untuk mengutamakan individu yang kreatif dan ingin kembali meraih kejayaan seperti pada era Yunani Kuno di mana aspek pemikiran dihargai secara positif. Secara politis, era renaisans merupakan simbol
dari adanya sebuah revolusi individualisme dan humanisme menentang semangat dominasi dan kolektivisme gereja di abad tengah. Walaupun abad ini lebih ditandai dengan kebangkitan kembali
aspek ilmu, seni kebudayaan, namun dapat diperkirakan hal ini juga melahirkan dimensi filsafat politik yang lebih bersifat “liberal”, individualistik, humanistik serta semangat anti dikator oleh tokoh-tokoh
agama gereja; pola pemikiran politik yang bercorak antroposentrik berhadapan dengan pola teosentrik. Wibawa dan otoritas mereka para agamawan gereja sebagai “wakil” negara menjadi
luntur. Implikasi dari perubahan ini mengakibatkan eksisnya filsafat pemikiran politik yang substantif- individualistik ketimbang institusionalistik.
197
Inilah awal terjadinya sekularisasi dalam politik kenegaraan.
b. Sekularisasi dalam Wacana Teologi
Untuk memperkaya khazanah pemikiran perlu pula dijelaskan konsep sekularisasi dalam konteks teologi dibedakan dengan konteks politik atau negara. Nurcholish Madjid, dalam Islam
Doktrin dan Peradaban
198
menyatakan bahwa sekularisasi identik dengan upaya demitologisasi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as yang hidup sekitar dua abad sebelum
Masehi. Menurut Nurcholish Madjid upaya sekularisasi dalam artian demitologisasi ini juga pernah dilakukan oleh bangsa-bangsa Semit terhadap konsep tujuh hari dari bangsa-bangsa kuno di
Mesopotamia dan Yunani sebagai konsekwensi kesadaran monoteis mereka. Dengan konsep demitologisasi sekularisasi itu, konsep hari yang tujuh juga mengalami desakralisasi, dalam artian
dilepaskan dari nilai sakralnya sebagai cara penentuan waktu memuja dewa-dewa langit yang tujuh. Meminjam bahasa Robert N. Bellah, obyek-obyek mitologi itu dikenakan “devaluasi radikal”, yaitu
dengan tegas diturunkan nilainya dari ketinggian derajat yang mengandung kesucian menjadi obyek yang hanya boleh jadi mengandung kegunaan praktis sehari-hari saja. Sedangkan Robert N. Bellah
dalam Beyond Belief
199
menyebutnya dengan istilah sekularisasi. Lihat juga Harvey Cox
200
yang menamakan dengan istilah desakralisasi.
c. Diskursus Sekularisasi dalam Konteks Islam dan Negara
1 Perspektif Kemal Ataturk Kasus Turki Turki merupakan satu negara Islam yang banyak pengalaman modernisasi di banding negeri
Islam lainnya. Kesadaran modernisasi bagi Turki lebih didorong oleh munculnya revolusi industri di Eropa abad 18. Tujuan modernisasi Turki adalah dalam rangka bersaing dengan Barat. Kemajuan Barat
yang “mempesona” sekaligus dianggap sebagai ancaman bagi Turki, turut memotivasi upaya modernisasi tersebut, di samping kedekatan secara geografis antara Turki dan Barat. Pada mulanya,
upaya tersebut terutama di masa dinasti Usmani Sultan dan Birokrat mendapat dukungan ulama tradisional, namun mendapat tantangan dari ulama pembaharu, seperti Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani. Di masa dinasti Usmani, Turki meliputi sebagian negara Eropa, Asia Tengah, Afrika dan semenanjung Arab. Namun pada akhirnya mengalami kemunduran, belakangan hanya Turki
saja sebagai wilayah dinasti tersebut. Kemunduran tersebut lebih disebabkan adanya pertentangan internal dinasti Usmani serta pemberontakan dan upaya pelepasan diri dari negeri-negeri jajahan.
Pada masa Sultan Salim III 1789-1807 diupayakan program pembaharuan terutama di bidang militer dan birokrasi, namun mengalami kegagalan. Kegagalan Turki dalam upaya pembaharuan
tersebut dikecam oleh Eropa Barat sebagai “The Sick Man of Europe” Orang sakit Eropa. Dalam sejarah pembaharuan Turki pra-Ataturk, paling tidak mengalami empat kali kegagalan, yakni
kegagalan: Sultan Salim III 1789-1807, Sultan Mahmud II 1808-1839, Sultan Abdul Majid 1839- 1861 dan “Usmani Muda”.
Kelompok Usmani Muda dipimpin oleh beberapa tokohnya antara lain; Ziya Pasha, Namik Kemal dan Ali Suavi. Mereka ini dikenal sebagai tokoh intelektual muda yang juga ingin melakukan
upaya pembaharuan. Pemikiran mereka bercorak liberal, menghargai kebebasan berpendapat, memiliki kesadaran nasional yang tinggi, konstitusionalisme dan juga modernis Islam. Kelompok ini tidak
menginginkan adanya “westernisme”, namun ingin memodifikasi Barat dengan Islam terutama di bidang politik.
Kelompok Usmani Muda ini juga dinilai gagal karena tidak didukung oleh kelas menengah terpelajar maupun golongan ekonomi kuat, rakyat juga tidak begitu memahami ide-ide mereka yang
terlalu tinggi. Belakangan muncul kelompok Turki Muda yang dipelopori oleh Ahmad Riza, Mehmed Murad dan pangeran Salahuddin. Kelompok ini berhasil menumbuhkan kebebasan intelektual. Dalam
sejarah Turki, paling tidak muncul tiga aliran pembaharuan; pertama, golongan yang berkiblat ke
Barat. Kedua, kelompok yang Islamic oriented. Ketiga, golongan nasionalis.
Golongan nasionalis ini dipelopori oleh Ziya Gokalp 1875-1924. Mereka berpendapat bahwa kebudayaan tidak didasarkan kepada syariat atau budaya Turki pra-Islam maupun Barat ansich.
Dengan demikian, kebudayaan nasional Turki harus memiliki unsur budaya Barat, tetapi Islam tetap menjiwai kebudayaan Turki modern. Maryam Jameelah menilai, Gokalp adalah “bapak” ideologis
Mustafa Kemal Ataturk. Pasca Turki Muda muncul Kemal Ataturk, sebagai pendiri dan “bapak” Turki modern 1881-
1938. Berbeda dengan para pendahulunya, Kemal lebih bersifat institusional ketimbang akademis dalam menjalankan pembaharuannya. Kemal lahir di Salonika 1881 dari keluarga yang taat agama.
Beliau pernah mengecap pendidikan pada madrasah Fatima Mollah Kadin yang tradisional. Karena merasa kurang senang, ia melawan gurunya. Lalu ia dikirim ayahnya ke sekolah Imam Shemsi Effendi
dan sukses belajar di sana. Kemudian Kemal melanjutkan studinya ke Sekolah Militer Menengah di kotanya, juga Sekolah Latihan Militer di Monastir. Lalu ke Sekolah Tinggi Militer di Istanbul hingga
mendapat pangkat Kapten. Kemal sangat dikenal sebagai peminat matematika, juga politik, sejarah dan sastra. Napoleon
Bonaparte adalah tokoh yang ia kagumi. Di bidang filsafat ia juga membaca karya-karya John Stuart Mill, Rosseuau, Voltare, Montesqiu, dan lain-lain. Dalam karir politiknya dia pernah menentang Sultan
Hamid, mengadakan rapat gelap, menyebarkan pamflet dan pernah dipenjarakan. Dalam perang kemerdekaan 1919-1922 ia memimpin Turki yakni pasca Perang Dunia I, yang akhirnya melahirkan
kemerdekaan bagi Turki. Di masa itu ia menjabat sebagai panglima perang yang sangat dikagumi oleh rakyat Turki. Karena kekaguman mereka, beliau digelar sebagai al-Ghãzi sang pahlawan perang.
Tahun 1922 Kemal menghapuskan kesultanan Turki, dan pada 1923 lewat dukungan Majelis Nasional Agung, Turki diproklamirkan sebagai negara yang merdeka dan Mustafa Kemal sebagai
presiden yang pertama. Pada saat itu Islam resmi sebagai agama negara. Tahun 1924 jabatan kekhalifahan dihapuskan. Dan tahun 1937 Turki dinyatakan secara resmi sebagai negara sekuler
dengan pencantuman prinsip sekularisme ke dalam konstitusi. Antara tahun 1922-1937 langkah-langkah sekularisme dilaksanakan antara lain: pertama,
hukum syari’at diganti dengan hukum Swiss. Kedua, madrasah dan pendidikan agama dihapus dari sistem pendidikan nasional Turki. Ketiga, zawiyah asrama sufi dihapus dan perkumpulan tarekat
dilarang. Keempat, alphabet Arab diganti dengan huruf latin serta diterapkannya penggunaan angka internasional. Kelima, pakaian tradisional Turki tutup kepala diganti dengan pakaian Eropa.
Dalam menjalankan roda sekularisasinya, Kemal menjadikan Partai Rakyat Republik Republican Peoples Party sebagai media reformasinya. Kala itu partai tersebut merupakan partai
tunggal, belum ada partai oposisi. Secara strategis partai tersebut mudah dikontrol oleh Kemal. Dengan demikian sekularisasi dan westernisasi menggeser peranan Islam dalam sistem kemasyarakatan dan
kenegaraan Turki. Namun, walaupun Turki bersifat sekuler, tetap mengurus soal agama melalui Direktorat Urusan
Agama, pengadaan sekolah pemerintah untuk imam dan khatib serta mengelola fakultas ilahiyat pada universitas Istanbul. Sebenarnya, Mustafa Kemal percaya bahwa Turki modern dapat ditopang oleh
“agama rakyat”. Di sini agama hanya memainkan peranan sekunder atau sampingan dan diturunkan peranannya menjadi nilai personal.
Mustafa Kemal dalam menjalankan upaya pembaharuannya sangat revolusioner. Belakangan melahirkan apa yang disebut dengan Kemalisme. Di bawah pimpinannya Turki menjadi negara sekuler
pertama di dunia Islam. Pengaruh Kemalisme meliputi kelompok elite Turki, birokrasi dan militer. Namun Islam sebagai “agama rakyat” tetap beliau pertahankan. Tidak heran bila pemerintah Turki
berusaha mempertahankan keislaman rakyat sambil tetap menjalankan sekularisasi kenegaraan. Struktur politik negara tetap di tangan kaum Kemalis, namun Islam tetap diperhitungkan.
201
Namun pasca Kemal, Turki mengalami kembali dinamika keberagamaan, hal ini ditandai dengan banyaknya upaya pembangunan masjid, pendidikan agama dalam berbagai lembaga
pendidikan, banyaknya peserta da’i dan qari, yang kesemuanya membawa arah perkembangan positif keislaman Turki di masa depan. Fenomena di atas oleh Prof. Sherif Mardin dinyatakan sebagai adanya
“bentuk Islam yang dihidupkan kembali”. Sejalan dengan realitas di atas terlihat betapa intens pergulatan antara Islam dan Kemalisme di
Turki, kutipan dari Prof. Sherif Mardin berikut ini memperkuat dugaan tersebut: “Saya optimis Islam akan lebih semarak lagi di negeri ini. Sekularisme tidak akan mampu
menggusur keislaman rakyat Turki. Islam adalah agama rakyat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka … Kemalisme sudah berakar di sini, terutama pada
lapisan elite dan birokrasi. Lagi pula, kaum Kemalis punya “penjaga gawang” yang tangguh: militer”.
202
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kasus Turki di atas? Nurcholish Madjid menyatakan, upaya Turki melakukan sekularisasinya paling tidak ditandai oleh dua hal: pertama, Turki ingin
menjadi bangsa yang maju seperti Barat, tidak inferior seperti Timur. Kedua, Turki menafikan warisan kulturalnya yakni Islam sebagai akar kebudayaannya. Dengan demikian Turki kurang berhasil karena
melupakan akar tradisional, hal ini berbeda dengan Jepang yang sukses dalam modernisasi karena tidak melupakan jiwa keagamaan Tokugawa.
Sedikit berbeda dengan Nurcholish di atas, Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan: “Sekularisme Mustafa Kemal tidak menghilangkan agama Islam dari Turki, dan Mustafa Kemal
memang tidak bermaksud demikian. Adapun yang ia maksud ialah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan”.
Proses sekularisasi di Turki memang mengundang kontroversi antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Namun oleh Bernard Lewis dinyatakan bahwa di Turki pada hakikatnya bukan terjadi
westernisasi tetapi modernisasi. Dengan demikian, Turki bersama Indonesia akan dapat menampilkan citra Islam yang positif di masa depan.
203
Secara filosofis dapat dikemukakan bahwa di Turki terjadi suatu keadaan di mana kelompok agamawan yang kurang memahami wawasan “sekuler” berhadapan dengan para ilmuan yang agak jauh
dari principle guidance. Posisi antara keulamaan yang bersifat kolektif cenderung statis dengan figur individual seperti Kemal yang dinamis. Posisi tersebut melahirkan missing link atau something lost.
Dengan demikian kajian terhadap proses sekularisasi di Turki harus melihat berbagai rentetan peristiwa kesejarahan Turki pra dan pasca era 50-an, juga tentang latar belakang kehidupan Kemal sendiri.
Sekularisme muncul dengan mudah bila suatu tatanan masyarakat bersifat value vacuum akibat dalam kasus Turki ulama tradisional kurang antisipatif dan kontributif dalam menangani
problematika modernitas. Hal tersebut berdampak kepada marjinalitas Islam sebagai tatanan nilai. Sebenarnya peluang bagi tumbuhnya sekularisme di Turki telah ada sejak masa pra –Kemal.
204
2 Perspektif Ali Abd. Ar-Raziq Pemerintahan Nabi Muhammad saw menurut ar-Raziq, hanya mengandung suatu nilai yang
menyerupai pemerintahan politik dan kekuasaan secara alami, hal ini terwujud dalam kenyataannya bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang ummi yang diutus untuk bangsa yang ummi pula. Tentu
saja segala langkah bahkan syariatnya didasarkan atas prinsip ummi ini, serta muncul dari kepolosan insaniah yang sederhana dan muncul dari fitrah yang tiada tercela.
Lebih jauh, tugas-tugas Nabi dan mekanisme pemerintahan, Ali Abd. Ar-Raziq
205
berkesimpulan bahwa misi Nabi adalah misi agama ansich yang tak ada kaitannya dengan politik
keduniaan. Menurutnya, sebagaimana dikutip Munawir Syadzali, bahwa: “Nabi Besar Muhammad saw adalah semata-mata seorang utusan Allah untuk mendakwahkan
agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau
sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk
mendirikan kerajaan duniawi”.
206
Lebih lanjut, ar-Raziq mengatakan bahwa kalau ada kehidupan kemasyarakatan yang dibebankan kepada dirinya maka itu bukan termasuk tugas risalah atau tugas nubuwwah. Karena itu
setelah beliau wafat, tidak seorang pun yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Kalau pun Abu Bakar muncul, maka itu kepemimpinan dalam bentuk baru yang bersifat duniawi profane atau
pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan. Abu Bakar, sebagaimana ditulis ar-Raziq dalam karyanya Islãm wa Ushũl al-Hukm, disebut
sebagai khalifah rasul agar kaum muslimin taat kepadanya seperti taat kepada Rasulullah saw. Orang- orang yang tidak menaati Abu Bakar dianggap keluar dari Islam murtad. Memerangi mereka
dianggap sebagai perang agama. Menurut ar-Raziq, mereka belum tentu murtad dalam arti kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka tetap Islam, hanya tidak mau bergabung dengan kepemimpinan
Abu Bakar. Di antara mereka yang dibunuh oleh tentara Abu Bakar Khalid ibn al-Walid adalah Malik ibn Nuwairah. Ia mengaku terang-terangan bahwa dirinya adalah Islam, hanya tidak mau
membayarkan zakat kepada Abu Bakar. Keislaman dia pun disaksikan pula oleh Umar ibn al- Khattab.
207
Dengan demikian, kekhalifahan lepas dari Islam yang dikenal oleh kaum muslimin. Khilafah tidak ada kaitan dengan agama, bahkan dengan peradilan dan semua mekanisme pemerintahan dan
lembaga-lembaga kenegaraan pun tidak berkaitan dengan agama. Agama tidak mengenal semua itu dan tidak memerintahkan serta melarangnya. Semuanya dikembalikan kepada akal pengalaman manusia
dan kepada pendapat orang-orang yang tahu.
208
3 Perspektif Thaha Husein Berbeda dengan Ali Abd. Al-Raziq, menurut Thaha Husein 1889-1973, untuk memajukan
umat Islam membutuhkan dua tahapan. Tahapan pertama, gagasan sekularisasi perlu dikemukakan yakni dengan melepaskan masalah-masalah duniawi, termasuk tradisi pemahaman agama. Khususnya
menyangkut nash yang zhanny al-dalãlah ajaran agama yang bukan dasar dari agama ajaran dasar;
karena pemahaman manusia terhadap ajaran-ajaran yang bukan dasar itu sifatnya tidak absolut, akan tetapi bersifat relatif, sehingga manusia tidak mesti terikat padanya. Gagasan sekularisasi ini
dilancarkannya dalam berbagai bidang, mencakup bidang budaya, pendidikan, politik, dan dalam bidang agama. Perlu dicatat bahwa gagasan sekularisasi versi Thaha Husein ini sangat berbeda dengan
sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun hasilnya. Sekularisasi dalam perspektif Thaha Husein bertitik tolak dari proses melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi, termasuk
ajaran agama yang merupakan pemahaman para pendahulu terhadap nash-nash yang zhanny, dan berakhir dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits tidak terlepas dari keduanya. Adapun
sekularisasi di Barat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Denny JA dalam berbagai tulisannya,
209
bertitik tolak dari pemisahan dunia termasuk politik dan ilmu dari agama, dan berakhir dengan terlepasnya ilmu dari gereja.
Setelah menegaskan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan, Thaha Husein menawarkan tahapan berikutnya, yaitu berbagai usaha menyongsong masa depan yang modern bagi
umat Islam. Bahkan secara monumental, gagasan itu ia tuliskan dalam bukunya yang paling penting dan sistematis, Mustaqbal al-Tsaqãfah fi Mishr Masa Depan Kebudayaan Mesir. Dalam bidang
budaya, pendidikan, dan politik, ia menawarkan untuk mengadopsi peradaban Barat modern yang terlepas dari ikatan agama Kristen, sebab menurutnya peradaban Barat adalah bentuk ideal dari
peradaban modern itu, dan hanya dengan mengadopsi peradaban tersebut masyarakat Islam baru bisa meraih kemajuan. Hal itu, menurutnya, karena peradaban Barat itu merupakan kelanjutan wajar dari
perkembangan manusia secara keseluruhan dan Islam turut memilikinya, jika bukannya sumbangan Islam paling besar. Sementara sistem politik dan pendidikan tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Tetapi
perlu diingat bahwa Thaha bukan a-historis, sebab menurutnya, Mesir modern harus dibangun di atas Mesir yang lama. Dalam bidang agama, setelah menganjurkan sekularisasi, Thaha mengarahkan umat
agar melakukan ijtihad langsung pada al-Qur’an, jangan berhenti pada pemahaman ulama terdahulu, sebab umat Islam zaman kini mempunyai hak yang sama dengan umat Islam terdahulu itu dalam
menggali al-Qur’an.
210
4 Perspektif Mohammed Arkoun
Dalam karyanya Rethinking Islam
211
Arkoun mengemukakan bahwa akomodasi terhadap konsep sekularisme Barat oleh dunia Muslim - seperti yang dilakukan oleh Turki masa Kemal Attaturk
– tak lain sebagai wujud kesadaran naif akibat adanya culture shock melihat kemajuan peradaban Barat yang secara diametral begitu berbeda dengan kondisi dunia Islam Turki Usmani yang
cenderung masih diselimuti oleh pelbagai tabu religius, khurafat dan tabu magik, yang memantulkan ketidaksederajatan-ketidaksederajatan, pribumi yang sewenang-wenang, politik kolonial dan
keterbelakangan kultural yang memilukan. Dalam karyanya Min Faishal Tafrîqah ilã Fashl al-Maqãl …Aina al-Fikr al-Islãmi al-
Mu’ãshir
212
Arkoun menjelaskan pula tentang adanya pemikiran di Perancis dan di Barat pada umumnya yang meyakini bahwa seorang Muslim pasti menentang sekularisme. Menurut mereka, Islam
dan sekularisme merupakan dua hal yang saling bertentangan dan tidak mungkin berkumpul. Pemikiran seperti ini tertanam kuat di kalangan kaum orientalis atau ahli-ahli keislaman Islamolog.
Namun Arkoun sendiri menentang keyakinan pemikiran Barat tersebut. Lebih lanjut Arkoun menjelaskan pandangannya berkaitan dengan “sekularisasi”. Menurut Arkoun, kata tersebut dibuat -
untuk pertama kali - di dalam konteks pertentangan-pertentangan sengit yang terjadi antara gereja dan negara Perancis, sehingga ia memiliki legitimasi pada masa itu. Tetapi, lanjut Arkoun, sekarang ia telah
menjadi tidak memadai dan menyesatkan, bahkan berbahaya dengan kriteria bahwa ia tetap melakukan tindakan-tindakan eksklusivitas dan pembuangan, sementara pemikiran humanis moderen menuntut
adanya penilaian ulang, pembuktian-pembuktian baru, dan memperkokoh kemajuan, bahkan menuntut untuk menghapuskan semua batasan dan dinding yang diwarisi dari masa lalu. Adapun yang dimaksud
Arkoun, dengan masa lalu tersebut adalah masa di mana penakwilan-penakwilan ideologis bagi agama sangat dominan atas penetapan agama-agama “sekularisme”, menggantikan agama-agama tradisional
yang telah jauh menyeleweng dari yang seharusnya dengan bergantung kepada kekuasaan politis. Dr. Hasyim Shalih, salah seorang murid Arkoun, menjelaskan bahwa yang dimaksud Arkoun
adalah filsafat-filsafat modern yang menggantikan tempat agama dalam masyarakat Eropa tidak mampu mengajukan makna mutlak atau memuaskan yang pernah diberikan oleh agama pada zaman
pertengahan. Inilah faktor lahirnya perasaan kehilangan makna dan nihilisme pada peristiwa-peristiwa masyarakat Eropa. Tetapi jalan keluarnya tidak terletak pada pengembalian tradisional kepada agama,
karena hal ini sesuatu yang tidak mungkin dan tidak masuk akal. Tetapi dalam pandangan Arkoun jalan keluar tersebut terdapat pada pencarian bentuk baru bagi sekularisasi spiritual atau humanisme spiritual
melalui kajian perbandingan setiap pengalaman spiritual pada setiap masyarakat manusia, dan ini merupakan pandangan antropologi yang luas dalam kajian agama-agama.
213
Di lain kesempatan, Arkoun juga memberikan pemahamannya tentang sekularisasi sebagai suatu “ketegangan terus-menerus untuk terlibat di dalam dunia realitas dan yang membantu kita
menyebarluaskan apa yang kita yakini sebagai benar di ranah sosial atau masyarakat”.
214
Arkoun juga menekankan betapa pentingnya studi tentang sekularisasi dalam persepktif agama-agama, tidak hanya
satu agama tertentu, sebagaimana yang selama ini mendominasi studi keagamaan di kalangan masyarakat Barat-Eropa.
215
Untuk konteks Islam, lanjut Arkoun, telah pernah muncul kecenderungan humanis yang bercorak sekuler yakni di awal abad pertengahan sebagaimana yang ditampilkan oleh al-Jahizh
w.869. Menurut Arkoun, al-Jahizh telah melakukan sutau kritik historis tentang Islam. Namun saying, banyak umat Islam tidak begitu mendalaminya. Tetapi pada abad 11 M, humanisme Islam ini
mengalami kemunduran karena faktor historis-sosiologis yang mengitarinya.
216
Selanjutnya, bagi Arkoun, konsep sekularisasi identik dengan kebebasan yang telah ada sejak
era al-Makmun dan Mu’tazilah. Sayangnya, era kebebasan ini dikebiri oleh ortodoksi Muslim. Secara
defenitif, sekularisasi merupakan sikap terhadap pengetahuan yakni sikap yang terbuka dan bebas sejauh mungkin, atau sampai batas yang memungkinkannya, tidak hanya syarat-syarat politis dan
sosial, tetapi juga kemajuan metodologi, pengetahuan, dan teknik yang mendominasi dalam suatu masa dan tempat.
Namun, dalam kaitan ini tentunya Arkoun menolak pandangan “kaum sekularis militan” al-‘almâniyyûn al-shirrâ’iyyunles laicistes militants yang menolak mazhab agama apapun, baik
secara kultural, historis maupun ilmiah.
217
Bagi Arkoun, agar umat Islam bisa mencapai pintu sekularisasi, maka umat harus dibebaskan dari paksaan-paksaan dan kekangan-kekangan psikologis,
linguistik, dan ideologis yang membebani kaum muslimin, bukan hanya karena endapan sejarah Muslim sendiri tetapi juga karena faktor-faktor eksternal dan suasana internasional. Maka pembacaan
ulang historisitas pemikiran Islam di empat abad pertama hijrah harus dilakukan.
218
Dari uraian tentang sekuler, sekularisasi dan sekularisme di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat diungkapkan di sini antara lain bahwa sikap akomodatif yang dilakukan oleh negeri muslim
seperti Turki, misalnya, semata-mata dilandasi oleh fenomena cultural shock dari para elit Turki ketika itu, bukan sesuatu yang genuine dari kedalaman dan kematangan terhadap basis ideologi kebangsaan
maupun penghayatan tradisi budaya dan keagamaan yang dimiliki. Konsep sekularisme sebagaimana yang dipahami di Barat lebih bersifat dikotomis yakni dalam konteks pemisahan antara gereja agama
Kristen dan negara Perancis. Dalam kaitan ini, cukup riskan bila dilakukan semacam generalisasi
antara sekularisasi konteks Kristen dengan konteks Islam sebagaimana yang dipahami oleh, misalnya, Thaha Husein sebagaimana uraian terdahulu.
Sekularisme sebagaimana yang dipahami di kalangan masyarakat Barat lebih merupakan “agama” baca: filsafat modern yang dianggap konsep yang canggih namun mengalami kekosongan
makna secara spiritual sebagaimana yang ditawarkan agama. Bagi konteks umat Islam, untuk mengantisipasi nalar Etika politik sekular-humanistik, bukan berarti umat Islam harus kembali kepada
“agama tradisional”, tapi lebih dari itu amat dibutuhkannya formulasi baru tentang humanisme spiritual yang sudah barang tentu harus diperbandingkan dengan berbagai faham humanisme dan kebebasan
yang telah ada, dan dalam perspektif agama-agama. Sekularisasi dalam perspektif yang baru ini bukanlah menafikan agama, tetapi lebih pada upaya serius memperluas ruang kebebasan berfikir secara
kultural, historis dan ilmiah, tidak semata-mata ideologis dan teokratis. Akhirnya, dari uraian di atas paling tidak dikenal dua konteks penggunaan istilah secular, yakni
konteks teologi dan politik. Terdapat pula tiga aliran sekuler yakni: objektif ’ilmãniyyah, subjektif, dan ateis lã dĩniyyah. Proses sekularisasi di sini lebih dimaknai adanya upaya liberasi pemikiran dari
kungkungan logosentrisme klasik atau devaluasi pemahaman tradisional menuju pemahaman baru yang lebih kritis dan kontekstual. Dalam kaitan ini, humanisme spiritual Arkoun sejalan dengan teo-
humanistik yang penulis kemukakan untuk membedakannya dengan nalar etika politik sekuler yang nir-spiritualitas.
3. Masyarakat Kitab dan Pluralisme