Al-Hujarat49:13, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat shejahtera lahir danbatin Q.S. Al-Maidah5:2, memupuk jiwa toleransi Q.S. Fushilat41:34, menghormati
kebebasab orang lain Q.S. Al-Baqarah2:256, menegakkan budi baik Q.S. Al-Qalam68:4, menegakkan amanat dan keadilan Q.S. An-Nisa4:57-58, perlakuan yang sama Q.S. Al-
Baqarah2:194, menepati janji Q.S. Al-Isra’17:34, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan Q.S. Al-Hasyr59:9, menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang shalih dan
utama Q.S. Ali Imran3:114, bertanggungjawab atas baik dan buruknya masyarakat dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar Q.S. Ali Imran3:104, 110, berusaha untuk menyati
dan berguna bermanfaat bagi masyarakat Q.S. Al-Maidah5:2, memakmurkan masjid, menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama Q.S.
Al-Hujarat49:11, tidak berprasangka buruk terhadap sesama Q.S. An-Nur24:4, peduli kepada orang miskin dan yatim Q.S. Al-Baqarah2:220, tidak mengambil hak orang lain Q.S. Al-
Maidah 5:148, dan hubungan-hubungan sosial lainnya yang bersifat Islami. Nilai-nilai demokrasi di atas, secara berhani, haruslah diimplementasikan secara inklusif,
tidak eksklusif berdasarkan pada fanatisme keagamaan atau golongan yang sektarian. Adapun bentuk kontritnya dapat saja disesuaikan dengan pola hidup, adat istiadat masing-masing
komunitas masyarakat, sepanjang tidak mereduksi nilai-nilai demokrasi yang sifatnya universal. Secara substantif, nilai-nilai kebaikan di atas berlaku untuk semua orang, lintas, suku, status
sosial bahkan lintas agama. Adapun yang terkait dengan masalah-masalah ritual keagamaan sudahbarang tentu lebih diimplementasikan secara eksklusif oleh masing-masing kelompok
keagamaan dengan sikap saling menghormati kepercayaan masing-masing pemeluknya. Sedangkan dalam wilayah social interaksi antar umat berbeda agama bisa diwujudkan secara
lebih terbuka dan universal. Demikianlah uraian ini dikemukakan semoga menjadi semacam guide line bagi para pecinta dan pejuang demokrasi di negeri ini.
4. Politik Islam di Indonesia:
Ideologisasi, Substansiasi, Objektivitikasi dan Transformasi
80
Dalam mencermati peta politik peta pemikiran politik Islam di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang ini telah banyak hal yang menjadi bahan kajian menarik dari
berbagai lontaran isu politik yang ada,baik isu-isu politik yang bermuara pada aspek state atau institusi politik di luar state, maupun aspek political behaviour sebagaimana yang dianut para
pelaku politik maupun institusi-institusi politik yang ada berkaitan dengan Islam sebagai acuan paradigma politik. Sebagai contoh, apakah istilah atau konsep Negara memang ada di dalam
kitab suci al-Quran, bila memang ada, bagaimakah bentuk ideal Negara Islam tersebut, dan bila tidak ditemukan, layakkah klaim universalitas Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan
termasuk politik-malah tidak memiliki konsep sama sekali tentang apa yang disebut sengan Negara Islam?Ataukah, ajaran Islam malah berada dalam konteks hubungan antara keduanya-
antara yang menerima konsep Negara Islam maupun yang menolaknya? Muhammad Azhar, 1996;14-15.
Demikian pula halnya tentang perilaku politik political behaviour, muncul persoalan, antara lain sebagai berikut; dapatkah nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal dan
kosmopolit yang diorientasikan kepada pemahaman politik Islam yang lebih politis-ideologis idiologisasi Islam. Apakah tidak lebih baik bila pemikiran politik Islam lebih dititikberatkan
pada aspek subtansiasi atau subtantivikasi nilai-nilai etik keislaman ke dalam berbagai kehidupan sosial secara lebih inklusif, tanpa mengedankan label keislaman itu sendiri? Lebih lanjut,
cukupkah sosialisasi nilai-nilai politik Islam ditekankan pada internalisasi nilai-nilai etik keislaman, tanpa dibarengi dengan upaya-upaya eksternalisasi ajaran sebagaimana tercermin
dalam proyek objektivikasinya Kontowijoyo, dengan demikian umat Islam akan lebih memiliki acuan teoritik-konseptual sekaligus lebih menegaskan hadirnya indentitas politik umat secara
lebih transparan, walaupun diletakkan dalam dataran yang lebih obyektif-rasional, sehingga dapat dimilikisemua orang termasuk non-muslim. Bukankah berbagai tipologi pemikiran politik
Indonesia di atas: ideologisasi, substansiasi dan objektivikasi, masih berada pada dataran filosofis-intelektual dan cenderung elitis, namun belum menyerah kepada akar persoalan yang
secara keseharian digeluti oleh mayoritas umat di negeri ini? Tidakkah mayoritas umat lebih mendambakan munculnya paradigma pemikiran plus aksi politik Islam yang lebih transformatif?
81
Dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguak lebih jauh berbagai potensi, aktualisasi serta kelebihan dan kekurangan masing-masing paradigma pemikiran politik Islam yang ada, dan
di akhir tulisan akan dicoba direkomendasikan beberapa lontaran gagasan alternatif demi untuk pencerahan dan pemberdayaan umat.
Dalam tulisan ini akan sedikit disinggung implikasi pemikiran yang ada bila dikaitkan dengan topik-topik aktual semacam; regenerasi kepemimpinan nasional, pemberantasan korupsi
dan kolusi, fenomena konglomerasi dan monopoli, serta kerukunan antar umat beragama, maupun upaya pemberdayaan potensi kepemimpinan kaum perempuan.
Proyek Ideologisasi Islam
Kelompok pemikiran politik ini lebih bersifat normatif-teologis dalam mencermati fenomena sosial umat, dimana mereka lebih mengdepankan nilai-nilai keislaman yang bernuansa
jihad dengan sedikit mereduksi potensi intelektulitas umat ijtihad dalam mensosialisasikan ajaran agama di tengah-tengah masyarakat. Untuk kasus politik di Indonesia, tipe ideologisasi
Islam ini memang dikondisikan oleh realitas umat yang masih bercirikan sebagai komunitas yang sedikit eksklusif, terutama ketika komunitas umat harus berhadapan dan diperhadapkan dengan
komunitas sekuler atau kelompok nasionalis. Pasca era mitos, dalam bahasa Kontowijoyo, umat Islam Indonesia mulai memasuki era
idiologi, khususnya pasca kemerdekaan bangsa. Masa transisi dan kevakuman kepemimpinan politik nasional di tanah air pada awal kemerdekaan, membuat segenap potensi bangsa -
termasuk umat Islam – saling berebutan untuk meraih obor kepemimpinan politik, sesuai visinya masing-masing Dalam keadaan seperti ini, upaya penegasan identitas politik masing-masing dari
kelompok sosial menjadi tidak terelakkan.Umat Islam pun dikarenakan adanya perasaan sebagai suatu komunitas yang berjasa dalam mengusir penjajah, mencoba merebut peluang dari
kevakuman kepemimpinan politk dimaksud. Namun oleh sementara ahli, karena kesalahan strategis atau pendekatan kultural yang kurang tepat, membuat kelompok ideologis Islam
menjadi marginal, dikalahkan oleh kelompok nasionalis-sekuler. Proyek ideologisasi Islam ini bisa disebut sebagai mewakili kelompok Islam politik.
82
Substansiasi Politik Islam
Sekitar awal tahun 70-an generasi kepemimpinan umat Islam kedua - pasca kemerdekaan - mulai menyadari kelemahan strategi politik yang dianut oleh para pendahulu mereka. Mereka
menilai bahwa ideologi Islam politik harus diganti dengan ideologi Islam kultural.Cita-cita sosial politik Islam pada hakekatnya bisa disosialisasikan melalui instrumen paradigma politik yang
lebih subtantivistik, bukan melalui jalur idiologisasi Islam. Ternyata tawaran generasi muda Islam ini mendapat respon positif dari para elit Orde Baru yang secara bersamaan mulai
mengedepankan paradigma program, ketimbang idiologi. Di bidang pengembangan politik secara nasional, kelompok generasi kedua Islam ini pun mencoba menyamakan persepsi politik
Islam mereka dengan “keinginan”elit Orde Baru di bawah komando Presiden Soeharto. Maka jargon-jargon perjuangan Islam secara kultural, dari nahi munkar ke amar ma’ruf, dari rekatif ke
pro-aktif; menjadi lebih populer ketimbang jargon-jargon perjuangan Islam yang heroik dan militan. Berbagai peluang beramar maruf sepanjang tidak menggangu stabilitas politik Orde
Baru, semakin mendapat tempat bahkan didukung secara terbuka. Munculnya fenomena perbankan Islam kesemarakan festival Islam, beragam serta
semakin intensnya rutinitas keislaman lainnya menunjukkan hal ini. Tetapi di sisi lain, suasana semaraknya fenomena keberagaman tersebut tetap berjalan seiring dengan semakin
menggejalanya fenomena korupsi dan kolusi, dari tingkat elit hingga akar rumput. Hal ini ditambah lagi semakin menganganya berbagai kesenjangan sosial-ekonomi dan hedonisnya ritus-
ritus budaya serta semakin mantapnya stabilitas mekanisme politik kenegaraan yang eksklusif dan feodalistik. Tidak sedikit pula tokoh-tokoh substansiasi politik Islam ikut mendukung sistem
politik yang korup tersebut dan lebih terkesan sebagai abdi dalem yang manis dan loyal. Apakah para substansialis Muslim tersebut sedang melakukan “politik antara“ sambil menunggu
hilangnya kabut politik yang sedang menyelimuti tanah air sambil melakukan berbagai upacara ”pembersihan” baik secara institusional maupun moral-politik? Sementara para elit pemegang
kunci kekuasaan justru “memanfaatkan” mereka untuk kepentingan “legitimasi” kepemimpinan bangsa. Perlu dicatat bahwa pemikiran politik Islam substantivistik ini dilakukan melalui dua
arah strategi perjuangan politik yakni dari dalam struggle from within.
83
Untuk jalur pertama ini dilakukan oleh tokoh seperti Munawir Sadzali mantan Menteri Agama RI, sedangkan yang kedua bersifat perjuangan dari luar struggle from without seperti
yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo secara individual, maupun Adi Sasono ICMI, Abdurrahman Wahid NU, Amien Rais Muhammadiyah secara institusional.
Belakangan tiga tokoh terakhir Adi Sasono, Gus Dur, Amien Rais lebih maju lagi, yakni dari politik Islam substanvistik menuju transformatif.
Objektivikasi Pemikiran Politik Islam
Pasca substansial politik Islam, muncul ”teori” baru pemikiran politik Islam di Indonesia sebagaimana yang dipelopori oleh Kuntowijoyo. Bila substansiasi Islam lebih bersifat
perjuangan kultural yang lebih mengedapankan pikiran-pikiran kritis keagamaan secara etik substansial, maka objektivikasi Islam lebih bersifat teoritik konseptual. Sebagaimana
dikemukakan dalam buku yang ditulis Kuntowijoyo, ia menjelaskan hakikat dari objektivikasinya tersebut, dimana objektivikasi objectivication berbeda dengan objektivasi,
yang mengandung pengertian menganggap atau memperlakukan sesuatu atau seseorang sebagai benda. Sedangkan objektivikasi lebih mengandung makna penerjemahan nilai-nilai internal ke
dalam katagori-katagori objektif. Objektivikasi juga merupakan konkretisasi dari keyakinan internal suatu perbuatan baru dikatakan objektif, bila perbuatan baik tersebut juga dirasakan
positifnya oleh orang non muslim sekalipun yakni secara natural sewajarnya, bukan dirasakan secara keagamaan yang eksklusif. Dengan objektivikasi akan terhindar dari dua hal: sekularisasi
dan dominasi oleh mayoritas umat beragama Kontowijoyo,1997: 66-68.
Menuju Politik Islam Transformatif
Secara teoritik, Kontowijoyo juga sudah melangkah dari objektivikasi menuju transformasi. Tetapi secara lebih konkrit, Adi Sasono melalui CIDES, Gus Dur melalui NU dan
koalisi kelompok pro demokrasi, serta Amien Rais melalui “aliansi bersih” mulai menuju politik
84
Islam transformatif dimaksud. Bahkan Nurcholish Madjid juga pernah berupaya melakukan politik Islam trnsformatif ini melalui KIPP, namun belakangan gerakan Nurcholish Madjid
tersebut agak “kandas” di tengah jalan. Pola pemikiran politik Islam transformatif ini berkeyakinan bahwa upaya perubahan masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan perubahan
etik substansial sebagaimana yang digandrungi oleh pola pemikiran politik Islam substansial, tetapi lebih dari itu sangat dibutuhkan adanya upaya transformasi masyarakat secara struktural
baik dalam bidang struktur politik ekonomi maupun elemen struktur sosial lainnya, baik secara lokal lebih-lebih dalam skala nasional. Pola pemikiran politik Islam trasformatif ini selalu
mengetengahkan idiom-idiom pemberdayaan umat, penataan kembali mekanisme dan sistem politik serta ekonomi yang lebih egaliter dan kondusif bagi tumbuhnya kesadaran dan partisipasi
masyarakat, peningkatan kualitas SDM dan partisipasi kaum perempuan, pemberdayaan kaum tani dan buruh, penyelamatan berbagai asset Negara berupa kekayaan sumber daya alam,
keluarga sebagai sebuah institusi politik seperti yang diinginkan oleh Hibbah Rauf Izzat. Sebagai representasi dari gerakan politik Islam transformatif ini bisa kita lihat dari kiprah
para tokohnya antar lain – misalnya - Adi Sasono yang dulunya lebih memilih berjuang dari luar pagar kekuasaan struggle from without, akhirnya mulai mencari arena baru perjuangan politik
transformatif dari dalam - walaupun belum sepenuhnya masuk dalam struktur kekuasaan - yakni melalui wadah ICMI. Melalui salahsatu badan intern ICMI CIDES, Adi Sasono lebih
berpeluang untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan transformatifnya lewat studi-studi pembangunan yang bernuansa kerakyatan, sekaligus melakukan aksi-aksi sosial yang kreatif dan
solutif. Penerbitan media pembangunan masyarakat semacam AFKAR, SINTESIS dan FOKUS merupakan bagian dari karya Adi Sasono disamping tokoh CIDES lainnya. Demikian pula
program pembinaan kaum dluafa, dompet dluafa, renovasi pasar yang berorientasi pada kaum ekonomi lemah maupun proyek pembangunan lainnya, ternyata lebih memudahkan Adi Sasono
dalam mengembangkan misalnya ketimbang hanya berjuang melalui LSM. Adapun Abdurrahman Wahid, walaupun sering mendapat “goyangan” politik baik dari
kalangan internal maupun eksternal NU, dia tetap konsisten dengan humanisme keislamannya yakni upaya peningkatan martabat dan harkat kemanusiaan secara universal.tanpa memandang
background kultural maupun agama dari setiap orang yang dibimbingnya. Konsistensinya terhadap pembelaan kaum lemah membuat ia tidak bersikap canggung untuk akrab dengan
85
berbagai lapisan sosial bangsa dalam berbagai ragam kultur yang ada. Walaupun untuk itu semua, sesekali - bahkan seringkali - ia harus berhadapan dengan kekuasaan yang refresif dan
otoriter. Dalam kiprah politiknya ia lebih memilih “muslim kaki lima” ketimbang harus bergabung dengan wadah ICMI, tempat berkumpulnya para cendikiawan muslim yang dinilainya
sebagai kelompok muslim sektarian dan elitis. Gagasan trasformatif Gus Dur lebih terlihat bersifat pragmatis dan fragmentaris, karena sebagai aktivis gerakan Islam dia menghadapi logika
politik situasinal secara langsung, sehingga pikiran-pikiran politiknya tidak tersusun secara sistematis Bandingkan, Shamsul Amri Baharuddin,1997-99.
Tokoh lainnya, Amien Rais, pada dekade terakhir melontarkan pentingnya wacana Tauhid Sosial sebagaimana yang dilontarkan pada Muktamar Muhammadiyah ke – 43, Juli 1995,
di Banda Aceh. Pada intinya, Tauhid sosial yang dicetuskan tersebut mengandung aspek keesaan Allah unity of Godhead, kesatuan penciptaan unity of creation, kesatuan kemanusiaan, unity
of mankind, kesatuan pedoman hidup berdasar agama wahyu unity of guidance, dan terakhir tentang kesatuan akan tujuan hidup unity of the purpose of life Buku panduan Seminar LP3M
UMY, 22-23 Nopemberv 1955. Amien Rais sejak beberapa tahun terakhir banyak melakukan lontaran kritik yang cukup pedas khususnya bagi para elite Orde Baru yang sedang memegang
tampuk kekuasaan. Di antara lontaran gagasan transformatif Amien Rais antara lain: perlu suksesi kepemimpinan nasional tahun 1998, persoalan Freeport dalam kasus Busang, pentingnya
agena peningkatan kualitas SDM, upaya mengatasi kesenjangan sosial, penyelamatan asset Negara untuk diwariskan kepada anak cucu di kemudian hari, hingga perlunya tobat nasional dan
dialog nasional tentang masalah-masalah bangsa. Menarik juga diamati, Amien Rais yang selama ini lebih dikenal secara eksklusif sebagai pimpinan umat khususnya di kalangan intern
Muhamadiyah, belakangan ini telah keluar orbit Muhammadiyahkomunitas muslim dan tampil menjadi ‘negarawan pemula’ dengan kesiapannya untuk dicalonkan sebagai Presiden sekaligus
menyiapkan beberapa agenda kerja nasional serta menggalang kerjasama yakni melakukan aliansi atau koalisi bersih dengan berbagai pihak, baik dari kalangan sipil, militer ataupun
segmen sosial lainnya, bahkan beliau bersedia menuangkan gagasan transformatifnya di harian Kompas yang selama ini sulit untuk ia lakukan
. Menurut penulis, ada tiga hal yang menyebabkan munculnya pola pemikiran politik Islam
transformatif tersebut: pertama, semakin jelasnya kesenjangan yang terjadi di kalangan
86
nasyarakat, baik yang bersifat politis - antara yang berkuasa dengan yang dikuasai - ekonomis antara yang kaya dengan fakir miskin , sosial: yang memiliki status yang tinggi dengan yang
tidak memiliki status sama sekali atau tertindas. Kedua, juga disebabkan munculnya fenomena semakin represifnya kekuasaan yang ada di berbagai segmen sosial, baik yang dilakukan oleh
pihak penguasa maupun elite sosial lainnya. Ketiga, kurangnya ’kemampuan’ para ulama dan kebanyakan tokoh Islam menerjemahkan ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial yang
bersifat membebaskan umat dari berbagai keterbelakangan, baik di bidang politik, ekonomi, iptek, maupun sosial budaya.
Bila berbagai pemikiran politik Islam di atas dikaitkan dengan frame pemikiran politik Islam secara lebih global, maka pola ideologisasi Islam formalisme Islam dapat diasosiasikan
kepada pola pemikiran politik Islam sebagaimana yang dicetuskan oleh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla maupun Abul Ala al-Maududi. Sedangkan pola substansiasi
politik Islam lebih mengacu pada pola pemikiran Muhammad Husein Haikal, dan dalam beberapa hal bisa juga dikaitkan dengan pemikiran Ali Abdul al-Raziq maupun Thaha Husein
bandingkan, Munawar Sadzali, 1993: 1-3, khusus untuk mencarikan rujukannya. Bisa jadi pola yang ditawarkan Kuntowijoyo termasuk sedikit unik dan original, dimana ia dapat
mensintesiskan antara paradigm Islam maupun pendekatan ilmu sosial Barat secara genuine. Adapun pola pemikiran transformasi Islam bisa dikaitkan dengan pola pemikiran politik
Islam kontemporer sebagaimana yang diusulkan oleh Asghar Ali Engineer dan Hasan Hanafi. Menurut Asghar, secara teologis, politik Islam haruslah berupaya membebaskan manusia dari
sistem penindasan dan perbudakan, baik di bidang ekonomi, politik sosial budaya dan sebagainya. Menurut Asghar, kelompok penindas disebut dengan istilah mustakbirin yang dalam
bahasa al-Qur’an disebut kafir sejati, sementara kelompok yang tertindas disebut mustad’afin sebagai mukmin sejati. Bagi Asghar, ‘orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan
dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar Asghar Al Engineer,1993.
Adapun Hasan Hanafi melalui kiri Islam al-yasar al-Islami juga bertujuan untuk merekontruksi pemikiran politik Islam ke arah yang dapat membebaskan kaum muslimin dari
segala bentuk penindasan. Kiri Islam-nya Hasan Hanafi juga melakukan evaluasi kritis terhadap berbagai tradisi Islam dan peradaban Barat. Menurut Hasan Hanafi, Kiri Islam ini memang
87
diperuntukan bagi kelompok yang dikuasai dan diharapkan akan menciptakan persamaan dengan merebut hak-hak mereka dari kelompok yang berkuasa. Kiri di sini juga berarti perlawanan dan
kritisisme terhadap segala bentuk kemapanan yang menindas massa Islamika No. 1,1993: 3 .
Beberapa Agenda ke Depan
Untuk mengakhiri topik ini beberapa hal dapat dikemukakan: 1. Perjalanan pemikiran politik Islam di Indonesia pada hakekatnya sangat tergantung pada aspek
situasional serta momentum historis yang menguasainya.Walaupun terdapat pluralisme pemikiran, namun tetap bermuara pada keinginan untuk mewujudkan konsep Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin. 2. Untuk menindaklanjuti berbagai tawaran pemikiran politik yang ada, sudah saatnya para
cendekiawan politik Islam melakukan kajian analisis-historis dan solutif, agar dinamika pemikiran dimaksud dapat dipadukan secara lebih strategis-antisipatif, tidak hanya dibiarkan
bersifat fragmentaris dan temporal. Dengan demikian, harapan dan “angan-angan sosial” meminjam istilah Muhammad Arkoun untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan umat tidak
hanya berada pada dataran logik-metafisik tetapi bisa lebih menukik dan membumi secara logik- empirik di masa-masa mendatang.
3. Beberapa pusat kajian keislaman ada di tanah air bisa diidentifikasi secara lebih rinci agar para pemikir Islam memiliki database tentang potensi politik umat yang bisa diandalkan untuk
dijadikan bargaining position terhadap pusat-pusat kekuasaan. Dalam kaitan ini, pusat-pusat studi Islam bisa mengambil peran tersendiri dalam kajian-kajian keagamaan yang berkaitan erat
dengan studi-studi peradaban. 4. Perlu jaringan atau aliansi dan koalisi bersih antar berbagai pusat kajian Islam serta berbagai
potensi kekuatan umat maupun bangsa dalam upaya membangun Negara Indonesia modern dan demokratis di masa depan. Untuk itu, dialog antar generasi dan potensi umat dan bangsa bisa
ditumbuhkembangkan sekaligus ditindaklanjuti pada dataran praktis-empiris.
88
5. Upaya edukasi yang bersifat formal maupun informal tetap penting untuk dilakukan; upaya rekontruksi epistemologi keilmuan juga aplikasinya dalam berbagai lembaga pendidikan maupun
pelatihan, mendesak untuk segera diwujudkan kegiatan-kegiatan reflektif harus diteruskan pada dataran aksi yang lebih transformatif.
6. Perlunya upaya penggalangan potensi ekonomi umat melalui pemberdayaan SDM dan peningkatan kualitas manajemen masjid untuk mengantisipasi perkembangan kekuatan politik
dan ekonomi umat. 7. Secara lebih konkret berbagai pusat kajian Islam dapat melakukan riset aksi berupa pendataan
kembali aset umat dan bangsa yang secara kondusif dapat mewujudkan poin-poin di atas. Berbagai upaya identifikasi problema umat dan bangsa, penerbitan jurnal dan buku ilmiah, serta
membangun jaringan informasi melalui multimedia, mendesak untuk diwujudkan dalam rangka mengejar berbagai ketertinggalan yang ada selama ini. Dengan menggunakan secara multi
media, berbagai wadah Islam akan lebih cepat dan responsif mengantisipasi perubahan yang ada, secara sistematis, logis, etis dan estetis.
5. Telaah tentang Fundamentalisme Islam