Debirokratisasi PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

secara maksimalikhlas dalam rangka tercapainya target produklsi sebuah lembaga amal usahaperusahaan. Sayangnya tuntutan atasan terhadap bawahan ini tidak diimbangi dengan terpebuhinya tuntutan bawahan terhadap atasannya, agar pihak pimpinan atasan majikan juga seharusnya bersikap ikhlas berupaya secara maksimal untuk memenuhi standar kelayakan hidup kesejahteraan bawahannya. Teologi “kepasrahan” model determinism ini dibungkus pula dengan konsep “Ikhlas Beramal”, “Guru sebagai pahlawan tanpa jasa”, dan semisalnya. Bahkan lebih parah lagi, sudah gaji karyawan guru pekerja sangat minim malah disunat lagi dengan berbagai potongan sana-sini. Kondisi birokrasi Negara swasta seperti ini lah yang mendorong trerjadinya tindak pidana korupsi, baik di kalangan pegawai rendah – karena harus memenuhi kekurangan gaji yang diperoleh setiap bulan – maupun oleh atasan yang memanfaatkan “potongan sana-sini” tersebut untuk memperkaya diri. Teologi determinism ini juga meredupkan sikap kritisme bawahan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan atasan, yang seringkali berlindung di balik aturan, yang ternyata sengaja direkayasa dibuat untuk melindungi kejahatan korupsi yang menguntungkan atasan pimpinan. Kini saatnya prinsip keadilan al-‘adalah justice, egalitarianisme al-musawah, fairness, proporsionalitas dan profesionalitas dijadikan landasan moral dan teologis bagi sistem penggajian dalam birokrasi di negeri ini. Bila prinsip-prinsip ini terwujud, maka secara evolutif dan sistematis celah tindak pidana korupsi semakin tertutupi. Maka wawasan teologis yang lebih rasional dan transformatif perlu menjadi rujukan baru di masa mendatang. Selain itu, penetapan gaji yang rasional dan proporsional, termasuk rasio perbandingan antara atasan bawahan seperti yang berlaku di Cina 7:1, aspek perlindungan hukum, masalah kesehatan dan pendidikan keluarga karyawan bahkan jaminan hidup pasca pensiun maupun pemilikan saham bagi semua karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja, perlu menjadi perhatian serius bagi semua perusahaan, birokrasi pemerintahan maupun amal usaha swasta. Khusus di kalangan umat Islam, dimensi Islamic holding company, Islamic foundation serta filantropi Islam, mendesak pula untuk segera diwujudkan di masa yang akan datang. Bila ini terealisir, maka fenomena kefakiran yang berakibat pada kekufuran akan dapat diatasi secara bertahap dan sistematis.

7. Debirokratisasi

Bila ditinjau dari ajaran Islam tentang birokrasi, maka yang paling pokok adalah terelaisasirnya prinsip kemudahan al-Yusr dalam penyelenggaraan sistem administrasi dan manajemen di birokrasi. Sabda Nabi: “yassiru wala tu’assiru permudah lah orang lain, jangan dipersulit”, sudah saatnya diberlakukan secara merata di semua lini birokrasi di Indonesia, adapun selama ini yang menyatakan bahwa “kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah”, sudah saatnya diakhiri. Sebagaimana dimaklumi, penyebab terbesar dari munculnya berbagai praktek korupsi di Indonesia adalah karena sistem birokrasi pemeritahan yang rumit dan berbelit-belit. Sistim pelayanan administrasi satu atap secara lebih efektif dan efisien sangat mendesak untuk diwujudkan di semua level birokrasi pemerintahan. Demikian pula dari segi singkatnya waktu dan murahnya biaya pengurusan surat-menyurat, perizinan maupun bentuk prosedur administratif lainya, akan lebih memudahkan bagi terjadinya akselerasi pembangunan dan kemajuan bangsa di masa depan, sekaligus dapat mengejar ketertinggalan dari Negara lain. Penting disadari oleh segenap komponen bangsa bahwa sistem birokrasi yang tidak terbuka transparan, membuat para investor asing menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada semakin menyempitnya lapangan kerja yang secara otomatis semakin memperbanyak jumlah pengangguran. Akumulasi pengangguran – terdidik maupun yang tidak terdidik – akan berimplikasi pada semakin merebaknya kemiskinan, kebodohan, rendahnya tingkat kesehatan rakyat dan semakin merajalelanya angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, korupsi menjadi pangkal segala maksiat di negeri ini, akibat lemahnya sistem birokrasi pemerintahan selama ini. Maka proses de-birokratisasi menjadi sebuah keniscayaan. Sebenarnya kebijakan otonomi daerah merupakan peluang emas bagi pemerintah, khususnya di daerah, untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Sistem birokrasi yang sentralistik di masa Orde Baru ternyata hanya memperkaya para pejabat dan penguasa di pusat saja. Sebagian besar kekayaan di daerah terserap ke pusat kekuasaan di Jakarta. Secara evolutif dan sistematis daerah-daerah mengalami pemiskinan. Kini dengan adanya DPD Dewan Perwakilan Daerah, misalnya diharapkan pola dan sistem pengambilan keputusan – baik di pusat maupun di daerah – menjadi lebih tepat sasaran. DPD berperan ganda, di satu sisi sebagai artikulator dari daerah yang diwakili, di sisi lainnya menjadi pengontrol kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Upaya de-birokrasi juga akan berdampak pada otonomisasi, pendelegasian wewenang, swastanisasi di segala bidang, Dengan demikian semakin banyak partisipasi rakyat yang bisa ditumbuhkan dan digerakkan untuk memacu laju pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Namun penting pula disadari bahwa proses debirokratisasi ini juga harus ditopang oleh komitmen paratur Negara untuk selalu mewujudkan clean government, disamping telah tersedianya sistem hukum dan perundang-undangan yang ketat sekaligus kontrol masyarakat secara terus menerus. Bila ditinjau dari syariat Islam, model atau pola pengembang sistem birokrasi yang sehat, transparan dan accountable pada dasarnya Islam bisa mengadopsi sistem dari mana pun sepanjang memenuhi prinsip keadilan sebagai salah satu inti dari ajaran Islam. Dalam khazanah sejarah peradaban Islam, kita ketahui bahwa ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai kepala Negara khalifah, dengan cerdas dan terbuka open minded Umar mengadopsi sistem penyelenggaraan administrasi birokrasi pemerintahan dari sistem yang pernah berlaku di Parsi. Apa yang dilakukan Umar sesuai dengan prinsip keterbukaan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW: “al-Hikmah dlallah al-Mu’mini fahaitsu wajadaha fahuwa ahaqqu biha” HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dewasa ini untuk mewujudjan sistem birokrasi yang sehat good governance, paling tidak ada 7 prinsip utama yang harus dikembangkan dalam sistem manajemen birokrasi modern yakni prinsip- prinsip : Discipline, Transparency, Independence, Accountability, Responsibilitu, Fairness, Sosial Awareness. Perlu pula dicatat di sini bahwa di masa mendatang, bukan birokrasi pemerintahan saja yang mesti memiliki 7 prinsip di atas, namun semua organisasi non-pemerintah ormas berikut seluruh amal usaha yang dimiliki, orpol maupun LSM harus pula menerapkan 7 prinsip yang sama. Maka budaya audit bagi organisasi swasta ini menjadi sebuah keniscayaan historis dan sosiologis demi terwujudnya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Penutup Berdasarkan beberapa catatan di atas, pada hakikatnya,banyak cara atau metode yang dapat digunakan oleh pemerintah bersama masyarakat Indonesia untuk mengatasi fenomena dan dampak korupsi di negeri ini. Bila berbagai strategi di atas dijalankan secara konsisten dan simultan dengan belajar dari berbagai pengalaman di negara lain, maka penulis merasa yakin bahwa sekitar 10- 15 tahun mendatang, penyakit korupsi ini akan bisa diatasi, paling tidak bisa ditekan sampai ke titik yang paling rendah, Namun yang lebih penting lagi bukan sekedar menghukum para koruptor, tetapi faktor-faktor penyebab munculnya korupsi harus lebih menjadi perhatian utama bangsa ini seperti masalah dimensi budaya, pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama, perhatian secara kritis terhadap materi atau substansi hukum ketimbang formalitas hukum dan perundang-undangan; secara keseluruhan akan bermuara pada upaya penumbuhan sikap antikorupsi, jauh lebih penting. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi inspirasi bagi para pembaca dan bahan pengembangan riset selanjutnya.

3. Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam