upaya maksimalisasi penggalian dan pendistribusian dana umat ke sasaran yang tepat, ini berarti
umat sudah memperluas pemaknaan tentang memakmurkan masjid itu sendiri. Sistem manajemen masjid – termasuk amal usaha umat Islam lainnya – yang menggunakan teori ikhlas
tradisional – yang cenderung bersifat pasif – konsumtif jabariyyah determinism – sudah saatnya ditransformasikan ke sistem manajemen ikhlas professional yang aktif – produktif
qodariyyah indeterminism. Dengan demikian masjid telah turut serta dalam mereduksi adanya
peluang-peluang bagi tindak pidana korupsi sekaligus mendistribusikan hartanya ke masjid, yang secara jangka panjang akan berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan bagi kaum dlu’afa dan
mustad’afin di masyarakat sekitar masjid. Badan komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid BKPRM serta Dewan Masjid Indonesia DMI bisa mempelopori potensi masjid yang ada dewasa
ini, bersama-sama dengan ormas Islam lainnya.
6. Memeperbaiki Sistem Upah
Tentang sistem upah bagi karyawanpekerja kita dapat belajar dari Cina. Di Cina perbandingan sistem penggajian antara buruh paling rendah dengan majikan rata-rata 1:7.
Sedangkan di Indonesia bisa sampai 1:100 seperti yang terlihat dalam kasus BUMN maupun perusahaan swasta. Demikian pula halnya tentang standar UMR Upah Minimum Regional
haruslah selalu disesuaikan dengan KHM Kebutuhan Hidup Minimun hingga meningkat ke standar KHL Kebutuhan Hidup Layak. Dalam kenyataan di lapangan, seringkali kenaikan gaji
pegawaikaryawan tidak sebanding dengan kenaikan harga BBMbarang kebutuhan hidup sehari- hari.
Agama Islam pada hakikatnya sangat mengharhai jerih payah orang lain. Sebagaimanan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “U’thu al-ajira ajrahu qobla an yajiffa ‘araquhu”
Berilah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya HR. Abu Ya’la. Pengabaian dalam sistem penggajian yang ditetapkan secara tidak adil tentu sangat melanggar prinsip keadilan dalam
Islam. Salah satu dampak dari tidak tegaknya nilai keadilan di masyarakat adalah munculnya kasus korupsi.
Dalam perspektif teologi Islam, sistem penetapan dan pemberian upah yang umumnya berlaku di Indonesia termasuk di lembaga amal usaha umat Islam – cenderung berlandaskan pada
pola teologi jabariyyahdeterminism. Hal ini boleh jadi sangat dipengaruhi oleh teologi asy’ariyah dan pola Ghazalian. Para pegawaipekerja sering kali dituintut oleh atasanmajikan untuk bekerja
secara maksimalikhlas dalam rangka tercapainya target produklsi sebuah lembaga amal usahaperusahaan. Sayangnya tuntutan atasan terhadap bawahan ini tidak diimbangi dengan
terpebuhinya tuntutan bawahan terhadap atasannya, agar pihak pimpinan atasan majikan juga seharusnya bersikap ikhlas berupaya secara maksimal untuk memenuhi standar kelayakan hidup
kesejahteraan bawahannya. Teologi “kepasrahan” model determinism ini dibungkus pula dengan konsep “Ikhlas Beramal”, “Guru sebagai pahlawan tanpa jasa”, dan semisalnya. Bahkan lebih parah
lagi, sudah gaji karyawan guru pekerja sangat minim malah disunat lagi dengan berbagai potongan sana-sini. Kondisi birokrasi Negara swasta seperti ini lah yang mendorong trerjadinya
tindak pidana korupsi, baik di kalangan pegawai rendah – karena harus memenuhi kekurangan gaji yang diperoleh setiap bulan – maupun oleh atasan yang memanfaatkan “potongan sana-sini”
tersebut untuk memperkaya diri. Teologi determinism ini juga meredupkan sikap kritisme bawahan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan atasan, yang seringkali berlindung di balik aturan,
yang ternyata sengaja direkayasa dibuat untuk melindungi kejahatan korupsi yang menguntungkan atasan pimpinan. Kini saatnya prinsip keadilan al-‘adalah justice,
egalitarianisme al-musawah, fairness, proporsionalitas dan profesionalitas dijadikan landasan moral dan teologis bagi sistem penggajian dalam birokrasi di negeri ini. Bila prinsip-prinsip ini
terwujud, maka secara evolutif dan sistematis celah tindak pidana korupsi semakin tertutupi. Maka wawasan teologis yang lebih rasional dan transformatif perlu menjadi rujukan baru di masa
mendatang.
Selain itu, penetapan gaji yang rasional dan proporsional, termasuk rasio perbandingan antara atasan bawahan seperti yang berlaku di Cina 7:1, aspek perlindungan
hukum, masalah kesehatan dan pendidikan keluarga karyawan bahkan jaminan hidup pasca pensiun maupun pemilikan saham bagi semua karyawan terhadap perusahaan tempat
dia bekerja, perlu menjadi perhatian serius bagi semua perusahaan, birokrasi pemerintahan
maupun amal usaha swasta. Khusus di kalangan umat Islam, dimensi Islamic holding company, Islamic foundation serta filantropi Islam, mendesak pula untuk segera diwujudkan di masa yang
akan datang. Bila ini terealisir, maka fenomena kefakiran yang berakibat pada kekufuran akan
dapat diatasi secara bertahap dan sistematis.
7. Debirokratisasi