Merumuskan berbagai redefinition terhadap konsepsi keislaman yang sudah

1. Merumuskan berbagai redefinition terhadap konsepsi keislaman yang sudah

ada atau sama sekali baru melalui pengadaan kamus-kamus dan berbagai ensiklopedi keislaman yang baru dan kontekstual. 2. Upaya kompilasi berbagai metode keilmuan bersumber dari berbagai hasil penelitian ilmiah terutama yang termuat dalam berbagai khazanah tesis maupun disertasi yang sudah mulai menjamur di perguruan tinggi Islam. Berbagai temuan metode keilmuan tersebut sudah saatnya untuk lebih diintensifkan model aplikasinya bagi pengembangan keilmuan maupun sosial kemasyarakatan di masa mendatang. Dengan demikian, berbagai hasil riset yang ada akan dapat berhasil guna, tidak semata-mata menjadi bahan pajangan di perpustakaan. Terkait dengan pengembangan dimensi signifikansi metode keilmuan dalam ruang lingkup studi keislaman dewasa ini, penggunaan sebanyak mungkin metode keilmuan tersebut menjadi sangat dimungkinkan, sebagaimana yang disepakati Fazlur Rahman maupun Mohammed Arkoun. Karena setiap metode atau pendekatan keilmuan yang ada, selalu terbuka untuk dianalisis dan dikaji ulang secara terus menerus. 71 Secara konvensi akademis, setiap topik kajian akan dianggap benar bila sesuai dengan metoda yang telah dirumuskan sesuai dengan topik yang telah ditentukan. Namun demikian, setiap pengkaji studi Islam diharuskan untuk melakukan kajian dengan metode critical thought, tidak hanya terpaku pada metode pemikiran tertentu yang digunakan maupun objek pemikiran yang menjadi fokus 71 Lihat pernyataan Rahman berikut: “jelas tidak perlu bahwa sesuatu penafsiran yang telah diterima harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru, karena hal ini, sebenarnya adalah suatu proses yang terus berlanjut” Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1982, hlm. 173; Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat Jakarta:INIS, 1994, hlm. 311; Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 214. 11 penelitian. Bahkan dari hasil studi Islam yang ada – idealnya- selalu dapat dihasilkan nuansa atau metode maupun konsepsi pemikiran keislaman yang baru. Hal ini sejalan dengan kecenderungan era posmodernisme dan post-colonial theory, di mana faktor pembaca readerqãri’ menjadi jauh lebih penting, lebih dari sekedar teks dan penulis authormuallif. 72 Pada era posmodernisme ini, harus bisa dibedakan antara Islam ansich, as a text”absolute”, dengan Islam as a thoughtal-madzhabrelative, Islam era klasik, modern, dan postmodern. Di era posmodernisme Islam bermunculan beberapa ulama atau intelektual muslim, yang masing-masing memberikan tawaran pendekatan dalam studi keislaman, diantaranya: Fazlur Rahman Pakistan dengan paradigma Neomodernisme Islam; Hassan Hanafi Mesir dengan “al-Yasar al-IslamyIslamic Left”; Asghar Ali Engineer India dengan teologi pembebasannya; Mahmoud Thaha, Abdullahi Ahmed an-Na’im dengan “dekonstruksi syariahnya”; Nashr Hamid Abu Zayd Mesir dengan kritik teks al-Qur’an; Mohamed Abed al-Jabiri Maroko dengan teori bayānî, burhānĩ dan ‘irfãnĩ; Muhammad Syahrur Suriah yang dikenal dengan teori nazhariyyat al-hudūd; Abdulkarim Soroush Iran dengan teori penyusutan dan pengembangan Islam; Khaled Abou El-Fadl otoritarianisme dalam pemikiran keagamaan. Terkait dengan penulisan disertasi ini, di sini peneliti memfokuskan pada pemikiran Islam posmodernisme dalam perspektif Mohammed Arkoun. Bagi Arkoun, 72 Bandingkan dengan, Khaled M. Abou Al-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women Oxford: One World Publications, 2001 reprinted 2003; Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitãb ad-Dĩnĩ Kairo: Dar Sina li al-Nasyr, 1992. 12 cara berpikir dogmatis dogmatic mind pada hakikatnya tidak saja menimpa ranah teologi agama-agama tradisional namun juga mencakup agama-agama sekuler kontemporer. Hal yang sama juga menerpa pemikiran Islam yang telah didominasi oleh dogmatic mind selama berabad-abad. Lebih lanjut Arkoun mengingatkan bahwa penting sekali bagi para pengkaji agama khususnya Islam untuk tidak semata-mata mencermati khazanah Islam secara tekstual belaka namun juga melihat aspek psikologi, sosiologi, bahasa politik dan sistem keberagamaan dalam Islam. Dengan perspektif itu pula kita dituntut untuk melihat berbagai fenomena kontemporer. Arkoun mengemukakan pertanyaan seberapa penting para sosiolog mencermati fenomena Islam yang menyejarah tersebut. Apakah perlu dirumuskan secara baru nalar Islam sesuai dengan kondisi kekinian? Di sini Arkoun dengan serius mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya mencermati fenomena Islam yang bersifat historis. Dengan kritis Arkoun mempertanyakan tentang warisan pemikiran Islam yang seolah-olah sudah dianggap baku oleh para ulama, baik dalam bentuk kodifikasi kitab suci al-Quran maupun hadis-hadis Nabi, dimana kedua sumber tersebut menjadi rujukan berbagai khazanah pemikiran Islam baik yang bersifat ritual, akhlaq, hukum, sosial kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Arkoun juga mengkritik para orientalis yang mengkaji berbagai sumber rujukan Islam secara terbatas dan lahiriah saja, sehingga para pengamat sosial dari Barat juga terjebak dengan model kajian orientalis yang terbatas dimaksud. Pada gilirannya model pengkajian orientalis tersebut lebih bercorak: unilateral, backward dan dogmatic, yang sumber kajian Islam juga lebih banyak 13 diperoleh dari para pekerja muslim yang merantau ke dunia Barat. Di sini Arkoun mengkritik hasil pengkajian para sosiolog itu sendiri. 73 Berdasarkan fenomena studi Islam klasik di atas Arkoun ingin membongkar apa yang disebut dengan mindset atau nasaq al-‘uqūl. Dalam konteks inilah Arkoun menawarkan perlunya kajian pemikiran Islam dilakukan dengan pendekatan yang kombinatif antara pendekatan filologi, linguistik, etnologi, sosiologi dan antropologi. Bukan semata-mata dengan pendekatan filologi klasik seperti kaum orientalis. 74 Bagi Arkoun untuk lebih dapat memahami Islam maka semua cabang ilmu bisa digunakan. Arkoun juga mengingatkan betapa mustahilnya melakukan teologisasi dalam pemikiran Islam. Pendekatan teologisasi tersebut sangat sulit memahami pluralisme sosial dewasa ini tanpa menggunakan dimensi psikologi, filosofis maupun antropologis. Selama ini, lanjut Arkoun, terdapat dua model pendekatan dalam memahami masalah kemanusiaan yakni model religius dan model sains. Arkoun menggugat model religius Islami di mana struktur “aqidah” 75 menjadi aspek penghambat pengembangan pemikiran dikaitkan dengan kontribusi Islam dalam penyelesaian masalah kemanusiaan universal. Dimensi akidah bagi semua agama termasuk Islam merupakan struktur puncak yang dianggap sakral, dominatif, legitimatif dan autentik Islam. Dengan demikian struktur akidah ini menjadi sumber rujukan utama para ulama termasuk para kepala Negara dan birokrasinya. Konsep 73 Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Ushûly wa Istihãlah al-Ta’shîl, Nahwa Tãrikh Ākhar li al- Fikr al-Islãmy, London: Dar al-Saqi, 2002, hlm. 329-333. 74 Adapun pengertian dari pendekatan filologi, yakni memahami kajian keislaman melalui semata-mata pendekatan teks kebahasaan, tanpa secara lebih jauh melihat konteks ketika teks tersebut ditulis. Pendekatan tekstual seperti yang sering dikaji orientalis cenderung mengabaikan dimensi historisitas kehidupan umat di masa teks tersebut ditulis. 75 Arkoun memberi dua tanda kurung terhadap konsep “Aqidah”, karena bagi Arkoun pentingnya mempersoalkan atau menjadikannya suatu hal yang problematis dalam kajian aqidah. 14 akidah ini menjadi suatu legitimasi religius terhadap suatu kekuasaan politik Islam. Dengan demikian, menurut Arkoun, kedudukan ulama hampir mirip dengan kedudukan pendeta atau uskup, 76 di mana para ulama yang dianggap paling berhak merumuskan hukum-hukum dan undang-undang melalui metode ijtihad, dengan kembali pada al-Quran dan Hadis bagi kaum Sunni, maupun pola imamah di kalangan Syiah. Bila muncul perlawanan terhadap pandangan ulama tersebut berarti dianggap melawan otoritas spiritual dan politik keagamaan umat. 77 Dalam konteks ini Arkoun memberikan dua solusi: pertama, metode maupun hasil ijtihad sepenuhnya diserahkan pada otoritas keagamaan tanpa harus mengaitkannya dengan legitimasi suatu kekuasaan politik. Kedua, sebaliknya para penguasa seharusnya memberikan kebebasan bagi para ulama untuk berijtihad. Di sini dengan tegas Arkoun menolak pemaksaan paham keagamaan, baik oleh ulama maupun oleh kekuasaan terhadap umat. Biarkanlah umat sendiri yang memberikan penilaian terhadap berbagai pandangan atau hasil ijtihad para ulama. Umat Islam harus belajar dari munculnya tirani kekuasaan yang terkait dengan teks al-Quran maupun Hadis. 78 Menurut Arkoun, para ulama yang memaksakan kehendaknya 76 Pernyataan Arkoun ini dibantah oleh para ideolog atau konservatif muslim bahwa tidak ada sistem kependetaan dalam Islam lãrahbãniyyah fil Islãm. Namun Arkoun mengemukakan – dengan pendekatan sejarah – fakta historis bahwa dalam sejarah Islam juga pernah hal yang mirip terjadi dalam sistem kependetaan atau kepausan Kristiani, di mana ulama menarik legitimasi agama kepada kekuasaan politik. Seperti kasus oposisi Khawarij dan Syiah terhadap Umawiyah dan Abasiyah maupun tekanan politik kekuasaan Muktazilah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal. 77 Adapun contoh perlawanan terhadap otoritas spiritual keagamaan ini bisa dilihat dalam contoh oposisi Khawarij dan Syiah terhadap kekuasaan politik Umawiyah dan Abbasiyah. Demikian pula contoh perlawanan yang muncul dari Ahmad bin Hanbal w.855 dan pengikutnya terhadap para khalifah beraliran Muktazilah yang berpandangan tentang penciptaan al-Quran. Dalam konteks ini Arkoun sendiri lebih dekat ke Muktazilah dalam teori tentang penciptaan al-Quran. Namun yang membedakan Arkoun dengan Muktazilah, ia tidak sependapat dengan penguasa Muktazilah yang memaksa Imam Ahmad bin Hanbal untuk mengikuti pandangan Muktazilah tersebut. Lihat, Arkoun, al-Fikr al-Ushûly, hlm. 342-343. 78 Ibid. 15 digolongkan sebagai ulama yang korup, karena dekat kekuasaan, dimana kekuasaan telah memberikan para ulama tersebut posisi sosial yang menguntungkan bagi ulama. Belajar dari sejarah mihnah dalam sejarah Islam, khususnya saat terjadinya pembalasan kaum ortodoks muslim terhadap Mu’tazilah, maka belakangan muncul proses takfîr terhadap Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Quran diciptakan. Di sinilah awal terbentuknya kemapanan kelompok yang belakangan disebut Sunni. Demikian pula hal yang sama terjadi di Iran di mana Dinasti Safavid juga memaksakan paham Syiah Imamiyah sebagai satu-satunya faham Islam yang benar. Kemapanan Sunni-Syiah ini berdampak pada tertutupnya pluralisme paham aqidah maupun bidang keagamaan lainnya, terlebih lagi setelah munculnya konsep takfir. Di sini Arkoun juga mendorong para pengkaji studi keislaman untuk kembali mengkaji secara kritis hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Mendengar aspirasi kaum tradisional yang selama ini diabaikan paham modernisme Barat. Perlunya riset keislaman yang baru pasca “mazhab” filologisme orientalis. Membongkar mentalitas dualisme dan dogmatis pengkaji Islam. Membedakan antara keberagamaan tradisional yang murni dengan paham keagamaan yang teologis-ideologis- fundamentalis. Bila ditinjau secara metodologis, pada hakikatnya, Mohammed Arkoun menawarkan agar studi keislaman era posmodernisme menggunakan empat pendekatan baru: sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa linguistik. Keempat pendekatan ini merupakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul abad 19- 20. Dalam perspektif Arkoun, corak keimanan muslim tidak semata-mata bersifat 16 ritual ansich, namun juga sangat terkait dengan dimensi space and time yang terkait dengan aspek kelembagaan, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Semua metode, kitab, tulisan yang dilahirkan ulama dalam mengkaji Islam juga sangat terkait dengan aspek dinamika kesejarahan, sosial, budaya ketika ulama itu hidup. Maka Arkoun mencoba menggunakan pendekatan teori ilmu sosial baru era posmodernisme sebagaimana yang terlihat dalam berbagai karyanya yakni berupa teori-teori antropologi, sejarah, sosiologi, psikologi, filsafat, linguistik dan semiotik. Menurut Amin Abdullah, Mohammed Arkoun telah memasuki periode ketiga dari perkembangan studi Islam. 79 Adapun periode pertama studi Islam lebih menggunakan pendekatan filologi yang popular di kalangan orientalis. Kajian filologi ini bersifat kebahasaan dalam mengkaji teks-teks keislaman klasik. Arkoun sendiri mengkritik pendekatan orientalis yang cenderung “objektif” dan melupakan dimensi subjektivitas ulama maupun dinamika sosial yang mengitari ketika teks keislaman tersebut diproduksi. Adapun fase kedua, studi kemasyarakatan mirip dengan studi sains. Dengan demikian studi keislaman, sebagai bahagian dari studi kemasyarakatan tersebut, harus dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan juga, yakni ilmu pengetahuan versi ilmuan sosial, bukan pendekatan bahasa. Di sini masyarakat dilihat seperti sebuah sistem versi Talcott Parsons. Kajian dengan pendekatan ini sangat erat dengan konsep modernisasi. 79 Lihat Arkoun dalam, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Posmodernisme, hlm.vi. 17 Adapun pada fase ketiga, studi-studi keislaman Islamic studies mulai memperkaya kajian dengan memanfaatkan berbagai pendekatan kontemporer, seperti: psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah serta berbagai pendekatan social sciences lainnya. Pada fase ketiga inilah, Mohammed Arkoun berada. Dari perspektif tahapan studi keislaman di atas, rekonstruksi pemikiran Mohammed Arkoun dalam studi keislaman era posmodernisme secara umum dapat dikemukakan mengingat berbagai tulisannya yang masih bertebaran di berbagai buku maupun jurnal atau makalah. Adapun garis besar dari rekonstruksi pemikiran Arkoun dapat dilihat sebagai berikut: 1. Pada tahap awal, Arkoun melakukan dekonstruksi pemikiran Islam klasik maupun era modern dengan membongkar episteme serta logosentrisme pemikiran Islam; sekaligus mengkritisi pola pemikiran keislaman orientalis yang filologis-hitoris. Di samping itu juga, Arkoun mengkritisi pemikiran kaum fundamentalis “jihad”, violence. 2. Kemudian dari hasil kritisismenya tersebut, Arkoun membangun paradigma baru pemikiran Islam kontemporer yang dikenal dengan Islamologi terapan sebagaimana telah peneliti kemukakan pada ulasan terdahulu, di mana terdapat interaksi yang saling mempengaruhi antara: bahasa, akal dan sejarah, melalui wacana Qurani, dengan menggunakan pendekatan antropologi agama yang juga terkait dengan mitos dan sejarah. 3. Adapun beberapa isu yang diangkat Arkoun antara lain tentang: Islamisasai ilmu; teologi keselamatan; sekularisasi; diskursus masyarakat kitab dan pluralisme; titik temu antara peradaban Islam-Barat studi kawasan 18 Mediterania; fungsionalisasi nalar; HAM dan citizenship; khilafah dan nation statekerajaan. Juga tentang politik Islam kontemporer, khususnya etika politik Islam. Di sini penulis menyimpulkan bahwa Arkoun, beserta para pemikir muslim posmodernis lainnya, berada pada era dekonstruksi yang menimbulkan reaksi yang cenderung apologis, ideologis, dibanding reaksi yang lebih akademis. Adapun beberapa implikasi pemikiran dari para posmodernis muslim, khususnya Arkoun, antara lain: pertama, bahwa Islam sebagai teks keagamaan secara tegas harus dibedakan dengan Islam sebagai refleksi pemikiran para ulama. Kedua, pemikiran Islam sangat evolutif terutama dalam wilayah social sciences SS, humanities H maupun natural sciences NS. Ketiga, semua pemikiran pasti sangat tergantung pada tokoh, literatur, konteks ruang dan waktu, dinamika sejarah yang berdampak pada perubahan gaya pemikiran dan bahasa. Keempat, sebagaimana yang ditengarai oleh Arkoun sendiri, pada hakikatnya perubahan pemikiran juga sangat tergantung pada dinamika sosial budaya, politik, ekonomi dan tingkat pengetahuan masyarakat. Kelima, pada era pasca posmodernisme Islam kelak akan muncul lagi berbagai pendekatan baru dalam studi Islam yang saat ini masih termasuk dalam wilayah - meminjam istilah Arkoun - unthought. Berikut ini penulis kemukakan skema perbandingan antara pola era pra- posmodern dengan pola kajian Islam era posmodern, sebagai berikut: 19 Pra Posmodernisme Islam: Posmodernisme Islam: 1. Corak keilmuan yang dogmatik 2. Struktur “Aqidah” yang monolitik 3. Fatwa keulamaan yang politis-ideologis 4. Teologi ahl al-Kitab dualistik-dikotomik, plural-egaliter-humanis 5. Keterkaitan agama dan kekuasaan Politik 6. Mewarisi teks-teks historis apa adanya 7. Dimungkinkannya konsep mihnah dan takfîr 8. Paham keagamaan yang teologis-ideologis- fundamentalis 9. Pengabaian terhadap aspirasi tradisional yang murni tradisional, bukan 10. Islam dalam teks 11. Pemahaman al-Quran sebagai korpus resmi tertutup 12. Studi keislaman orientalis yang unilateral, backward, dogmatic dan filologis 1. Corak keilmuan yang kritis 2. Pluralitas pemahaman aqidah 3. Fatwa keulamaan akademis 4. Teologi masyarakat Kitab yang dominatif-hegemonik 5. Menjaga jarak antara wilayah keulamaan dan kekuasaan 6. Perlunya kajian kritik histories secara terus-menerus 7. Mewaspadai munculnya konsep mihnah dan takfîr 8. Paham keagamaan yang saintifik-kritis 9. Penghargaan terhadap aspirasi berdasar teologi yang sempit 10. Fenomena Islam yang menyejarah 11. Pembacaan al-Quran sebagai korpus terbuka 12. Studi keislaman historis-kontekstual antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, semiotik, linguistik BAB II 20 PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL POLITIK

1. Pluralitas Mazhab Siyãsah