis, bukan sesuatu yang normatif; karena term tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an, hadis maupun ijtihad. Lebih lanjut Al-Razîq mengemukakan bahwa term khalĩfah dan ulil amr itu bukan kepala negara an sich, tetapi termasuk para ulama, tokoh-tokoh masyarakat sebagai rujukan umat. Hadits-hadits Nabi tentang bai’at juga tidak ada hubungannya dengan khilãfah. 38 Sependapat dengan ‘Abduh, Al-Razîq memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan pilihan tentang sistem khilãfah pemerintahan yang disukai sesuai dengan kondisi sosio kultural masing-masing negara. Figur Nabi di mata Al-Razîq hanya sebagai tokoh agama yang minus politik. Walaupun Nabi mengurus soal-soal keduniaan, itu tidak lebih bahwa beliau adalah anggota masyarakat di masanya. 39 Bagi muslim fundamentalis, pendapat Al-Razîq ini dianggap kurang relevan, karena cenderung memisahkan meaning keagamaan dari persoalan kenegaraan yang pada hakekatnya amat membutuhkan adanya mekanisme yang obyektif dan edukatif di bawah sinaran moral keagamaan. Term khalĩfah atau khilãfah di benak Al-Razîq lebih bersifat personal – individual. 37 Ibid. 38 ‘Ali ‘Abd. Razîq, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm Kairo: Mathba’ah Mişra Shirkah Musâhamah Mişriyyah, 1925, hlm. 14 39 Ibid, hlm. 64 45 Bagi al-Ikhwãn al-Muslimĩn al-Ikhwãn 40 filsafat politik Islam terlihat lebih didasarkan pada konsepsi Islam yang revolusioner, yakni dalam rangka melawan baik berbagai korupsi pemikiran, hukum, maupun sosial – moral. Konsep negara Islam merupakan cita-cita ideal bagi anggota dan tokoh-tokoh Ikhwan. Dalam elaborasi pemikirannya, al-Ikhwan ingin kembali ke era klasik Islam yang di situ pola kehidupan saat itu sebagai prototype yang cukup ideal. 41 Pemikiran Ikhwan tentang negara supranasional terasa kurang realis bila dikaitkan dengan kondisi negara-negara muslim dewasa ini yang lebih bersifat nasionalis. 42 Di sisi lain, aktivitas Ikhwan cenderung konfrontatif terhadap sistem pemerintahan yang ada, dan ini terasa kurang strategis dalam dimensi perjuangan umat jangka panjang. Padahal dari berbagai fakta sejarah, untuk merealisasikan nilai-nilai keislaman lebih-lebih dalam konteks kenegaraan, amatlah diperlukan adanya dukungan struktural disamping dukungan kultural. Uniknya, walaupun Ikhwan mendambakan adanya negara Islam, namun mereka membenarkan berbagai model pemerintahan yang dipakai, sepanjang syariat Islam bisa berjalan. 43 Tentang hal ini memang terasa ada kontradiksi dengan dasar filosofi politik Ikhwan. Yang positif dari pemikiran Ikhwan ini adalah keterlibatan mereka secara aktif dalam berbagai amal sosial seperti: pendidikan, rumah sakit, masjid dan sebagainya. Secara sosiologis, gerakan Ikhwan ini banyak kesamaan dengan organisasi Muhammadiyah – misalnya – walaupun secara ideologis-politis jelas berbeda. Filsafat politik Haikal 44 lebih ditekankan pada prinsip-prinsip dasar Islam, seperti konsepsi tentang Tauhid yang berimplikasi pada keharusan diwujudkan prinsip persatuan kemanusiaan secara utuh. Filsafat politik Haikal juga amat mempertimbangkan apa yang dikenal dengan psiko – sosio –antropologis atau realitas kondisional dan temporal dari sebuah 40 Al-Ikhwân al-Muslimîn adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismâ’îliyyah, Mesir pada tahun 1928 oleh Shaikh Hasan al-Bannâ. Oleh Amien Rais, organisasi ini dikelompokkan dalam gerakan Islam yang reformis- radikalisme Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 187-188. Pada era yang lebih awal pemikiran politik al-Ikhwan lebih banyak diwakili oleh Hasan al-Bannâ, Sayid Quţb salah satu karyanya adalah Al-‘Adâlah al-Ijtimã’iyyah dan Hasan Ismã’îl al-Hudlaibi salah satu karyanya adalah Al-Ikhwân al-Muslimîn: Du’ãt lã Qudhãt. 41 Ibid, hlm. 189 42 Bandingkan dengan Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 149-150 43 Ibid, hlm. 151 44 Muhammad Husein Haikal lahir di desa Kafr Ghanam, wilayah Mesir Hilir pada tanggal 30 Agustus 1888. Pandangan politik Haikal banyak dipengaruhi gurunya Lutfi Sayyid, tokoh nasionalis terkemuka di Mesir. Pikiran- pikiran politiknya dapat dibaca dalam karyanya Al-Hukûmah al-Islãmiyyah Lihat Munawir Syadzali, Ibid, hlm. 182 46 masyarakat. 45 Boleh jadi ini merupakan bagian dari sikap kemanusiaannya maupun semangat nasionalisme yang cenderung bersifat netral terhadap berbagai perbedaan. Bagi Haikal, penyelenggaraan pemerintahan juga jangan sampai melanggar sunnatullãh hukum alam maupun sosial. Jadi aspek lingkungan sosial memang sangat menjadi perhatian Haikal. Adapun filsafat politik al-Maudûdî, 46 didasarkan pada segi kesempurnaan Islam itu sendiri. Berdasarkan teori kesempurnaannya itu, maka al-Maudûdî berhasil melahirkan berbagai uraian teoritik tentang kenegaraan. Al-Maudûdî memang dikenal sebagai penulis produktif serta agigator dan konseptor yang mempesona para pengikutnya. Menurut al-Maudûdî, umat wajib menjalankan semua perintah Tuhan. Bagi yang enggan melaksanakannya berarti orang itu menolak agama Islam itu sendiri. 47 Bagi al–Maudûdî, pola khulafã al-rãsyidîn merupakan pola yang ideal. Filsafat politik al-Maudûdî bercorak teokrasi atau teodemokrasi, yang di situ teori kedaulatan Tuhan sebagai inti filsafat politiknya. 48 Al-Maudûdî juga mengakui adanya trias politica pemisahan penyelenggaraan kekuasaan negara ke eksekutif, legislatif dan judikatif. Namun al-Maudûdî tidak setuju dengan adanya kampanye politik terutama bagi para calon penguasa. Di antara filsafat politik al-Maudûdî lainnya adalah bahwa ia tidak terlalu mengikatkan diri pada prinsip mayoritas atau minoritas dalam keputusan kebijakan. 49 Demikian pula soal pertimbangan kesukuan syarat kepemimpinan dari suku Quraish, misalnya juga tidak menjadi doktrin dalam pemikirannya. Adapun yang agak berbeda barangkali dengan kelaziman demokrasi modern adalah bahwa sistem pemerintahan Islam haruslah hanya mengakui adanya 45 Prinsip tauhid dan kemanusiaan inilah yang menurut Haikal yang dilaksanakan dalam pemerintahan Islam periode awal dan pengaruhnya berkembang secara nyata di negeri-negeri Arab Bandingkan dengan Muhammad Husain Haikal, Al-Hukûmh al-Islãmiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1983, hlm.54. Pemikiran Politik Haikal ini juga telah ditulis dalam bentuk disertasi oleh Dr. Musdah Mulia, MA., Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal Jakarta: Paramadina, 2001. 46 Abu al-A’la al-Maudûdî adalah seorang pemikir yang berpengaruh luas baik di dunia Islam maupun non-Islam. Ia lahir pada 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah, dan meninggal di New York pada 23 September 1979 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 158. Oleh Charles Adams, al-Maududi dinyatakan sebagai pemikir yang paling efektif dalam menciptakan sentimen bagi berdirinya negara Islam setelah gerakan partisi di benua India dan berdirinya Negara Pakistan Charles Adams, “Maududi and the Islamic State”, dalam John L. Esposito ed, Voices of Resurgent Islam, New York: Oxford University Press, 1993, p. 99. 47 Abu al-A’la al-Maudûdî, Tafhîm al-Qur’ãn, vol.II Lahore:, 1951, hlm. 343 48 Abu al-A’la al-Maudûdî, The Islamic Law and Constitutions, translated and edited by Khursid Ahmad Lahore: Islamic Publications Ltd., 1975, p. 157 49 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 168 47 satu partai belaka yakni Partai Kepala Negara. 50 Selain itu, yang agak diskriminatif adalah tentang masih diakuinya kategorisasi komunitas masyarakat pada kelompok baik muslim maupun non muslim dhimmĩ. 51 Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, al-Maudûdî telah melahirkan banyak karya politiknya yang menarik untuk dikaji sampai saat ini. Dalam konteks pemikiran Islam kontemporer, Ismã’îl Rãjî al-Fãrûqî, 52 memperkenalkan dua konsep utama yakni tauhîd, dan ummah ummatisme; di samping konsep amãnah, khilãfah, bay’ah dalam filsafat politiknya. Bagi al-Fãrûqî secara tauhid, Allah merupakan sumber segalanya, termasuk sumber kekuasaan hakim. Secara sosiologis – politis, manusia harus melibatkan diri secara aktif dalam proses sejarah untuk menuju Tuhan yang transenden. Manusia juga wajib mengubah dan mengelola alam sesuai dengan semangat etika Islam. 53 Bagi al-al-Fãrûqî, konsep khilãfah dalam al-Qur’an cenderung bersifat politis institusional. 54 Padahal pada hakekatnya konsep khalifah tersebut lebih bersifat individual– fungsional. Al-Fãrûqî juga memperkenalkan konsep bay’ah sebagai bagian dari filsafat politik Islam. Kontrol terhadap penguasa serta majelis pertanggungjawaban kepala negara terhadap rakyat, juga mutlak diperlukan. Konsep ummatisme al-Fãrûqî berdasarkan pada asas kolektivisme sosial, dimana hukum Allah sebagai paradigma pemikiran politiknya lã hukma illã lillãh. 55 Walaupun al-Fãrûqî mendasari filsafat politiknya pada konsep tauhîd, tapi anehnya, al- Fãrûqî cenderung berorientasi pada nomokrasi kekuasaan hukum dan bukannya teokrasi ansich; rakyat dan pemerintah sama-sama di bawah naungan hukum. Hal yang agak utopis dari pemikiran al-Fãrûqî ini adalah pemahamannya tentang khilãfah yang berarti dibutuhkannya satu pemerintahan Islam dan negara Islam seluruh dunia internasionalisme Islam. Padahal secara realistis, umat Islam kini terpecah belah menjadi beberapa negara Islam nasionalis yang masing-masing memiliki batas-batas negara serta kecenderungan mazhab politik Islamnya 50 Ibid, hlm. 169 51 Ibid, hlm. 170 52 Ismã’il Rãji al-Fãruqî mantan guru besar universitas Temple Philadelphia, AS. Pemikir asal Palestina ini juga dikenal sebagai pendiri International Institute of Islamic Thought di Washington tahun 1401 H1981 M 53 Ismã’il Rãji al-Fãruqî, Islamisasi Pengetahuan terj. Bandung: Pustaka, 1984, hlm.76 54 Ibid. 55 Ismã’il Rãji al-Fãruqî , Tauhid terj. Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 77-78 48 masing-masing. Tetapi al-Fãrûqî juga mengakui bahwa golongan non Islam seperti Yahudi dan Nasrani merupakan ummah tersendiri. Syed Naquib al-Attas meletakkan dasar pemikiran politiknya pada konsep ad-dĩn. Konsep dîn ini memberikan pengertian yang luas yakni adanya tatatertib kosmos atau kerajaan Allah, dimana Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi di dalamnya. Manusia, menurut al-Atas, merupakan wakil Tuhan di alam dunia. Konsep dĩn ini juga ibarat sebuah kerajaan bisnis yang mengedepankan konsep at-tijãrah dan bay’ah. Manusia dalam menekuni hidup di dunia ini ibarat mikrokosmos ‘ãlam şaghĩr sedangkan dunia, ibarat makro kosmos alam kabĩr. Melalui ilustrasi di atas, al-Attas berpendapat bahwa kerajaan-kerajaan atau sistem pemerintahan yang ada di dunia ini haruslah tunduk pada kerajaan Allah Yang Maha Besar itu. 56 Hukum dan syariah secara keseluruhan sudah diatur oleh Allah, manusia tinggal menjalankan saja dan tidak dibenarkan membuat aturan baru yang rasional sebagaimana konsep Ibnu Khaldun. Tampaknya al-Attas cenderung bersifat teokratis dalam pemikiran politiknya. Neomodernisme Fazlur Rahman 57 mendasari filsafat politiknya pada konsep musyawarah syũrã. Bagi Rahman, konsep syũrã dalam sejarah Islam belum sempat terlembagakan menjadi semacam parlemen seperti di Barat. Rahman membenarkan secara konseptual sistem parlemen di Barat, namun secara substantif—etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal- hal yang materiel belaka. Dengan demikian umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen dimaksud sepanjang substansi musyawarahnya berorientasi pada hal yang spiritualis. 58 Bila dikaji secara lebih mendalam, pemikiran politik Neomodernisme Rahman cenderung menolak inner cyrcle oriented, pola sabda ratu pandito yang lebih menafikan asas syũrã. Rahman tidak menolak adanya kolaborasi dengan penguasa, sepanjang kolaborasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat atau rakyat. 59 Rahman 56 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme Bandung: Pustaka, 1981, hlm. 90-94 57 Prof. Dr. Fazlur Rahman asal Pakistan terkenal sebagai pelopor Neomodernisme Islam. Aliran ini sebagai tawaran solusif pasca Revivalisme Pra-Modernis, Modernisme Klasik, Neorevivalisme atau Revivalisme Pasca-Modernis. Uraian lebih lanjut tentang ini lihat Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm. 33, 39. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman Bandung: Mizan, 1987, hlm. 18-19. Neomodernisme Islam menekankan pentingnya pembedaan secara tegas antara Islam normatif dan Islam historis. Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits harus dibedakan antara wilayah ideal-moral dengan legal spesifikadhoc yang terkandung dalam dua sumber ajaran Islam tersebut Dalam konteks ini Rahman memperkenalkan teori double movement-nya. Bandingkan Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Bandung: Mizan, 1989, hlm. 162-194. 58 Lihat Mumtaz Ahmad ed., Masalah-masalah Teori Politik Islam Bandung: Mizan, 1993, hlm. 117-126 59 Redaksi Islamika, “Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, No.2 Oktober-Desember 1993, hlm. 31 49 menekankan tentang pentingnya tata sosial politik yang egaliter dan penuh keadilan berdasarkan etik al- Qur’an, karena menurut Rahman, masyarakat selalu akan bergerak menuju ke arah tatanan moral ideal al-Qur’an. Rahman juga menekankan pentingnya pemerataan di bidang ekonomi, demokratisasi bidang politik, anti berhalaisme cultism maupun korupsi dan manipulasi oleh para tokoh agama. 60 Dalam penyelenggaraan perundang-undangan negara, Rahman lebih mengedepankan aspek moral ideal al-Qur’an ketimbang sisi adhoc aspek parsial atau partikular dari ayat-ayat al-Qur’an. Rahman juga mementingkan tampilnya kelas menengah sebagai pendorong terciptanya masyarakat egaliter dan berkeadilan, juga mementingkan stabilitas negara. Al-Qur’an menurut Rahman, anti pada elitisme kepemimpinan, kelompok dessident, clandestine kelompok rahasia atau kaum munafik yang penuh intrik dan cenderung mengacaukan sistem sosial kemasyarakatan. Pada intinya Rahman mendambakan terciptanya masyarakat terbuka dan demokratis just open and democratic society. Sayangnya Rahman belum sempat melahirkan teori sosial politik yang bercorak neomodernis serta berorientasi populis. Pemikiran politik Rahman masih dianggap berpihak pada status quo. 61 Filsafat politik Seyyed Hossein Naşr 62 mencoba membedakan perspektif Tradisionalisme Islam dengan modernisme Islam, fundamentalisme Islam, dan Messianisme atau Mahdiisme. Menurut Naşr filsafat politik Islam harus beranjak dari dua hal, pertama berupaya memahami karakter filosofis dari berbagai bentuk tantangan. Kedua, mencoba menjawab tantangan itu dengan berpijak pada akar tradisi Islam sendiri secara universal bukan secara adhoc. Jadi Naşr percaya bahwa Islam tradisional mengakui Islam dalam bentuk berbagai ragam budaya, sepanjang berakar pada tradisi Islam sendiri. Itulah sebabnya Naşr bisa menerima berbagai bentuk khilãfah atau kesultanan di kalangan Sunni atau juga konsep imãmah di kalangan Syi’i karena semua itu dipandang tetap berakar pada tradisi Islam yang murni. 63 Sayangnya,Tradisionalisme Islam ala Nasr menolak – misalnya - sistem operasionalisasi politik 60 Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an terj. Bandung: Pustaka, 1983, hlm. 92 61 Lebih lanjut tentang pemikiran politik Rahman, lihat, Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman UII Press, 2000 62 Prof. Seyyed Hossein Nasr, asal Iran, guru besar pada George Washington University, AS. Ia cendekiawan Muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi yakni Islam “tradisional” dan Barat “modern”. Ia pernah studi di Massachussetts Institute of Technology MIT dan Harvard University keduanya di AS. 63 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terj. Bandung: Mizan, 1994, hlm. 200-203; dan Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Bandung: Pustaka, 1994, hlm. 7 dan 8 50 sebagaimana tampak di Barat kerangka modern yang sebenarnya juga banyak berwatak Islami. Ketakutan Naşr terhadap Barat membuatnya selalu menolak intervensi modern dalam pemikiran Islam terutama di bidang institusi dan pemikiran politik. Pemikiran politik Naşşr juga cenderung kurang kritis dengan konsep khilãfah, kesultanan maupun imamah yang diantaranya ada yang dimanipulasi dalam sejarah walaupun tidak seluruhnya. Secara lebih spesifik, pemikiran etika politik Arkoun dapat dikemukakan dalam enam subtema penting yakni: pertama, dimensi kewenangan authority dan kekuasaan power dalam diri Nabi Muhammad s.a.w. yang menurut Arkoun antara keduanya tidak bersifat dikotomik – sebagaimana dalam tradisi politik di dunia Barat yang bercorak Cartesian - tetapi lebih simbiotik. Kedua, terkait dengan gagasan pembangunan dan perubahan sosial, Arkoun menekankan pentingnya faktor agama sebagai alat “pengubah dunia” lebih dari sekedar menafsirkannya. Arkoun juga menekankan betapa pentingnya keterkaitan pembangunan dan perubahan itu dengan wilayah hukum. Sembari menegaskan bahwa nalar politik Islam yang dijadikan landasan yuridis pembangunan bukanlah nalar politik yang bercorak sloganis-formalis sebagaimana yang sering dipropagandakan oleh muslim fundamentalis, tetapi juga bukan sekedar upaya liberalisasi pemikiran keislaman yang terbatas pada wacana keagamaan yang terkadang juga terjebak pada pola pikir Cartesian dan terkesan tidak memiliki orisinalitas pemikiran. Lebih dari itu Arkoun menekankan betapa pentingnya wacana liberasi pemikiran politik Islam diterjemahkan ke proses transformasi sosial. Arkoun juga mengingatkan para kaum birokrat yang terjebak pada iptek yang kurang memiliki sikap rendah hati, serta sikap skeptisisme yang melanda para peneliti ilmu humaniora. Superioritas sosial dan politik kaum teknokrat harus dihindari. Selain itu, industrialisasi telah mereduksi wilayah dan jaringan tradisional masyarakat Muslim, baik lapangan budaya, ekonomi, pendidikan, maupun yang lain- lainnya. Kaum Muslim, lanjut Arkoun, kini hidup dalam kecenderungan asing, dan tidak mampu mengekspresikan pengalaman historis mereka. Arkoun mengharapkan agar budaya pertukaran pendapat di kalangan masyarakat Muslim harus terus dikembangkan untuk menghindari kesalahpahaman, khususnya terkait dengan dialektika Islam dan modernitas. Ketiga, tentang relasi agama dan negara, Arkoun menyatakan bahwa kebanyakan negeri-negeri Muslim – terutama di Arab – mengalami berbagai benturan keras akibat 51 penjajahan asing. Faktor inilah yang membuat umat Islam menjadikan agama sebagai icon perjuangan ideologi politik. Bagi Arkoun, keterkaitan antara agama dan negara secara historis sangat bervariasi. Secara faktual, Nabi tidak meninggalkan pewaris tahta, dan masalah khilãfah juga termasuk wilayah yang diperdebatkan di kalangan Muslim khilãfiyah. Oleh sebab itu Arkoun menyatakan bahwa konsep “syũrã” sebenarnya identik dengan demokrasi. Sistem demokrasi parlementer bisa diterima sepanjang bisa mengakomodasi nilai-nilai universal dari ajaran syariat Islam. Dengan sistem syũrã atau ‘demokrasi’ ini, penerapan syariat Islam lebih bersifat rasional-diskursif dan substantif, tinimbang tekstual-normatif. Tentang gagasan khilãfah, bagi Arkoun, itu merupakan sebuah gagasan yang sangat utopis. Arkoun berargumen bahwa isu khilãfah ini tidak ada kesepakatan di kalangan umat, dikarenakan perbedaan penafsiran agama serta latar belakang sosial budaya masing-masing negeri Muslim. Selain itu, intervensi negara dalam wilayah keagamaan akan berdampak pada manipulasi simbol-simbol keagamaan dan akan mereduksi kebebasan beragama dan berpolitik masyarakat. Bahkan akan membuka peluang terjadinya kolusi antara penguasa dan otoritas keagamaan. Bagi Arkoun, otoritas keagamaan dan politik kenegaraan harus berbeda, walaupun tetap ada hubungan. Arkoun menggambarkan, bila negara bagai sebuah bingkai, maka agama yang menjadi isinya. Keempat, tentang konsep Masyarakat Kitab dan Pluralisme, Arkoun mendorong terwujudnya proses kehidupan yang lebih rasional dan demokratis, sekaligus mendorong munculnya komunitas baik Muslim maupun non Muslim yang saling menghargai pluralitas dan keterbukaan karena pengakuan adanya penghargaan terhadap aneka pemahaman teks keagamaan secara lebih terbuka, baik secara internal hubungan antar komunitas umat Islam maupun eksternal hubungan antar umat Islam dengan non Muslim. Hasil akhirnya sudah dapat diprediksi akan terwujudnya masyarakat kitab yang toleran, terbuka dan saling menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan perdamaian, sebagai wujud konkrit dari tujuan akhir diturunkannya wahyu di muka bumi ini. Arkoun juga mengajak umat untuk kembali mengingat-ingat kejayaan intelektual Islam masa lalu. Menurut Arkoun, Islam akan meraih kejayaannya kembali jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme dan pluralitas pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai apabila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan humanisme, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa saja. Menurut Arkoun, secara fisik kolonialisme memang telah berakhir, namun pemikiran kita masih terjajah, tidak mengikuti modernitas yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan 52 oleh umat Islam. Dengan tetap mempertahankan pluralisme dan pluralitas, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat, teologi maupun politik. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam. Islam dalam tataran teologis-filosofis, harus mempertahankan kebebasan bagi setiap Muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di Negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam. Kelima, tentang demokrasi dan modernitas. Menurut Arkoun, secara historis antara kaum Muslim dengan Barat sebenarnya memiliki pengalaman yang sama dalam masalah peradaban yang demokratis-humanis, sebagaimana tercermin pada era keemasan sejarah Islam. Tradisi demokrasi di Barat pada hakikatnya juga merupakan warisan humanis dari peradaban Islam sebagaimana yang tercermin dari khazanah pemikiran Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lain- lain. Arkoun juga mengemukakan bahwa terjadinya ketegangan antara Barat dan Islam pada dasarnya lebih disebabkan pengaruh dari endapan sejarah pemikiran – baik di kalangan Islam maupun Barat – yang umumnya bersumber pada literatur-literatur abad pertengahan yang polemis-apologis. Selain itu, Arkoun mengemukakan bahwa munãżarah merupakan jantung demokrasi. Ketika antar warga masyarakat saling berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka munãżarah. Dalam Islam memang ada yang disebut munãżarah untuk bertukar pikiran. Tidak ada demokrasi tanpa munãżarah, karena dalam munãżarah setiap orang bebas mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut Arkoun menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam klasik, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan al-Qur’an dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Namun memasuki abad ke-13, menurut Arkoun, umat Islam mulai melupakan baik filsafat maupun debat teologi. Adapun dalam konteks modernitas, Arkoun menengarai bahwa masih banyak kaum Muslim yang “kagok” dalam berhubungan dengan agama, sistem berpikir, dan sistem pemerintahan di Barat, yang sangat menekankan pada modernitas. Dengan kata lain, masih banyak kaum Muslim yang memandang Islam dan Barat berada pada dua kubu yang berseberangan. Hal ini sesungguhnya tidak perlu terjadi mengingat proses globalisasi yang kian “mengecilkan” jarak telah membuat interaksi penganut Islam, sementara itu masyarakat Barat non-Islam juga kian intensif. Di samping itu Arkoun mengemukakan tentang modernitas versi Islam. Dia menyatakan bahwa skenario modernitas yang selama ini disusun Eropa dan Barat 53 ternyata tidak selalu cocok dengan umat Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam memiliki sendiri sistem berpikir yang dengan sendirinya lebih pas untuk umatnya. Namun karena Barat adalah “standar”, maka tak ada cara lain bagi kaum Muslim selain mengingatkan kembali pengajaran akan sejarah pemikiran Islam – termasuk seluruh dimensinya – yang selama ini terlupakan, terutama sejak masa kolonialisme. Keenam, tentang sekuler, sekularisasi dan sekularisme. Menurut Arkoun, untuk mengantisipasi sekularisme dalam politik bukan berarti umat Islam harus kembali ke “agama tradisional”, tetapi lebih dari itu amat dibutuhkannya formulasi baru tentang humanisme spiritual yang sudah barang tentu harus diperbandingkan dengan berbagai faham humanisme dan kebebasan yang telah ada, dan dalam perspektif agama-agama. Sekularisasi di mata Arkoun bukanlah menafikan agama, tetapi lebih pada perluasan ruang kebebasan berfikir secara kultural, historis dan ilmiah, tidak semata-mata ideologis dan teologis. Bagi Arkoun, istilah sekularisasi perlu dibedakan dalam konteks teologis atau politis hubungan Islam dan negara. Sekularisasi bukanlah upaya menafikan konsep spiritualitas agama, sehingga terjadi kekosongan makna dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana yang terjadi di Barat dewasa ini, tetapi lebih bersifat usaha meninggalkan pola-pola pemahaman ajaran agama yang sudah out of date dengan perkembangan zaman. Dalam kaitan ini sekularisasi sejalan dengan kontekstualisasi nilai-nilai ajaran Islam. Ketujuh, wacana keagamaan dan politik secara etis-akademis. Pemikiran Mohammed Arkoun terletak pada model kajiannya yang menggunakan metodologi dan teori-teori ilmu-ilmu sosial era post-positivism. Selain itu, Arkoun juga merindukan kembali munculnya fase humanisme Islam yang inovatif dan kreatif sebagaimana yang pernah terjadi pada abad II dan III Hijriyah yang bisa dijadikan teladan Islam, setelah masa kemunduran era keemasan Islam sejak abad XI M. Namun untuk mewujudkan pemikiran model Arkounian ini memang ditemukan – paling tidak – dua kesulitan, yakni: pertama, fokus pembahasan dalam mencari inti pokok Al-Qur’anHadis. Kedua, adanya lapisan geologis pemikiran Islam atau endapan sejarah umat misi suci Nabi yang telah berubah menjadi fosil aqidah, fiqh, tarekat, dan lain-lain. Pada gilirannya, Islam menjadi lebih parsial dan sarat dengan political interest, yang berdampak pada munculnya ideologisasi dan mitologisasi ajaran Islam. Nilai-nilai moralitas kenabian prophecy menjadi semakin tereduksi dan sejarah Islam mengalami distorsi nilai muncul interest group 54 versus nilai universal. Pada akhirnya, yang menjadi perhatian Arkoun dalam membangun masa depan peradaban Islam adalah fokus perhatiannya yang mendalam terhadap upaya rekonstruksi pemahaman keislaman melalui penggunaan nalar akademis ketimbang nalar ideologis-politis. Menurut Arkoun, umat Islam secara umum, cenderung mengedepankan nalar ideologis-politis terutama dalam menyikapi fenomena kehidupan dunia modern. Penggunaan nalar ideologis- politis ini sering melupakan dimensi rasionalitas dalam konteks pemikiran Islam termasuk yang ada kaitannya dengan wacana politik. Jargon-jargon Islam ideologis oleh kaum fundamentalis hanya untuk kepentingan politik sesaat, dan cenderung mengabaikan kekayaan humanitas, kearifan dan spiritualitas Islam secara keseluruhan. Telaah Komparatif Teoritik Politik Islam ● Dalam soal kepemimpinan, para pemikir Islam telah berupaya membahas tema ini; Al-Farabi dengan 12 kriteria pemimpin dan presidium sebagai alternatif kepemimpinan, Al-Mawardi dengan 7 kriteria kepala Negara dan kebolehan pergantian pemimpin di tengah jalan; Al-Ghazali dengan 7 kriteria yang sama, namun secara lebih khusus menyatakan bahwa perempuan tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Adapun Arkoun tidak menyinggung baik soal kriteria maupun soal latar belakang seorang pemimpin harus dari suku Quraish sebagaimana pandangan al-Mawardi, juga Khaldun – dari segi kualitas kecerdasan orang Quraish. Tentang soal kedekatan pemimpin – yang primus interpares - dengan rakyat Ibnu Khaldun, juga tidak disinggung oleh Arkoun. Begitu pula mengenai pentingnya seleksi calon khalifah, sebagaimana yang dikemukakan Rashid Ridã. Selain itu, Arkoun juga tidak menyitir sama sekali tentang penolakan adanya nuansa elitisme kepemimpinan, seperti yang dituturkan Fazlur Rahman. Namun terkait dengan pandangan bahwa seorang raja merupakan żillullãh fî al-ardl – sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara tegas ditolak oleh Arkoun. Demikian pula tentang penggunaan simbol-simbol kepemimpinan politik keagamaan seperti: khalĩfah. Bagi Arkoun, gelar-gelar dan bahasa kekuasaan feodalis, bersifat taqlid dan cultism harus dikritisi: seperti gelar-gelar atau bahasa politik bayah, khalĩfah fî al-ardl orientasi kekuasaan, amĩr, sulthãn, al-mutaşim- 55 al-mutawakkil-al-hãdi billãh; dan sejenisnya. Menurut Arkoun, umat harus beralih dari bahasa politik yang ideologis-politis dan apologis, kepada bahasa politik yang lebih etis-akademis-responsif, agar agama jangan hanya dijadikan sebagai legitimasi politik atau untuk mempertahankan status quo. ● Masalah konstitusi kenegaraan dan social contract antara eksekutif dan legislatif sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Mãwardî, Arkoun sama sekali tidak menyinggung hal ini. ● Masyarakat dan Negara bagaikan satu tubuh pandangan al-Farãbî. Dalam kaitan ini Arkoun mirip dengan Ibnu Khaldun tentang pentingnya unsur agama – yang tidak terkungkung oleh logosentrisme Islam klasik - sebagai salah satu penopang bagi terwujudnya solidaritas politik. ● Tentang urgensi profesi politik versi al-Ghazãlî atau pentingnya majlis- majlis pembantu kepala Negara Ibnu Khaldûn, Arkoun tidak menyinggung hal ini. ● Konsep khilãfah. Berbeda dengan Rashid Ridhã dan Ismã’îl Rãjî al-Fãrûqî yang mengakui adanya konsep khilãfah, tentang hal ini Arkoun lebih sejalan dengan Ibnu Taimiyyah yang berpandangan bahwa konsep khilãfah tidak ditemukan baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadis. Bagi Taimiyyah – juga Arkoun – bahwa fakta khilãfah semata-mata hanya aksiden politik, bukan keharusan normatif. Konsep “Negara” maupun konsep “Negara Tunggal di Dunia” juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Namun Arkoun berbeda dari Taimiyyah - yang anti monarki, aristokrasi dan demokrasi, karena Taimiyah cenderung Nomokrasi seperti al-Fãrûqî dan Naquib al-Attas dengan nuansa yang lebih ketat - sedangkan Arkoun malah dapat menerima konsep demokrasi sejalan dengan Fazlur Rahman. Dengan demikian, ide Pan Islamisme Afghani yang cenderung anti Barat-sekuler, juga ditolak Arkoun, walaupun Arkoun sependapat dengan Afghani dalam soal pentingnya eksistensi masing-masing Negara Muslim nation state. Namun Arkoun menambahkan tentang “bahaya” fenomena the single party of nation-state di sebuah negara. Penolakan Arkoun 56 tentang khilãfah juga sama dengan ‘Ali ‘Abd al-Raziq, hanya bedanya, Al-Raziq melihat figur Nabi Muhammad s.a.w. semata-mata sebagai agamawan, bukan politisi; sedangkan Arkoun berpandangan bahwa dalam diri Nabi ada dimensi kewenangan kenabian dan kekuasaan yang saling terkait secara simbiotik. ● Dalam soal bentuk Negara, tampaknya Arkoun lebih sejalan dengan ‘Abduh yang “liberal”. Model Negara seperti apa pun dapat diterima, sepanjang dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal dan humanis. Dalam kaitan ini, Arkoun jelas berbeda dari pandangan Ikhwãn al-Muslimîn yang merindukan adanya Islamic state. Adapun Seyyed Hosein Naşr dapat menerima semua bentuk Negara - khilãfah, kesultanan dan imãmah - karena semua itu bahagian dari kekayaan tradisi Islam. ● Soal pentingnya lembaga Syũrã ahl al-hãl wa al-‘aqd, Arkoun sejalan dengan Rashid Ridha dan Fazlur Rahman. ● Kontrol terhadap Negara, sebagaimana yang dikemukan Ibnu Khaldun dan al-Fãrûqî, serta pentingnya undang-undang yang rasional, dalam banyak hal Arkoun memiliki kesamaan pendapat. ● Soal kepartaian, Arkoun berbeda dengan al-Maudûdî yang bisa menerima partai tunggal Partai Kepala Negara dan adanya kategorisasi komunitas Muslim dan non-Muslim dhimmĩ. Bagi Arkoun, untuk yang terakhir ini, dipandang sangat diskriminatif dan masih mencerminkan konsep ahl kitãb, dan belum menuju masyarakat kitab. ● Dari perpsektif antroposentrik-humanistik masses of Musliml’imaginaire social, pemikiran politik Arkoun sejalan dengan pandangan Haikal dan Ibnu Khaldun. ● Kolaborasi dengan penguasa dibenarkan oleh Fazlur Rahman, sepanjang untuk kemaslahatan rakyat. Untuk poin ini Arkoun tidak menyinggung sama sekali. Bahkan dalam beberapa tulisannya Arkoun kerap mengkritisi bagi 57 kemungkinan munculnya “perselingkuhan politik” antara agamawan dan penguasa. ● Tentang pentingnya tata sosial politik yang egaliter dan berkeadilan berdasar etik al-Qur’an, pemeratan ekonomi, demokratisasi politik, anti kultus, korupsi dan manipulasi oleh tokoh agama, pentingnya peran kelas menengah, stabilitas negara, lebih mengedepankan ideal moral al-Qur’an untuk penegakan hukum, bahaya dessident dan clandestine sebagaimana yang dikemukakan Fazlur Rahman; dalam banyak hal tentunya Arkoun memiliki kesamaan pandangan. ● Secara lebih spesifik, untuk konteks fenomena politik kontemporer, Arkoun menekankan baik kepada para Islamolog klasik maupun kalangan internal umat Islam, untuk dapat melihat melihat dunia Islam secara pluralis, bukan monolitik. Misalnya, melihat Mesir yang dikenal dengan peradaban klasik; Iran dengan tradisi Islam filosofis-mistis; Turki dengan sekularisme; Arab dengan syair-estetis dan bisnis; Andalusia dengan empirical-sciences; Muslim Indonesia dengan moderatisme dan toleransinya. ● Arkoun juga mengingatkan agar warga dunia mewaspadai kelompok fundamentalis yang berlindung di balik slogan kebangkitan Islam, kebangunan Islam dan kembali pada agama yang lebih bersifat ideologis-politis dan apologis. ● Pembangunan sebuah negara tidak semata-mata bersifat material- finansial, tetapi harus lebih bersandar pada basis budaya, spiritualitas, etika dan intelektualisme. Penutup Demikianlah gambaran umum dari realita dan dialektika pemikiran politik Islam sejak era klasik hingga kontemporer. Dari uraian di atas terbukti bahwa wawasan politik Islam tidak dapat dilihat semata-mata dengan menggunakan pendekatan normatif-teologis, namun harus dilengkapi dengan pendekatan lainnya baik yang bersifat historis, maupun sosiologis dan psikologis. Masing-masing pemikir Islam di bidang politik memiliki perspektif yang berbeda 58 antara satu dengan lainnya. Untuk kajian era mendatang tampaknya perlu pendalaman lagi ulasan pemikiran politik Islam di atas secara epistemologik-metodologik, serta implikasinya dalam pengembangan Islamic studies.

2. Demokrasi dan Modernitas