Demokrasi dan Modernitas PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

antara satu dengan lainnya. Untuk kajian era mendatang tampaknya perlu pendalaman lagi ulasan pemikiran politik Islam di atas secara epistemologik-metodologik, serta implikasinya dalam pengembangan Islamic studies.

2. Demokrasi dan Modernitas

59 Demokrasi Konsep Demokrasi, seperti yang terdapat di Amerika Serikat dan Eropa Barat, pada hakikatnya merupakan suatu paham liberal yang yang berakar dari para pemikir liberal seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Montesqueu, Voltaire dan lain-lain. Paham ini mengagung-agungkan orang-orang dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya, yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, serta kebebasan yang seluas-luasnya di bidang ekonomi, yang melahirkan kapitalisme dan kolonialisme. 93 Istilah demokrasi, secara etimologis, berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan cratein atau cratos yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat yang dalam Declaration of Independence adalah of the people, for the people and by the people. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik dibanding dengan pemerintahan yang bersifat absolut, fasis dan bentuk lainnya yang tidak menghargai nilai-nilai yang dimiliki manusia. 94 Secara formal seluruh bentuk demokrasi itu sama, tetapi secara material semua memiliki perbedaan. Dalam proses perkembangannya konsep demokrasi itu mempunyai bermacam- macam predikat yakni social democracy, liberal democracy, people democracy, guided democary dan lain-lain. Berdasarkan hal di atas demokrasi bisa dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu: pertama, demokrasi yang berdasarkan kepada kemajuan di bidang sosial dan ekonomi. Kedua, demokrasi yang berdasarkan kepada kemerdekaan dan persamaan. 95 Dari sudut pandang struktural, sistem politik demokrasi secara ideal ialah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Ini berarti, secara filosofis, demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. 93 A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun Jakarta: Gramedia, l992, hlm. 154. 94 Ibid., hlm. 73. 95 Ibid., hlm. 74. 60 Namun demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Di sini ada mekanisme penyaluran konflik dan “penyelesaian” konflik dalam bentuk kesepakatan konsensus. Berkaitan ini ada lima prinsip dasar utama yang dibangun dari mekanisme prosedural di atas. a.1. Kebaikan bersama Persamaan kesempatan politik bagi setiap individu dijamin oleh hukum yakni kesempatan dalam soal kebebasan dan meraih tujuan hidup. Dengan demikian, setiap individu harus menggunakan kesempatan politik dengan menggabungkan diri ke dalam organisasi sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah dan membuat kebijakan yang menguntungkan mereka. Selain itu sistem ini menekankan persamaan kesempatan ekonomi daripada pemerataan hasil oleh pemerintah. Hal ini berarti setiap individu bebas mencari, dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama, seperti persaingan bebas yang wajar, undang-undang antimonopoli, dan peka pada lingkungan hidup. a.2. Identitas Bersama Pemikiran politik demokrasi juga mempunyai prinsip bersatu dalam perbedaan. Contohnya, Bhinneka Tunggal Ika untuk Indonesia dan Unity in Diversity untuk Amerika Serikat. Artinya, pada satu pihak penduduk tetap mempertahankan keterikatan dengan setiap subkultur, seperti suku, daerah, ras, agama dan adat-istiadat. Pada pihak lain, seluruh penduduk mempunyai keterikatan yaitu suatu dasar dan tujuan yang sama. Dasar yang sama itu berupa keterikatan pada lembaga demokrasi, saling percaya, dan kesediaan hidup berdampingan secara rukun dan damai, dan kesediaan berkompromi dan bekerjasama. a.3. Hubungan Kekuasaan Sistem demokrasi juga mempunyai prinsip adanya distribusi kekuasaan yang relatif merata di antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Situasi ini akan menimbulkan persaingan dan saling kontrol antara kelompok yang satu dengan kelompok lain, antara lembaga pemerintah yang satu dengan yang lain legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan antara kelompok sosial dan lembaga pemerintah. Distribusi kekuasaan, otonomi, dan konflik inilah yang disebut sistem politik demokrasi pluralisme. 61 Namun di pihak lain, baik kelompok-kelompok sosial maupun lembaga-lembaga pemerintah mempunyai suatu kesadaran dan kesepakatan bersama bahwa kekuasaan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat umum. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum diperlukan kesediaan lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, perlu memiliki kekuasaan yang memadai untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Jadi, persaingan dan saling kontrol di antara pusat-pusat kekuasaan akan melahirkan konflik, sedangkan kesadaran dan kesepakatan akan melahirkan konsensus. a.4. Legitimasi Kewenangan Prinsip kewenangan dan legitimasi dalam sistem ini bersifat prosedural rule of law yang diatur dalam konstitusi. Artinya, penguasa mendapat kewenangan berdasarkan prosedur yang disusun dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan, sedangkan anggota masyarakat menaati kewenangan penguasa karena penguasa dipilih atau diangkat berdasarkan prosedur yang ditetapkan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Dalam konstitusi biasanya diatur hak-hak warga Negara, seperti kebebasan berbicara dan berasosiasi, kebebasan menjalankan ibadah, hak menjalankan usaha ekonomi, hak akan keadilan, hak mendapatkan pelayanan dari pemerintah, memilih pejabat Negara, mengajukan aspirasi, dan mengontrol pemerintah, pelaksanaan hak-hak ini akan melahirkan konflik a.5. Hubungan Politik dan Ekonomi Berdasarkan koordinasi unit ekonomi maupun dalam pemilikan barang dan jasa, pemerintah dan swasta ikut ambil bagian secara aktif sesuai dengan setiap porsinya. Artinya, disamping mekanisme pasar dibiarkan mengatur kegiatan ekonomi, tetapi dalam hal-hal yang menyangkut hidup orang banyak pemerintah ikut mengatur dan mengarahkan kegiatan ekonomi, redistribusi, dan pengadaan barang dan jasa. Koordinasi unit ekonomi dengan mekanisme pasar, pemilikan sarana, dan alat produksi dengan kalangan swasta akan melahirkan konflik antara penguasa produsen dan pengusaha, antar pengusaha dan konsumen. Dalam konflik ini, pengusaha lemah akan kalah penting dengan pengusaha kuat, sedangkan konsumen akan lebih ditentukan oleh pengusaha. Disamping itu, mekanisme pasar dan pemilikan sarana dan alat produksi oleh swasta tidak mampu mengadakan distribusi yang merata kepada masyarakat karena pihak yang kuat akan mendapatkan apa yang dikehendaki, 62 sedangkan pihak yang lemah tidak kebagian. Jadi, mekanisme pasar dan pemilikan sarana produksi oleh swasta juga akan melahirkan konflik. Di sini campur tangan pemerintah amat diperlukan untuk melahirkan keseimbangan antara konflik dan konsensus. Namun yang terpenting, segala prosedur dan mekanisme penentuan pemerintah harus berdasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat, dan adanya aturan main bagi kelompok-kelompok untuk bersaing mempengaruhi pemerintah demi membuat kebijakan yang menguntungkan mereka. 96 Berkaitan dengan pemahaman tentang konsep demokrasi, tampaknya Arkoun tidak merinci pandangannya sebagaimana lazimnya telaah demokrasi seperti yang telah lama muncul dalam studi politik di Barat, seperti yang selintas kita kutip di atas. Kajian Arkoun tentang demokrasi lebih dikaitkan dengan dimensi metodologi maupun epistemologi pemikiran keislaman yang terkait dengan konsep demokrasi itu sendiri. Pandangan Arkoun tentang demokrasi yang terkait dengan perspektif keislaman dapat dilihat dalam tulisannya berjudul “Democracy: A Challenge to Islamic Thought” 97 dimana Arkoun mengemukakan bahwa hampir seluruh dunia Islam yang ia kunjungi sangat apresiatif dengan pemikirannya – terutama yang terkait dengan konsep Islam dan demokrasi - baik ia sebagai seorang guru besar, sarjana maupun seorang warga Negara dari dunia Islam. Arkoun mengklaim bahwa dirinya – pada saat yang sama juga - merupakan seorang warga negara dari sebuah komunitas Eropa melalui kewarganegaraannya di Perancis. Dirinya, lanjut Arkoun, tidak dapat memisahkan dimensi ke- Perancis-an dan ke-Aljazair-an sekaligus yang inheren dalam dirinya. Lebih dari itu, Arkoun juga memiliki tiga pengalaman kewarganegaraan citizenship dalam wilayah Negara Maghribi yakni Aljazair, Tunisia dan Maroko. Ketiga negara ini, menurut Arkoun, termasuk dalam wilayah Mediterania. Wilayah Mediterania memiliki geo-historical identity yang dulunya dibangun melalui sejarah pemikiran Yunani Greek maupun kebudayaan RomanRomawi dalam wilayah Mediterania. Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa bila kita mengunjungi Tunisia, Libya atau Aljazair, maka kita akan menemukan puing-puing sejarah yang masih terpelihara preserved ruins yang setiap saat bisa dikunjungi, seperti layaknya kita mengunjungi puing-puing historis di Itali, Perancis, Spanyol, dan lain-lain. Peninggalan sejarah itu sudah ada di sana sejak beberapa abad yang lalu They are there, they have existed for 96 Ramlan Surbakti, Memahami, hlm.228-231; Bandingkan dengan David Thomson, Pemikiran, hlm. 146-147; Malelo Siregar, Kupasan, hlm. 27-32. 97 Lihat situs “Mohammed Arkoun” yang memuat tentang tulisan dimaksud. 63 centuries. Menurut Arkoun, kenyataan ini merupakan hal penting yang harus diketahui terutama oleh umat Islam. Sayang hal ini tidak begitu banyak diketahui secara baik. Wilayah Mediterania, lanjut Arkoun, pada hakikatnya mencakup keseluruhan daerah yang meliputi sejak sungai Indus hingga ke Barat termasuk Iran. Iran kuno, lanjut Arkoun, telah memainkan peranan yang cukup besar dalam menata dan menjaga frame intelektual maupun frame spiritual, dimana kebudayaannya dibangun dan diperluas ke seluruh wilayah Mediterania. Namun di sana ada problem ideologis. Kehadiran Islam di Mediterania membawa tantangan yang bersifat teologis, dimana Islam begitu cepat meluas dan menjadi kekuatan sejarah di wilayah itu. Akibatnya, muncul reaksi teologis baik dari komunitas Yahudi maupun Kristen yang telah lebih dahulu eksis di sana, terutama di kawasan Timur Tengah sejak beberapa abad sebelum Islam. Menurut Arkoun, hal ini merupakan reaksi yang normal belaka sebagai akibat logis dari tantangan teologis yang dikemukakan al-Qur’an yakni ketika al-Qur’an menyatakan kepada komunitas Yahudi “You have altered the scripture”. Akibat gugatan al-Qur’an ini komunitas Yahudi memberikan reaksi yang lebih bernuansa politis, ideologis maupun teologis ketimbang menggunakan pendekatan secara intelektual. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, problem yang dihadapi komunitas tiga agama tersebut memang cukup mendalam, karena menyangkut sejarah pemikiran di kawasan Mediterania. Problem inilah yang belum tuntas didialogkan di hampir semua perguruan tinggi, baik di dunia Muslim maupun Eropa. Problem ini lebih bersifat ideologis-politis ketimbang saintifik. Kehadiran Islam memiliki tantangan ganda baik secara ideologis maupun kultural- intelektual dimana kita mewarisi berbagai tulisan yang bersifat polemis in the Medieval ages, baik di kalangan Yahudi, Muslim maupun Kristen, sejauh yang dapat kita baca maupun interpretasikan. Sistem teologi yang dibangun oleh pihak Muslim berisi penyangkalan terhadap Yahudi dan Kristen. Di sisi lain, tentunya, Yahudi dan Kristen pun berupaya untuk membangun sistem teologi mereka dalam rangka mengisi sekaligus memproteksi diri mereka sendiri, terutama di saat Islam belakangan menjadi lebih kuat, dan secara politik digunakan untuk melindungi 64 pertahanan diri mereka Yahudi dan Kristen dalam rangka melawan kejayaan Islam. Hal ini berlangsung selama lebih kurang tujuh abad di wilayah Mediterania. Lebih lanjut Arkoun menyatakan – seperti di awal paparannya di atas - ketika dirinya mengklaim sebagai seorang warga yang memiliki kewarganegaraan ganda, hal ini adalah dalam konteks penggunaan pendekatan sejarah pemikiran di Mediterania. Dewasa ini, lanjut Arkoun, yang tengah kita hadapi adalah problem Palestina maupun perjuangan rakyat Aljazair di Mediterania, setelah lebih kurang 100 tahun mengalami kolonisasi. Apa yang terjadi di Timur Tengah sejak abad 19 merupakan kumpulan peristiwa yang berkaitan dengan sejarah yang sama, yang selama ini belum dikemukakan secara terbuka, dengan pikiran yang terbuka pula, dengan menulis ulang, misalnya, tentang sejarah berbagai teologi agama-agama. Kajian tentang truth umumnya masih berkutat pada “satu kebenaran” untuk Yahudi belaka, untuk Kristen saja atau untuk Muslim semata. Selain itu, telaah filsafat atau pemikiran telah dimulai sejak Yunani Kuno, namun meloncat jauh melampaui abad pertengahan dan langsung ke era Descartes, Spinoza dan Leibniz. Sejarah pemikiran pada abad 7 hingga abad 13 M seolah terlampaui atau terabaikan sama sekali. Namun, akhir-akhir ini sudah muncul berbagai studi yang berkaitan dengan Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan semacamnya, namun sayangnya masih bersifat pinggiran marginal, belum merupakan mainstream, belum terintegrasi ke dalam konteks keseluruhan wilayah, yang disebut Arkoun dengan, sejarah umum di wilayah Mediterania, baik studi-studi yang dilakukan secara metodologis maupun epistemologis. 98 Apa yang ingin dikemukakan oleh Arkoun di atas yakni tentang adanya pengalaman peradaban demokratis-humanis yang sama antara kaum Muslim dengan Barat, sebagaimana tercermin pada era keemasan sejarah Islam. Tradisi demokrasi di Barat pada hakikatnya juga merupakan warisan humanis dari peradaban Islam sebagaimana yang tercermin dari khazanah pemikiran Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lain-lain. Arkoun juga mengemukakan bahwa terjadinya ketegangan antara Barat dan Islam pada dasarnya lebih disebabkan pengaruh dari endapan sejarah pemikiran – baik di kalangan Islam maupun Barat – yang umumnya bersumber pada literatur-literatur abad pertengahan yang polemis-apologis. 99 98 Ibid. 99 Bandingkan dengan Arkoun, Nalar Islami, hlm. 274-277. 65 Selain itu, Arkoun mengemukakan bahwa munazharah merupakan jantung demokrasi. Ketika antar warga masyarakat saling berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka munãzharah. Dalam Islam memang ada yang disebut munãzharah untuk bertukar pikiran. Tidak ada demokrasi tanpa munãzharah, karena dalam munãzharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut Arkoun menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam klasik, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan al-Qur’an dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. 100 Perlu pula ditambahkan di sini bahwa konsep demokrasi sering diparalelkan dengan syũra sebagaimana yang dikemukakan Gurdun Kramer, Profesor Studi Islam dari Freire Universitat, Berlin. Menurut Kramer, pemerintah dalam pandangan Islam Suni kontemporer adalah bagian dari kewajiban sosial mu’ãmalah, sehingga dapat berubah-ubah. Mekanisme dan prosedurnya dapat diadaptasi dari sumber-sumber di luar Islam, asalkan sesuai dengan norma dan nilai-nilai Islam, dan tentunya tidak mengabaikan atau bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Ketentuan tersebut, kata Kramer, memberi ruang gerak yang luas bagi organisasi sosial dan politik. Dalam hal ini Tuhan memberikan kesempatan pada umat Islam untuk menentukan detail organisasi politik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi yang berkembang. Tuhan bahkan tidak menjamin warisan kepemimpinan kepada putra Rasulullah s.a.w. Ajaran Islam memerintahkan konsultasi syũra, sehingga Islam dianggap ekuivalen dengan demokrasi parlementer modern. 101 Islam juga memberikan kebebasan untuk memilih – yang oleh banyak orang ini disebut dengan demokrasi. Kramer mengakui, “kebebasan” tersebut membuka pintu bagi proses sekularisasi meskipun Islam sendiri tak menghendakinya. Namun semua itu tergantung pada political will dari para “penerjemah” nilai-nilai dan hukum Islam itu sendiri serta seberapa besar kekuasaan politik yang mereka pegang. 100 Panji Masyarakat, No.52Th.III, 19 April 2000, hlm. 96. 101 Bandingkan dengan Fazlur Rahman, “A Recent Controversy over the Interpretation of Syũrã”, History of Religion, Vol. 20, No. 4Mei 1981, hlm. 293-301. 66 Dalam kaitan ini Kramer melihat adanya sebagian “Islamis yang radikal dan militan” yang berpendapat bahwa tidak ada Negara yang bisa diklaim Islami jika tidak menerapkan hukum syariat secara eksklusif. Mereka yang tidak mengikuti hukum Allah – yang diidentifikasikan sebagai syariah – dianggap sebagai para pelaku bid’ah dan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat Islam takfĩr. 102 Sebagian besar penulis Islam, kata Kramer, memandang syũra bersifat mengikat dan wajib dilakukan oleh penguasa. Dengan syũra seluruh pihak harus menerima keputusan mayoritas sebagai sesuatu yang sah legitimate. Segala kepentingan harus dikesampingkan dari proses syũra ini kecuali kepentingan masyarakat dan Islam itu sendiri. Di sini perlu peneliti tambahkan pola berpikir kaum radikal-militan-fundamentalis ini yang dalam studi Islam cenderung menggunakan epistemologi bayani. 103 Secara teoritis tidak ada pertentangan kepentingan antara keduanya. Tuhan sendiri mengatakan bahwa Ia menciptakan manusia untuk saling berbeda. Dengan demikian, perbedaan pendapat ikhtilãf adalah hal yang wajar, bahkan berguna bagi manusia dan masyarakat Islam asalkan masih tetap dalam aturan main Islam. Terlepas dari prakteknya, jelas bahwa prinsip Islam yang didasarkan pada keadilan, syũra, partisipasi, moral dan harmonisasi, telah mengalami proses penginterpretasian kembali di tengah-tengah gagasan politik modern. Diakui atau tidak, kata Kramer, secara umum Islam telah memberi legitimasi pada konsep modern meski baru sebatas wacana moral ketimbang wacana politik yang terbuka. 104 Modernitas Adapun tentang dialektika Islam dengan modernitas Barat di sini kita kemukakan pandangan Prof. Dr. Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa Islam sebagai sosok yang 102 Bandingkan dengan Harifuddin Chawidu, Konsep Kufur dalam Al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. 103 Bandingkan dengan M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. xlii, liii. 104 Lihat Republika, 14 April 2000, hlm. 11. 67 perlu diwaspadai dunia Barat. Menurutnya, setelah Uni Soviet runtuh maka Barat akan berhadapan dengan musuh baru: Islam. 105 Pendapat Huntington tersebut sangat tidak relevan dengan masa depan peradaban dunia, namun sayangnya apa yang dikemukakan Huntington tersebut langsung diamini oleh para pengikutnya. Dunia pun memandang Islam dengan penuh rasa was-was dan kecurigaan Islamophobia. Wajah Islam yang cantik, ramah dan damai menjadi terselewengkan, sehingga yang tampak adalah wajah yang keras dan bahkan beringas. Dalam kaitan ini, Mohammed Arkoun menyatakan, banyak sekali ajaran-ajaran dalam Islam yang disalahpahami. Tidak hanya di Barat, bahkan oleh umat Islam sendiri, salah satunya mengenai konsep jihãd. 106 Arkoun mengemukakan pengalamannya ketika bertanya tentang konsep perang kepada mendiang Presiden Prancis Francois Miterrand dan mantan Presiden, George Bush. Saat itu keduanya tengah getol melancarkan operasi badai gurun desert storm.Mereka mengatakan bahwa jihad itu ‘hanya perang’. Kaum sufi tentu tidak akan setuju akan konsep jihad sebagai ‘hanya perang’. Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa untuk memahami suatu konsep dalam Islam tidak bisa dilakukan di luar kerangka antropologi pencarian, analisa, dan interpretasi. Untuk membuka dialog ke arah pemahaman antara kedua budaya – Islam dan Barat – penting sekali untuk mencari benang merah yang mempertemukan pandangan Islam mengenai Barat dan pandangan Barat mengenai Islam. Arkoun menyarankan agar umat Islam maupun Barat untuk melihat kembali pada catatan sejarah dunia. Sebelum runtuhnya paham sosialis pada 1989 yang ditandai dengan hancurnya Uni Soviet, secara filosofis, dunia menghadapi pertarungan antara dua ideologi. Di satu pihak, ada ideologi yang berdasarkan pada Marxisme yang menjadi modul Komunisme untuk membangun demokrasi. Sementara di lain pihak hadir ideologi Liberalisme yang memberikan penekanan pada harga diri setiap individu dalam membangun demokrasi. 105 Lihat majalah Time, June 28, 1993, hlm. 42. 106 Tentang makna jihad secara lebih mendalam, lihat Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia, Modernis vs Fundamentalis, Yogyakarta: Pilar Media, 2006. 68 Di antara pertarungan dua ideologi tersebut, umat Islam harus berjuang memperoleh citra diri sendiri. Hal ini sangat jelas misalnya dalam perang di Aljazair. Ini sebuah model perjuangan untuk menunjukkan kepribadian Islami dalam tatanan sejarah manusia. Selama ini umat Islam memang belum berinisiatif untuk menciptakan kebijakan dan pemerintahan yang dapat meningkatkan citranya dalam budaya, debat intelektual, dan sistem baru dalam pendidikan. Ini jelas menyedihkan, karena sesungguhnya Islam, selain mengatur hubungan manusia dengan Khaliknya, juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat. Ketidaksiapan ini, antara lain, membuat masih banyak kaum Muslim yang “kagok” dalam berhubungan dengan agama, sistem berpikir, dan sistem pemerintahan di Barat, yang sangat menekankan pada modernitas. Dengan kata lain, masih banyak kaum Muslim yang memandang Islam dan Barat berada pada dua kubu yang berseberangan. Hal ini sesungguhnya tidak perlu terjadi mengingat proses globalisasi yang kian “mengecilkan” jarak telah membuat interaksi penganut Islam, dan masyarakat Barat non-Islam juga kian intensif. Saat ini, sebagai misal, ada sekitar 10 juta umat Islam yang hidup di Negara-negara non- Islam. Sebaliknya, di banyak Negara Islam ada ribuan orang asing baca: Barat yang bekerja mencari nafkah di sana. Masing-masing tentu dengan membawa identitas budaya dan agamanya. Itulah sebabnya kita harus terus-menerus berpikir tanpa pengkotakan, karena itu adalah hal yang salah. Di samping itu Arkoun mengemukakan tentang modernitas versi Islam. Dia menyatakan bahwa skenario modernitas yang selama ini disusun Eropa dan Barat ternyata tidak selalu cocok dengan umat Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam memiliki sendiri sistem berpikir yang dengan sendirinya lebih pas untuk umatnya. Namun karena Barat adalah “standar”, maka tak ada cara lain bagi kaum Muslim selain mengingatkan kembali pengajaran akan sejarah pemikiran Islam – termasuk seluruh dimensinya – yang selama ini terlupakan, terutama sejak masa kolonialisme. Sebagai akibat kolonialisme, Islam telah diabaikan sejak abad 13. Beragam prestasi gemilang telah dicapai umat Islam pada abad ke-7 hingga ke-13. Namun semua itu mulai lenyap pada abad ke-13. Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali rethinking mengenai konsep modernitas. Menurutnya, modernitas adalah perjuangan penting bagi kemanusiaan untuk dapat berdiri sendiri, untuk berinisiatif dengan kekuatan sendiri. 69 Tradisi berpikir dalam Islam perlu dihidupkan kembali. Para ilmuwan cemerlang seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina adalah produk dari tradisi berpikir umat Islam ketika itu. Ajaran Islam bersumber pada wahyu revelation. Wahyu ini memiliki dua dimensi, yaitu dimensi transcendental berupa firman Allah yang tidak bisa diutak-atik, dan dimensi kedua yang memungkinkan firman tersebut diinterpretasikan. Manusia kemudian mengolahnya ketika melakukan interpretasi saat membaca al-Qur’an. Ini yang kemudian menghasilkan keanekaragaman yang tetap bermuara pada satu jalan. 10 Nalar demokrasi yang dalam dirinya mengandung unsur persamaan, kebebasan, pro rakyat, adanya sistem perwakilan, keadilan sosial dan ekonomi, pengelolaan potensi konflik dan konsensus melalui mekanisme demokrasi; oleh mayoritas pemikir politik - terutama Muslim – dinilai lebih berwatak sekular-humanistik. Namun, bila dikaji secara histories-akademis, kehadiran “Islam” dan “Barat” sebenarnya memiliki banyak kesamaan pengalaman intelektual maupun spiritual pada wilayah Mediterania sebagai pusat pertemuan dunia “Islam” dan “Barat”, dimana pada awalnya memungkinkan berkembangnya prinsip-prinsip humanism, democracy, munãzharah dan syũra. Inti demokrasi dan syũra pada hakikatnya sama, sedangkan bentuk dan mekanisme proseduralnya yang historis bisa saling berbeda. Unsur kesamaan antara syura dan demokrasi ini, serta lebih luas lagi antara “Islam” dan “Barat”, belakangan cenderung menjauh bahkan semakin berhadapan, sebagai akibat dari berkembangnya berbagai literatur abad pertengahan yang bercorak ideologis-teokratis. Sebagai alternatif dari dikotomi historis tersebut, peneliti menawarkan konsep religious democracy, bukan demokrasi murni yang nir-spirituality, atau sama sekali menolak dan anti- demokrasi. Dalam ungkapan peneliti, demokrasi yang dikembangkan bukan dalam pengertiannya yang objektif objective democracy, tetapi lebih bersifat subjektif subjective democracy. Penggalian kembali nilai-nilai demokrasi subjektif – local democracy - akan dapat meningkatkan kualitas progresifitas dan kemandirian umat, dalam menghadapi tantangan dunia moderni. Penghadapan antara “Islam” dan “Barat” akan merugikan umat Islam sendiri yang ada di Barat maupun non-muslim di bumi Muslim. 107 Republika, 14 April 2000, hlm. 11. 70

3. Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi