1. Logosentrisme Pemikiran Islam
Istilah Logosentrisme mengandung dua arti, pertama, tradisi yang mencirikan pemikiran Barat dan berdasarkan anggapan bahwa “ada” sama dengan kehadiran dan
yang benar adalah yang riil atau hadir. Kedua, kenyataan bahwa manusia tidak dapat
mengungkapkan diri dan malahan tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan, tradisi teks tertentu: “manusia berada di dalam kungkungan
logosentris” clôture logocentrique. Istilah logosentrisme kedua ini merupakan gambaran yang dipakai Jacques Derrida
33
Aspek logosentrisme yang ditekankan Arkoun adalah kecenderungan manusia untuk membicarakan – yang dianggap sebagai – kenyataan realitas dengan mengulang-
ulangi teks sebagai preteks sebagaimana tersebut di atas dan memaparkan kenyataan itu secara mensistematisir dan mengotak-ngotakkan dalam tradisi teologi dan fikih Islam,
tetapi tidak terbatas pada lingkungan Muslim.
34
Dalam pandangan Arkoun, ketika membaca sebuah, teks kita harus melihat unsur informasi yang tersirat implicit information di dalamnya yang menggambarkan adanya
struktur mental serta keterkaitan teks dengan ruang budaya tertentu. Untuk dapat meneliti hal tersebut tentu dibutuhkan adanya transdisiplin ilmu sejarah, sosiologi, etnologi,
antropologi, linguistik, dan lain-lain. Ketika menemukan sebuah teks maka di situ ada tiga hal yang tak boleh dilupakan yakni: tulisan writing, teks text dan pembacaan
reading.
35
33
Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hlm. 311
34
Lihat Johan Meuleman, “Beberapa Catatan Kritis tentang Karya Mohammed Arkoun”, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKiS,
hlm. 160
35
Lihat juga, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 272-286
8
Dalam logika Yunani kita mengenal konsep logos tuturan-nalar yang dalam bahasa Arabnya identik dengan nuthq yang berarti wicara yang terungkap. Dalam
konteks wicara dan nalar di sana ada logika manthiq serta penutur nathiq. Mengutip pandangan Aristoteles, Arkoun mengemukakan bahwa konsep logos sudah
tidak lagi bersifat profetik maupun bersifat dialektis. Logos cenderung mengabaikan pendengar. Pada abad pertengahan, lanjut Arkoun, logos kenabian yang open
minded bergeser ke wacana pengajaran closed minded.
36
Lebih lanjut, wacana pengajaran tentang segala realitas – termasuk tentang Allah – telah didominasi oleh prinsip kategori Aristotelian
37
. Dampak yang dimunculkan dari fenomena ini adalah munculnya berbagai upaya penyelarasan,
polemik, apologi serta pengkotakan berbagai mentalitas. Walhasil, pelbagai dialektika dan logika berpikir dalam studi keislaman telah dikungkung oleh prinsip
kategori dan hegemoni Aristotelianistik. Lebih lanjut, wacana tentang eksistensi sesuatu maupun realitas duniawi lebih bersifat morfologik dan sintaksis, belum
beranjak jauh pada tataran ontologik. Di lingkungan pengguna bahasa Arab belum muncul upaya riset baru secara lebih mendalam tentang hal ini.
38
Di sinilah, menurut Arkoun, perlu adanya analisis wacana
39
dalam studi keislaman baik yang bersifat mitis-puitis wilayah para penyair, maupun yang bersifat “ilmiah” dan logis seperti
yang ditekuni Arkoun selama ini.
36
Ibid, hlm. 75. Bandingkan juga dengan Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, New York: The Institute of Ismaili Studies 2002, p. 179-203
37
Bandingkan dengan al-Farabi, Kitab al-Huruf, Beirut: M. Mahdi, 1970. Ibnu Taimiyah, Radd ‘ala- al-Manthiqiyyin, Bombay, 1949. Josep Van Ess, The Logical Structure of Islamic Theology, 1970,
Reprinted by Permission of Otto Harrassowitz. Lihat juga, Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insani Press,
2004
38
Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern … , hlm. 3
39
Untuk contoh kajian analisis wacana, baik juga dibandingkan dengan Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2001 Buku ini berisi pengantar metodologis dan
teoritis ke analisis wacana… Analisis wacana merupakan alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis teks – kebetulan yang menjadi fokus studi dalam buku ini adalah teks media – yang
selama ini lebih didominasi oleh analisi isi content analysis konvensional dengan paradigma positivis atau konstruktivis. Bila analisis isi lebih terfokus pada pertanyaan “why”, maka analisis
wacana lebih jauh pada “how” dari sebuah pesan atau teks yang dikaji. Lewat analisis wacana, kita akan tahu bukan hanya tentang isi sebuah teks, tetapi bagaimana dan mengapa teks itu dihadirkan.
Bahkan kita lebih jauh dapat membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks tersebut.
Konsekwensi logis dari metode analisis wacana ini adalah perlunya studi sejarah gagasan the history of ideas yang di dalamnya terkait tentang tulisan, teks
dan pembacaan. Menurut Arkoun, sebuah wacana begitu ditulis, ia lepas dari pengawasan penulisnya dan memulai kehidupannya sendiri. Pembacalah yang
menentukan kekayaankehampaan sebuah teks, perluasan atau keringnya teks serta pengabaian maupun pengaktifan kembali teks tersebut. Pembaca jarang sekali
menerima sebuah teks dengan memahami semua maknanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis. Kata Arkoun, dalam perspektif analisis wacana, penulis
awalnya adalah pembaca, tetapi pembaca tidak selamanya penulis every author is originally a reader, while not every reader is an author..Interaksi pembaca dengan
teks menentukan logos dan roh dalam satu bahasa yang kelak melahirkan pluralitas bahasa. Dalam kaitan ini, bahasa ada yang bersifat terbuka yakni dalam wicara the
spoken word atau kalam, dan ada yang bersifat tertutup yakni bahasa yang telah dibakukan dalam sebuah tulisan teks. Dengan kata lain, bahasa wicara tentunya
jauh lebih kaya dan mengandung banyak nuansa ketimbang bahasa tulisan. Intinya, wicara jelas berbeda dengan tulisan.
40
Dalam hal ini bisa dimaklumi bahwa bahasa berbeda dengan pemikiran, dimana pemikiran tetap merupakan kegiatan bebas dan mampu memperbaharui
secara terus-menerus kemungkinan-kemungkinan baru ungkapan bahasa. Sebagaimana terlihat dampaknya dalam wilayah pemikiran Yunani maupun
pengembangan sains pada era sesudahnya. Maka ketika kita melihat sebuah teks, sikap kritis dan pembacaan secara produktif production of meaning harus
diterapkan, sebaliknya sikap pengulangan reproduction of meaning
41
harus dihindari demi ditemukannya berbagai kemungkinan baru bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di masa depan, tidak terkecuali di dalamnya pengembangan studi-studi ilmu keislaman.
40
Bandingkan dengan Muhammad Azhar, “Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang Bahasa dan Makna” dalam Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual, Yogyakarta: UPFE UMY, 2005, hlm. 3-14
41
Untuk kajian komprehensif tentang pembacaan reproduction of meaningqiraah mutakarrirah dan production of meaningqiraah muntijah ini, baca, Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif.
Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan Jakarta: ICIP, 2004
2
Berdasarkan analisis di atas Arkoun berpandangan bahwa pemikiran Islam sudah lama mengalami kungkungan logosentrisme seperti yang terlihat dalam tradisi
ushul fiqh yang telah lama memenjarakan proses ijtihad. Proses ijtihad melalui mekanisme ijma’, qiyas dan “sunnah Nabi”
42
lalu diklaim sebagai representasi wahyu Allah. Padahal dalam mekanisme atau proses ijtihad itu sendiri pada hakikatnya tidak
terlepas dari pemikiran manusiawi para ulama juga yang tidak lepas dari proses pembacaan terhadap kehendak Tuhan sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an. Apa
yang selama ini dianggap wahyu Tuhan sebenarnya juga merupakan hasil refleksi pemikiran ulama juga. Konsep “kebenaran” yang ditransendenkan ke dataran ilahiah
sebenarnya juga bagian dari bentuk konkrit dari adanya keterkungkungan logosentrisme. Dengan keras Arkoun bahkan menyatakan bahwa banyak mujtahid
yang telah menipu diri dan para pengikutnya karena mengharuskan adanya tafsir monolitik tentang paham keagamaan yang sering menafikan adanya pluralitas
penafsiran. Bahkan al-Ghazali sendiri, oleh Arkoun, dianggap kurang memahami mana wilayah transenden dan imanen dalam agama. Kalam Allah yang imanen
dianggap transenden.
43
Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa pemahaman tentang agama religion, budaya culture dan negara state
44
telah lama terpenjara oleh logosentrisme yang akhirnya mengabaikan local genius atau pluralitas pemahaman
yang mungkin bisa diekspresikan. Pada akhirnya agama dan budaya menjadi sandi- sandi yang formalistik dan resmi. Pemahaman agama dan budaya menjadi terikat
dengan pemaknaan yang sudah mapan statis, lalu lupa pada upaya proses pencarian makna secara terus-menerus dinamis. Agama dan budaya sudah menjadi
tulisan teks, fosil keilmuan. Kekayaan nuansa agama dan budaya yang terefleksikan dalam wacana discourse menjadi tereliminasi dan hilang.
42
Contoh nalar-nalar aksiomatik yang mencerminkan kungkungan logosentrisme terlihat dalam beberapa pandangan seperti berikut: ‘seorang sahabat Nabi tidak mungkin bohong”; “umat tidak
mungkin sepakat mengenai kesalahan laa tajtami’u ummati ‘ala al-dlalalah’; semua benar pada masa nubuwwah; para sahabat mengetahui segalanya mengenai kehidupan dan ajaran Nabi;
kontradiksi antara al-Qur’an dan Sunnah hanya mungkin diakibatkan oleh perubahan sebuah teks oleh seorang perawi; dan sebagainya. Bagi Arkoun, semua model penalaran ini harus dikaji secara lebih
kritis.
43
Lihat Arkoun, Nalar Islami, hlm. 80
44
Bahasan secara khusus dan mendalam tentang hubungan agama dan Negara dapat dilihat dalam bab IV
3
Sejalan dengan keterpenjaraan logosentrisme model Arkoun di atas, ada baiknya juga kita kemukakan di sini pandangan Francis Bacon 1561-1626 tentang
Idols of the Mind. Menurut Bacon, ada empat model penjara pikiran yang sering membelenggu nalar kritis manusia: Pertama, Arca-arca Suku Idols of the Tribe
yang mengandung makna tentang seseorang atau sekelompok orang yang cenderung menerima bukti-bukti atau kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau
kelompoknya sendiri. Kedua, Arca-arca Gua Idols of the Cave. Kita cenderung untuk memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang
terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar Idols of the Market, yang mendorong kita untuk terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita
sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional. Misalnya, bagi masyarakat bangsa Amerika, kata-kata komunis dan radikal.
Keempat, Arca Panggung Idols of the Theatre yang ditimbulkan karena sikap kita yang berpegang pada partai, kepercayaan atau keyakinan pemahaman agama.
Tingkah laku, cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam pengertian bahwa mereka membawa kita kepada dunia khayal. Akhirnya arca
panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah arah. Penjara atau hambatan pemikiran yang jernih ini dapat juga dikembangkan dengan istilah atau kata-kata
lain, seperti: purbasangka prejudice, kerawanan terhadap propaganda susceptibility to propaganda, dan sumonggo-dawuhisme, ABS-isme, ketaatan
mutlak tanpa reserve kepada seseorang atau suatu badan, pemikiran atau authoritarianism.
45
45
Lihat Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 193-194
4
2. Tipologi Pemikiran Islam