Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi inspirasi bagi para pembaca dan bahan pengembangan riset selanjutnya.

3. Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam

Awal tahun 90-an penulis berdebat secara diametral dengan salah seorang adik penulis tentang prospek pengembangan sistem ekonomi Islami al-Iqtishad al-Islami. Adapun munculnya pemicu perdebatan antara kami berdua adalah akibat lahirnya BMI Bank Muammalat Indonesia di Jakarta yang pada mula berdirinya masih butuh waktu dua tahun baru BMI dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh pelosok tanah air. Salah satu yang menjadi pokok masalah perdebatan antara lain adalah kemampuan mandirinya BMI tanpa mengandalkan bunga bankrente. Bisakah BMI – atau lembaga keuangan lainnya yang berdasarkan prinsip Syari’ah – kelak bertahan tanpa mengikuti sistem ekonomi kapitalisme yang penuh spekulasi dan eksploitasi? Bukankah tanpa adanya suku bunga tinggi, berbagai lembaga keuangan sangat sulit untuk bertahan lama? Demikian kira-kira argumentasi yang ditujukan kepada penulis sembari meyakinkan bahwa lembaga keuangan yang bergerak tanpa suku bunga akan sulit menggaji karyawan maupun mengakumulasi modal ke lembaga keuangan yang ada. Apakah mungkin BMI – dan sejenisnya – dapat eksis di kemudian hari, jangan-jangan begitu muncul, tak lama gulung tikar kembali. Kalau itu terjadi, bisa jadi dunia akan semakin menertawakan apa yang disebut dengan prinsip syari’ah tersebut. Menghadapi serangan tersebut penulis menjelaskan fakta eksisnya beberapa lembaga keuangan Islam di negara-negara Timur Tengah maupun di belahan dunia lainnya. Eksisnya lembaga keuangan Islam Internasional semacam IDB Islamic Development Bank dan sejenisnya, menjadi bukti dimungkinkannya eksistensi lembaga keuangan syari’ah itu. Bahkan dengan sedikit provokatif, penulis ‘meramalkan’ bahwa bila eksperimen BMI – termasuk BPR, BMT, Asuransi Takaful, Reksadana Syari’ah, dll – bisa terus mengembangkan sistem yang diyakini sekaligus melahirkan produk-produk barunya. Insya Allah, kelak bank-bank dan lembaga keuangan konvensional kapitalistik mau tidak mau akan menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga keuangan islami. Dalam beberapa kasus ‘ramalan’ penulis awal 90-an yang lalu kini secara evolutif mulai menjadi kenyataan. Bila kita runtut sedikit ke belakang, secara historis sosiologis, ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai eksistensi lembaga keuangan terutama bila dikaitkan dengan suku bunga. Pendapat pertama, diwakili jumhur ulama, menyatakan bunga bank hukumnya haram. Kelompok ini mendasari argumen mereka pada firman Allah dalam Surat Al-Baqarah : 275, yang artinya “dan Allah menghalalkan jual beli namun mengharamkan riba”. Mayoritas ulama fiqh – tradisional – berpendapat bahwa sistem suku bunga yang lumrah didapati di bank-bank kovensional dewasa ini statusnya sama dengan riba, maka hukumnya menjadi haram. Kelompok ini meyakini bahwa konsep riba berbeda dengan zakat. Bila zakat bersifat apresiatif dengan kaum miskin, maka konsep riba malah bersifat eksploratif dalam melakukan transaksi ekonomi. Keputusan Bahtsul Matsail ormas Islam, NU, termasuk yang mengharamkan bunga bank, walaupun tidak sedikit ulama dan kyai NU yang berhubungan dengan bank. Adapun kelompok kedua adalah ulama seperti almarhum Prof. Dr. Fazlur Rahman Pakistan yang berpendapat bahwa upaya umat Islam dalam berhubungan dengan bank-bank yang ada hukumnya boleh. Karena bila diharamkan, itu sama artinya umat Islam melakukan bunuh diri. Karena dalam mengerjakan proyrk-proyek amal shaleh di zaman modern ini mau tidak mau umat Islam harus berhubungan dengan pihak bank. Di sini jelas bahwa pada dasarnya Rahman tetap menginginkan hadirnya lembaga keuangan yang lebih Islami, tetapi karena umat Islam memilikinya untuk sementara dibolehkan berhubungan dengan bank konvensional. Logika Rahman ini bisa disandarkan pada salah satu kaidah ushul fiqh yang berbunyi : al-darurah tubih al-mahzhurah dalam keadaan darurat, yang terlarang menjadi boleh. Adapu kelompok ketiga, menyatakan bahwa makruh hukumnya umat Islam berhubungan dengan bank yang mengandalkan suku bunga. Pendapat ketiga ini masih membolehkan, walaupun secara tersirat tidak usah berurusan dengan bunga bank. Pendapat keempat, meyakini bahwa bunga bank syubhat hukumnya. Dalam kelompok ini termasuk ormas Islam, Muhammadiyah. Secara akademis, konsep syubhat dalam Islam berarti sebaiknya dihindari, tetapi dalam kenyataannya para tokoh dan badan-badan usaha milik Muhammadiyah bahkan “memanfaatkan” fatwa syubhat itu dan rami-ramai berurusan dengan bank- bank konvensional. Pendapat kelima, meyakini bahwa yang diharamkan adalah suku bunga tinggi, sedangkan suku bunga rendah dapat dibenarkan. Menurut kelompok ini yang diharamkan hanya suku bunga tinggi atau riba yang berlipat ganda “Wahai orang-orang yang beriman, janganlahh kau konsumsi suku bunga yang berlipat gandatinggi” Ali-Imran: 130. Pendapat keenam, menyatakan pula bahwa yang paling baik adalah memilih lembaga keuangan tanpa bunga atau bank Islam yang berdasarkan pada prinsip mudharabah bagi hasilprofit and lost sharing. Lembaga keuangan seperti BMI, BMT, dan sejenisnya sudah berupaya ke arah ini walaupun belum sepenuhnya, karena masih harus terikat atau ‘magang’ pada bank konvensional yang kapitalistik ketergantungan pada BI misalnya? Adapun kelompok terakhir sedikit berbau politis, yang menyatakan bahwa kita harus mengambil bunga yang diberikan oleh bank, sebab bila tidak diambil akan digunakan oleh kekuatan aliansi ekonomi zionisme internasional. Tentang yang terakhir ini penulis belum mengetahui duduk soal yang sebenarnya. Berbagai pendapat di atas bias dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama tergolong kelompok praktis-pragmatis, yakni tidak mengharamkan bunga bank suku bunga tinggirendah, sama saja maupun yang membolehkan suku bunga rendah. Sedangkan golongan kedua adalah kelompok idealis yang lebih memilih lembaga keuangan tanpa bunga sedikit pun. Beberapa Visi Pengembangan Ekonomi Islam Masa Mendatang Untuk mengantisipasi kebangkitan ekonomi Islami – mengiringi ekonomi kapitalistik, maka ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh angkatan muda Islam maupun pakar ekonomi Islami, antara lain sebagai berikut: 1. Mendirikan berbagai pusat studi ekonomi Islam dengan memiliki program antara lain: kajian intensif ekonomi Islam dengan berbagai cabangnya, menyiapkan kader-kader ekonomi muslim lewat pelatihanpendidikan tinggi dan sejenisnya. 2. Melahirkan asosiasi atau ikatan ekonomi muslim maupun lembaga etika bisnis Islami sesuai dengan kebutuhan yang ada. 3. Menerbitkan jurnal ilmiah ekonomi Islam secara berkala. 4. Memanfaatkan harian Republika dan media massa lainnya dalam mengembangkan dan mensosialisasikan nilai-nilai dan paket-paket program ekonomi Islam. Halaman khusus Republika yang berisi sajian tentang konsultasi zakat, BMT, Dompet dhu’afa, dan lain-lain amat bermanfaat untuk ditindak lanjuti. 5. Mewujudkan Metodologi Penelitian Islam MPEI dua arah; pertama, MPE bersifat teoritik berupa kajian-kajian akademis tentang teori-teori ekonomi Islam serta bandingannya dengan sistem non-Islam. Kedua, MPEI yang bersifat kasuistik, berupa program riset lapangan tentang perilaku ekomi umat maupun studi potensi sumber daya ekonomi kerakyatan yang ada. 6. Melahirkan jurusanfakultas ekonomi dengan dua arah: pertama, jurusan ekonomi Islam ulama teoretik dewan syariah . Kedua, jurusanfakultas ekonomi yang melahirkan para praktisi ekonomi Islam. 7. Beberapa paket program yang bisa dilakukan lainnya adalah mengadakan pelatihan AMT Achievement Motivation Training, seminar keuangan Islami, pelatihan tata administrasi keuangan ekonomi Islam, akuntansi syari’ah dan manajeman Islami, dan lain-lain. Prospek Manajemen Masjid Salah satu lembaga umat yang paling mudah ideal untuk dimanfaatkan sebagai forum magang sekaligus forum pengembangan lembaga keuangan Islam tidak lain adalah masjid. Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan di sini. 1. Sarana masjid semakin hari semakin tumbuh dan berkembang di tengah-tengah umat Islam. Belum terdengar masjid yang gulung tikar karena kehabisan dana atau jama’ah, kecuali pada daerah di mana ada penggusuran rumah penduduk. Ini pun sangat langka terjadi. 2. Masjid memiliki income jum’atan yang reltif kontinyu dan konsisten, tetapi penggunaan masjid selama ini umumnya masih bersifat konsumtif, belum mengarah pada hal-hal yang lebih produktif. 3. Isntitusi masjid lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang lembaga lain di luar masjid. 4. Di masa mendatang, berbagai produk ekonomi Islami: BMI, BPR, MBT, Asuransi Takaful, pegadaian syari’ah, koperasi, Syikah ta’awuniyah dan lain-lain: semakin berkembang. Masih bisa memanfaatkan fenomena yang ada secara lebih strategis dan antisipatif. 5. Masih bisa juga sebagai pusat bisnis umat, seperti pusat-pusat TPA, pengajian privat Al- Qur’an maupun ceramah keagamaan, pusat biro konsultasi kesehatan, atau psikologi atau masalah rumah tangga. Pusat majelis ta’lim ibu-ibu dan anak-anak serta remaja. Pusat lembaga pernikahan misal: masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Tempat bimbingan haji, perpustakaanpenerbitan, koperasi masjid dan lain-lain. Masjid Salaman ITB Bandung. Al- Azhar di Jakarta, maupun Syuhada di Yogyakarta, bisa dijadikan program riset lapangan atau percontohan. Mengakhiri tulisan ini, kita teringat mengapa Nabi Muhammad SAW sejak dini menyuruh umat Islam belajar ke negeri Cina. Bukanlah beliau seorang businessman, di mana nabi bertindak sebagai “salesman”-nya Siti Khadijah. Bukankah Al-Qur’an, diakhiri surat Jum’ah dengan tegas menyatakan hubungan erat antar masjid dan pasarbisnis….faiza qudhiyati sl-shalah fantasyhiru fi al-ardl wabtaghu min fadhillah…. BAB V PEMIKIRAN ISLAM TENTANG SAINS DAN FUTUROLOGI Wacana Agama dan Sains dalam Epistemologi Islam Kontemporer Historisitas Sains di Dunia Muslim Berbicara tentang relasi antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi keilmuan Islam kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang di masa awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justeru dikesankan menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains. Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat. Temuan sains di dunia Muslim hampir-hampir dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau Habibie yang menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie digelar sebagai Mr. Crack. Adapun ribuan jenis temuan lainnya masih didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa dikemukakan. Sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika pengetahuan modern. Dalam kaitan ini menarik kita kutip pernyataan Nurcholish Madjid 1992: lvi Dalam lembaga-lembaga pendidikan itu terasa sekali semangat pengucilan diri dari sistem kolonial pada umumnya. Secara simbolik semangat itu dicerminkan dalam sikap para ulama yang mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak dari yang cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan modern dan huruf Latin sampai hal-hal sederhana seperti celana dan dasi. Ajakan pemerintah kolonial kepada mereka untuk ikut serta dalam “peradaban modern” disambut dengan sikap berdasarkan sebuah Hadits, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu” Man tasyabbaha bi qawmin fa-huwa min-hum. Disamping faktor politik isolatif di atas, faktor sosial, budaya, ekonomi dan lainnya juga cukup berpengaruh. Namun dalam tulisan ini penulis hanya mengemukakan secara lebih spesifik dari segi aspek mandeknya epistemologi keilmuan Islam yang secara implikatif berdampak pada mandeknya temuan-temuan di bidang sains. Sebelum kita temukan jawabannya, ada baiknya sekilas penulis kemukakan tentang prestasi temuan sains yang pernah terjadi di dunia Muslim. Menurut Nurcholish Madjid 1992: xxxv-xxxvi bahwa peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern Barat di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan internationalization of knowledge. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain. Sebagai tambahan, kita kutip pernyataan Hassan Hanafi 2001: 144-145 tentang fakta kemajuan sains dunia Islam di masa lalu: “Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri analitik, yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika Khauarasmi, Tusi, atau bahkan arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang berada pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu sebagai “tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang ditentukan dalam Al-Quran. Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan konsep cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas pembagian monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika.” Namun sesuai dengan hukum rotasi sejarah, jatuh bangun sebuah peradaban menjadi sebuah keniscayaan historis. Mengenai bangun dan jatuhnya peradaban ini menarik kita kutip pernyataan Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana bahwa peradaban yang kecil selalu saja dapat mengalahkan peradaban yang lebih besar. Ia ilustrasikan, dulu peradaban India Kuno itu besar, lalu dikalahkan oleh Mesir yang kecil, Mesir pun menjadi besar. Demikian pula, Mesir yang besar akhirnya dikalahkan oleh peradaban Yunani yang kecil, Yunani pun menjadi besar. Tapi kemudian Yunani dikalahkan oleh Arab Islam, Islam Arab menjadi besar. Kemudian Arab Islam dikalahkan oleh peradaban Eropa. Lalu muncul Amerika, kini Amerika yang besar sudah dikalahkan oleh Jepang kecuali dalam bidang militer ada buku yang menarik berjudul Is the American Number One in the World?. Siapa tau kelak, lanjut STA, Jepang akan dikalahkan oleh bangsa Indonesia yang peradabannya masih dianggap belum unggul harian Pelita, 4 Maret 1993: 4. Berdasarkan fakta historis di atas, peradaban Islam pernah jaya, walaupun akhirnya mengalami kemandekan ilmu secara meluas seperti yang juga dinyatakan Campbell – sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid 1992: xxxvi: “….. Dan begitulah yang terjadi, justru pada saat ketika sinar ilmu pengetahuan Yunani mulai dibawa dari Islam ke Eropa – dari sekitar tahun 1100 dan seterusnya – ilmu pengetahuan dan kedokteran Islam mengalami kemandekan dan akhirnya mati; dan dengan begitu Islam sendiri pun mati. Tidak saja obor ilmu pengetahuan, tetapi juga obor sejarah, sekarang pindah ke Barat Kristen. Kemandekan Epistemologi Keilmuan di Dunia Islam Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa setelah dunia Islam menikmati kejayaan peradaban sains, maka setelah itu muncul era kemandekan sains. Secara historis, sikap memusuhi sains dari sementara umat Islam, seperti disebut Campbell, baru terjadi lima atau enam abad kemudian, mengharuskan kita menilainya sebagai bukan “asli” Islam, dan tidak bersumber dari ilhamnya yang murni, dan ini merupakan suatu anomali. Meminjam teori Thomas Kuhn, bahwa secara perlahan dimensi keilmuan Islam menjadi normal science yang tentunya akan berujung pada situasi krisis keilmuan itu sendiri. Apalagi dengan munculnya slogan “telah tertutupnya pintu ijtihad”, padahal Nabi Muhammad Saw sendiri tidak pernah menutupnya. Bahkan Nabi sangat menghargai orang yang salah dalam berijtihad dengan satu pahala, dan bila benar mendapatkan dua pahala. Fenomena kemandekan berpikir ini membuat para ilmuan Muslim menjadi gamang untuk melakukan inovasi dan kreasi keilmuan. Menurut Dr. Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim bahkan mencapai sekitar 500-an tahun 1981: 148. Dunia keilmuan Muslim, pada akhirnya, lebih bersifat pengulangan semata the context of recovery atau meminjam ungkapan Nasr Hamid Abu Zaid 1995: 123, umat hanya mengulang warisan para ilmuan masa lalu qira’ah al-mutakarrirahreproduction of meaning, belum mengarah pada pembacaan yang produktif qira’ah muntijahproduction of meaning. Padahal dunia Islam pernah mempelopori wacana sains secara empiris, yakni melangkah maju ketimbang warisan peradaban Yunani yang umumnya bersifat idealistik-rasionalistik semata. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Sir Mohammad Iqbal bahwa Al-Quran lebih mengutamakan dimensi tindakan – secara empiris – ketimbang semata-mata gagasan; “The Quran is a book which emphasizes ‘deed’ rather than ‘idea” Iqbal, 1981: v. Sesuai dengan fokus kajian di sini, secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang berpola Ghazalian mazhab Al-Ghazali belakangan lebih dominan. Sementara pola Rusydian mazhab Ibnu Rusyd yang pernah berjaya di dunia Muslim justru semakin bermetamorfosa di dunia Barat. Epistemologi keilmuan model Ghazalian berpandangan bahwa segala sebab sesuatu di alam ini tergantung dalam kehendak-Nya. Melalui perspektif ini pandangan Al-Ghazali lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik. Inovasi dan kreativitas keilmuan menjadi macet. Pandangan epistemologi keilmuan model Ghazalian ini cenderung menjadi anti “keteraturan” sunnatullah, dimana hukum-hukum alam yang melahirkan sains menjadi terabaikan. Pengembangan potensi rasio manusia menjadi sangat tereduksi, atau dengan kata lain potensi akal manusia menjadi kurang fungsional. Model weltanschauung Ghazalian ini lebih bersifat dialektis-hipotetis. Segala fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan jabariyyah-determinism. Pandangan ini menjadi sangat teologik-atomistik bahkan cenderung mengarah pada mysticism, yang sudah barang tentu berimplikasi pada pengabaian wilayah temuan social sciences maupun natural-sciences. Berbeda dengan Ghazalian, maka epistemologi keilmuan seperti yang digagas oleh Ibnu Rusyd Rusydian cenderung menyatakan bahwa sebab segala sesuatu bukan di dalam kehendaknya, tetapi berada di luar. Pandangan Rusydian ini mengandaikan adanya sistem ‘keteraturan alam’ sunnatulllah yang sudah didelegasikan oleh Tuhan kepada alam yang sering disebut sebagai hukum alam. Berbeda dengan model Ghazalian, maka pola Rusydian mengindikasikan adanya pola rasionalitas yang gradual, sistemik di alam ini yang secara teratur bisa dipelajari oleh manusia, karena Allah sudah menciptakan “kepastian-kepastian” di dalamnya. Atau dengan kata lain, ada konsep taqdir keharusan universal, yang di dalam bingkai taqdir itu manusia didorong untuk melakukan ikhtiar mengoptimalkan segala potensi manusia dalam memahami hukum-hukum alam. Maka pola Rusydian ini cenderung mengaktifkan upaya manusia dalam melakukan eksplorasi hukum-hukum alam yang berujung pada munculnya berbagai produk sains itu sendiri. Bila Ghazalian bertumpu pada logika yang hipotetis, maka Rusydian bertumpu pada metode analisis-demonstratif yang mengakui adanya regularitas dan kausalitas di balik setiap fenomena sosial dan alam Bandingkan, Amin Abdullah, 2002: 209-220. Jadi, fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan – khususnya – di bidang sains, sebagaimana sudah terbukti lama dalam sejarah renaisans Islam. Hanya karena model interpretasi epistemologi keilmuan ala Ghazalianlah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran dunia Muslim di bidang temuan sains. Pola-pola Ghazalian ini pula yang belakangan menjadi dominan dan mengilhami berbagai silabi, penulisan buku-buku teks keagamaan dan menghegemoni wawasan keagamaan atau keilmuan para pendidik Muslim; sebagaimana yang umumnya terdapat di dunia pendidikan pesantren, madrasah bahkan perguruan tinggi Muslim, yang sampai hari ini dampak historisnya masih dapat kita saksikan dan rasakan. Perlu dicatat bahwa upaya umat dalam mengelaborasi wawasan keilmuan di bidang sains, pada hakikatnya juga sangat terkait dengan perspektif teologi yang dianutnya, apakah model Ghazalian atau Rusydian. Dalam kaitan ini menarik pula kita kutip pernyataan Prof. Dr. Fazlur Rahman 1984: 390 tentang fenomena kemandekan kreativitas keilmuan di dunia Muslim, sebagai berikut: ”Sekarang ini, intelektualisme Islam praktis mati, dan dunia Islam menyuguhkan suatu pemandangan gurun intelektualisme luas yang gersang dan sepi tanpa hembusan angin pemikiran sedikit pun, tapi yang kesenyapannya kadang-kadang memberikan kesan adanya getaran. Inilah sosok umat yang kepada generasi mudanya Iqbal menujukkan doanya yang penuh harap kira-kira empat puluh tahun yang lalu: “Semoga Tuhan menyentuhkan ruhmu pada badai yang baru, karena hampir tak ada riak sedikit pun pada air lautanmu”. Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer Setelah dikemukakan sekilas mengenai fenomena kemandekan epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka berikut ini dikemukakan pula beberapa model tawaran epistemologi keilmuan Muslim kontemporer, yang saat ini cukup berpengaruh di kalangan dunia Islam. Sekedar untuk dimaklumi bahwa wacana tokoh Muslim kontemporer berikut ini umumnya secara spesifik dikaji dalam perspektif keilmuan agama Islam an-sich, namun dalam beberapa hal bisa juga dikaitkan ke dalam wilayah sains. Wacana epistemologi keilmuan kontemporer ini kita mulai dari konsep Fazlur Rahman asal Pakistan tentang sains. Rahman 1983: 19-20 mengemukakan bahwa di alam ini berlaku konsep qadartaqdir. Konsep taqdir di sini bukan bermakna “sebuah keyakinan yang persimis” – seperti yang umum dipahami umat Islam, umumnya keyakinan ini akibat pengaruh logika Ghazalian – tapi lebih bermakna bahwa Tuhan yang maha kuasa, melalui kreativitas-Nya yang penuh kasih, memberikan “ukuran” taqdir kepada setiap sesuatu. Memberikan kepada setiap sesuatu itu potensi-potensi tertentu beserta hukum-hukum tingkah-lakunya. Singkatnya, Tuhan memberikan sifat-sifat tertentu kepada setiap sesuatu. Allah sajalah yang telah menciptakan hukum-hukum alam. Hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat menemukan dan memanfaatkan hukum-hukum alam tersebut. Sesungguhnya para petani dan ilmuwan telah berbuat demikian. Al-Quran menyerukan kepada kita untuk menemukan hukum-hukum alam dan memanfaatkan penemuan tersebut untuk kesejahteraan umat manusia. Allah telah menciptakan hukum-hukum tertentu sehingga sebuah sperma dapat menyuburkan telur dan yang setelah beberapa lamanya berubah menjadi bayi dalam kandungan. Selanjutnya Rahman mengungkapkan pula bahwa hukum-hukum alam mengekspresikan perintah Allah. Seperti yang juga dikatakan oleh Prof. Dr. Teuku Jacob “Evolusi adalah cara Tuhan bekerja” Jurnal Relief, vol.1 No.1 Januari 2003: 118. Bagi Rahman, alam tidak akan dan tidak dapat mengingkari perintah Allah. Selanjutnya alam pun tidak dapat melanggar hukum-hukum alam. Itulah sebabnya, kata Rahman, mengapa di dalam Al-Quran, keseluruhan alam dikatakan muslim atau menyerah dan mematuhi perintah Allah Q.S. Ali Imran: 83. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman lebih terbuka, bahwa semua hasil temuan sains yang diproduksi manusia, halal untuk dipelajari, termasuk berbagai temuan sains di dunia Barat. Di sini Rahman berbeda pandangan dengan Ismail Raji al-Faruqi Faruqian atau Naquib Al-Attas Naquibian yang secara eksklusif lebih berorientasi pada Islamization of knowledge. Bahkan dengan keras Rahman menolak ide Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dengan menyatakan bahwa ide tersebut sangat menyesatkan, karena akan membuat prinsip-prinsip Islam tetap sebagai subordinat dari ilmu-ilmu modern. Sebaliknya kita harus melahirkan ilmu-ilmu dari kandungan Al-Quran scientification of Islam. Ilmu harus dimulai dari Al-Quran, bukan berakhir dengan al-Quran Muhammad Azhar, 1996: 47. Sedangkan Mohammed Arkoun Aljazair, melalui teori Islamologi Terapan-nya ingin mendorong umat Islam agar meninggalkan – meminjam teori Foucoult – episteme abad pertengahan yang menurut Arkoun cenderung melupakan dimensi historisitas taarikhiyyah. Bagi Arkoun, epistemologi pemikiran Islam klasik cenderung bersifat tekstual-normatif yang sudah barang tentu sangat sulit mengadopsi pelbagai perubahan sosial termasuk di dalamnya masalah perkembangan sains. Menurut Arkoun, untuk memajukan wacana sains di dunia Muslim, kita harus memulai mengkaji nasib filsafat di dunia Islam pasca Ibnu Rusyd. Kita harus melakukan penelitian historis ganda yang membandingkan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan di pihak Muslim dengan orang-orang yang mempromosikan keberhasilan di pihak Kristen Barat tentang apa yang disebut Averroisme Latin Arkoun, 1996: 128. Arkoun mendorong para peneliti untuk mempelajari faktor sosiologis, ideologis dan faktor budaya yang sangat cepat menyebabkan kemenangan reproduksi ajaran-ajaran “ortodoks” yang diwariskan oleh mazhab-mazhab yang bersaing. Sejarah pemikiran, kata Arkoun, tidak dapat dipisahkan dari sejarah sosial. Sudut pandang filosofis sangat penting untuk menjangkau ideologi- ideologi yang merusak yang sangat menghalangi semua usaha pembaharuan dan kreativitas keilmuan Arkoun, 1996: 128-129. Tentang wacana sains, Arkoun mengungkapkan bahwa tradisi Islam klasik telah memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antara agama, filsafat dan sains, sebagaimana yang terlihat dalam karya-karya Ibnu Sina Arkoun, 1996: 133. Penelitian ilmiah, lanjut Arkoun, tampaknya tidak menghadapi halangan-halangan religius dalam ranah Islam. Al-Quran selalu mengundang orang yang beriman untuk “melihat” dunia ciptaan agar dapat menghargai keagungan dan kekuasaan Tuhan. Pengetahuan ilmiah tentang alam, bintang-gemintang, langit, bumi, flora dan fauna hanya akan memperkuat iman dan memancarkan hidayah-hidayah simbolik Al-Quran. Lebih lanjut Arkoun menyatakan 1996: 134-135: Orang-orang Arab mengembangkan matematika yang juga mencakup aljabar, geometri, trigonometri dan aritmatika, astronomi, botani, farmakologi, zoology, geografi, psiognomi dan psikomatika, yang dimanfaatkan oleh Barat sejak abad ke-12. Sebagaimana dalam kasus filsafat, gerakan ilmiah raksasa ini berhenti sebagai akibat supervisi teologis yang dapat dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kemapanan Barat tetapi lebih dikarenakan oleh lingkungan sosial dan politik baru bagi pengetahuan yang berkembang di keseluruhan dunia Muslim dimulai dari abad ke-11 dan abad ke-12……. Tetapi kemudian, kira-kira pada tahun 1830, keterputusan sejarah dengan warisan saintifik dan kultural periode produktif benar-benar memuncak. Itulah sebabnya mengapa pembaharu-pembaharu salaf akhir abad-19 mengembangkan mitologi, romantisisme dan nostalgia bagi kejayaan yang sudah lama hilang hanya memberikan ruang kecil bagi pendekatan saintifik, kritis dan konstruktif. Adapun Hassan Hanafi asal Mesir, melihat wacana sains didasari pada perspektif filosofis yang berpandangan bahwa alam adalah bukan sebuah benda, tetapi merupakan sebuah persepsi kebudayaan yang menentukan sikap manusia terhadap alam. Alam adalah ciptaan Tuhan dan manifestasi dari sifat-sifat-Nya. Alam bersifat sementara dan merupakan lapangan tempat manusia bertindak, sebuah ujian untuk kehidupannya. Kegembiraan, kesenangan dan keabadiannya dikondisikan oleh keberhasilannya di dalam ujian ini. Kehancuran alam akan terhindarkan bila manusia bertanggungjawab dan accountable dalam mengelola alam. Tanggungjawab terhadap alam ini membentang ke seluruh dunia. Sayangnya dunia Muslim sekarang telah kehilangan perspektif kebudayaan ini semenjak tujuh ratus tahun yang lalu Hassan Hanafi, 2001: 97-98. Lebih lanjut Hassan Hanafi menyatakan bahwa Tuhan, di dalam kesadaran Muslim sekarang ini, lebih menyerap alam dengan sebuah visi teosentrik yang diwarisi dari ortodoksi tradisional. Tokoh pemikir Muslim kontemporer lainnya, Mohammed Abed Al-Jabiri asal Maroko, mencoba mengemukakan tiga konsep pemikiran. Pertama, yang bercorak bayani pemahaman secara tekstual-normatif. Menurut Al-Jabiri 2000: xlv-xlvii, nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Meski pada awalnya pandangan dunianya adalah pandangan dunia rasional Al-Quran, tetapi bentuk bernalar semacam ini secara gradual beralih menjadi pandangan dunia tersendiri yang khas bayani karena banyak didasarkan pada alam pikiran bahasa Arab, dan bukan pada Al-Quran itu sendiri. Seperti ajaran tentang al-jauhar al-fard atomisme, pengingkaran hukum kausalitas as-sababiyyah, dan juga prinsip al-tajwiz keserbabolehan dalam hubungan antara sebab dan akibat. Kedua, nalar irfani spiritual-intuitif, secara epistemologis cenderung tidak rasional dan menganggap kandungan lahiriah Al-Quran sebagai kebenaran yang dikandung tradisi Hermetisisme. Bagi Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Maka untuk upaya pengembangan wacana sains ke depan, umat Islam perlu mengembangkan epistemologi keilmuan yang ketiga, bercorak burhani rasional-demontsratif. Al-Jabiri menuangkan perhatiannya pada tradisi pemikiran Islam di belahan barat dunia Islam Maghribi dan Andalusia, dimana lahir para tokoh burhani semacam Ibnu Hazm, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, al-Syathibi, dan Ibnu Khaldun. Berdasarkan rujukan para pemikir di atas, Al- Jabiri menyatakan: “Yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu salaf sebagai otoritas, bukan lagi atomisme atau prinsip “keserba-bolehan” yang mengingkari hukum kausalitas yang dinyatakan bertentangan dengan semangat rasionalisme dan kepastian ilmiah. Di atas landasan epistemologi burhani yang menggunakan logika Aristoteles ini, yang dimunculkan kemudian adalah metode deduksi istintaj, qiyas jami’, induksi istiqra’, konsep universalisme al-kulli, universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid tujuan syariah.” Sedangkan bagi pemikir Muslim asal Iran, Abdul Karim Soroush 2002: 18-19 mengemukakan pula tentang teori “penyusutan dan pengembangan”. Bagi Soroush, religiusitas adalah pemahaman manusia tentang agama, sebagaimana sains adalah pemahaman mereka tentang alam. Soroush cenderung membedakan antara agama dan pengetahuan agama. Agama sebagai bentuk pengetahuan manusia sangat bergantung pada kondisi kolektif dan kompetitif jiwa umat manusia. Interpretasi keagamaan bisa saling berbeda antara para filosof, juru dakwah, sufi dan politisi. Dengan mengutip pengetahuan dari filsafat agama, Soroush menyatakan bahwa seluruh fenomena, pada hakikatnya, bermuatan teori, sehingga kita melihat dunia melalui lensa-lensa teori. Oleh karena itu, lanjut Soroush, tidak ada hal yang tampil sebagai suatu kejadian yang polos atau suatu fakta yang keras. Jika kita tidak menyukai suatu interpretasi atas kejadian tertentu, kita tentu menggantikannya dengan interpretasi yang lain. Dengan demikian, ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia, yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Itulah sebabnya, orang beriman mempunyai beraneka ide. Lebih lanjut Soroush 2002: 28, 43-44 menjelaskan tentang teorinya: “Tesis saya tentang penyusutan dan pengembangan ilmu agama memperlihatkan bahwa untuk menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, jika kita tidak mau pemahaman kita stagnan. … Syariat agama tidak pernah setara dengan opini manusia, sehingga mustahil ada kesesuaian atau ketidaksesuaian antara keduanya; pemahaman seorang manusialah yang bisa jadi sama atau tidak sama dengan pemahaman manusia yang lain…… Jadi, di mana pun yang kita hadapi adalah ilmu agama yang mengamati dan memahami agama, tetapi itu bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang ilmu pengetahuan manusia ….Bagian yang tetap adalah agama; bagian yang berubah adalah pemahaman agama.” Demikianlah beberapa pandangan kritis-epistemologis dari beberapa pemikir Muslim kontemporer di atas, yang ada korelasinya bagi upaya pengembangan pemikiran keagamaan serta implikasinya bagi upaya pengembagan wilayah sains di dunia Muslim, pada masa-masa yang akan datang. Beberapa Gagasan bagi Pengembangan Wacana Agama dan Sains ke Depan Berdasarkan analisis di atas, upaya pengembangan wacana agama dan sains ke depan, beberapa langkah berikut ini layak dipertimbangkan, baik oleh ilmuwan agama maupun sains, antara lain: 1. Perlu adanya shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak intuitif-spiritual-irfani secara aksiologis yang banyak berkaitan dimensi etika bagi pengembangan sains; maupun yang bercorak empiris-historis-burhani secara epistemologis yang berdampak pada adanya temuan baru the context of discoveryqira’ah muntijahproduction of meaning di bidang sains. Pergeseran paradigma ini merupakan sintesa baru antara corak Ghazalian mazhab keilmuan Al- Ghazalidi Barat: al-Ghazl dengan Rusydian mazhab Ibnu Rusyddi Barat: Averroes. Epistemologi keilmuan Islam klasik yang menghambat kemajuan temuan dunia sains perlu segera direview ulang sebagaimana yang telah penulis kemukakan secara umum di atas. Pemahaman tentang ijtihad sebagaimana yang dikemukakan Dr. Sir Mohammad Iqbal 1981: 148 sebagai the principle of movement dapat dijadikan acuan filosofis bagi upaya pergeseran paradigmatic ini. Karena pada hakikatnya setiap hasil ijtihad telah terpenjara oleh historisitas yang mengitarinya yakni dimensi palace, space and time, dan oleh karenanya setiap pemahaman keilmuan agama termasuk Islam maupun wacana sains akan mengalami kemapanan, yang oleh Thomas Kuhn disebut normal science, dan lambat laun mengalami krisis dan mendorong untuk lahirnya perspektif keilmuan yang baru revolutionary science. 2. Pergeseran paradigmatik di atas tentu berimplikasi pula pada adanya suatu keharusan redefenisi konsep-konsep keilmuan Islam yang terkait dengan wacana sains. Sekedar ilustrasi, konsep sha’idan thayyiban Q.S. An-Nisa’: 42 yang dalam epistemologi Islam klasik bermakna debu yang bersih, maka dengan perkembangan dunia sains kata-kata sha’idan thayyiban diredefenisi menjadi segala sesuatu yang tumbuh dari bumi. Bila tidak ada air, orang bisa bertayamum di kursi atau dinding pesawat sepanjang bersih dari najis, karena kedua benda – temuan sains – ini termasuk pada kategori segala sesuatu yang tumbuh dari bumi. Di pesawat, dalam perjalanan yang jauh, orang tidak perlu lagi menyediakan atau membawa debu untuk persiapan tayamum sebagai pengganti air wudlu’ karena keterbatasan air di pesawat. Demikian pula pengertian sab’a samawaat Q.S. Nuh: 15 yang secara klasik diartikan dengan tujuh lapis langit. Namun karena perkembangan sains berubah maknanya menjadi tujuh planet. Bahkan era berikutnya menjadi banyak planet karena belakangan – hasil temuan sains – jumlah planet sudah lebih dari tujuh. Dalam bahasa Arab, kata-kata sab’a tidak hanya berarti berjumlah tujuh, tetapi juga bisa diartikan berjumlah banyak. Masih banyak ilustrasi yang bisa dikemukakan, namun karena keterbatasan halaman, cukup dikemukakan di sini dua contoh saja. Dalam kaitan ini, apa yang dikemukakan Abdul Karim Soroush 2002: 45 cukup tepat ketika ia mengatakan bahwa “penafsiran agama bisa berubah dengan adanya perubahan konsep sains”. Penulis di sini ingin juga mengemukakan bahwa di masa mendatang perlu pula diupayakan adanya redefenisi konsep Islam mendahului perubahan wacana sains. Ini yang dimaksud dengan teori scientification of Islam tawaran konseptual dari Fazlur Rahman. Bila islamization of knowledge tawaran konseptual model Ismail Raji Al-Faruqi 1981 dan Naquib Al-Attas 1989 cenderung bersifat reaktif, maka scientification of Islam lebih bersifat proaktif. Andaikata mau diintegrasikan, kedua isu tersebut dapat dikompromikan sebagai berikut; bahwa teori islamization of knowledge lebih ditekankan pada dataran aksiologis atau etika keilmuan, sedangkan scientification of Islam lebih pada dataran metodologisepistemologisnya. Sehingga dua pendekatan RahmanianFazlur Rahman dan NaquibianFaruqian bisa dikompromikan bagi upaya pengembangan wacana keislaman dan sains di dunia Muslim, di masa mendatang. 3. Redefenisi atau rekonseptualisasi ini tidak hanya ditujukan pada wacana sains pada dataran global, tetapi juga dapat ditujukan kepada wacana sains yang bercorak lokal local genius atau local wisdom. Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata berorientasi pada satu pihak – katakanlah sains Barat – namun lebih ideal bersifat dua belah pihak yakni disamping ada upaya untuk mengadopsi sains Barat yang memang banyak hal positif buat kemajuan peradaban, namun juga di sisi lain harus diimbangi dengan adanya upaya untuk memunculkan kreativitas lokal, terutama dunia Muslim – yang umumnya masih sangat ketinggalan di bidang sains – untuk memperkaya wacana di bidang sains. Bukankah sains global di Barat juga pada mulanya muncul dari produk lokal namun lama kelamaan mendapat legitimasi di kalangan dunia akademis dan akhirnya berkembang menjadi produk sains global. Sebagai contoh potensi kearifan lokal, apa yang berkembang saat ini yang umumnya masih dikenal dengan konsep pengobatan alternatif sebagai salah satu contoh saja, bila dikaji dan dikembangkan secara lebih aposteriori serta memenuhi standar akademis, kelak bisa menjadi produk lokal di bidang medis yang suatu saat akan menjadi produk global juga. Terkait dengan ini menarik apa yang diungkapkan Hassan Hanafi 2001: 200-201: “Jika kedokteran profetik atau skriptural tidak lagi dapat dipertahankan, kedokteran eksperimental berhenti, kedokteran spiritual lebih mendekat ke magis atau takhayul, kedokteran fenomenologis mungkin nampak simplistik dan religius. Dikatakan simplistik karena kedokteran ini tidak bergantung pada kedokteran ilmiah modern eksperimental bahkan menolaknya mentah-mentah. Namun demikian, di dalam masyarakat yang kedokteran ilmiahnya mencapai puncak penyakit abad, kedokteran fenomenologis tidak pernah berhenti.” Di sisi lain teori Ibnu Taimiyah 1949: 9-10 tentang al-haqiqatu fil a’yan laa fil adzhan kebenaran autentik itu pada hakikatnya lebih bersifat empiris atau bercorak Aristotelian-Humian, bukan normatif- rasionalistik atau yang bercorak Platonik-Cartesian; bisa pula dijadikan filosofi pengembangan sains lokal ini. 4. Untuk mendukung adanya upaya rekonstruksi keilmuan agama dan wacana sains di atas, maka aspek eksperimentasi yang di dalamnya pasti ada dimensi trial and error – terkait dengan aspek tools dunia sains – menjadi mutlak diperlukan seperti adanya proyek riset secara periodik, pengadaan perpustakaan yang lengkap, laboratorium, dimana sangat membutuhkan budget yang tidak sedikit, disamping juga penyiapan SDM umat dan bangsa secara sistematis dan profesional. Tradisi riset dan perlengkapannya – termasuk SDM – di dunia Muslim masih jauh dari harapan. Bila hal ini dikelola secara gradual, sistematis dan profesional, kelak dapat menelorkan produk-produk sains lokal yang secara potensial cukup kaya di dunia Muslim, terutama Indonesia. Upaya produksi sains lokal ini juga harus disertai dengan legitimasi yuridis hak paten dari setiap temuan yang ada. 5. Untuk pengembangan potensi local genius di atas, maka perlu adanya networking antar berbagai lembaga ilmiah atau riset semacam IIFTIHAR The International of Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development yang berada di Jakarta; MIFTA Muslim Information and Technology Association bermarkas di Bogor; CRCS di UGM Yogyakarta dan lembaga ormas lainnya. Berbagai lembaga di atas bisa lebih diberdayakan dan disinergikan dengan LIPI, Menristek dan perguruan tinggi. Madrasah, pesantren dan IAINUIN Universitas Islam Negeri bisa lebih didorong untuk tidak hanya melahirkan ulama literal-skriptural, tapi juga ulama empirissaintis sebagaimana telah terbukti secara historis di masa awal kejayaan Islam. Ibnu Sina di era Islam klasik – dan semisalnya – disamping sebagai ulama literal-skriptural juga dikenal sebagai ahli filsafat dan medical science. 6. Teori spider web-nya Amin Abdullah lihat jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003: 12-18 dapat pula dijadikan rujukan akademis bagi upaya pengembangan sains di masa depan yang juga mendapatkan dukungan teologis dari agama baca: Islam. Dalam teori ini digambarkan bahwa horizon jaring laba- laba keilmuan agama Islam dalam era masyarakat berubah, mengandaikan bahwa pada periode pertama pra 1950 Islamic studies masih bersifat eksklusif hanya mengedepankan pengajaran ulumuddin, fiqh, kalam teologi, tafsir dan hadits lima bidang kajian. Maka periode kedua 1951-1975 disamping Islamic studies sebagai core, namun sudah mulai berkenalan – walau masih jalan sendiri-sendiri atau belum ada dialektika antar wilayah ilmu – dengan wilayah kajian humaniora, social sciences dan natural sciences. Sedangkan periode ketiga 1976-1995 wilayah Islamic studies berkembang menjadi delapan bidang – ulumuddin, fiqh, dan lain-lain – dimana periode ketiga ini juga disebut sebagai era auxiliary sciences. Maka pada periode keempat 1996-sekarang Inti dari Islamic studies yang delapan bidang tersebut sudah mulai berdialektika dengan wilayah sains dan teknologi al-‘ulum al- kauniyyahnatural sciences maupun wilayah kajian lainnya humaniora dan social sciences. 7. Penambahan mata kuliah Agama dan Sains serta Futurologi di pelbagai perguruan tinggi – terutama PT agama – menjadi mendesak untuk diprogramkan. Khusus tentang Futurologi, perlu disosialisasikan kepada mahasiswa tentang tujuan jangka panjang dari pengajaran mata kuliah ini. Sekedar dimaklumi bahwa Futurologi yang dimaksud di sini adalah tentang semua bentuk cara pandang terhadap masa depan. Atau bisa juga dimaksudkan tentang suatu ramalan forecast yakni kemungkinan dan afirmasi ilmiah yang relatif terhadap pilihan-pilihan terhadap problematika yang berkaitan dengan masa depan. Ramalan yang berhubungan dengan prinsip ‘apakah’, ‘bila’ atau ‘apakah yang akan terjadi’. Terkait dengan studi futuristikfuturologi ini seorang sosiolog dan futurolog asal India, Rajni Kothari mengatakan: “Terdapat suatu dilema yang dihadapi seorang futurolog. Sebagai seorang reformer dan sekaligus seorang romantis, setiap futurolog pasti dipandu oleh sebuah visi yang mendasar tentang bagaimana meninggalkan masa lalu dan membangun kembali masa sekarng menuju dunia baru. Serta sebagai seorang skeptis dan sekaligus ilmuwan, ia memahami bahwa suatu pemutusan total dengan masa lampau adalah hal yang mustahil dan suatu usulan yang berbahaya, sementara ia berharap mampu menjadikan dunia lebih baik” Eleonora B. Masini, 2004: 4. Studi Futuristik ini memperkenalkan kepada para mahasiswa tentang karakteristik dari studi ini yakni: pertama, aspek transdisipliner, yakni semua problematika yang muncul tidak lagi dapat dianalisis oleh satu jenis disiplin ilmu, mengingat banyaknya aspek yang melingkupi tiap-tiap permasalahan dengan segala kompleksitas yang ada. Kedua, aspek kompleksitas, yakni bila transdisipliner menyangkut soal pendekatan, maka kompleksitas lebih pada persoalan muatan yang sangat kompleks. Ketiga, aspek globalitas yang dalam hal ini meliputi seluruh permukaan bumi dimana dunia semakin menyempit akibat perubahan-perubahan besar dan menakjubkan yang terjadi di bidang transportasi dan komunikasi. Keempat, aspek normatif yakni tentang hubungan-hubungan dari studi futuristik dengan nilai-nilai yang spesifik, hasrat, harapan dan kebutuhan di masa depan. Tentang aspek normatif di sini dibedakan dengan norma-norma sebagai kode-kode perilaku yang terkait dengan nilai-nilai, sebagaimana yang dikaji secara khusus dalam ilmu sosial. Kelima, aspek sains dimana studi futuristik ini juga tidak terlepas dari adanya eksperimentasi, sesuatu yang diulang berkali-kali, dan kemudian dapat diprediksi, maka studi ini termasuk wilayah sains. Untuk mengacu atau menguji masa depan, kita harus melakukan tindakan tersebut terhadap sesuatu yang akan segera terjadi, dan oleh karenanya, belum pernah diujicobakan, diverifikasi atau diulang. Keenam, aspek kedinamisan dimana studi ini karena menyangkut konsep hidup dalam ketidakpastian bisa menggunakan berbagai macam metode, karena terkait erat dengan pelbagai bentuk perubahan yang sangat dinamis. Ketujuh, aspek partisipasi yakni tentang kebutuhan bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi di masa depan untuk menjadi bagian atau bahkan sebagai aktor dalam studi ini. Kaum muda khususnya sebagai aktor-aktor di masa- masa mendatang harus berperan aktif dalam pilihan dan pembangunan masa depan mereka sendiri Eleonora B. Masini, 2004: 25-37. Demikianlah beberapa karakteristik dari studi futuristik ini yang cukup penting untuk disoailissikan serta mendesak dan sangat relevan untuk diajarkan di perguruan tinggi, yang sudah barang tentu akan sangat membantu bagi pengembangan wacana agama dan sains di kemudian hari. Adapun beberapa beberapa sub-tema penting dalam studi Futurologi antara lain tentang isu: posmodernisme dimana aspek deconstruction terhadap paham modernisme, plurality dan spirituality menjadi bahasan yang esensial di dalam tema ini. Kajian posmodernisme tergolong pada wilayah the third way dari pola kebudayaan masyarakat dunia yang dominan saat ini. Sub-tema lainnya adalah tentang masalah globalisasi yang ada hubungannya dengan fenomena menarik dari kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali melirik alam back to nature. Dalam wilayah social sciences aspek critical social theory juga layak diperkenalkan pada peserta didik, demikian pula tentang social philosophy etika sosial, teologi sosial, problema lingkungan hidup, human rights, studi hukum kritis. Selain itu tema fisika quantum yang di dalamnya terkait dengan temuan baru di bidang sains semacam cyberspace internetsains virtual, black hole, teleportasi, teleconference, microchip. Science-fiction semacam time tunnel, the X-file, robocop dan sejenisnya menarik untuk didiskusikan di kalangan peserta didik. Temuan di bidang biologi-bioteknologi seperti God spot, masalah aura tubuh, biomagnetics, cloning juga baik untuk diperkenalkan. Dimensi lainnya adalah yang termasuk dalam wilayah hyper-reality parapsikologi, Spiritual QuotionMQ, cenayang, telestisic, hubungan antara mistisisme dan fisika, spiritual finance, dan sejenisnya, dapat memperkaya studi agama dan sains maupun futuristikfuturologi ini. 8. Kritik Posmodernisme terhadap Modernisme yang sangat positivistik-rasionalistik serta berdampak pada lahirnya etika sosial yang bercirikan hedonisme, konsumerisme dan materialisme layak pula diperhatikan oleh para ilmuwan agama maupun sains. Berbeda dengan watak modernisme yang monolitik, unhuman dan kapitalistik; maka watak dasar posmodernisme mengandaikan adanya pengakuan filosofis maupun sosiologis terhadap wacana pluralism, spiritualism dan deconstruction. Upaya pengembangan epistemologi keagamaan maupun wacana sains tidak boleh tidak mestilah mengakui adanya ketiga karakter tersebut. Bila ingin diterjemahkan, maka konsep pluralisme di bidang pengembangan sains mengandaikan adanya produktivitas lokal yang beragam. Di Indonesia, konsep otonomi daerah dapat dimanfaatkan bagi segenap warga masyarakat untuk menggali potensi sains di masing-masing wilayah yang bisa diriset dan dikembangkan di kemudian hari. Jadi tidak semata-mata mengimpor produk sains dari luar negeri atau sekedar memberi label nasional bagi produk luar negeri seperti kasus mobil Timor yang disebut mobil nasional, padahal sejatinya adalah produk Korea Selatan. 9. Analisis Ian G. Barbour 2002 tentang upaya pengembangan dialog maupun integrasi antara agama dan sains, dapat memperkaya dan menjadi bahan studi perbandingan terhadap teori Islamization of knowledge ala Faruqian dan Naquibian, maupun teori scientification of Islam model Fazlur Rahman Rahmanian. Demikian pula dimensi spirituality of science sebagaimana yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr 1988. 10. Review ulang epistemologi sains di Barat juga penting untuk terus dicermati sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Thomas Kuhn teori normal science dan revolutionary science yang mengkritisi logical positivism 1980: 223-245. Demikian pula telaah sintesis terhadap rasionalisme dan empirisisme dari mazhab Kantian; model deconstruction Derrida; telaah tentang episteme dari Foucoult; wacana tentang adanya hegemoni kekuasaan model Gramsci terhadap perjalanan ilmu; maupun aspek kritisisme dari Habermas. Kesemuanya itu dapat memperkaya wacana dialektis antara agama dan sains di masa depan. Untuk mengakhiri tulisan ini maka – sekedar perbandingan – tawaran riset yang baru di bidang sains dan agama berikut ini penting menjadi perhatian bersama sebagaimana yang dikemukakan oleh Sir John Templeton 1998: 131: a. A bibliographic survey of work by scientists on spiritual subjects. b. A program to assess the extent of teaching of university and college courses on science and religion and to stimulate courses emphasizing progress in religion. c. A training module on religion and psychiatry which illustrates the extent to which spiritual factors may influence clinical therapy. d. A program to encourage scientist and theologians to publish papers on humility theology. e. A program of lectures on relationship between science and theology presented at universities and colleges in North America and Europe and, more recently, at large churches in the United States. BIBLIOGRAFI Al-Qur’an Kariem. Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung: Mizan, 2002. Amiur Nurudin, Ijtihad Umar bin Khattab,1987. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis, 2005. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan, 2006. Adian Husaini, Husin M. Al-Banjari, M. Syamsir Ali, Santi WE Soekono, Membedah Islam Liberal, 2005. Al-Farabi, Ãrã’ Ahl al-Madînah al-Fãdlilah, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Richard Walzer, al-Farabi on the Perfect State,Oxford: Clarendon Press, 1985. Abu Ahmadi, dkk, Filsafat Islam,Semarang: Toha Putra, 1988. Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyãsi li al-Imãm Muhammad ‘Abduh, Mesir: al- Maiat al-Mishriyyah al-‘Ammat li al-Kitab, 1978. Al-Mawardi, al-Ahkãm al-Sulţãniyyah,Beirut: Dar el-Fikr, 1966. Al-Ghazali, Al-Iqtishãd fi al-I’tiqãd, Kairo, 1320 H. Abu al-A’la al-Maudûdî, Tafhîm al-Qur’ãn, vol.II,Lahore:, 1951. Abu al-A’la al-Maudûdî, The Islamic Law and Constitutions, translated and edited by Charles Adams, “Maududi and the Islamic State”, dalam John L. Esposito ed, Voices of Resurgent Islam, New York: Oxford University Press, 1993. Ahmad Warsono Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Anonim, “Fatwa Buat Koruptor, Kejarlah Koruptor Sampai Liang Kubur”, GATRA No.38,Senin, 5 Agustus 2002. Anonim, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2001. Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987. ‘Ali ‘Abd. Rãziq, al-Islãm wa Ushûl al-Hukm,Kairo: Mathba’ah Misrã SyirkahMusãhamah Mişriyyah, 1925. Asghar Ali Engineer,Islam dan Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar-LKIS,1993. Anonim, Belajar Civic Education dari Amerika, 1999. Charles Kurzman, Liberal Islam, A SourceBook, New York – Oxford: Oxford University Press, 1998. Eleonora B. Masini, Studi Futuristik, Kebutuhan, Perkembangan dan Metode Mengarahkan Masa Depan, Yogyakarta: BKF Multimedia dan Kreasi Wacana, 2004. Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, 1999. Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’am.Chicago: Minneapolis, Bibliotheca Islamica, 1980. Gary Gutting Ed., Paradigms and Revolutions: Appraisals and Aplication of Thomas Kuhn’s Philosophy of Science, London: University of Notre Dame Press, 1980. George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004. Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, 2005. Hassan Hanafi, Islam in the Modern World,1995. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 1986. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,UII Press, 2000. Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hibah Rauf Izzat, Wanita dan politik Pandangan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,1997. Harian Pelita, Jakarta: 4 Maret 1993. Hassan Hanafi, Islam Wahyu Sekuler, Jakarta: Instd, 2001. Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan, 2002. Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Bombay: Qayyimah Press, 1949. Ismail Raji al-Faruqi dan Abdullah Omar Nasseef Ed., Social and Natural Sciences:The Islamic Perspective, Jeddah: Hodder and Stoughon, King Abdulaziz University, 1981. Islamika, Jakarta: N. 1 Juli-September, 1993. Ibnu Taimiyyah, al-Siyãsah al-Syarî’ah,Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt. Imron Nasri ed, Pluralisme dan Liberalisme, Pergolakan Pemikiran anak Muda Muhammadiyah, 2005. Islamika, “Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, No.2 Oktober-Desember 1993. Ismã’il Rãji al-Fãruqî, Islamisasi Pengetahuan, terj. Bandung: Pustaka, 1984. --------------------------, Tauhid, terj. Bandung: Pustaka, 1988. Jurnal Relief, Vol.1 No.1, Januari 2003, CRCS-UGM Yogyakarta John Meuleman ed. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, l996. John L. Esposito dalam artikelnya “Islamic Fundamentalism”, SIDIC, Vol.XXXII, No.3-1999. Jurnal Tarjih, edisi ke-6, Juli 2003. J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah, terj., Masrohin, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. LP3M UMY, Pernyataan Kegiatan Seminar Nasional “ Tauhid Sosial ” Memperingati Milad UMY. Media Dakwah No. 361, Dzulqo’dah1426 HDesember 2005 M 30 Tahun Orientalisme di IAIN Tinggi 2006. Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Moral Kaum Inteligensia”, dalam Aswab Mahasin dan Ismet Natsir, Cendekiawan dan Politik, 1984. Mohammed Arkoun, Islam Kemaren dan Hari Esok,1983. Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, l986. Mohammed Arkoun, Al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah,1986. Mumtaz Ahmad ed., Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Bandung: Mizan, 1993. Muhammad Azhar, Posmodernisme Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2005. Muhammad Azhar, Pemikiran Politik OKI dan Tata Dunia, Pascasarjana UIN Yogyakarta, 1994 belum diterbitkan. Muhammad Husain Haikal, al-Hukûmat al-Islãmiyyat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1983. Musdah Mulia, MA., Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal,Jakarta: Paramadina, 2001. Munawir Syadzali,Islam dan Tatanegara, Jakarta : UI, Press, 1993. M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002. M. Amin Abdullah, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial dan Budaya” dalam jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003, LPPI-UMY dan Majelis Tarjih PPI PP Muhammadiyah. Michel Talbot, Mistisime dan Fisika Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. ———-, Taarikhiyyah al-Fikr al-‘Aroby al-Islamy, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1986. Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000 Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Nashr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir: Dlid al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafat, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1995. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Tafkir fi Zamani al-Tafkir: Zidda al-Jahl wa al-zaif wa al-Khurafat, Al-Qahirah,1995. Nurcholish Madjid, “Fiqh di Zaman para Sahabat Nabi”, makalah Kajian Agama Paramadina ke-34 tahun III1989. PP Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, 2001. Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah,Islamabad:, Islamic Research Institute, 1973. Rasyid Ridla, al-Khilãfah au al-Imãmah al-‘Uzhmã, Kairo: al-Manar, 1341 H. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1982. Syir’ah, No. 47VOktober 2005. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka, 1981. Seyyed Hossein Naşr, Menjelaskan Dunia Modern, terj. Bandung: Mizan, 1994. ------------------------, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Bandung: Pustaka, 1994. Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Lahore: Suhail Acadeny, 1988. Sir John Templeton, The Humble Approach, Scientist Discover God, USA: Templeton Foundation Press, 1998. Sir Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981. Syarif Hidayatullah, Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual, Jakarta: MIFTA, 2003. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and the Philosophy of Sciences, Kuala Lumpur: ISTAC, 198Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,Bandung: Mizan, 1987. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas,Bandung: Mizan, 1989. Tim editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, 2004. Transparency International Indonesia, Praktek-praktek yang Baik dalam Memerangi Korupsi di Asia, 16-17 Desember 2003, Jakarta Indonesia. Transparency International Indonesia, Indonesian Corruption Perception Index 2004. The World Bank, Menciptakan Peluang Keadilan, Laporan atas studi “Village Justice in Indonesia “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”; Februari, 2005. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj. ,Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, 2005. GLOSSARY Akseptabilitas di sini adalah sejauhmana masyarakat atau rakyat suatu Negara dapat menerima kehadiran figure perempuan sebagai pemimpin. Epistemologi Islam Kontemporer dipahami sebagai suatu telaah keilmuan Islam yang dikaji secara filosofis tentang sumber-sumber pengetahuan Islam kontemporer yang dibedakan dengan sumber-sumber pengetahuan maupun kebenaran keilmuan Islam yang bercorak klasik. Fundamentalisme Autentik merupakan ciri khas pemikiran al-‘Asymawi pemikir muslim asal Mesir yang pada intinya ia mendorong umat untuk selalu berpikir secara inklusif-akademis, bukan politis-ideologis-eksklusif. Lawan dari fundamentalisme autentik ini adalah fundamentalisme politik. Fundamentalisme Islam adalah pola pikir yang umat yang berpegang kepada suatu konsep dan meyakini bahwa hanya konsep itulah yang paling benar. Otoritarianisme-fundamentalisme cenderung menafikan sikap toleran, dan intoleransi terjadi ketika sebuah agama menganggap agama lain, karena tidak mau mencari keselamatan menurut agama yang pertama, maka pengikut agama lain itu menjadi tidak berharga sebagai manusia. Fundamentalisme Politik merupakan ciri khas pemikiran al-‘Asymawi pemikir muslim asal Mesir yang pada intinya ia mengkritisi pemikiran umat atau aktivis muslim yang cenderung melihat Islam secara ideologis-esklusif, ketimbang corak pemikiran keislaman yang inklusif-akademis. Futurologi merupakan cakrawala baru dalam paradigma keilmuan yang mewacanakan tentang pentingnya penggalian teori-teori akademis terkait dengan tentang kajian masa depan. Gender merupakan kajian spesifik yang mendalami wawasan tentang relasi yang setara antara kaum pria dan perempuan. Perspektif gender ini juga telah memasuki ranah kajian studi keislaman kontemporer yang berimplikasi pada pentingnya rekonstruksi ulang berbagai penafsiran keislaman yang bias gender. Ideologisasi merupakan istilah tentang upaya umat atau aktivis muslim yang ingin memperjuangkan nilai-nilai Islam secara lebih formalistik-politis. Islamologi terapan, yang merupakan suatu praktek ilmiah pluridisipliner dan bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam membebaskan pemikiran Islam dari berbagai tatanan usang dan mitologi-mitologi yang menyesatkan. Kapabilitas merupakan dimensi kemampuan seorang pemimpin yang dalam kajian ini kemampuan seorang perempuan dalam memimpin suatu orgnisasi, partai bahkan Negara. Korupsi Kebudayaan adalah suatu istilah yang mengandung pemahaman tentang telah terjadinya suatu reduksi kebudayaan bangsa yang dulunya terkenal anti pada tindakan korupsi namun kini secara bertahap justeru semakin menggejalanya fenomena korupsi itu sendiri Masyarakat Kitab merupakan suatu istilah yang dikemukakan oleh Mohammed Arkoun yang memandang bahwa kelompok semua penganut agama harus dilihat secara setara dan dikaji secara akademis, baik melalui pendekatan linguistik, historis, sosiologis dan antropologis. Istilah masyarakat kitab ini lebih bersifat akademis, sedangkan istilah ahlul kitab cenderung teologis. Mazhab Siyasah merupakan istilah yang mengnadung arti tentang adanya berbagai pandangan mazhab tentang politik di kalangan pemikir muslim. Mitologi merupakan istilah yang mengandung makna tentang adanya berbagai asumsi, pandangan masyarakat yang sebenarnya sulit untuk dibuktikan sevcara akademis, namun berbagai pandangan tersebut eksis, dan dalam banyak hal amat mempenagruhi pemikiran sebahagian masyarakat. Modernisme Klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Usaha modernisme klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ yakni biografi Nabi sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah teknis’ yakni yang terdapat di dalam hadits-hadits. Mereka umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah. Neo Revivalisme atau Revivalisme Pasca Modernis, yang mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisir. Bahkan gerakan ketiga ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran Modernisme Klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka Neo Revivalisme merupakan reaksi terhadap Modernisme Klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat Modernisme Klasik; tetapi sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain berusaha membedakan Islam dari Barat Neomodernisme Islam dimunculkan oleh Fazlur yang mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru ini. Dengan tegas Rahman mengatakan bahwa Neomodernisme Islam harus mengembangkan sikap kritis tentang Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji dunia Barat serta gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamannya sendiri. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai Muslim-Muslim akan sangat meragukan. Neomodernisme Islam ini, sebagaimana dinyatakan Rahman sendiri, ingin merajut kembali kekayaan tradisi Muslim lalu dikemas secara metodologis untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Objektivikasi merupakan gagasan Kuntowijoyo yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai ajaran Islam dapat saja diformulasikan secara lebih universal objektif dan inklusif, bukan semata-mata secara normatif-eksklusif. Dengan paparan nilai-nilai Islam yang sudah diobjektif-kan tersebut, masyarakat umum, terutama non muslim, akan lebih mudah menerimanya. Posmodernisme Islam merupakan refleksi pemikiran keislaman yang mencoba mengintegrasikan antara wawasan Islam Islamic studiesIS dengan pendekatan social sciences SS, natural sciences NS dan humanities H. Posmodernisme Islam ini dibedakan dengan corak pemikiran Islam tradisional yang normatif-tekstual-teologis maupun tipologi pemikiran Islam modern positivistik. Pluralisme merupakan suatu paham tentang adanya pengakuan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya secara adil dan setara, tanpa membedakan adanya perbedaan suku, jenis kelamin, profesi bahkan status agama yang dianut. Revivalisme Pra Modernis adalah tipologi pemikiran Islam yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum: a Keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral ummat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b Imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad; c Imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d Imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat kekuatan bersenjata jihad jika perlu. Sekularisme merupakan paham tentang adanya upaya pemisahan antara wilayah keagamaan dan kenegaraan atau kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam prakteknya, ada bebrapa varian yang terkait dengan sekularisme dan Islam. Substansiasi merupakan pandangan tentang pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keislaman dalam wilayah kehidupan umat secara lebih substantif, bukan formalistik. Penekanan pada etika keagamaan lebih dikedepankan ketimbang pengamalan Islam secara legal-formal semata. Transformasi adalah sutau pemikiran politik Islam yang lebih menekankan pentingnya bentuk- bentuk edukasi, advokasi dan transformasi nilai-nilai Islam yang lebih praktis dan relevan dengan kebutuhan umat sehari-hari. CURRICULUM VITAE A. Identitas Diri Nama : Drs. Muhammad Azhar, MA. TempatTgl. Lahir : Medan, 8 Agustus l96l Pekerjaan : Dosen Fakultas Agama Islam FAI UMY PangkatGol : Lektor KepalaIV-A Alamat Rumah : Perumahan Sonosewu Baru RT 11, No. 474-A, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. No. HPe-mail : 081 328 205 273 muazaryahoo.comblog : wordpress.muazar Alamat Kantor : Fakultas Agama Islam FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta UMY, Jl. Lingkar Selatan, Kec. Kasihan Kab. Bantul, Yogyakarta. Phone: 387656, Fax. 387646 Nama Ayah : H. Rahmat Naris alm. Nama Ibu : Rasyiah Nama Istri : Atikah Nama Anak : 1. Desy Paradina 15 thGontor Putri kls 4 2. Shafira Annisa 12 thGontor Putri kls 1 Karya Ilmiah

1. BukuJurnal Ilmiah 1995: