Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

3. Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi

dalam Keluarga dan Masyarakat 71 Pendahuluan Arah baru kehidupan bangsa Indonesia di masa depan semakin mengarah kepada model interaksi sosial yang mendambakan terwujudnya nilai-nilai demokrasi. Fenomena baru ini merupakan peluang emas yang terlalu mahal untuk diabaikan. Dengan demikian, upaya pengembangan nilai-nilai demokrasi, khususnya, melalui domain keluarga maupun kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan hal yang amat signifikan. Demokrasi di tingkat negara sangatlah membutuhkan adanya dukungan dari berbagai lapisan sosial terutama dukungan unit- unit keluarga maupun berbagai komunitas sosial lainnya. Demi terwujudanya cita-cita kehidupan berdemokrasi di atas, maka setiap warga sebagaimana tercermin dalam berbagai kompomnen yang dapat menopang terealisirnya kehidupan demokratis dimaksud, diantaranya pemahaman tentang hak dan tanggungjawab dalam sebuah keluarga maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Demikian pula, betapa pentingnya setiap anggota keluarga maupun anggota masyarakat mendapatkan sekaligus memberikan berbagai bentuk diukungan maupun perlindungan terutama yang bersifat moril – demi terwujudnya akselerasi kehidupan sosial yang demokratis dan berkeadapan. Selain itu,upaya penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi segenap anggota keluarga dan masyarakat juga tidak kalah pentingnya, karena hal ini menyangkut tentang munculnya wawasan moral sebagai salah satu tiang penyangga kehidupan negara yang demokratis di masa depan. Hak dan Tanggungjawab dalam Keluarga Dalam kehidupan berkeluarga segenap elemen yang ada dalam keluarga tersebut memiliki hak dan tanggungjawab yang sama walaupun dalam bentuk yang berbeda. Secara umum, dalam sebuah keluarga tentunya terdiri dari bapaksumi, ibuisteri, anak serta anggota keluarga lainnya termasuk para pembantu rumah tangga. Secara normatif, setiap keluarga diharapkan dapat mewujudkan suasana ekeluargaan yang penuh dengan nuansa sakinah Q.S. Ar-Rum30:21 yang setidaknya ditopang oleh tiga 72 prinsip lainnya yakni konsep mahabbah kecintaan yang lebih bersifat biologis-maternal dan lahiriah. Selanjutnya konsep mawaddah rasa cinta kasih yang bersifat batiniah yang melampaui batas-batas kecintaan yang bersifat biologisa-materialistik. Terakhir adalah konsep rahmah berupa respon kecintaan ilahi terhadap keluarga yang dikasihiNya yakni keluarga yang dapat memadukan jalinan cinta kasih balik yang bernuansa mahabbah maupun mawaddah. Secara irfani spiritualistik, suasana lingkungan keluarga yang demikian tercermin keadaan keluarga yang antar satu dengan komponen keluarga lainnya benar-benar memiliki jaringan spiritualitas yang tinggi yakni adanya suasana kebatinan yang sinergis antara bapaksuami, ibuisteri, anak serta anggota keluarga lainnya termasuk pembantu, misalnya. Dengan demikian secara burhani, setiap keluarga haruslah dapat saling memenuhi tuntutan normativitas irfaniah di atas sesuai dengan kontekstualitas zaman yang mengitari sebuah keluarga tersebut. Aktualitas nilai-nilai demokrasi di tengah pergaulan keluarga kontemporer dewasa ini baisa diwujudkan, misalnya, melalui prinsip penegakan rule of law yang disepakati bersama. Sebagai contoh, sebuah keluarga bisa saling mematuhi jadwal jam belajar keluarga, jam menonton tayangan tv maupun pola pengaturan waktu “sistem pekerjaan kerumahtanggaan” khususnya pada hari minggu atau hari libur. Demikian pula tentang sosialisasi kesepakatan dalam mengisi hari libur maupun aktivitas keluarga lainnya. Selain penegakan rule of law, maka nilai musyawarah juga bisa sejak dini dieujudkan dalam sebuah keluarga. Sebagai contoh ideal, kita bisa belajar dari model keluarga nabi Ibrahim as. yakni ketika Ibrahim mendapat perintah – melalui mimpi – dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail as. Pelajaran demokrasi yang cukup menarik dapat kita ambil dari kisah Ibrahim itu adalah betapa nabi Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah, sekalipun itu berupa perintah metafisis dari Allah SWT. Terlebih dahulu nabi Ibrahim berdialog dari hati ke hati kepada anaknya Ismail as. Perintah Allah SWT mesti didialogkan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan, apalagi sekedar perintah dari manusia bisaa, mestinya harus lebih didialogkan secara lebih seksama secara terbuka, khususnya sesama antara keluarga. Dengan demikian, masing-masing anggota keluarga memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Bapaksuami sebagai kepala keluarga mempunyai hak untuk ditaati selama tidak bertentangan dengan ketaatannya kepada Allah SWT – sekaligus pula bapaksuami memiliki 73 tanggungjawab yang setimpal untuk melindungi mendampingi dan menafkahi segenap anggota keluarga. Demikian pula para ibuisteri memiliki hak untuk dilindungididampingi dan dinafkahi oleh bapaksuami tetapi juga sekaligus memiliki tanggungjawab untuk menjaga keutuhan rumahtangga terutama pada saat suami tidak ada di rumah khususnya bagi wanita yang tidak tergolong pada wanita karir. Selain itu, isteri – termasuk bapaksuami – juga memiliki tanggungjawab yang sama dalam mendidik anak sekaligus melindungi dan menyayangi anggota keluarga lainnya. Dengan adanya prinsip raule of law, masing-masing pihak bisa mendapatkan dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing secara lebih adil, transparan dan berkeadaban. Bila masing-masing anggota keluarga dapat memenuhi hak dan tanggungjawab masing-masing, maka akan berimplikasi positif bagi upaya pengembangan nilai-nilai di atas ke tengah-tengah kehidupan masyarakat luas. Hak dan Tanggungjawab dalam Masyarakat Setiap anggota masyarakat wajib menyadari bahwa demokrasi mensyaratkan adanya pemerintaan mandiri yang bertanggung-jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggungjawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat, manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warganegara, kesopanan, mengindahkan aturan main rule of law, berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar domokrasi berjalan sukses. Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika 1999; 23-25 dikemukakan beberapa karakter publik dan privat tersebut sebagai berikut: 1. Menjadi anggota masyarakat yang independent. Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggungjawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar, menerima tanggung-jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokratis. 74 2. Memenuhi tanggung-jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung-jawab ini meliputi memeliharamenjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk apula mengikuti informasi tentang isu- isu publik, voting, mebayar pajak, menjadi juru di pengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing. 3. Menghormati harkat dan martabat manusia tiap individu. Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersifat sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan “prinsip mayoritas” namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berpendapat. 4. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakter ini merupakan sadar informasi sebelum menentukan pilihan voting atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan mengolah tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu. 5. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bijaksana. Untuk dapat terwujudnya berbagai pemikiran di atas, maka sangat diperlukan adanya berbagai bentuk dukungan maupun perlindungan dari dan oleh anggota keluarga maupun masyarakat terhadap sesama. Maka berikut ini penting pula dicermati demi lebih terwujudnya nilai-nilai demokrasi di tengah kehidupan umat dan bangsa. 75 Bentuk-bentuk Dukungan dan Perlindungan dalam Keluarga Masalah demokrasi yang tidak kalah pentingnya di tengah-tengah kehidupan keluarga dalah masalah dukungan dan perlindungan dari dan terhadap komponen keluarga itu sendiri. Di tengah suasana transisi demokrasi di Indonesia dewasa ini, masalah dukungan dan perlindungan terhadap komunitas keluarga memang dapat menjadi ancaman yang cukup serius. Terkait dengan hal ini pula menjadi bahan renungan kita bersama, apakah suasana otoriterianisme keluarga, atau sebaliknya, otoriterianisme keluarga yang merupakan implikasi dari kekerasan yang dilakukan oleh negara? Terlepas dari pertanyaan di atas, secara alamiah, era transisi di mana pun cenderung menimbulkan ketegangan di masyarakat termasuk keluarga. Era transisi baisanya mendorong suatu masyarakat dan keluarga untuk mulai meninggalkan pola-pola kehidupan yang lama, sementara pegangan pola kehidupan yang baru, biasanya, belum terwujud secara konkrit. Suasana yang demikian selalu menimbulkan ketegangan psikologi dan spiritual yang sudah barang tentu berimplikasi pada wilayah kehidupan keluarga lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut, setiap keluarga hendaknya dapat berupaya menciptakan suasana kehidupan internal keluarga yang penuh dengan kenyamanan eksistensial maupun eksperimental. Setiap anggota keluarga dapat terus didorong untuk saling belajar dengan resiko trial and error. Karena untuk mendapatkan sebuah pengalaman berkeluarga secara baru di era transisi ini tidak bisa lepas dari proses trial and error dimaksud. Keinginan sebuah keluarga untuk menjadi keluarga sejati tidaklah dapat diwujudkan dalam bentuk sekali jadi. Bagaimana pun juga sangat membutuhkan berbagai pengayaan pengalaman dan proses waktu yang relatif lama. Bentuk-bentuk dukungan moral dan psikologis – terutama dari bapaksuami sebagai kepala keluarga – amatlah dibutuhkan. Berbagai bentuk pencederaan baik psikologis,verbalistik maupun fisik sedapat mungkin dihindari. Dalam proses belajar berdemokrasi dengan konsep trial and error menjadi dimungkinkan adanya peluang untuk “belajar salah” dalam rangka menuju pencapaian terwujudnya keluarga demokratis secara lebih bermakna. Bukanlah pengalaman merupakan guru yang paling berharga. Setiap anggota keluarga harus dididik untuk dapat saling belajar berdemokrasi. 76 Bentuk-bentuk Dukungan dan Perlindungan dalam Masyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat setiap warga saling menerima dan memberikan dukungan maupun perlindungan antar sesama. Secara normatif, Allah SWT menyatakan agar setiap komunitas sosial untuk saling tolong-menolong dalam masalah kebajikan dan ketaqwaan, sebaliknya dilarang untuk saling berpartisipasi dalam soal dosa dan permusuhan wata’aawanu ‘alal birri wattaqwa, wa laa ta’aawanu ‘alal itsmi wa ‘udwan. Doktrin normatif di atas mengandaikan pada kita maupun aspek perlindungan sosial lainnya haruslah berada pada landasan etika kebajikan dan ketaqwaan. Di luar itu tidak dibenarkan adanya bentuk-bentuk dukungan maupun perlindungan baik secara moral, politik, ekonomi maupun aspek sosial lainnya. Secara irfani dan filosofi maupun burhani empiris setiap upaya dukungan maupun perlindungan moral atau material yang bersifat negatif-destruktif ‘alal itsmi wal ‘udwan pada hakikatnya memiliki implikasi yang negatif pula pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Mungkin secara lahiriah dan jangka pendek bentuk-bentuk dukungan dan perlindungan destruktif dimaksud memiliki “keuntungan” praktis, namun bila ditelusuri secara lebih mendalam dan dalam perspektif jangka panjang justeru akan berdampak negatif pada kehidupan sosial keseluruhan. Sebagai contoh, bila upaya lokalisasi perjudian diberi dukungan bahkan legitimasi secara hukum dan perundang-undangan, secara jangka pendek dan berdasarkan pertimbangan pragmatis mungkin “menguntungkan”. Namun tidakan lokalisasi dimaksud pada hakikatnya hanya menguntungkan segelintir orang namun berdampak negatif bagi mayoritas warga lainnya. Dan secara filosofis maupun irfani spiritual, “keuntungan” dari suatu pekerjaan yang haram maka akibat jangka panjangnya juga akan merugikan, tidak hanya kerugian politik, sosial, budaya dan moral, tetapi juga ekonomis. Sekali lagi, setiap bentuk dukungan dan perlindungan yang sifatnya parsial dan negatif, pastilah akan menghasilkan sesuatu yang negatif pula. Maka demi terwujudnya kehidupan sosial yang demokratis dan bermoral maka setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban moral dan politik untuk memberi ruang yang seluas-luasnya bagi setiap upaya yang positif dan konstruktif serta berdimensi jangka panjang, sebaliknya setiap warga haruslah dilindungi dari setiap upaya yang negatif-destruktif walaupun secara jangka pendek kelihatannya upaya negatif tersebut “menguntungkan”. 77 Demi terjaminnya perlindungan sosial bagi setiap anggota masyarakat maka tugas para pemimpin – formal legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dan informal para cendekiawan, ulama, tokoh adatmasyarakat, tokoh pers – untuk selalu menjaga dan mengantisipasi berbagai kecenderungan negatif yang akan muncul di masyarakat. Setiap segmen kepemimpinan di atas memiliki kewajiban moral untuk melakukan empowering society sekaligus upaya pembebasan dari berbagai pengaruh yang dapat merusak akhlaq bangsa, sesuai dengan kapasitas dan fungsinya masing-masing, yakni dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi segenap anggota masyarakat, baik bersifat santunan moral, ilmu, sosial maupun santunan di bidang pemenuhan kebutuhan fisik-material lainnya terutama di saat bangsa dilanda berbagai bentuk krisis sekarang ini. Demi terpenuhinya berbagai bentuk dukungan dan perlindungan dimaksud maka uapaya pengembangan nilai-nilai akhlaq dalam keluarga dan masyarakat menjadi sangat signifikan. Pengembangan Nilai-nilai Akhlaq dalam Keluarga Di dalam buku Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah 2001: 16-18 dinyatakan bahwa keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan karenanya menjadi kewajiban bagi setiap warga muslim untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sejahtera sakinah, mawaddah wa rahmah. Setiap keluarga muslim disamping memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan nilai- nilai Islami, keluarga mualim juga berfungsi sebagai media kaderisasi kepemimpinan umat dan bangsa. Keluarga-keluarga muslim dituntut keteladanan uswah hasanah dalam mempraktekkan kehidupan Islami yakni tertanamnya kabaikan ihsani dan bergaul dengan ma’ruf Q.S. An- Nisa’4: 19,36,128 saling menyayangi dan mengasihi Q.S. Ar-rum30:21 menghormati hak hidup anak Q.S. Al-an’am6:151 saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara paripurna Q.s. Al-Ahzab33:59, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka Q.S. T-Tahrim66:6, membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan Q.S. Al-Thalaq65:6, berbuat adil dan ihsan Q.S. AL-Maidah5:8, memelihara persamaan hak kewajiban Q.S. Al-Baqarah2:28, dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu Q.S. Al-Isra’17:26. 78 Selanjutnya, di tengah arus media elektronik dan media cetak yang terbuka, keluarga- keluarga muslim kian dituntut perhatian dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak dan menciptakan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif dan terciptanya suasana pendidikan keluarga yang positi sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Keluarga mislim yang demokratis juga dituntut keteladanannya untuk menunjukkan penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan, para pembantu rumah tangga serta menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan maupun menelantarkan kehidupan terhadap anggota keluarga. Keluarga muslim juga perlu memiliki kepedulian sosial dan membangun hubungan sosial yang ihsan, ishlah, dan ma’ruf dengan tetangga sekitar maupun dalam kehidupan sosial yang lebih luas di masyarakat sehingga tercipta qaryah thayyibah dalam masyarakat setempat. Pelaksanaan shalat dalam kehidupan keluarga harus menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika perlu memberikan sanksi yang bersifat mendidik. Apabila kesemua ajaran di atas dapat dikembangkan secara edukatif dan apresiatif di tengah-tengah keluarga, secara jangka panjang akan terwujud keluarga-keluarga umat dan bangsa yang demokratis dan berakhlaq mulia dan tentunya akan memberikan kontribusi positif bagi masa depan demokratis di tanah air. Pengembangan Nilai-nilai Akhlaq dalam Masyarakat Mengenai upaya pengembangan nilai akhlaq, dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 2001: 18-19 disebutkan bahwa Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dalam hubungan ketetanggaan bahkan Islam memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai tetangga yang harus dipelihara hak-haknya. Pada level yang lebih luas, setiap anggota keluarga maupun warga masyarakat haruslah menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia Q.S. Al-Isra’17:70, memupuk rasa persaudaraan dan rasa kesatuan kemanusiaan Q.S. 79 Al-Hujarat49:13, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat shejahtera lahir danbatin Q.S. Al-Maidah5:2, memupuk jiwa toleransi Q.S. Fushilat41:34, menghormati kebebasab orang lain Q.S. Al-Baqarah2:256, menegakkan budi baik Q.S. Al-Qalam68:4, menegakkan amanat dan keadilan Q.S. An-Nisa4:57-58, perlakuan yang sama Q.S. Al- Baqarah2:194, menepati janji Q.S. Al-Isra’17:34, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan Q.S. Al-Hasyr59:9, menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang shalih dan utama Q.S. Ali Imran3:114, bertanggungjawab atas baik dan buruknya masyarakat dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar Q.S. Ali Imran3:104, 110, berusaha untuk menyati dan berguna bermanfaat bagi masyarakat Q.S. Al-Maidah5:2, memakmurkan masjid, menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama Q.S. Al-Hujarat49:11, tidak berprasangka buruk terhadap sesama Q.S. An-Nur24:4, peduli kepada orang miskin dan yatim Q.S. Al-Baqarah2:220, tidak mengambil hak orang lain Q.S. Al- Maidah 5:148, dan hubungan-hubungan sosial lainnya yang bersifat Islami. Nilai-nilai demokrasi di atas, secara berhani, haruslah diimplementasikan secara inklusif, tidak eksklusif berdasarkan pada fanatisme keagamaan atau golongan yang sektarian. Adapun bentuk kontritnya dapat saja disesuaikan dengan pola hidup, adat istiadat masing-masing komunitas masyarakat, sepanjang tidak mereduksi nilai-nilai demokrasi yang sifatnya universal. Secara substantif, nilai-nilai kebaikan di atas berlaku untuk semua orang, lintas, suku, status sosial bahkan lintas agama. Adapun yang terkait dengan masalah-masalah ritual keagamaan sudahbarang tentu lebih diimplementasikan secara eksklusif oleh masing-masing kelompok keagamaan dengan sikap saling menghormati kepercayaan masing-masing pemeluknya. Sedangkan dalam wilayah social interaksi antar umat berbeda agama bisa diwujudkan secara lebih terbuka dan universal. Demikianlah uraian ini dikemukakan semoga menjadi semacam guide line bagi para pecinta dan pejuang demokrasi di negeri ini.

4. Politik Islam di Indonesia: