6. Kapabilitas dan Akseptabilitas Kepemimpinan Kaum Perempuan
Gambaran Umum tentang Relasi Gender
Sebelumnya kita membahas kepepimpinan perempuan dalam Islam, maka akan dikemukakan dulu gambaran umum tentang relasi gender sekaligus pandangan Islam sendiri tentang relasi
dimaksud. Secara umum, ada dua alur pemikiran yang berkaitan dengan analisis gender. Pertama, yang berkeyakinan bahwa masalah relasi antara pria dan perempuan selama ini diyakini sudah seimbang,
jadi tidak perlu lagi ada gugatan akademis yang mempertanyakan soal relasi dimaksud. Kelompok pertama ini cenderung memihak status quo. Kedua, meyakini bahwa relasi antara pria dan perempuan
dianggap masih belum begitu seimbang, masih ditemukannya pola-pola hubungan gender yang diskriminatif. Untuk itu perlu diupayakan reinterpretasi gender dalam mengatasi fenomena
ketidakseimbangan dimaksud. Berbicara tentang analisis gender biasanya lebih banyak ditemukan dalam perspektif ilmu sosial konflik. Namun tidak ada salahnya bila ditarik juga ke dalam wilayah atau
diskursus keagamaan, sebagaimana yang akan disinggung di bawah nanti.
Sebelumnya perlu kita ungkapkan bahwa menurut Oakley dalam karyanya Sex, Gender Society 1972, yang dimaksud Gender itu sendiri adalah perbedaan antara kaum lelaki dan perempuan yang
bukan dilihat dari segi perbedaan biologis maupun aspek kodrat ilahi. Tentang aspek biologis dan kodrat Tuhan ini lebih tepat digunakan konsep Sex, yakni konsep yang sudah taken for garanted dari
Tuhan, bukan hasil konstruksi sosial maupun budaya manusia. Dengan demikian konsep Sex merupakan sesuatu yang sudah sononya, universal dan permanen. Sedangkan konsep gender itu sendiri
masih dimungkinkan adanya campur tangan manusia. Upaya intervensi manusia tersebut bisa disebabkan oleh background ideology, politik, ekonomi, sosial, adat maupun budaya masyarakat
tertentu dalam konteks kurun waktu yang terbatas pula, atau menurut Foucoult, setiap zaman memiliki epistemenya masing-masing. Lebih penting lagi bahwa intervensi manusia tersebut bahkan bisa berupa
interpretasi keagamaan yang eksis pada setiap zaman yang saling berbeda. Dengan perkataan lain, bahwa world view tentang relasi antara pria dan perempuan relasi gender bisa jadi dipengaruhi oleh
bias penafsiran teks-teks keagamaan. Penting pula dicatat di sini bahwa yang akan digugat bukanlah soal-soal natural dari posisi
kaum perempuan seperti kehamilan, melahirkan, menyusui, merawat, mengasuh dan mendidik anak. Tetapi yang menjadi fokus di sini adalah masalah struktur ketidakadilan sebagaimana yang diyakini
aliran kedua sebagaimana tersebut di atas. Gugatan ketidakadilan ini sejalan dengan derasnya gelombang tuntutan demokratisasi di segala bidang khususnya yang berkaitan dengan aspek relasi
gender antara kaum pria dan perempuan. Mengenai fenomena ketidakadilan ini, menurut Mansour Fakih lihat : jurnal Tarjih, edisi 1
Desember 1996: 26-28 ada dalam empat hal. Pertama, masalah marginalisasi kaum perempuan disebabkan adanya revolusi hijau yang lebih mengutamakan petani lelaki, sementara para petani
perempuan semakin tersingkir dari area lahan pertanian. Dikembangkannya alat-alat pertanian yang serba canggih maupun sistem penanaman bibit semakin menyusahkan kaum perempuan untuk
berpartisipasi. Kedua, disebabkan adanya subordinasi kaum perempuan atas kaum lelaki. Pelbagai kebijakan negara yang berideologi developmentalism kurang kondusif bagi tumbuhnya partisipasi
kaum perempuan secara lebih mandiri. Keikutsertaan kaum perempuan hanya bersifat suplemen bagi kaum lelaki. Ketiga, karena adanya pandangan yang keliru stereotype khususnya tentang kewajiban
mencari nafkah yang hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki. Kalaupun wanita mendapat pekerjaan, sistem balas jasa masih sering diskriminatif antara pendapatan bagi lelaki dan perempuan, bahkan jerih
payah perempuan yang bekerja dari pagi sampai malam hari di tengah-tengah keluarga masih belum masuk daftar finansial-kuantitaif dalam anggaran belanja negara. Padahal subsidi kaum perempuan
cukup banyak dalam menangani pelbagai jenis pekerjaan keluarga. Keempat, masih banyak didapati
unsur tindak kekerasan violence baik yang bersifat kekerasan fisik berupa pemukulan, pemerkosaan dan sejenisnya, maupun kekerasan non-fisik atau halus berupa pelecehan sexual barassment, lontaran
kata-kata ancaman terhadap perempuan maupun sifat ketergantungan perempuan terhadap lelaki. Persoalan domestic violence misalnya lebih dianggap sebagai sesuatu yang sangat pribadi sebuah
keluarga yang masih jauh dari jangkauan hukum atau negara. Masalah nasib pembantu rumah tangga juga banyak menggambarkan hal ini. Padahal ini mirip dengan eksploitasi kaum perempuan sebagai
ilustrasi dari sistem perbudakan modern yang sejak lama telah dikritisi oleh Islam.
Relasi Gender dalam Perspektif Pemikiran Islam
Bila kita lihat dalam sistem ajaran Islam, ada unsur-unsur ajarannya yang bersifat normatif maupun interpretatif. Ajaran Islam yang normatif lebih bersifat universal, baku dan sangat tekstual.
Dalam khazanah pemikiran Islam, model Islam normatif ini sering dikaitkan dengan ajaran Islam yang absolute qotb’iy dan tidak mungkin mengalami perubahan sepanjang masa. Sedangkan model kedua
adalah sistem ajaran Islam yang interpretatif lebih bersifat parsial-partikular, relatif dan kontekstual. Model kedua ini sering juga disebut sebagai ajaran Islam yang zhanny.
Namun ada persoalan juga dalam memahami masalah normatif dan interpretatif di atas. Ulama tradisional menyatakan bahwa Islam normatif bukan hanya menyangkut nilai-nilai umum atau dasar
dari ajaran Islam tetapi juga mencakup hal-hal yang sudah tertulis secara tekstual lafzhiyyah dalam Qur’an dan Hadits. Sedangkang ulama Islam aliran rasional berpandangan bahwa ajaran Islam normatif
hanyalah yang berkaitan dengan nilai- nilai dasar dalam Islam seperti prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, keadilan dan lain sebagainya. Sementara ayat atau hadits yang sifatnya
tekstual belum tentu bersifat permanen, tetapi masih bisa diberikan interpretasi baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Ulama tradisional – dan ini merupakan mayoritas jumbur – biasa berpegang pada kaedah ushul fiqhi yang berbunyi : al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzh la bi khushushi al-sabab sebuah perspektif
diambil berdasarkan umumnya lafzh teks, bukan berdasarkan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi munculnya lafzhteks. Sedangkan ulama rasional berpedoman sebaliknya: al-ibroh bi
khushushi al sabab la bi ‘umumi al-lafzh sebuah perspektif diambil berdasarkan pada hal-hal yang melatarbelakangi munculnya lafzhteks, bukan berdasarkan pada umumnya lafzh teks itu sendiri.
Berdasarkan keterangan di atas, pemahaman Islam yang sudah baku atau normatif di kalangan ulama tradisional, bagi ulama rasional masih bisa dialihkan kepada pandangan uang interpretatif. Pola
pemahaman ini juga berlaku pada masalah relasi gender. Jadi ayat atau hadits yang sudah mutlak
qoth’iy bagi ulama tradisional, bagi ulama rasional masih bisa dianggap relatif-interpretatif zhanny atau mutasyabihat. Bagi ulama tradisional lebih memihak pada masalah teknis hukum-hukum yang
tercantum dalam qur’an maupun hadits. Sedangkan bagi ulama rasional, bukan persoalan tehnisnya yang jadi pegangan, tetapi lebih pada prinsip dasar etiknya. Dengan perkataan lain, bagi ulama rasional,
qur’an dan hadits lebih merupakan acuan moral belaka, sementara bagi ulama tradisional, di samping acuan moral, qur’an dan hadits juga merupakan kumpulan dari berbagai petunjuk juklak tehnis yang
harus dan wajib dijalankan tanpa reserve. Untuk kajian berikut ini penulis akan mengemukakan contoh bias gender dalam pola-pola
pemahaman doktrin ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan kaum perempuan, baik yang bersifat metodologis maupun praktis.
Problem Metodologis Kajian Politik Perempuan
Dalam mengantar karyanya al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah Wanita dan Politik, Pandangan Islam, Hibbah Rauf Izzat menyatakan bahwa bidang-bidang kajian perempuan
dianggap sebagai bidang yang baru dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Metodologi pemecahan politik yang erat kaitannya dengan persoalan kaum perempuan sedang mengalami proses
kritik internal sekaligus sedang berupaya menemukan berbagai cara dan pendekatannya yang baru. Wacana politik kaum perempuan di berbagai negara dunia ketiga – khususnya dunia Islam –
kini tengah memulai upaya penemuan theoretical conception yang sama sekali akan berbeda dengan diskursus politik dan perempuan sebagaimana yang eksis di dunia Barat selama ini. Sebaliknya dalam
tradisi Islamic Studies, masalah eksistensi kaum perempuan sebagai salah satu potensi politik juga belum begitu serius dikaji terutama bila dikaitkan dengan trend feminisme Hibbah Rauf Izzat, 1997:
27-28. Pada intinya Hibbah menginginkan adanya usaha untuk mengemukakan pendapat berbeda
tentang pemahaman kehidupan nyata kaum perempuan di dunia Islam yang sepenuhnya didasarkan pada kerangka ilmu pengetahuan Islam – berbeda dengan western paradigma – yang membentuk
paradigma kehidupan nyata itu. Di samping itu, lanjut Hibbah, usaha ini dilakukan dalam membangun ilmu politik Islam yang tetap memperhatikan keterlibatan kerangka ilmu-ilmu Barat berikut pemecahan
konsep-konsepnya dan cara-cara pendekatannya. Ibid, 1997: 28. Dalam bukungan tersebut dijelaskan bahwa Hibbah mencoba meneliti objek kiprah politik bagi
perempuan dalam dua wilayah, yakni wilayah humat dan keluarga. Selain itu kajian Hibbah dimaksud bertujuan untuk membangun pandangan yang menyeluruh dan paradigma ilmu pengetahuan bagi
kegiatan politik perempuan menurut pandangan Islam. Paradigma yang digunakan Hibbah memiliki dua karakteristik umum. Pertama, paradigma konstruktif telaah kritis mencakup bidang politik,
perempuan dan Islam. Kedua, paradigma pembaharuan yakni menambah wawasan baru dalam mengkaji perempuan dan hubungannya dengan politik dalam perspektik Islam, yang selama ini ada hal-
hal yang belum disentuh, baik dalam studi Barat maupun Islam. Hibbah juga mengkritisi beberapa hasil kajian Islam terdahulu yang hanya bersifat historis,
belum sampai melangkah kepada aspek pemecahan dan abstraksi pemikiran. Kajian Islam klasik juga lebih bersifat shari’ah oriented atau fiqh oriented yakni sekedar mengumpul pendapat ulama terdahulu
dan mentarjih mencari pendapat yang kuat, namun belum sampai pada upaya pembaharuan atau tajdid dan ijtihad Ibid, 1997: 29-30.
Dalam menggunakan metodologi penelitian, Hibbah mengajukan tiga karakteristik. Pertama, karakteristik teologis al-ushuliyyah yakni metodologi dalam kajian politik yang mengaitkan antara
pemikiran al’aql dan wahyu al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Di sini terlihat bahwa ushuliyyah tidak menafikan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman sosial Barat pada beberapa seginya
misalnya, aspek sunnatullah atau pola piker Rusydian Averroisme. Kedua, karakteristik konsistensi istiqomah. Kajian ini tidak hanya diukur berdasarkan hitungan-hitungan rasional positivistik dan
materialistik sebagaimana terdapat dalam paradigma Barat. Tetapi ada kaitannya dengan sosialisasi nilai dalam kehidupan nyata terutama yang berhubungan dengan konsep manusia sebagai khalifah
istikhad dan konsep amanah responsibility. Konsistensi ini mencakup di dalamnya konsep keadilan al-‘adl, keimanan al-iman, kejujuran al-amanah dan kesaksian al-syahadah. Ketiga, karakteristik
kompehensif, di mana kajian ini tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab perempuan, tetapi juga menyangkut terma-terma al-musallamat politik seperti bai’at, kekuasaan, syura dan jihad, dengan
formulasi konseptual yang baru Ibid, 1977: 31-33.
Masalah Kepemimpinan Perempuan
Dalam tradisi Islam klasik, mayoritas jumbur ulama cenderung tidak membenarkan kaum perempuan menjadi pemimpin, baik dalam wilayah domestik keluarga maupun publik sosial
kemasyarakatan. Umumnya kalangan ulama tradisional berpedoman pada bunyi ayat : al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’ Q.S. al-Nisa’ : 34 yang dipahami secara tekstual lafzhiyyah bahwa kaum
lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Selain itu, para ulama tradisional juga berpedoman pada sebuah hadits Nabi yang berbunyi: lan
yufliha qaumun wallau amrohum imroatan; yang mengandung makna bahwa tidak akan pernah sukses
suatu kaum masyarakat yang menyerahkan – untuk memimpin – urusan mereka kepada kaum perempuan HR Bukhari, Turmudzi, Nasai, dari Abu Bakrah. Lihat Kitab Shahib Bukhari IV: 228;
Musnad Ahmad, V: 38 dan 47; Sunan Turmudzi, III: 360. Argumentasi para ulama tradisional lainnya yang melarang perempuan jadi pemimpin karena
kaum perempuan termasuk kepada yang tidak boleh dipandang laki-laki aurat, padahal seorang pemimpin presiden, misalnya harus selalu tampil di muka umum, memberikan perintah, petunjuk,
konsultasi dan menghadapi siapa saja termasuk para lelaki. Kaum lelaki juga dianggap lebih jenius dan berwawasan luas daripada kaum perempuan, juga dalam masalah kesaksian.
Tentang masalah aurat ini masih ada perbedaan faham, karena banyak ulama yang membolehkan lelaki melihat perempuan – atau sebaliknya – seperti untuk kepentingan jual-beli, belajar
mengajar, konsultasi, berobat, dan urusan muamalah lainnya. Jadi hal ini tidak terlalu signifikan untuk dijadikan argumentasi. Tentang soal kejeniusan, banyak penelitian yang mengatakan bahwa pada
dasarnya potensi intelektualitas pria dan perempuan tidak banyak perbedaan, jadi tergantung pada tingkat pendidikan yang diikuti. Kecerdasan seseorang sangat tergantung kepada proses pendidikan
yang diikuti sejak kecil, bukan soal jenis kelamin gender. Begitu pula soal kesaksian, perempuan dibolehkan juga tampil sebagai saksi terutama yang berkaitan dengan kasus persengketaan. Ada juga
ulama mengqiyaskan bahwa perempuan tidak bisa menjadi imam shalat, dengan demikian perempuan tidak demikian perempuan tidak boleh pula menjadi pemimpin. Qiyas ini mengandung kelemahan
juga, karena masalah shalat adalah murni ritual bablun minallah atau tergolong pada ibada mahdlah, sedangkan soal politik dan kepemimpinan termasuk wilayah hablun minannas atau ibadah ghairu
mahdloh. Dalam shalat aturan rinciannya sudah jelas, sedangkan dalam soal keduniaan muamalah wilayah ijtihadnya masih sangat luas, Islam hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Jadi ada
perbedaan prinsipil antara kepemimpinan dalam shalat dengan kepemimpinan di bidang politik. Adapun yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan lainnya, sepanjang bacaan penulis,
ulama Islam semacam al-Farabi, membuat 12 kriteria kepemimpinan kepala negara, namun tidak menyinggung soal jenis kelamin gender Lihat al-Farabi, Ara’u Ahl al-Madinah dalam karya Richard
Walzer, al-Farabi on the Perfect State, 1985: 247. Demikian pula al-Mawardi, al-Ahkam al- Sulthaniyyah, 1973: 6. Demikian pula halnya Ibnu Tamiyah dan Ibnu Khaldun. Sedangkan Imam al-
Ghazali ada menyinggung soal gender dalam kriteria kepemimpinan kepala negara. Lengkapnya al- Ghazali mengemukakan 7 syarat menjadi seorang kepala negara yakni: 1 merdeka; 2 laki-laki al-
dzukurah; 3 mujtahid; 4 berwawasan luas; 5 adil; 6 dewasa; dan 7 bukan perempuan, orang buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo Lihat al-Ghazali, al-Wajiz, II: 237; Abu Ishaq al-
Syairazi, al-Muhadz, II: 240.
Pemikir politik Islam modernis seperti al-Maududi juga senada dengan Imam al-Ghazali yang tidak membenarkan kaum perempuan jadi pemimpin. Menurut al-Maududi ada 7 kriteria seorang
pemimpin dalam Islam: 1 beragama Islam; 2 laki-laki; 3 dewasa; 4 sehat jasmani dan rohani; 5 warga Negara yang baik; 6 shaleh; 7 kuat komitmennya dengan Islam Lihat Munawir Sadzali,
Islam dan Tatanegara, 168. Untuk lebih memperluas pandangan kita tentang pelanggaran kaum perempuan menjadi
pemimpin terutama yang berkaitan dengan pemahaman terhadap ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al- nisa’ sebagai tersebut di atas, ada ulama yang mengartikan bahwa ayat tersebut sebagai larangan total
bagi perempuan dalam hal kepemimpinan. Sedangkan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata-kata al-rijjal di situ lebih dikaitkan dengan status seorang suami di rumah tangga ruang domestik
belaka, sedangkan di ruang publik, perempuan bisa saja menjadi pemimpin Bandingkan dengan Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 1996: 314. Secara ilmu gramatika bahasa Arab Nahu-Shorof,
ayat tersebut didahului kata al, mengandung unsur pengecualian atau tidak mayoritas. Ini berarti bahwa tidak semua laki-laki melebihi, lebih mampu atau lebih layak ketimbang kaum perempuan.
Beberapa contoh kasus perempuan yang terbukti dapat tampil sebagai pemimpin yang sukses seperti Corazon Aquino Philipina dan Margareth Teacher Inggris. Selain itu ada juga contoh figure
politisi perempuan seperti Benazir Bhutto Pakistan, Mary Mc Aleese yang menggantikan Mary Hasina Robinson juga perempuan sebagai Presiden di Irlandia; Sheikh Hasina Wajed menggantikan
Begum Khaleda Zia PM Bangladesh; Jenny Shipley PM Selandia Baru. Di Iran yang terkenal fanatisme keislaman juga sudah ‘berani’ memberikan kepercayaan kepada seorang perempuan sebagai
salah seorang Wakil Presiden yakni Massoumeh Ebteker. Di Turki Tansu Ciller juga diangkat sebagai PM. Anehnya, untuk kasus Amerika – yang sudah 20 tahun merdeka – masih kalah dengan Iran dan
Irlandia dalam soal kepemimpinan perempuan. Di Amerika saat ini baru ada pemimpin perempuan setingat menteri Menlu yakni Medeleine Albright Lihat Jawa Pos, 9 Nopember 1997: 2. Di
Indonesia, khususnya Aceh yang dikenal fanatik faham keislamannya, tetapi bisa menerima kepemimpinan perempuan. Dalam buku Ratu-ratu Islam yang Terlupakan dituliskan pula bahwa dalam
sejarah Islam ada sebanyak 17 Ratu yang pernah memimpin rakyatnya di berbagai belahan dunia Muslim. Sayangnya, fakta historis ini ternggelam dalam khazanah sejarah dan peradaban Islam.
Adapun tentang hadits larangan bagi perempuan sebagai pemimpin, kebanyakan ulama memahami hadits tersebut secara tekstual. Berdasarkan hadits dimaksud, pengangkatan perempuan
menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan jabatan setara lainnya, dilarang. Menurut mereka, perempuan hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya Bandingkan, Fath al-Bari,
VIII: 128 dan Subul al-Salam, IV: 123. Tetapi menurut alm Prof. Dr. Syuhudi Ismail pakar hadits
dari IAIN Ujung Pandang menyatakan bahwa hadits tersebut harus dipahami secara kontekstual. Hadits tersebut disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang
pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia. Persitiwa suksesi terjadi pada tahun 9 H. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala negara adalah
laki-laki. Namun apa yang terjadi pada tahun 9 H itu menyalahi tradisi tersebut, karena yang diangkat sebagai kepala negara bukan seorang lelaki, melainkan seorang perempuan, yakni Buwaran binti
Syairawaih bin Kisra Barwaiz. Dia diangkat sebagai ratu kisra di Persia setelah terjadi pembunuhan- pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-
lakinya, yakni saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya, Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu Lihat, Syuhudi Ismail, 1994: 65.
Kakek Buwaran adalah Kisra bin Barwaiz bin Anusyirwan. Dia pernah pernah dikirim surat ajakan memeluk agama Islam oleh Nabi Muhammad SAW. Kisra menolak ajakan itu dan bahkan
merobek-robek surat Nabi. Ketika Nabi menerima laporan bahwa surat beliau telah dirobek-robek oleh Kisra, maka Nabi lalu bersabda bahwa siapa yang telah merobek-robek surat beliau, dirobek-robek diri
dan kerajaan orang itu. Tidak berselang lama, kerajaan Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala negara.
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat
umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di
jazirah Arab. Menurut Syhudi Ismail, dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi
yang memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan mereka kepada perempuan tidak akan sukses, kalau yang orang yang
memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kewibawaan politik acceptability,
sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin
masyarakat Ibid: 65-66. Bila kaum perempuan sudah memiliki kemampuan memimpin capable dan dapat diterima oleh masyarakat banyak acceptable, maka tidak ada salahnya perempuan
menjadi pemimpin. Bukankah al Qur’an sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum perempuan dan laki-laki untuk melakukan amal kebajikan Q.S. al-Ahzab: 35. Hadits di atas
harus dipahami secara kontekstual dan kasuistis, tidak secara tekstual dan general atau universal. Di samping itu harus dipahami pula bahwa hadits tersebut merupakan kalam khabari skedar informasi,
bukan kalam amar perintah atau nahi larangan. Untuk kasus Indonesia, lahirnya UU No. 11974 tentang perkawinan, menghendaki adanya
hakim perempuan. Maka Menteri Agama saat itu mengadakan pertemuan ulama tingkat Nasional untuk membicarakan boleh tidaknya perempuan menjadi hakim, ternyata dalam pertemuan itu, meskipun
cukup alot, dapat disetujui adanya hakim perempuan. Salah seorang tokoh ulama yang membolehkan ketika itu adalah KH Ibrahim Hosen Bandingkan, Ibrahim Hosen, 1990: 146. Dengan demikian, di
Indonesia, kaum perempuan sudah sejak lama diberi peluang untuk memimpin masyarakat. Kini sudah banyak hakim perempuan, belum lagi para perempuan yang berkiprah sebagai pemimpin atau manajer
perusahaan, politisi DPRMPR sampai Menteri Peranan Wanita. Di zaman Rasulullah sendiri, Khadijah merupakan figur konglomerawati dimana Nabi sendiri
sebagai sales-nya. Aisyah ra, juga tampil sebagai cendekiawati muslim di saat itu serta banyak lagi tokoh perempuan yang tampil sebagai leader dalam sejarah Islam. Dimana kaum peremuan tetap
mempunyai hak politik yang sama. Hanya saja, hak-hak tersebut sampai saat ini masih mengalami kendala, baik secara psikologis bias kesetaraan antara pria-perempuan, sosiologis dan kultural bahkan
kendala interpretasi keagamaan yang cenderung masih bersifat deduktif-rasionalistik tradisi bayani, belum begitu banyak khazanah metodologi pemikiran politik Islam – terutama yang berkaitan dengan
peranan perempuan – yang bercorak induktif-empirik tradisi burhani, sebagaimana yang dikritisi oleh Hibbah Rauf Izzat di atas.
Tulisan ini merupakan salah satu langkah awal yang bisa ditawarkan untuk memperkaya diskursus pemikiran politik Islam dan perempuan di masa depan. Selama ini, diskursus pemikiran
Islam – termasuk dalam wilayah studi politik dan feminisme – masih didominasi oleh keterikatan formal-legalistik pada teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits maupun khazanah klasik fiqh Islam,
sedangkan kamampuan untuk menangkap semangat universalitas al-Qur’an masih belum begitu popular di dunia pemikiran keislaman.
BAB IV
PEMIKIRAN ISLAM
DAN
SOSIAL EKONOMI
1. Korupsi Kebudayaan dan Budaya Korupsi