Telaah tentang Fundamentalisme Islam

5. Upaya edukasi yang bersifat formal maupun informal tetap penting untuk dilakukan; upaya rekontruksi epistemologi keilmuan juga aplikasinya dalam berbagai lembaga pendidikan maupun pelatihan, mendesak untuk segera diwujudkan kegiatan-kegiatan reflektif harus diteruskan pada dataran aksi yang lebih transformatif. 6. Perlunya upaya penggalangan potensi ekonomi umat melalui pemberdayaan SDM dan peningkatan kualitas manajemen masjid untuk mengantisipasi perkembangan kekuatan politik dan ekonomi umat. 7. Secara lebih konkret berbagai pusat kajian Islam dapat melakukan riset aksi berupa pendataan kembali aset umat dan bangsa yang secara kondusif dapat mewujudkan poin-poin di atas. Berbagai upaya identifikasi problema umat dan bangsa, penerbitan jurnal dan buku ilmiah, serta membangun jaringan informasi melalui multimedia, mendesak untuk diwujudkan dalam rangka mengejar berbagai ketertinggalan yang ada selama ini. Dengan menggunakan secara multi media, berbagai wadah Islam akan lebih cepat dan responsif mengantisipasi perubahan yang ada, secara sistematis, logis, etis dan estetis.

5. Telaah tentang Fundamentalisme Islam

89 Istilah fundamentalisme, sebenarnya tidak pernah dikenal di dalam Islam. Istilah tersebut lebih banyak terkait dengan sejarah gereja di dunia Barat, khususnya lagi di Amerika dan Kanada sebagai reaksi terhadap adanya gerakan reformisme dan liberalisme. Media massa Barat lebih banyak berperan di dalam mengaitkan istilah tersebut dengan perkembangan di dunia Islam terutama sesudah terjadinya Revolusi Islam di Iran. Istilah Ususiah merupakan terjemahan fundamentalisme ke dalam bahasa Arab yang kemudian banyak pula digunakan oleh media massa di kawasan itu. Bagi dunia Barat, istilah fundamentalism dikaitkan dengan sikap ekstremisme bahkan terorisme. 80 Di kalangan kaum fundamentalis Islam, Koran dwi mingguan terbitan Toronto Crescent International boleh dikatakan sebagai media mereka. Dengan subjudul “Newsmagazine of the Islamic Movement”, setiap terbit Koran ini menyajikan gejolak dunia Islam yang umumnya lolos dari perhatian media massa yang lain. 81 Menurut Jalaludin Rakhmat, ada empat pengertian tentang fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme sebagai gerakan tajdid seperti yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah – dianggap sebagai bapak fundamentalisme Islam pada zaman modern – Muhammad ibn Abd. Al- Wahab, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh. Istilah Wahabiah dan Salafiyah corak pemikiran Afgani dan Abduh belakangan dikaitkan juga dengan fundamentalisme Islam. Kedua, fundamentalisme yang dikelompokkan sebagai gerakan yang timbul sebagai reaksi pada Modernisme. Modernisme Islam sebagai antitesa terhadap Wahabiah dan Salafiyah fundamentalisme lama. Benturan antara keduanya WahabiahSalafiyah versus Modernisme Islam melahirkan neo-fundamentalisme sebagai sintesis. Neo-fundamentalisme berusaha menemukan kembali makna risalah Islamiah tanpa penyimpangan dan distorsi historis dan tanpa dibebani tradisi selipan, bukan saja untuk kepentingan umat Islam tetapi juga sebagai tantangan terhadap dunia pada umumnya dan Barat pada khususnya. Menurut Nurcholish Madjid, Neo-fundamentalisme ini kurang menghargai 80 Ismail Banjar, “Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara”, Jurnal Ilmu Politik Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, No, 12, hlm. 41. 81 Jalaludin Rakhmat, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas, Jurnal Prisma, nomor Ekstra, 1984, hlm. 78. 90 warisan intelektual Islam klasik, karenanya akan mengalami pemiskinan intelektual. Alternatif- alternatif mereka sangat terbatas, dan konsep-konsep mereka yang secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat. Beberapa karakteristik Neo-fuindamentalisme ini yang mengesankan antara lain: kesungguhan, keikhlasan, kesediaan berkorban, dedikasi, militan dan cenderung revolusioner. Ketiga, fundamentalisme sebagai gerakan yang menentang Westernisasi di dunia Islam. Keempat, fundamentalisme sebagai keyakinan kepada Islam sebagai ideologi alternatif. Mereka kecewa dengan Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Pragmatisme dan isme-isme secular lainnya. Dalam kaitan dengan fundamentalisme keempat ini Fazlur Rahman menyatakan sebagai “a liberating force, freeing the mind both from centuries of tradition and from the intellectual and spiritual domination of the west”. 82 Dalam perspektif yang lebih kontemporer, ada baiknya dikutip pernyataan John L. Esposito yang menyatakan bahwa isu fundamentalisme merupakan fenomena yang muncul di awal abad 21 seiring dengan kebangkitan gerakan politik Islam di beberapa negeri Muslim. 83 Istilah Islamic Fundamentalism merupakan istilah yang umum yang dikaitkan dengan gerakan revivalisme Islam kontemporer, yang muncul sejak dari Afrika utara hungga Asia tenggara lebih dari dua decade terakhir. Esposito menyebutkan munculnya tiga republik Islam baru yakni Iran, Sudan dan Afganistan. Pada tahun 1980-an, lanjut Esposito, politik Islam yang bersifat revolusioner ditampilkan oleh atau kelompok clandestine yang disebut “Jihad Islam” atau “Tentara Tuhan”. Namun di sisi lain, pada era 1990-an kelompok politik Islam telah ikut terlibat dalam proses pemilu. Dari proses pemilu ini tampil beberapa politisi Muslim baik sebagai perdana mentri maupun sebagai mentri, jurubicara perlemen, anggota parlemen seperti yang terlihat di Mesir, Sudan, Turki, Iran, Lebanon, Kuwait, Jordan, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Indonsesia dan IsraelPalestina. 84 82 Ibid, hlm. 21, 78-84: Fachry Ali,Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam BandungL Mizan, 1986, hlm. 247-248. Terkait dengan isu fundamentalisme di sini,lihat juga Fazlur Rahman, Islam Bandung: Pustaka 1984 pada Bab XIII, juga hlm. 274-275 serta Membuka Pintu Ijtihad, hlm. 266-268; Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan PeradabanJakarta: Paramedina, 19920, hlm. 584-586 Jurnal al-Jamiah, No,531993,IAIN UIN Suka: Jurnal Islamika, No. 1 Juli-September 1993 MISSI, Jakarta dan Mizan, Bandung; Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol.IV Jakarta: LSAF, 1993. 83 John L. espositi, “Islamic Fundamentalism”dalam SIDIC, Vol.XXXII, No.3 1999, hlm.12. 84 Ibid, hlm. 12-13. 91 Lebih lanjut Esposito menyatakan bahwa penggunaan istilah Islamic Fundamentalis sering disalahpahami. Menurut Esposito, konsep “Fundamentalism” bermula dan lebih berkonotasi Kristiani dan stereotype Barat yang identik dengan kajian Bibel secara literalistik, berorientasi ke masa lalu bersifat primitive serta cenderung anti-empiricism science and technology. 85 Pada level kenegaraan, corak fundamentalisme Islam memiliki diversifikasi, dari sistem monarkhi ala Saudi hingga revolusioner-populis model Lybia dan model clerical-state ala Iran. Demikian pula halnya Pakistan dan Suddan. Kelima model Negara ini cenderung dikategorikan sebagai negeri Muslim yang bercorak Islamic revivalism atau Islamic activism yang cenderung anti Barat dan anti-Amerika. Belakangan kelima Negara ini dikategorikan ke dalam political Islam atau Islamism. Menurut peneliti sendiri, kategori pertama cenderung dilihat dalam perspektif teologis, sedangkan kategori kedua lebih bercorak politis. Farhad Daftari ed dalam Intellectual Tradition in Islam menyatakan bahwa faham fundamentalisme keislaman bukannya melahirkan persatuan umat, sebaliknya malsh semakin melahirkan friksi dan sikap eksklusifisme, konflik bahkan pertumpahan darah semakin berpeluang terjadi. Kaum fundamentalis Islam cenderung memvonis bahwa orang Islam yang tidak memihak pada mereka dianggap sebagai “orang yang tidak serius dengan Islam” bahkan dianggap murtad dan bukan menjadi bahagian dari jamaah Islam. Sikap eksklusifisme kaum fundamentalis ini melahirkan apa yang ditengarai oleh seorang sosiolog Belanda, WF Warthein dengan istilah majority with minority complex. Perasaan minoratitas atau tamu di rumah sendiri atau siege mentality mentalitas terkepung, lebih-lebih karena dampak hegemoni politik global cenderung berdampak pada lahirnya radikalisme Islam dan sikap panik umat dalam melihat realitas kontemporer. 86 Sebagai pembanding lainnya, peneliti kemukakan pula pendapat Khaled Abou Ef Fadl komisioner United States Commision on International Religious Freedom yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa kelompok Islam radikal merupakan produk sampingan dari Kolonialisme dan Modernitas, bukan warisan paradigma Islam. Dalam bukunya Speaking in God’s Name, Islamic Authority, and Women, 87 Aboud Fadl menyusun prinsip metodologi dan moral, yaitu apa dasar yang dimiliki seseorang yang mengklaim dirinya 85 Ibid, hlm. 13. 86 Bandingkan dengan Kompas, edisi September 2005. 87 Khaled M. Abou Al-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, Oxford: One World Publicatuons, 2001 reprinted 2003, hlm.10. 92 berbicara atas nama Tuhan. Jadi yang dimaksud Fadl bukan seseorang tidak dapat berbicara mengenai keinginan Tuhan, tetapi yang dimaksudkan adalah tak seorangpun dapat berbicara atas nama Tuhan, jadi ada perbedaan mendasar di situ. Lebih lanjut Fadl menyatakan bahwa apa yang diinginkan Allah kita ketahui melalui elemen kebenaran. Al-Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks, dan elemen kebenaran yang lain adalah penggunaan akal. Apa yang diketahui oleh akal harus disertai pengetahuan, karena Allah menciptakan akal manusia menurut aturan tertentu. Bila seseorang berbicara mengenai Tuhan, dia dapat saja otoritatif, yaitu seseorang yang dapat dimintakan pendapat karena mereka jujur, rajin, memeriksa semua petunjuk dalam teks dan alam secara fisiologis dan menyeluruh. Namun, bila orang tersebut mengatakan “patuhi saya” atau “anda bukan Muslim”, itu merupakan sikap otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas wilayah milik Tuhan, dan wilayah Tuhan adalah otoritas absolute untuk mengatakan, menilai, memutuskan dan memulai serta mengakhiri sesuatu. Buku speaking in God’s Name seperti lapis-lapis filsafat, dan pembaca yang berbeda akan sampai pada lapisan yang berbeda, karena saya El-Fadl juga mengajukan argumentasi bahwa otoriter sesungguhnya adalah sekuler sejati. About Fadl menjelaskan sekuler sejati karena tindakan otoriter membatalkan Tuhan dan menempatkan manusia di tempat Allah. Ketika saya mengatakan “saya yang memutuskan” serta mengatakan saya memiliki kekuasaan eksklusif, saya meniadakan Tuhan. Keputusan itu menjadi keputusan manusia, bukan keputusan Tuhan. Ketika itu keputusan manusia, itu adalah sekuler sejati. Lebih lanjut Fadl menyatakan bahwa sikap otoriter itu seperti monopoli di pasar gagasan, sedangkan otoritatif adalah seperti pasar bebas di pasar gagasan. Semua gagasan dan argumentasi tersedia di sana dan memberi kebebasan kepada manusia, kreasi Tuhan terbesar yaitu kreasi tentang pilihan yang membedakan kita dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Apa pun yang mencabut elemen kebebasan memilih itu, itu bukan saja tindakan yang otoriter dan represif tetapi juga membatalkan tujuan penciptaan manusia, membatalkan kemanusiaan kita. Otoritarianisme-fundamentalisme menafikan sikap toleran, dan intoleransi terjadi ketika sebuah agama menganggap agama lain, karena tidak mau mencari keselamatan menurut agama yang pertama, maka pengikut agama lain itu menjadi tidak berharga sebagai manusia. Akibat 93 adanya dehumanisasi, lalu secara psikologis anda percaya anda bukan membunuh manusia melainkan membunuh setan sebagai simbol segala kejahatan. 88 Terkait dengan fenomena fundamentalisme ini, Mohammed Arkoun berpendapat bahwa Fundamentalisme tidak hanya ada di dunia Islam, juga ada dalam Komunisme, Kristen, Yahudi, Budha, dan agama lain. Fundamentalisme juga ada dalam partai politik. Menurut Arkoun, fundamentalisme adalah pola pikir yang berpegang kepada satu konsep dan meyakini bahwa konsep itulah yang paling benar. Pemikiran seperti ini tidak beralasan karena bertentangan dengan kebebasan berpikir manusia yang lain. Jika sebuah doktrin secara politik menjadi dominan, ia tergolong pada fundamentalisme. Sebagaimana Komunisme, fundamentalisme sulit diterima secara luas, karena fundamentalisme sangat mengekang kebebasan individu. Selain itu, semua rezim politik sekarang hanya memberikan dukungan kepada demokrasi liberal. Untuk Indonesia, misalnya Arkoun berharap agar negeri ini dapat menjadi barometer bagi Negara Islam lainnya dalam penegakan konsep demokrasi dan memahami Islam dengan lebih baik. 89 Dalam pandangan Arkoun, demokrasi merupakan salah satu konsep modern yang di dalamnya mengakui adanya proses swa-kritis untuk mengetahui apakah anda benar.

6. Nalar Fundamentalisme Politik dan