Nalar Fundamentalisme Politik dan

adanya dehumanisasi, lalu secara psikologis anda percaya anda bukan membunuh manusia melainkan membunuh setan sebagai simbol segala kejahatan. 88 Terkait dengan fenomena fundamentalisme ini, Mohammed Arkoun berpendapat bahwa Fundamentalisme tidak hanya ada di dunia Islam, juga ada dalam Komunisme, Kristen, Yahudi, Budha, dan agama lain. Fundamentalisme juga ada dalam partai politik. Menurut Arkoun, fundamentalisme adalah pola pikir yang berpegang kepada satu konsep dan meyakini bahwa konsep itulah yang paling benar. Pemikiran seperti ini tidak beralasan karena bertentangan dengan kebebasan berpikir manusia yang lain. Jika sebuah doktrin secara politik menjadi dominan, ia tergolong pada fundamentalisme. Sebagaimana Komunisme, fundamentalisme sulit diterima secara luas, karena fundamentalisme sangat mengekang kebebasan individu. Selain itu, semua rezim politik sekarang hanya memberikan dukungan kepada demokrasi liberal. Untuk Indonesia, misalnya Arkoun berharap agar negeri ini dapat menjadi barometer bagi Negara Islam lainnya dalam penegakan konsep demokrasi dan memahami Islam dengan lebih baik. 89 Dalam pandangan Arkoun, demokrasi merupakan salah satu konsep modern yang di dalamnya mengakui adanya proses swa-kritis untuk mengetahui apakah anda benar.

6. Nalar Fundamentalisme Politik dan

Fundamentalisme Autentik 88 Lihat Kompas, edisi September 2005. 89 Lihat wawancara Arkoun dalam majalah Tempo, 23 April 2000, “Negara Islam itu Utopia”, hlm. 70-71. 94 Pendahuluan Muhammad Sa’id Al-‘Asymawy,seorang pemikir Mesir kontemporer yang banyak berbicara di bidang etika politik maupun hukum Islam. Dalam pergulatan intelektualisme Islamnya, Asymawy yang dikategorikan sebagai pemikir Muslim inklusif sering berhadapan dengan kelompok yang melakukan politicizing Islam terutama yang sering menggunakan kekerasan violence sebagai cara yang ditempuh karean mereka menganut ideology politik yang sangat militant Islamic extremism. Dapat dimaklumi bila Asymawy sendiri karena menganut pandangan Islamnya yang inklusif, harus menerima resiko, di mana kini rumahnya harus dikawal 24 jam oleh aparat Negara. 90 Dalam pencerahan intelektual yang dilakukannya, Asymawy mengemukakan tentang teori fundamentalisme autentik dan fundamentalisme politik. Secara metodologis, fundamental autentik ini berada dianatara kaum idealis-fundamentalisme politik maupun kelompok Islam pragmatisliberal atau rasionalisme-pragmatik. Fundamentalisme autentik ini lebih menggunakan critical approach dan tetap berada dalam bingkai humanisme ilahiah. 91 Secara netral dan moderat Asymawy berpandangan tentang betapa pentingnya penekanan pada aspek partisipatif aktif dan konstruktif manusia dalam politik, sekaligus menolak adanya politisasi agama yang dinilainya cenderung manipulatif dan provokatif. 92 Etika Politik Teo-Humanisme Perbedaan pandangan politik Asymawy ini dapat pula dikategorikan antara pemikiran politik Islam yang menganut pandangan Islam universal, dibedakan dengan Islam partikular, 93 dimana Islam universal lebih berpedoman pada nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan yang hakiki dan permanen serta berdimensi jangka panjang, ketimbang Islam partikular yang berdimensi kepentingan politik jangka pendek dan cenderung memperalat agama sebagai sarana pemenuhan kepentingan individu maupun kelompok. Disinilah Asymawy memperkenalkan perspektif Humanisme Islam, 94 walaupun tak dapat dihindari bahwa Islamic Humanism ini 90 Carolyn Fluehr-Lobban ed., Againt Islamic Extremism USA: University Press of Florida, 1998, hlm. ix. 91 Bandingkan dengan R.S. Khare, Perspectives on Islamic Law, Justice, and Society New York-Oxford : Rowman Littlefield, Inc., 1999, hlm.7. 92 Carolyn Fluehr-Lobban ed, Against, hkm. 5. 93 Ibid, hlm. ix. 94 Ibid, hlm. 4. 95 banyak yang beranggapan merupakan pengaruh dari renaisans Eropa, tetapi sebenarnya juga ada dalam tradisi sufisme Islam, selain juga ada dalam tradisi Kristen dan Yahudi. 95 Bagi Asymawy, Humanisme Islam yang diyakininya sudah tentu sangat berbeda dengan perspektif suculer humanism yang cenderung anti-agama. Bagi Asymawy, Islamic Humanism mengkombinasikan antara human power of reasoning dengan spiritualitas keagamaan yang universal, yang di dalamnya terkandung konsep kesatuan tentang Tuhan maupun kesatuan kemanusiaan Unlike “secular humanisme”, which has been accused in West of being antireligious, Islamic humanism combines the use of the human power of reasoning with universal religious spirit of the oneneass of God and the oneness and unity of humanity. 96 Berdasarkan visinya ini, Asymawy sangat berkeinginan untuk membangun visi baru politik di Dunia Islam khususnya Timur Tengah yang berlandaskan pada perspektif humanisme Islam. Bagi Asymawy, visi politik Islamic Humanism ini tidak hanya diperuntukkan untuk umat Islam secara ekslusif namun juga dapat mengakomodasi berbagai kepentingan umat manusia secara lintas agama. 97 Di sini terlihat jelas bahwa Asymawy mendefinisikan suatu kode etik dan moral yang diskriminasi. Hal ini elas sangat berbeda dengan apa yang dianut oleh kebanyakan politisi Muslim ekstrimis yang beranggapan bahwa wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi khusus untuk kaum muslim saja. 98 Apa yang diemukakan Asymawy ini sangat mirip dengan apa yang dikemukakan Arkoun tentang masyarakat kitab yang inklusif bukan konsep ahl kitab yang eksklusif. 99 Asymawy menolak semua bentuk ekstrimitas keagamaan, ia menyatakan bahwa amat berbahaya bila suatu pemerintahan yang cenderung memihak kepada para ekstrimis yakni suatu pemerintahan yang mengetahui cara kerja kaum ekstrimis namun kurang serius mengatasinya. 100 Dalam konteks ekstrimitas ini, dengan tegas dia membedakan dirinya dengan kelompok Muslim lain yang cenderung bercorak ideologis dan politis dalam pemikiran Asymawy akhirnya dikenal sebagai pemikir humanis Islam kontemporer. 95 Ibid, hlm. 4-5. 96 Ibid, hlm. 5. 97 Ibid, hlm. 5-6. 98 Ibid, dan hlm. 56-57. 99 M. Arkoun dan Louis Gardet, AL-Islam al-Amsu al-Islam al-Ghad Beirut, Libanon: Darut Tanwir li al- Thiba’ah al-Nasyr, 1983, hlm. 214. 100 Ibid, hlm. 2-3. 96 Secara epistemologis, universalitas Islamic Humanis yang dianut Asymawy ini sangat berkesesuaian dengan konsep kesamaan wawasan kemanusiaan sebagaiman yang tertera dalam kitab suci al-Qur’an, berdasarkan tafsir yang lebih terbuka, berbeda dengan kelompok tafsir eksklusif kelompok fundamentalisme politik. Dari landasan epistemology humanisme Islam inilah jelas terlihat dimana Asymawy mengemukakan teori-teori politik Islamnya secara lebih universal dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat dunia dewasa ini, seperti konsep atau teori nazhariyyah tentang,kekuasaan daulah, jihad, demokrasi, syira civil society, HAM, dan pelaksanaan peradilanhukum Islam. Sudah barang tentu teori-teori politik Islam versi Asymawy di atas akan berimplikasi pula pada aplikasinya tathbqiyyah dalam masyarakat. Dari segi wawasan politik pemerintahan, Asymawy lebih bertumpu pada pola kepemimpinan etika yang bercorak daulah insaniyyah, bukan bertumpu pada model etika politik yang bercorak daulah ilahiyyah theocracy. Pola pemikiran politik daulah insaniyyah ini tentunya lebih terbuka bagi pandangan semua umat manusia, sekaligus lebih akomodatif dengan semua aspirasi kemanusiaan yang dewasa ini sangat mendesak untuk diwujudkan akibat dari munculnya berbagai problem kemanusiaan yang bersifat dikotomis-fragmentaris antara satu dengan lainnya. Selain itu, wawasan politik humanistik ini relevan dengan semakin mendekatnya hubungan antar umat manusia sebagai akibat dari dampak globalisasi dunia. Dekonstruksi terhadap Nalar Kaum Faundamentalisme Politik Diantara sekian banyak kritik yang diajukan Asymawy mengenai teori-teori politik Islam, misalnya teori tentang jihad yang dewasa ini cenderung dipahami secara eksklusif dan berdampak pada lahirnya suatu gerakan Islam ekstrim. Pebelokan konsep jihad dari makna asalnya yakni “bersungguh-sungguh dalam berbuat sesuatu kebaikan” dan “melawan hawa nafsu”, dalam proses historis-sosiologisnya berubah menjadi makna jihad yang sempit, yakni “berperang di jalan Allah”, yang dalam praktek politik lebih ditujukan pada kaum kafir. Dari pola pemahaman seperti inilah lahirnya konsep dar al Islam dan dar al-harb yang bipolar dalam teori politik Islam klasik. 101 101 Ibid, hlm. 7 dan ix. Lihat juga Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam , terj. Ihsan Ali Fauzi Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 105. 97 Demikian pula tentang konsep demokrasi dan civil society hanya bisa diakomodasi dan diterapkan melalui pendekatan yang humanistik. Berbeda dengan para muslim fundamentalisme politik yang umumnya menolak demokrasi ala Barat, maka bagi Asymawy, konsep demokrasi merupakan konsep yang universal dan lebih berorientasi pada kedaulatan rakyat yang memberi penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam mengatur diri mereka sendiri. 102 Namun secara historis, sistem politik dan tradisi politik masyarakat di dunia Timur pada realisasinya lebih berbasis pada sistem otokrasi yakni pada “hak para raja maupun pangeran muluk” dalam sistem pengaturan masyarakat. Pola ketundukan pada lembaga-lembaga maupun para figur yang memiliki otoritas lebih dinomorsatukan ketimbang hak rakyat. Asymawy tidak dapat menafikan adanya konsep syira dalam Islam, namun dalam prakteknya, konsep syira ini lebih didominasi oleh para atau pemuka agama. Tokoh semacam Hasan Turabi mengklaim bahwa semua gerakan Islam modern berbasis pada sistem majlis syira dimana semua perwakilan rakyatnya ditetapkan melalui sistem pemilihan terbuka. Demikian pula halnya tentang para pemimpin yang memang dipilih secara accountable. Dengan demikian, menurut Hasan Turabi, model pemilihan para wakil Muslim merupakan sesuatu yang sangat demokratis. 103 Lebih dari itu, lanjut Hasan Turabi, bahwa umumnya gerakan-gerakan Islam juga berbasis pada akar rumput, populis dengan demikian tentu bersifat demokratis. Namun apa yang dikemukana oleh Turabi tersebut dikritik oleh Asymawy. Bagi Asymawy, konsep syira yang ada pada hakikatnya lebih didominasi oleh tokoh-tokoh agama ulama yang powerfull terhadap kehidupan masyarakat di mana kekuasaan juga mendukung kepemimpinan ulama tersebut. Di lain pihak, minoritas non-muslim menjadi warga negara kelas dua. Di sini terlihat adanya diskriminasi politik terhadap non-muslim, dan hal ini amenurut Asymawy, sebenarnya menunjukkan wataknya yang anti-demokrasi dan sangat bertentangan dengan prinsip kehidupan sistem politik modern. Mengingat bahwa dalam sistem politik modern, power sharing yang terjadi di masyarakat bukanlah berdasarkan pada keistimewaan dimensi religiositas politik maupun semata-mata berdasarkan pada kepentingan kaum mayoritas semata. 104 Adapun isu tentang HAM al-huqiq al-insaniyyah, sering pula dikaitkan dengan Barat yang membuat para Islamis cenderung menolaknya, mengingat konsepsi HAM tersebut dianggap 102 Carolyn Fluehr-Lobban ed., Against Islamic Extremism, hlm. 7. 103 Ibid, hlm. 8. 104 Ibid 98 terlalu asing bagi Islam. Bagi para Islamis, justeru ajaran Islam itu sendiri telah memiliki pemikiran yang orisinal tentang HAM al-huqiq al-insaniyyah, 105 Dalam pengamatan Asymawy sendiri, umumnya politik pemerintah di banyak negara muslim, umat Islam maupun tokoh sekuler, kurang begitu serius menangani masalah HAM. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdebatan tentang HAM di Timur Tengah kurang ditekankan sebagai dialog tentang hubungan kemanusiaan maupun antar bangsa, terutama yang terkait dengan hak minoritas maupun kaum perempuan di kancah internasional, di mana para penguasa pemerintah lokal akan menghadapi sanksi politik dan ekonomi, akibat adanya pelanggaran HAM yang terjadi di negara bersangkutan. 106 Dalam pandangan Asymawy, dewasa ini ada dua perspektif tentang HAM di dunia Islam, pertama, kelompok Islam militant yang berpendapat bahwa HAM dalam Islam justeru yang paling sempurna dan lebih mendasar dibanding HAM versi Barat. Pandangan ini beranggapan bahwa hukum Tuhan syari’at lebih mempertemukan semua dimensi kebutuhan manusia untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok yang tercerahkan berargumen bahwa tidak semua aturan kehidupan disebutkan dalam al-Qur’an itu bersifat permanent qaith’iy, beberapa aturan ada yang bersifat temporer zhanny. Asymawy mencontohkan tentang adanya kasus perbudakan slavery yang termuat dalam al-Qur’an, hal itu bersifat temporer bukan permanent. Dengan demikian menurut Asymawy, kondisi masyarakat maupun tafsir manusia cenderung berubah, dengan demikian aplikasi ajaran Islam juga harus diubah sesuai dengan perubaan situasi dan kondisi. 107 Dalam pandangan kaum kontekstual, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, dan semua manusia mempunyai pilihan yang bebas di dalam agama tanpa harus takut dikucilkan. Semua orang bebas berpendapat, dan di sana ada satu kode etik dan moral untuk semua umat manusia di seluruh muka bumi. Tidak boleh ada satu pun manusia yang diperlakukan secara deskriminatif di muka bumi ini. Tindakan diskriminasi merupakan perilaku yang tidak etis dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Negara bukanlah institusi “pemberian hak”, negara hanya ditakdirkan untuk sekedar “mengatur” hak-hak dasar kemanusiaan yang harus dinikmati semua orang. Bagi Asymawy, peradilan yang ada harus dapat memberikan hukuman 105 Ibid, hlm. 9. 106 Ibid, hlm. 10. 107 Ibid, Hal ini sejalan denganteori Ushul fiqh yang popular, “al-hukum yadiru ‘ala illatih”. 99 berdasarkan spirit keagamaan, dimana unsur spirit atau ideal moral keagamaan lebih tinggi dibanding teks-teks keagamaan lahiriah itu sendiri. 108 Dalam telaah kritis politik Islam, Asymawy juga menyinggung tentang konsep Pan- Islamisme, Menurut Asymawy, konsep Pan-Islamisme al-qawmiyyah al-islamiyyah yang mulai dipopulerkan sejak tahun 1940-an ini yang pada awalnya ditujukan untuk memperkuat solidaritas antara sesama Muslim, namun dinilai sebagai menggambarkan kekacauan istilah dan cenderung mereduksi universalitas Islam itu sendiri. Asymawy berpendapat bahwa Islam tidak bisa dibatasi pada komunitas atau bangsa tertentu, partai atau sistem politik tertentu, sebagaiman tercermin dalam QS al-Hujarat 49: 13. Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa mereduksi Islam menjadi nasionalisme qawmiyyah berarti merusak watak Islam yang universal. Juga mengandung kekeliruan di mana Islam menjadi gerakan politik yang bersifat eksklusif dan tertutup bagi non-Muslim. Akibat pengaruh dari Pan-Islamisme ini, kebanyakan gerakan Islam kontemporer menjadi gerakan nasionalis, bukan gerakan spiritual; bahkan dengan keras Asymawy menyatakan “menjadi gerakan jahiliyyah, bukan Islam”. 109 Dilihat dari segi historisitasnya, menurut Asymawy, istilah Pan-Islamisme ini sebenarnya bersumber dari tradisi Yahudi isra’aliyyat yang masuk ke dalam pemikiran Islam, dimana agama Tahudi memang lebih bercorak kebangsaan. Hal ini tercermin dalam fakta historis dan sosiologis bahwa seseorang yang lahir dari non-etnik Yahudi akan sulit memeluk agama Yahudi, sedangkan dalam Islam cukup dengan syahadat saja, seseorang sudah bisa diakui sebagai Muslim. Dalam pengamatan Asymawy, era kepemimpinan Umar lebih dapat menampilkan wajah Islam yang universal ketimbang era kepemimpinan Utsman yang cenderung bercorak etnik, dimana khalifah Ustman lebih mengesankan adanya upaya perluasan etnik Arab yang belakangan berdampak pada munculnya konflik Islam Arab versus Islam Persia, yang implikasi politisnya masih bisa kita lihat sampai hari ini sebagaimana tercermin di Irak, Palestina, Iran. Padahal Islam sangat menentang adanya nasionalisme sempit ini. Upaya pencampuradukkan antara agama dan etnis ini membawa mapetaka bagi Islam. Kehadiran khalifah Umayyah di panggung politik juga mengklaim bahwa legitimasi khilafah hanya bagi mereka semata, sebagaimana tercermin dalam sebuah pernyataan yang dianggap sebagai hadits : “al-a’mmah 108 Ibid, hlm. 11. 109 Muhammad Sa’id al-Asymawy, Menentang Islam Politik Bandung: Alifya, 2004, hlm. 131-132. 100 min quraisy”. 110 Belakangan dekadensi politik umat Islam semakin menampakkan buktinya dalam sejarah yang ditandai dengan adanya dendam politik dinasti Abbasiyyah terhadap dinasti Umayyah. 111 Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa Asymawy ingin meluruskan kembali berbagai penyimpangan pemikiran etika politik yang telah berlangsung berabad-abad di mana wajah atau wacana Islam politik atau fundamentalisme politik telah mewarnai sejarah pemikiran politik Islam, yang berdampak pada adanya pengkaburan atau reduksi terhadap orisinalitas dan universitas Islam. Di sini Asymawy ingin mengembalikan ke wacana politik Islam yang lebih akademis, saatnya penalaran politik Islam akademis lebih dikedepankan ketimbang wacana Islam politik yang eksklusif, di mana Asymawy menawarkannya melalui paradigma fundamentalisme autentik. Dalam perspektif wacana politik Islam secara akademis ini, Asymawy menyatakan pandangannya bahwa pada hakikatnya Tuhan menginginkan Islam hadir sebagai agama, namun kebanyakan manusia membelokkan agama tersebut ke wilayah politik yang dangkal dan sempit. 112 Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa Islam sudah mengalami overlapping politik selama 14 abad yang lalu 113 di mana selama periode yang panjang itu kelompok ulama tampil sebagai tirani religius atau ulama penguasa yang lebih sering tampail sebagai legitimator sebuah kekuasaan ketimbang mengkritik jalannya kekuasaan. Di sisi lain, tidak sekidit pula danya fenomena para fuqaha yang bersikap acuh tak acuh terhadap kekuasaan yang bagaimanapun juga sangat memiliki implikasi luas dalam wilayah publik. Sehingga jalannya sebuah kekuasaan menjadi sepi dari pandangan kritis kaum cendekiawan dan ulama, dan berdampak pada lahirnya sebuah kekuasaan yang tiranik pula. Fenomena ini, menurut Asymawy berimplikasi pada penyempitan teori politik Islam di masa lalu. 114 Di sisi lain, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, megingat begitu banyaknya ulama yang bergelut di bidang politik praktis bahkan menjadi legitimator kekuasaan, menyebabkan tugas utama kaum ulama dalam pengembangan keilmuan Islam termasuk dalam pengembangan teori politik Islam menjadi terabaikan. 110 Ibid, hlm. 133-135; lihat juga hlm, 19-21. Lihat juga al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm 6. 111 Ibid, hlm. 21. 112 Ibid, hlm. 17. 113 Ibid, hlm. 22. 114 Ibid, hlm. 22-23. 101 Di sisi lain, muncul pula dalam sejarah politik Islam teori-teori politik Islam yang bersifat fragmentaris-dikotomis, yakni teori-teori politik Islam yang sempit dan berbau ideologis- partikular, tidak mengakomodasi pandangan humanisme universal-ilahiah, sebaliknya konsep politik Islam klasik lebih menggambarkan warna nalar politik teokratik seperti teori-teori tentang jihat, dar al-harb, penerapan syariah, khilafah, Negara Islam, dan sejenisnya, seperti yang telah dikemukanan di atas. Demikian beberapa gagasan inti politik Asymawy, berbagai produk pemikirannya itu Asymawy mendapat berbagai pelabelan terhadap dirinya, yakni Asymawy dianggap sebagai : modernis, sekularis, radikalis Islam, liberalis atau materialis, universalis; dan dalam konteks tulisan di atas Asymawy digolongkan kepada Muslim humanis. 115 Dari gambaran pemikiran Asymawy di atas terlihat bahwa pada hakekatnya Asymawy juga bisa digolongkan sebagai fundamentalis Muslim – fundamentalisme autentik – karena dari berbagai inti pemikirannya kelihatan sekali bagaimana Asymawy sebenarnya ingin menjaga orisinalitas atau kemurnian Islam dari bahaya reduksi nasionalistik maupun sektarianistik. 116 Kritik-kritiknya terhadap kaum fundamentaliisme politik pada intinya ingin menyatakan bahwa kebanyakan aktivis – terutama – politik Muslim lebih banyak memanfaatkan Islam sebagai alat mobilisasi bagi pemenuhan keinginan untuk meraih kesuksesan, ketimbang memperjuangkan nilai-nilai universalitas Islam itu sendiri bagi semua orang, di mana seharusnya nilai-nilai ajaran Islam bisa diformulasikan sebagai pembawa angin kesejukan, kedamaian universal atau rahmatan lil-‘alamin. Apa yang dikemukakan Asymawy berikut ini menarik untuk dicermati : “The fundamental problem of this era extremism is that Islam has been incorrectly transformed from a faith for all humanity into a political ideology. It has become a source for nationalism and, ultimately, for divisiveness between peoples, religions, and nations. This is contratary to the unibersalist spirit of Islamic faith. And, in locating that core within Islam, the deeper, universal spiritual humanism that is part of Abrahamic faiths, and all faiths, will be revealed”. 117 Akhirnya, walaupun Asymawy tidak terlalu mendalam berbicara tentang teori-teori politik Islam, karena memang background keahliannya di bidang hukum 115 Ibid, hlm. 31. 116 Asymawy menyebutkan ada tiga bentuk sektarianisme politik, yakni: tribalism, racism, and the religio- political dimension Ibid, hlm. 71. 117 Ibid, hlm. 65-66. 102 Islam, 118 namun percikan pemikiran etika politiknya bisa dijadikan inspirasi bagi para peminat studi politik Islam khususnya di wilayah etika politik. BAB III 118 Ibid, hlm, 94-126. 103 PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL KEMASYARAKATA N 104

1. PEMIKIRAN ISLAM TENTANG