68 5, sehingga hanya efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang tidak tahan asam, namun belum efektif untuk menghambat kapang dan khamir. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran
pH yang luas, yaitu pH 2-8.5, tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah Fardiaz, 1992. Kisaran
pH optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4-4.5. Nilai pH sampel dengan perlakuan asam cuka pasar selama
penyimpanan cenderung
mengalami penurunan
pada awal
penyimpanan, namun kemudian mengalami peningkatan nilai pH. Penurunan nilai pH diindikasikan dengan terdeteksinya bau asam yang
berasal dari komponen volatil seperti format, butirat, propionat, asetat Frazier dan Westhoff, 1988. Pengasaman atau souring merupakan
kerusakan pada kondisi aerob yang disebabkan pertumbuhan bakteri fakultatif dan anaerob yang tumbuh pada bagian dalam daging.
Pengasaman dapat berasal dari a aktivitas enzimatik dalam daging selama pelayuan, b produksi asam lemak atau asam laktat pada
kondisi anaerob akibat aktivitas bakteri, c proteolisis tanpa putrefaksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob dan seringkali
disebut ”stinking sour fermentation”. Kenaikan nilai pH dapat disebabkan oleh terjadinya hidrolisis
komponen nitrogen protein pada bakso oleh enzim mikroorganisme menjadi bentuk polipeptida, asam amino sebelum digunakan sebagai
makanan bernitrogen bagi jasad renik. Menurut Frazier dan Westhoff 1988, dekomposisi protein, polipeptida, asam amino pada kondisi
anaerob dapat menyebabkan terjadinya putrefaksi, yaitu dihasilkannya bau yang tidak enak yang berasal dari H
2
S, amonia, indol, skatol, ataupun asam-asam lemak.
b. Total Asam Tertitrasi Apriyantono et al. 1989
Total asam tertitrasi TAT adalah pengukuran konsentrasi total asam dalam bahan pangan atau disebut juga total asam. Pengukuran
nilai total asam ini dilakukan dengan cara mentitrasi kandungan asam
69 yang ada dalam bahan pangan dengan basa standar. Asam pada TAT
umumnya berupa asam-asam organik sitrat, malat, laktat, tartarat, dan asetat. Adanya asam organik berpengaruh terhadap citarasa misalnya
rasa pahit, warna, kestabilan terhadap mikroba, dan kualitas selama penyimpanan. Pengukuran TAT pada sampel bakso ini bertujuan untuk
melihat berapa banyak asam organik yang terdisosiasi sehingga berpengaruh terhadap kestabilan mikroba dalam produk bakso. Total
asam tertitrasi dihitung dari volume NaOH yang digunakan untuk menetralkan asam yang terdapat dalam sampel bakso. Nilai TAT bakso
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Total Asam Tertitrasi TAT bakso dengan
pengawetan metode
perebusan selama
4 hari
penyimpanan dalam suhu ruang. Hasil pengukuran nilai total asam tertitrasi bakso kontrol pada
penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 memiliki nilai TAT yang sama yaitu sebesar 2.50 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel dan terus mengalami
peningkatan pada hari 2, 3, dan 4 yaitu sebesar 5.00, 10.00, dan 11.25 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel. Sampel bakso dengan asam cuka pasar
0.5 pun memiliki kecenderungan yang sama dengan bakso kontrol yaitu memiliki nilai TAT yang sama pada penyimpanan hari ke-0 dan
hari ke-1, setelah itu terus mengalami peningkatan hingga penyimpanan hari ke-4. Nilai TAT sampel bakso dengan asam cuka
0,00 2,00
4,00 6,00
8,00 10,00
12,00 14,00
16,00
1 2
3 4
T A
T
m l
N a
O H
.1 N
1 m
l s a
m p
e l
Lama Penyimpanan Hari
As.Cuka Pasar 0 As.Cuka Pasar 0,5
As.Cuka Pasar 1 As.Cuka Pasar 1,5
As.Cuka Pasar 2 As.Cuka Pasar 2,5
70 pasar 0.5 pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 memiliki nilai
yang sama yaitu sebesar 5.00 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel, begitu pun dengan nilai TAT pada hari ke-2 dan hari ke-3 yaitu sebesar 6.25
ml NaOH 0.1 N100 ml sampel. Sedangkan nilai TAT sampel bakso dengan asam cuka pasar 0.5 pada penyimpanan hari ke-4 memiliki
nilai TAT sebesar 8.13 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel. Sampel bakso dengan asam cuka pasar 1.0 memiliki nilai TAT
sebesar 5.00 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel pada awal penyimpanan, kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-1 yaitu 6.88 ml NaOH
0.1 N100 ml sampel. Namun setelah itu, nilai TAT pada sampel tersebut cenderung stabil pada kisaran angka 7.50 ml NaOH 0.1 N100
ml sampel pada hari ke 2, 3, dan 4. Sampel bakso dengan asam cuka pasar 1.5 cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan
mulai dari hari 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu sebesar 5.63, 7.50, 7.50, 10.00, dan 12.50 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel. Sedangkan sampel bakso
dengan asam cuka pasar 2.0 memiliki nilai TAT yang sama pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 yaitu 10.00 ml NaOH 0.1 N100
ml sampel, kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-2 menjadi 12.50 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel dan nilai TAT tersebut
cenderung stabil hingga penyimpanan hari ke-4. Demikian pula sampel dengan asam cuka pasar 2.5 yang memiliki nilai TAT pada awal
penyimpanan sebesar 12.50 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel, kemudian mengalami peningkatan nilai TAT pada hari pertama dan nilainya
cenderung stabil hingga penyimpanan hari ke-4 yaitu sebesar 15.00 ml NaOH 0.1 N100 ml sampel. Berdasarkan hasil analisis ragam
Lampiran 11, perlakuan pengawet asam cuka pasar memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama penyimpanan dan nilai TAT
sampel bakso P0.05. Bakso kontrol memiliki nilai TAT yang semakin meningkat
dengan bertambahnya lama penyimpanan. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa bakso kontrol memiliki nilai TAT yang semakin meningkat
dengan bertambahnya lama penyimpanan. Hal ini bukan menandakan
71 semakin banyaknya asam yang berdifusi ke dalam bakso kontrol,
namun lebih dikarenakan oleh asam yang ditimbulkan oleh kerusakan mikrobiologis bakso sudah mulai tinggi sehingga berpengaruh pada
nilai TAT. Sedangkan nilai TAT yang tinggi pada bakso dengan asam cuka pasar 2.5 mengindikasikan banyaknya jumlah asam yang
berdifusi ke dalam bakso dari pengawet asam cuka pasar. Sampel bakso ini pun belum menunjukkan kerusakan mikrobiologis hingga
penyimpanan hari ke-4 sehingga kecil kemungkinannya jika asam yang terhitung dalam TAT merupakan akibat dari asam yang ditimbulkan
karena kerusakan mikrobiologis. Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada
tiga faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam menurunkan pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek
spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri Smulders, 1995. Aktivitas antimikrobial asam organik ditentukan
oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai undissociated, yang ditetapkan dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah
nilai dimana 50 total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Umumnya, bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka
banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikrobial juga akan
meningkat. Asam cuka pasar asam asetat merupakan kelompok asam
lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi
bakteri dapat dijelaskan sebagai berikut. Asam lemah dapat terurai seperti ini : R-
COOH → RCOO
-
+ H
+
. Asam yang terurai membuat ion H
+
yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H
+
dalam jumlah banyak, akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai R-COOH.
Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian
72 besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat
membuat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat
terurai menjadi RCOO
-
dan H
+
. Banyaknya ion H
+
yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat
menyebabkan sel mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu Garbutt, 1997.
Berdasarkan data yang disajikan di atas, dapat dilihat kecenderungan sampel yang memiliki nilai TAT tertinggi selama
penyimpanan yaitu sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 2.0 dan 2.5 . Dari Gambar 8 dan Gambar 9, dapat dilihat hubungan
antara nilai pH dan total asam tertitrasi. Secara umum, terlihat kecenderungan bahwa penurunan nilai pH diikuti dengan peningkatan
nilai total asam dan begitu pun sebaliknya. Namun, hal tersebut tidak selalu berlaku demikian seperti yang terjadi pada sampel dengan
perlakuan asam cuka pasar 1.5 . Menurut Jay et al., 2005, pada pengukuran derajat keasaman dengan menggunakan pH meter, nilai
yang terukur adalah konsentrasi ion H
+
dan menunjukkan jumlah asam yang terdisosiasi. Hal serupa disampaikan oleh Sadler dan Murphy
2003, yang menyatakan bahwa asam yang terukur oleh alat pH meter adalah konsentrasi ion H
+
yang terlepas atau terdisosiasi. Sehingga nilai ini tidak mewakili asam yang terdapat pada produk
sesungguhnya. Hal ini karena dalam suatu produk mungkin terdiri dari berbagai asam lemah yang tidak bisa terdisosiasi secara sempurna.
Oleh karena itu, Sadler dan Murphy 2003 menambahkan pengukuran asam tertitrasi merupakan cara memprediksi jumlah asam yang lebih
baik daripada menggunakan nilai pH terutama dalam kaitannya dengan flavor.
73
3. Analisis Fisik a.