Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso

(1)

1 SKRIPSI

PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO

Oleh: SRI SUGIHARTI

F 24104024

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: SRI SUGIHARTI

F 24104024

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: SRI SUGIHARTI

F 24104024

Dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1986 di Sumedang

Tanggal lulus : 9 Juni 2009 Menyetujui,

Bogor, Juli 2009

Dr. Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(4)

4 SRI SUGIHARTI. F24104024. Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso. Di bawah bimbingan : Joko Hermanianto. 2009

RINGKASAN

Bakso termasuk bahan pangan yang mudah rusak. Kandungan nutrien, nilai pH, serta kadar air yang tinggi pada daging menyebabkan produk bakso memiliki masa simpan yang relatif singkat. Pada umumnya umur simpan bakso hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari penyimpanan di suhu ruang. Di lain pihak, industri bakso umumnya mempunyai target masa simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari di pedagang menengah, dan 1 hari di pedagang keliling. Untuk memperpanjang umur simpan bakso, produsen sering menambahkan boraks dan formalin sebagai pengawet bakso. Kedua jenis pengawet ini merupakan bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan pada makanan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988 serta perubahannya dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/Per/X/1999. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bahan pengawet yang aman, murah, dan efektif. Indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah penggunaan asam organik mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari.

Pada penelitian ini digunakan beberapa asam organik yaitu asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar. Beberapa keunggulan dari asam organik adalah daya larutnya yang tinggi dan toksisitasnya yang rendah (Branen et al, 1990). Asam organik juga tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan tidak memiliki batasan maksimal dalam penggunaannya.

Metode pengawetan bakso dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode pencelupan dan metode perebusan. Dalam metode pencelupan, bakso yang telah matang dicelupkan ke dalam larutan asam organik selama 1 menit, sedangkan dalam metode perebusan, bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan asam organik selama 10 menit. Sampel kemudian dikeringanginkan, dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap uji total mikroba, uji total kapang-khamir, total asam tertitrasi, pH, warna, dan tekstur.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dapat diketahui bahwa asam asetat dan asam cuka pasar memberikan hasil sama baik. Metode pengawetan bakso dengan metode perebusan pada air rebusan kedua lebih efektif dibandingkan dengan metode pencelupan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian utama, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam cuka pasar yang efektif dalam memperpanjang umur simpan bakso ditinjau dari segi mikrobiologis (analisis total mikroba dan total kapang-khamir) adalah larutan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki jumlah total mikroba dan total kapang-khamir yang relatif rendah dan cenderung stabil selama empat hari penyimpanan. Bakso dengan asam cuka pasar 0.5 % hanya mampu memperpanjang umur simpan bakso selama satu hari sedangkan bakso dengan asam cuka pasar 1 % mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga tiga hari.


(5)

5 Nilai pH dan TAT bakso selama penyimpanan menunjukkan bahwa sampel bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki pH yang paling rendah dan TAT yang paling tinggi. Bakso kontrol dan bakso dengan perlakuan asam cuka pasar konsentrasi 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki tingkat kecerahan dengan kisaran nilai 51.23-52.43. Untuk pengukuran nilai kekerasan, sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar memiliki nilai kekerasan relatif sama selama penyimpanan empat hari yaitu berkisar antara 11.20-12.60 mm/10 detik. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa skor kesukaan tertinggi panelis terhadap parameter rasa, aroma, warna, tekstur dan penilaian umum mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut yaitu bakso kontrol, bakso dengan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %.

Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan, hasil uji organoleptik, dan pertimbangan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa pengawet asam cuka pasar 1.5 % memberikan hasil terbaik dalam mengawetkan bakso karena mampu mempertahankan umur simpan bakso hingga empat hari dengan biaya tambahan pengawet yang relatif rendah yaitu sebesar Rp. 227,14 , sehingga asam cuka pasar 1.5 % dapat direkomendasikan untuk mengawetkan bakso.


(6)

6 RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Maret 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan C. H. Yusuf dan Karlina. Bangku sekolah penulis dimulai dari TK Bhayangkari Sumedang, SD Negeri Sukasirna 2 Sumedang, SLTP Negeri 2 Sumedang, dan SMA Negeri 1 Sumedang. Penulis kemudian diterima menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004.

Selama menimba ilmu dibangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) BEM Fateta IPB periode 2005-2006, Sekretaris Kabinet BEM Fateta IPB periode 2006-2007, serta Sekretaris Kabinet BEM KM IPB periode 2007-2008. Penulis juga pernah menjadi staf Divisi Kajian Pangan dan Produk Halal (KAPPAL) Forum Bina Islami (FBI) Fateta periode 2005-2006 dan pengurus Food Processing Club HIMITEPA sebagai Koordinator Divisi Snackfood periode 2006-2007. Keaktifan penulis dalam mengikuti berbagai kegiatan organisasi menjadikan penulis sebagai salah satu penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE) pada tahun 2008.

Disamping kegiatan organisasi, penulis juga aktif mengikuti beberapa perlombaan, diantaranya Program Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) dan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Proposal PKM yang penulis ajukan berhasil didanai oleh DIKTI yaitu proposal PKM bidang Penelitian (PKMP) pada tahun 2006 dan proposal PKM bidang Pengembangan Masyarakat (PKMM) tahun 2007.

Penulis memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan KKN di Desa Purwasari pada tahun 2007. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.


(7)

7 KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso” sebagai bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalas amal pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Amin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah (C.H. Yusuf) dan Ibu (Karlina) yang demikian sabar dan perhatian sekali, selalu memberikan semangat, dukungan, dan dorongan yang positif demi kemajuan penulis, serta Kakak (Kartiwa) atas pengorbanan dan segala bantuannya. Terima kasih banyak atas semua kasih sayang dan support baik moril maupun materiil yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan, dan bantuan serta nasihat yang sangat berharga bagi kehidupan penulis kelak. Terima kasih banyak atas kesabaran dan pengertiannya selama membimbing penulis. Saya beruntung dan bersyukur sekali mendapatkan dosen pembimbing seperti Bapak yang mampu memahami kegiatan organisasi saya. Jazakallah Khoiron Katsiron.

3. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji serta memberikan waktu dan sarannya dalam perbaikan skripsi ini.

4. Sahabat-sahabat terbaik penulis di kelas ITP 41 : (1) Dyah Ayu Puspitasari yang telah membuat hidup ini lebih berwarna dengan segala keceriaan, canda tawa, serta sifat kekanakannya. (2) Shofia Kusuma Dewi, sahabat yang selalu


(8)

8 ada dan meluangkan waktu untuk mendengarkan segala hal. Terima kasih atas nasihat-nasihat yang telah diberikan. (3) Gema Buana Putra yang telah mengajari banyak hal di “Kampus Kehidupan”, terimakasih banyak atas semua cerita-cerita lucu dan konyol (pastinya sangat menghibur) serta sharing pengalamannya yang sangat luar biasa. Sungguh inspiratif.

5. Mellisa Putri, sahabat yang sangat mengerti kondisi penulis serta selalu setia menemani dan menjadi tempat berbagi cerita suka dan duka.

6. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Pengabdian 05-06 terutama anggota Departemen PSDM (Rina, Shohib, Achid, Firly, Dena, K’Ale, K’Lita) dan para pimpinan (K’Redy, K’Bubun, Gema, K’Nirwan, K’Lala, K’Maya, K’Oneth, K’Santo, K’Alliy, K’Isti, dan K’Iqro) yang telah membuat penulis menjadi begitu tertarik untuk terus berkontribusi dalam kelembagaan kampus. 7. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Totalitas Pengabdian 06-07 terutama

BPH dan para pimpinan (Gema, Eka Feb, Nona, Venty, Achid, Firly, Othiz, Cahyo, Fitrah, Irvan, Sofiyan, Nitta, Syelvia, Nova, Benk) yang selalu membuat penulis tertawa, senang, riang, gembira dan perasaan bahagia lainnya. Tiada hari tanpa tertawa bersama kalian di kabinet yang amat sangat ceria ini.

8. Keluarga Besar BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan 07-08 terutama BPH dan para pimpinan (Gema, Fahmi, Feri, Nidia, Ruri, Weni, Betty, Irvan, Dani, Afid, Rudi, Shohib, Wahyu, Eka Feb, Ike, Duta, Reza, Gadis, Yuyun, Mb ii, Vina, Eka Wulan,Yogi Waldingga). Rasanya waktu berlalu begitu cepat, terima kasih atas kerjasama, kekeluargaan, dan indahnya ukhuwah islami yang selama ini terjalin, semoga terus berlanjut. Sampai bertemu di medan juang lainnya.

9. Prof.Dr.Ir.Herry Suhardiyanto, M.Sc, Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono,M.S, Dr.Rimbawan, Bambang Riyanto, S.Pi.,M.Si., Bu Tuti, serta staf-staf di Ruang Ditmawa (Bu Ari, Bu Neni, Pak Parta, Adhit) yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

10.Dr.Ir.Sam Herodian, MS, Dr.Ir.Sugiyono,M.App.Sc, serta staf dekanat (Ibu Sri, Ibu Ratna), terima kasih banyak atas bantuannya selama penulis aktif di kelembagaan fakultas.


(9)

9 11.Rekan satu bimbingan Nene, Kopetz (ITP’41), K’Denang, Teddy (ITP’40), K’Ajeng (ITP’39), Nina, Tiyu, Nanda, Muji (ITP’42), Rosy, Amel (ITP’44) terima kasih banyak atas bantuan, dorongan, dan motivasinya untuk mengerjakan penelitian ini

12.Rekan lembur di Laboratorium Mikrobiologi Pangan (Tjan, Khrisia, Sisi, Olo, Ikhwan, Wiwi)

13.Teman-teman kostan di Wisma Shambala, Ambar, De Cici, MeQu, Fina, Sisi dan Dini, serta teman-teman kostan di Pondok Nuansa Sakinah Ophie, Ayi, Nanda, Putri, Lita, Aci, dan Uul.

14.Teman-teman ITP 41 yang telah mengiringi langkah penulis selama 4 tahun lebih dalam masa-masa perkuliahan yang tak terlupakan : Dilla, Ame, Taqi, Ode, Ecymon, Sioe Cen, Faried, Shinta, Tomi, Gina, Qia, Chabib, Nanang, Kak Ran, Sigit, Yunita, Ratih, Ade, Tika Oneng, Aris, Ofa, Risma, Ririn, Dikun, Novi, Hans Puke, Iqbal, Ary Binjay, Soun, Kani, UQ, Tuko, Ros, Yuke, Ety, Jamz dan semua ITPers 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

15.Kakak kelas di ITP, TIN, dan TEP angkatan 40 dan 39, serta adik kelas ITP, TIN, dan TEP angkatan 42, 43, dan 44.

16.K’adit, K’nur heri, K’nur alim, Hendro, Ilmyana, Retno, Zuni, Delfi, Choir, Betty, dan Obi atas kebersamaannya di Tim Desa Sukadamai.

17.Teknisi dan laboran : Pak Gatot, Mas Edi, Pak Sidik, Pak Sobirin, Pak Mul, Pak Yahya, Pak Rojak, Pak Wahid, Bu Rubiyah, Bu Antin, Mba Ida, Mba Darsih, atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan penelitian.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis


(10)

10 DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN ... 3

D. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. BAKSO DAGING SAPI ... 4

B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI ... 5

1. Bahan ... 5

2. Proses Pengolahan ... 9

C. KERUSAKAN BAKSO ... 10

D. PENGAWETAN BAKSO ... 12

E. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI ... 13

1. Asam Laktat ... 13

2. Asam Asetat ... 15

F. MEKANISME PENGAWETAN ASAM ORGANIK... 17

G. PENGEMASAN ... 19

III. METODE PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

1. Penelitian Pendahuluan ... 21

a. Tahap 1 ... 21

b. Tahap 2 ... 22

2. Penelitian Utama ... 23


(11)

11

b. Metode coating bakso pada larutan asam cuka pasar ... 23

c. Pengamatan ... 24

C. METODE ANALISIS... 24

1. Analisis Mikrobiologi ... 24

a. Total Mikroba ... 24

b. Total Kapang Khamir ... 25

2. Analisis Kimia... 25

a. Pengukuran pH ... 25

b. Total Asam Tertitrasi ... 26

3. Analisis Fisik ... 27

a. Warna ... 27

b. Kekerasan Objektif ... 28

4. Uji Organoleptik ... 28

5. Uji Statistik ... 29

6. Analisis Biaya ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 30

1. Tahap 1 ... 30

a. Pengukuran Nilai pH ... 30

b. Analisis Total Mikroba ... 32

c. Pengamatan Subyektif Selama Penyimpanan ... 35

2. Tahap 2 ... 38

B. PENELITIAN UTAMA ... 42

1. Analisis Mikrobiologi ... 43

a. Total Mikroba ... 43

b. Total Kapang Khamir ... 46

2. Analisis Kimia ... 48

a. Pengukuran pH ... 48

b. Total Asam Tertitrasi (TAT) ... 51

3. Analisis Fisik ... 56

a. Warna ... 56


(12)

12

4. Uji Organoleptik ... 62

a. Respon Panelis terhadap Rasa ... 62

b. Respon Panelis terhadap Aroma ... 64

c. Respon Panelis terhadap Tekstur ... 66

d. Respon Panelis terhadap Warna ... 68

e. Respon Panelis terhadap Overall ... 69

5. Analisis Biaya ... 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(13)

13 DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi ... 4

Tabel 2. Kriteria Mutu Sensori Bakso ... 5

Tabel 3. Sifat Fisik Asam Laktat ... 14

Tabel 4. Sifat Fisik Asam Asetat ... 16

Tabel 5. Skala Pengukuran Uji Hedonik ... 29

Tabel 6. Harga Bahan Pengawet yang Digunakan dalam Penelitian Utama ... 71


(14)

14 DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode pencelupan

selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang... 31 Gambar 2. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode

pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang ... 33 Gambar 3. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam laktat

dan asam asetat berdasarkan pengamatan visual ... 35 Gambar 4. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam

asetat, asam cuka pasar, dan asam laktat berdasarkan

pengamatan visual ... 40 Gambar 5. Kisaran jumlah kandungan mikroba dalam produk pangan

sebagai indikator kerusakan ... 41 Gambar 6. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode

perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang ... 44 Gambar 7. Jumlah kapang-khamir pada bakso dengan pengawetan

metode perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam

suhu ruang ... 47 Gambar 8. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode perebusan

selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang... 49 Gambar 9. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) bakso dengan

pengawetan metode perebusan selama 4 hari

penyimpanan dalam suhu ruang ... 52 Gambar 10. Nilai L bakso dengan pengawetan metode perebusan

selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang... 57 Gambar 11. Nilai a bakso dengan pengawetan metode perebusan

selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang... 58 Gambar 12. Nilai b bakso dengan pengawetan metode perebusan

selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang... 59 Gambar 13. Tingkat kekerasan bakso dengan pengawetan metode


(15)

15

Gambar 14. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso ... 63

Gambar 15. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso ... 65

Gambar 16. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ... 67

Gambar 17. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso ... 68


(16)

16 DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Diagram pembuatan bakso ... 80 Lampiran 2. Rekapitulasi data hasil pengukuran pH bakso pada

penelitian pendahuluan tahap 1 ... 81 Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil pengukuran jumlah total

mikroba (Total Plate Count) bakso pada penelitian

pendahuluan tahap 1 ... 82 Lampiran 4. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan

metode pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam

suhu ruang ... 83 Lampiran 5. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan

metode perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam

suhu ruang ... 85 Lampiran 6. Rekapitulasi data hasil pengukuran total mikroba (Total

Plate Count) bakso pada penelitian utama ... 87 Lampiran 7. Rekapitulasi data hasil pengukuran total kapang dan

khamir bakso pada penelitian utama ... 88 Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil pengukuran nilai pH bakso pada

penelitian utama ... 89 Lampiran 9. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

nilai pH bakso pada penelitian utama ... 90 Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil pengukuran TAT bakso pada

penelitian utama ... 91 Lampiran 11. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

nilai TAT bakso pada penelitian utama ... 92 Lampiran 12. Rekapitulasi data hasil pengukuran warna bakso secara

objektif pada penelitian utama ... 93 Lampiran 13. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan


(17)

17 Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

nilai a bakso pada penelitian utama ... 95 Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

nilai b bakso pada penelitian utama ... 96 Lampiran 16. Rekapitulasi data hasil pengukuran kekerasan bakso

secara objektif pada penelitian utama ... 97 Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

nilai kekerasan bakso pada penelitian utama ... 98 Lampiran 18. Rekapitulasi data hasil pengukuran uji organoleptik

bakso pada penelitian utama... 99 Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

skor kesukaan rasa bakso pada penelitian utama ... 100 Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

skor kesukaan aroma bakso pada penelitian utama ... 101 Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

skor kesukaan tekstur bakso pada penelitian utama ... 102 Lampiran 22. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

skor kesukaan warna bakso pada penelitian utama ... 103 Lampiran 23. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

skor kesukaan penilaian umum (0verall) bakso pada

penelitian utama ... 104 Lampiran 24. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet

per satu kilogram bakso ... 105 Lampiran 25. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet


(18)

18 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bakso merupakan produk makanan yang sangat dikenal luas oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau dan jenisnya yang sangat bervariasi. Bakso bisa dibuat dari daging sapi, daging ayam, daging kerbau, daging kelinci, atau daging ternak darat lain (Wibowo, 2006). Dari beberapa jenis bakso yang beredar di pasaran, bakso sapi merupakan jenis paling populer.

Bakso biasanya tidak dapat disimpan lama karena terjadinya kerusakan atau pembusukan yang disebabkan oleh mikroba. Kandungan gizi, nilai pH, serta kadar air yang tinggi pada daging menyebabkan produk bakso memiliki masa simpan yang relatif singkat sehingga terdapat kecenderungan produsen bakso untuk membatasi jumlah produksinya. Pada umumnya umur simpan bakso hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari selama penyimpanan di suhu ruang. Di lain pihak, industri bakso umumnya mempunyai target masa simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari di pedagang menengah, dan 1 hari di pedagang keliling.

Banyak cara yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan bahan makanan salah satunya adalah dengan penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet ini memegang peranan penting dalam melindungi dan memanipulasi sifat fisik dan organoleptik bahan pangan. Jenis bahan pengawet yang sering digunakan oleh produsen bakso untuk memperpanjang daya awet produknya adalah boraks dan formalin karena harganya yang relatif murah dan memiliki daya awet yang tinggi.

Boraks dan formalin memiliki kemampuan yang sangat baik dalam mengawetkan makanan. Bakso yang mengandung formalin tidak rusak hingga mencapai lima hari disimpan dalam suhu ruang (Saparinto dan Hidayati, 2006). Namun, walau daya awetnya sangat luar biasa, boraks dan formalin dilarang digunakan pada makanan. Di Indonesia, beberapa peraturan yang melarang penggunaan boraks dan formalin sebagai pengawet makanan adalah


(19)

19 Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/Per/X/1999, UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia.

Boraks atau dipasaran lebih dikenal dengan nama pijer, biasanya ditambahkan pada proses pengolahan makanan untuk meningkatkan kekenyalan, serta memberikan rasa gurih dan kepadatan terutama pada jenis makanan yang mengandung pati (Saparinto dan Hidayati, 2006). Bila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi boraks yang sedikit tersebut diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Pada dosis yang cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah- muntah, mencret dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosisnya mencapai 5 gram atau lebih akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu, 1994).

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36-40 %. Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala sebagai berikut : sukar menelan, mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan syaraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian (Winarno dan Rahayu, 1994).

Penggunaan boraks dan formalin ini sangat merugikan kesehatan sehingga perlu diupayakan penggunaan bahan pengawet lain yang dapat memperpanjang masa simpan bakso, tidak mengubah mutu bakso, murah, serta aman bagi kesehatan sehingga bisa diterapkan di industri kecil maupun menengah. Bahan pengawet yang saat ini banyak digunakan adalah bahan pengawet dari asam organik. Beberapa keunggulan dari asam organik adalah daya larutnya yang tinggi dan toksisitasnya yang rendah (Branen et al., 1990).


(20)

20 Asam organik juga tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan tidak memiliki batasan maksimal dalam penggunaannya.

Adanya beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh asam organik sebagai bahan pengawet dalam beberapa produk pangan, dapat dimanfaatkan dan diteliti lebih lanjut. Pada penelitian ini digunakan beberapa asam organik yaitu asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mencari bahan pengawet yang aman, murah, dan efektif untuk bakso sehingga tahan disimpan dalam suhu ruang selama empat hari dengan karakteristik organoleptik yang disukai oleh konsumen.

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN

Penggunaan asam organik mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari.

D. MANFAAT

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam industri sehingga bermanfaat bagi masyarakat terutama produsen pangan yang terkait.


(21)

21 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BAKSO DAGING SAPI

Menurut SNI 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan. Syarat mutu bakso daging sapi yang aman dikonsumsi berdasarkan SNI 01-3818-1995 tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu objektif dari bakso daging sapi

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Air % b/b Maks 70.0

2 Abu % b/b Maks 3.0

3 Protein % b/b Min 9.0

4 Lemak % b/b Maks 2.0

5 Boraks - Tidak boleh ada

6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks 1.0 x 105 6.2 Escherichia coli APM/g < 3

6.3 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1.0 x 102

Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat atau jaringan ikat dengan penambahan tepung lebih sedikit dari berat daging yang digunakan, sehingga diperoleh permukaan bakso yang halus, ukuran partikel daging kecil dan distribusi yang merata. Bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung urat atau jaringan ikat dengan penambahan tepung lebih sedikit dari berat daging yang digunakan dan bakso yang dihasilkan mempunyai permukaan kasar dengan ukuran partikel lebih besar dan distribusi tidak merata. Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang digunakan, dan bakso yang dihasilkan memiliki permukaan yang halus, ukuran partikel daging kecil dan distribusinya merata.

Menurut Wibowo (2006), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Paling tidak,


(22)

22 ada lima parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Kriteria mutu sensori bakso dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Mutu Sensori Bakso

Parameter Bakso daging

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak berlendir

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau cokelat muda hingga cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur)

Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh

B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI 1. BAHAN

Bahan-bahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso yaitu daging segar, tepung tapioka, bumbu-bumbu, es atau air es, dan bahan pengawet.

a. Daging

Hampir semua bagian daging dari karkas sapi dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan bakso daging. Untuk membuat bakso daging digunakan daging sapi yang benar-benar masih segar. Semakin segar daging semakin bagus mutu bakso yang dihasilkan (Sunarlim, 1992). Hal ini karena daging segar atau daging pre rigor


(23)

23 mengandung protein aktin dan miosin yang ditemukan dalam bentuk bebas, sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak karena belum terjadi ikatan aktomiosin. Menurut Wibowo (2006), jika mungkin, daging yang digunakan untuk pembuatan bakso digunakan daging dari hewan yang baru dipotong, tanpa dilayukan lebih dulu. Akan tetapi, jika karena sesuatu hal tidak memungkinkan untuk mendapatkan daging dari hewan yang baru dipotong, atau daging terpaksa disimpan dulu, sebaiknya daging disimpan dingin pada suhu 15oC atau 20oC atau dibekukan pada suhu -5oC. Daging yang disimpan pada suhu 15oC selama 24 jam masih bagus untuk bakso. Demikian pula untuk daging yang disimpan pada suhu -5oC selama 4 hari.

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging pre rigor memiliki nilai water holding capacity (WHC) yang tinggi yang penting dalam pembuatan produk emulsi daging. Daging pre rigor memiliki WHC tinggi serta memiliki pH jauh di atas titik isoelektrik, sehingga protein akan mengikat air lebih banyak dan akibatnya permukaan daging menjadi kelihatan kering.

b. Bahan Pengisi

Pada produk emulsi daging biasanya ditambahkan bahan pengisi dan bahan pengikat. Perbedaan antara bahan pengisi dan bahan pengikat terdapat pada kemampuannya dalam mengemulsi lemak. Bahan pengikat memiliki kandungan protein yang tinggi, sedangkan pada bahan pengisi kandungan tertingginya yaitu karbohidrat, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengikat memiliki kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air tetapi tidak mengemulsikan lemak. Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung berprotein tinggi seperti tepung kedelai dan susu skim. Di Indonesia, penggunaan bahan pengikat dalam bakso tidaklah umum. Bahan pengikat ini biasa digunakan pada pembuatan sosis.


(24)

24 Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasanya ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Kramlich (1971), tujuan penambahan bahan pengisi antara lain : mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan cita rasa dan mengurangi biaya produksi. Pati merupakan bahan pengisi yang umum dipakai dalam pembuatan bakso. Jenis pati yang digunakan dapat berpengaruh pada tekstur bakso yang dihasilkan. Pati yang umum digunakan diantaranya tapioka dan pati sagu. Menurut Wibowo (2006), untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15 % dari berat daging. Bakso yang menggunakan tepung 30-40 % dari berat daging akan menghasilkan rasa dan mutu bakso yang kurang bagus. Sedangkan menurut Winarno (1997), bakso yang bermutu baik mempunyai kadar pati rendah yaitu sekitar 15 %, semakin tinggi kandungan pati maka mutu bakso akan rendah. Berdasarkan SNI 01-3818-1995 tentang Bakso Daging, bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso maksimum 50 %.

c. Garam dan bumbu-bumbu

Garam dapur (NaCl) yang ditambahkan dalam pembuatan bakso selain berfungsi sebagai penyedap rasa juga berfungsi sebagai pelarut protein yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging. Garam juga berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air protein daging. Menurut Wibowo (2006), garam dapur yang ditambahkan ke dalam adonan daging seberat 2.5 % dari berat daging. Sunarlim (1992) pun menyatakan bahwa penambahan garam sebaiknya tidak lebih dari 4 % dan tidak kurang dari 2 %. Kadar garam yang tinggi dapat mempengaruhi rasa produk menjadi terlalu asin sedangkan konsentrasi garam yang rendah menyebabkan rendahnya protein terlarut.

Bumbu yang biasa ditambahkan ke dalam adonan bakso untuk meningkatkan cita rasa yaitu monosodium glutamat (MSG).


(25)

25 Penambahan MSG biasanya sekitar 0.25 % dari berat daging. Menurut Wibowo (2006), sebaiknya jangan menggunakan penyedap masakan MSG karena penggunaan penyedap ini masih diperdebatkan dan dicurigai menjadi penyebab timbulnya kanker. Bumbu penyedap yang ditambahkan cukup dibuat dari campuran bawang putih dan merica dengan bobot sekitar 2 % dari berat daging.

d. Es atau air es

Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Di dalam adonan bakso, air berfungsi untuk melarutkan garam dan mendispersikannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dan membantu pembentukan emulsi. Wibowo (2006) menyatakan bahwa penggunaan es atau air es ini, sebaiknya es batu, sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penambahan es juga meningkatkan rendemennya.

Jumlah penambahan air berkisar 20-50 % dari berat daging, tergantung pada jumlah tepung. Semakin banyak jumlah tepung, maka semakin banyak jumlah air yang harus ditambahkan untuk menghasilkan tekstur adonan yang sama. Menurut Wibowo (2006), jumlah es yang dapat digunakan sebanyak 10-15 % dari berat daging, atau bahkan 30 % dari berat daging.

e. Sodium Tri Polifosfat (STPP)

STPP atau disebut juga natrium tripolifosfat mempunyai fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi, dan kemampuan emulsi (Ockerman, 1983). Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya ikat air (DIA) akan semakin rendah.


(26)

26 Penambahan STPP akan meningkatkan pH sehingga akan diperoleh DIA yang tinggi. Ockerman (1983) selanjutnya menambahkan bahwa STPP juga berfungsi untuk menurunkan susut masak karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan. Fosfat dan garam NaCl mempunyai sifat sinergisme sehingga meningkatkan DIA, meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, menstabilkan warna dan keseragaman, menghambat ketengikan karena fosfat mempunyai sifat sebagai antioksidan, dan meningkatkan mutu produk daging. Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) yang disebabkan karena STPP memiliki rasa yang agak pahit pada konsentrasi tertentu, sehingga penggunaannya pada umumnya sekitar 0.3-0.5 %.

f. Bahan lainnya

Bahan lainnya yang sering digunakan adalah bahan pemutih (Titanium dioksida-TiO2) dan tawas. Penambahan TiO2 dalam bakso diperkirakan antara 0.25-0.5 % dari berat adonan, fungsinya untuk mencegah warna bakso menjadi gelap. Tawas (Al2(SO4)3) dicampurkan ke dalam air yang digunakan untuk merebus bakso bertujuan untuk mengeraskan permukaan bakso dan memberi warna yang cerah. Jumlah penggunaannya sekitar 1-2 gram per liter.

2. PROSES PENGOLAHAN BAKSO

Prinsip pembuatan bakso adalah penghancuran daging dan pencampuran dengan bahan-bahan tambahan membentuk adonan daging yang lalu dicetak dan dimasak. Tujuan penghancuran daging adalah untuk memecah serabut daging, sehingga protein larut garam lebih mudah terekstrak. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat. Alat yang biasa digunakan antara lain pisau, alat pencincang (chopper) atau penggiling (grinder).

Pembentukan adonan dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian dihancurkan sehingga membentuk adonan. Untuk hasil


(27)

27 terbaik, penambahan NCl dan fosfat dilakukan di awal penghancuran daging, sementara bumbu ditambahkan di akhir. Tujuannya untuk mengoptimalkan jumlah protein miofibril yang terekstrak dan mengembang sehingga daya ikat air dan daya emulsi optimal.

Pemasakan dilakukan dalam dua tahap, agar bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Pada tahap pertama, bakso dipanaskan dalam air hangat (suhu sekitar 60-80oC) sampai bakso mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada pemasakan selanjutnya, bakso direbus sampai matang di dalam air mendidih, biasanya sekitar 10 menit.

C. KERUSAKAN BAKSO

Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki kandungan nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi. Menurut Fardiaz (1992) daging termasuk makanan yang mudah rusak, karena mempunyai nilai aw dan pH yang relatif tinggi. Bahan pangan yang memiliki nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba, sehingga bakso umumnya memiliki masa simpan yang singkat. Produk-produk olahan daging dinyatakan relatif awet jika mempunyai pH di bawah 5.0 atau aw di bawah 9.1.

Menurut Buckle et al., (2007), pembusukan bahan pangan adalah setiap perubahan sifat-sifat kimia, fisik, maupun organoleptik dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah diolah, yang mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen. Penyebab utama proses pembusukan pada bahan pangan adalah mikroorganisme dan berbagai perubahan enzimatis maupun nonenzimatis yang terjadi setelah panen atau penyembelihan.

Bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme antara lain berjamur, pembusukan (rots), berlendir, perubahan warna, kerusakan fermentatif, serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan bakso antara lain timbulnya bau masam hingga busuk, permukaan bakso


(28)

28 berlendir dan ditumbuhi miselium kapang, warna dan penampakan menjadi tidak cerah.

Menurut Buckle et al., (2007), pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah seperti daging dapat menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lendir. Pada umumnya mikroba pembentuk lendir termasuk genus Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus, dan beberapa spesies Lactobacillus (Frazier dan Westhoff, 1988). Frazier dan Westhoff (1988) selanjutnya menambahkan bahwa adanya bau yang tidak enak merupakan hasil pertumbuhan bakteri pada permukaan yang merupakan tanda awal sebelum terjadinya kebusukan. Pengasaman dapat berasal dari komponen asam-asam volatil seperti format, asetat, butirat atau propionat. Kandungan mikroba pada saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106 -108.

Menurut Frazier dan Westhoff (1988), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria.

Salah satu indikator kerusakan bakso adalah tumbuhnya miselium kapang dipermukaan bakso dan pertumbuhan khamir. Miselium kapang yang tumbuh bisa berupa spot berwarna putih dan hijau. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), Sporotrichum carnis dan Geotrichum merupakan kapang yang paling umum ditemui sebagai penyebab timbulnya spot putih. Sedangkan spot berwarna hijau disebabkan oleh Penicillium seperti P. expansum, P. asperulum, dan P. oxalicum. Frazier dan Westhoff (1988) selanjutnya menjelaskan bahwa pada kondisi aerob khamir dapat tumbuh pada permukaan daging menyebabkan terbentuknya lendir, lipolisis, off odor, perubahan warna. Sedangkan kapang dapat menyebabkan stickiness, noda hitam, dekomposisi lemak, off odor, serta perubahan cita rasa. Jenis kapang dan khamir yang biasa


(29)

29 tumbuh pada olahan daging adalah Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Thamnidium, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, Trichosporon, dan Candida.

D. PENGAWETAN BAKSO

Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan adalah dengan menambahkan bahan pengawet. Buckle et al. (2007) mendefinisikan bahan pengawet sebagai salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan-bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan, atau penyimpanan.

Kemampuan suatu zat pengawet untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi zat pengawet, sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, jumlah, masa, dan keadaan mikroba, sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya, suhu lingkungan serta waktu penyimpanan (Fardiaz, 1992).

Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Zat pengawet organik lebih mudah dibuat, oleh karena itu zat tersebut lebih banyak digunakan pada produk dibandingkan zat pengawet anorganik. Zat kimia organik yang sering digunakan sebagai bahan pengawet adalah asam sorbat dan garamnya, asam propionat dan garamnya, asam benzoat dan garamnya beserta turunanya, asam asetat, dan peroksida (Winarno, 1992).

Penelitian yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bakso telah banyak dilakukan. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso yang dibuat dengan penambahan 0.3 % Sodium Tripolyphosphat (STPP) dan 0.2 % natrium propionat pada jam ke-24 dalam suhu kamar telah mengandung sekitar 5.8 x 106 koloni mikroba/gram, sedangkan dari hasil penelitian Aulia (1998) menunjukkan bahwa pembuatan bakso dengan penambahan bahan pengawet benzoat sebesar 0.1 % pada hari ke-1 telah mengandung 1.3 x 107 koloni mikroba/gram dengan penyimpanan di suhu kamar.


(30)

30 Penggunaan bahan pengawet nitrit 100 ppm, kombinasi 0.1 % benzoat dan 0.1 % nitrit serta 0.1 % paraben dan 0.1 % nitrit pada penyimpanan hari ke-1 telah mengandung 106-107 koloni mikroba/gram, sedangkan penggunaan kombinasi 0.1 % paraben dan 450 ppm metabisulfit pada penyimpanan hari ke-2 telah mengandung 6.9 x 107 koloni mikroba/gram. Jumlah total mikroba tersebut telah melampaui batas yang diizinkan, karena menurut SNI 01-3818-1995 jumlah total mikroba maksimal yang diperbolehkan terdapat dalam bakso adalah 1.0 x 105 koloni/gram (Yovita, 2000).

Menurut hasil penelitian Wicaksono (2007), jumlah total bakteri pada sampel bakso yang diberi berbagai macam perlakuan pengawet telah melampaui batas SNI 01-3818-1995 pada penyimpanan hari ke-2. Jumlah total bakteri pada sampel dengan perlakuan FTO (8.04 log cfu/g), COG (7.44 log cfu/g), sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g, serta sampel yang dicoating dengan kitosan 5.77 log cfu/g.

Hadi (2008) melakukan penelitian untuk memperpanjang masa simpan bakso dengan metode penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih ke dalam adonan bakso serta perlakuan edible coating larutan kitosan dan ekstrak bawang putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kitosan 1% dengan ekstrak bawang putih 2% pada adonan bakso mampu mempertahankan umur simpan selama 12 jam. Sedangkan bakso dengan perlakuan edible coating mencapai umur simpan selama 24 jam.

E. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI 1. ASAM LAKTAT

Asam laktat merupakan asam yang luas sekali penggunaannya, terdapat secara alami, serta umum digunakan dalam pengolahan pangan. Asam laktat umum digunakan untuk mengontrol pH dan juga sebagai flavoring. Menurut Davidson dan Juneja (1990), pada konsentrasi 6-8 μM dapat menghambat bakteri pembentuk spora pada pH 5.0 tetapi efektivitasnya rendah pada khamir dan kapang. Kapasitas penghambatan


(31)

31 bakteri oleh asam ini terletak pada kemampuannya menurunkan pH sampai ke tingkat dimana bakteri tidak dapat tumbuh.

Penggunaan asam laktat sebagai pengasam pada berbagai macam makanan dan minuman dapat memberikan hasil yang baik. Hal ini disebabkan oleh rasa asam laktat yang relatif tidak masam dibanding asam organik lainnya. Selain itu aroma asam laktat sangat diterima karena aromanya tidak tajam serta tidak mempengaruhi komponen aroma lainnya. Tidak seperti asam organik lainnya, larutan asam laktat sangat kental dan tidak bersifat volatil. Asam laktat juga dapat mencegah kebusukan dan bentuknya sebagai larutan membuat asam laktat mudah digunakan. Tabel 3 memperlihatkan sifat-sifat fisik asam laktat. Asam laktat sangat larut air tapi tidak larut dalam pelarut organik.

Tabel 3. Sifat fisik Asam Laktat Sifat Fisik

Rumus Kimia CH3CHOHCOOH

BM 90.08 g/mol

Aspek fisik Kental, tidak berwarna, non volatil Titik leleh 16.8oC

Bentuk umum 88 % dan 50 % larutan Kelarutan Sangat larut

Kalor jenis, 20oC 0.505 kal/goC

Densitas 10.0 lbs/gal (88%), 9.4 lbs/gal (50%) Aroma Terdapat dalam bentuk asam lemah

Rasa Asam

Sumber : (Furia, 1972)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyemprotan asam laktat terhadap karkas daging dapat membatasi pertumbuhan mikroba secara efektif dengan beberapa perlakuan penyimpanan. Menurut Doores (2005), asam laktat dengan konsentrasi 1-1.25 % yang disemprotkan terhadap karkas sapi muda diikuti dengan pengemasasn vakum dapat menurunkan jumlah mikroba setelah penyimpanan selama 14 hari pada 2oC. Metode lain dari pengawetan dengan asam laktat adalah dengan pencelupan. Jumlah mikroba dari kulit unggas yang telah dicelupkan selama 15 detik pada 19oC dalam 2 % pada pH 2.2 turun dari 5.2 menjadi 3.7 log CFU/g (van der Marel et al., 1988 dalam Doores, 2005).


(32)

32 Percobaan Zeitoun dan Debevere (1990) menunjukkan bahwa penyemprotan asam dengan buffer 10 % asam laktat dan natrium laktat (pH 3.0) terhadap kaki ayam meningkatkan umur simpannya dari 6 menjadi 12 hari pada 6oC, sedangkan perendaman dengan asam lakat 2 % pada pH 2.3 dapat memperpanjang umur simpan kaki ayam tersebut hingga 8 hari. Perlakuan-perlakuan tersebut dapat menghambat bakteri yang memproduksi hidrogen sulfida seperti Pseudomonas spp., yang berkontribusi terhadap kebusukan makanan. Perlakuan di atas juga tidak mempengaruhi kualitas sensori dari sampel. Namun, konsentrasi asam laktat yang lebih tinggi dan perlakuan yang berulang tidak selalu menjamin dekontaminasi yang lebih baik.

Aspek legalitas dari penggunaan asam laktat pada berbagai tujuan penggunaan telah disetujui oleh U.S. FDA dengan nomor peraturan 21 CFR 184.1061 dengan tanpa pembatasan konsentrasi yang digunakan (Doores, 2005). Sedangkan USDA melalui nomor peraturan 9 CFR 318.7 memperbolehkan penggunaan asam laktat pada produk daging dengan konsentrasi yang paling rendah yang perlu dilakukan untuk tujuan tertentu (Doores, 2005).

2. ASAM ASETAT

Asam-asam organik dikenal akan kemampuannya sebagai bakterisidal dan bakteriostatik. Kemampuan antimikrobanya tergantung kepada tiga faktor antara lain efek dari pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders, 1995). Doyle (1989) juga menyebutkan bahwa kemampuan antimikroba dari asam asetat bergantung pada waktu kontak, temperatur, konsentrasi, derajat disosiasi, dan atau pH.

Menurut Mourtney dan O’Malley, yang dikutip oleh Smulders (1995), telah dibandingkan sebelas jenis asam dalam kemampuannya untuk mendekontaminasi daging, dan walaupun semua asam mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, yang lebih


(33)

33 direkomendasikan adalah asam asetat, asam adipat, dan asam suksinat sebagai asam yang paling efektif dalam memperpanjang umur simpan.

Chung dan Geopert (1970) telah menguji 13 asam sebagai inhibitor terhadap Salmonella dan merekomendasikan asam asetat dan asam propionat sebagai yang paling efektif menghambat pertumbuhan Salmonella. Hal yang sama juga dilakukan oleh Carpenter (1973) yang menguji efek inhibitor terhadap Salmonella enteritidis. Dari semua komponen yang diujikan, asam asetat pada pH 2 adalah asam yang paling tepat dipilih untuk mengurangi Salmonella.

Menurut van Velthuijsen (1986) yang dikutip Handoko (1989), di antara asam-asam organik yang umum terdapat pada bahan pangan, asam asetat merupakan asam yang memiliki efek terkuat sebagai pengawet. Secara umum, penggunaan konsentrasi asam (1-3%) merupakan cara yang paling efektif dalam menghambat bakteri-bakteri patogen seperti Campylobacter jejuni, Yersinia enterolitica, dan efektif pula dalam menghambat Salmonella (Smulders, 1995). Sifat-sifat fisik asam asetat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat fisik asam asetat

Sifat Fisik

Rumus Kimia CH3COOH

Berat Molekul 60.03

Aspek Fisik Cairan tidak berwarna

Titik Didih 119oC

Titik Beku 16.6oC

Konstanta Ionisasi 1.75 x 10-5

Bau Menyengat

Rasa Asam

Kelarutan Larut dalam air, alkohol, gliserin Commercial grades Larutan aqueous 99.5 % dan 36 % Densitas larutan 99.5 % 1045 g/l

Densitas larutan 36 % 376 g/l pH larutan 1 % 2.78 Sumber : Furia (1972)


(34)

34 F. MEKANISME PENGAWETAN ASAM ORGANIK

Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada tiga faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam menurunkan pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders, 1995). Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas daya kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan, dan tingkat toksisitasnya.

Menurut Branen (1983) yang dikutip oleh Davidson dan Juneja (1990), ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih bahan antimikrobial untuk makanan. Pertama, spektrum antimikrobial dari komponen yang digunakan harus diketahui. Kedua, sifat kimia dan fisik antimikrobial dan produk makanan harus diketahui. Ketiga, kondisi penyimpanan produk dan interaksi dengan proses yang lainnya harus dievaluasi. Keempat, keamanan dan legalitas dari komponen yang dipilih harus diketahui.

Banyak sekali bahan pengawet yang secara tradisional atau ditemukan melalui penelitian-penelitian, telah banyak digunakan. Akan tetapi, sebagian besar belum diketahui benar mekanisme kerjanya. Namun, menurut Furia (1972), mekanisme kerja bahan pengawet adalah sebagai berikut : (1) mengganggu sel mikroba, (2) mengganggu mekanisme genetik mikroba, dan (3) mengganggu aktivitas enzim intraseluler.

Menurut Furia (1972), mekanisme kerja asam-asam organik sebagai pengawet berdasarkan pada permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam yang tidak terdiosiasi. Asam asetat banyak digunakan pada makanan dalam bentuk vinegar yang mengandung asam 4% atau lebih. Pada pH 5 atau lebih rendah, asam asetat menghambat kebanyakan bakteri termasuk bakteri patogenik seperti Salmonella dan Staphylococcus. Pada pH yang lebih rendah lagi dapat menghambat pertumbuhan kapang dan khamir. Aktivitas antibakterinya berhubungan dengan molekul asam yang tidak terdisosiasi yang berpenetrasi ke dalam membran sel (Furia, 1972).


(35)

35 Gangguan terhadap membran dan dinding sel akan mempengaruhi permeabilitas kadar nutrien sel dan kandungan seluler. Bahan antimikroba yang efektif tidak perlu masuk ke dalam sel, reaksi pada dinding sel saja sudah cukup untuk mengganggu permeabilitas sel, sehingga pengangkutan nutrien ke dalam sel terganggu yang menyebabkan sel kekurangan komponen-komponen seluler. Efektivitas antimikroba tergantung pada macam pengawet, konsentrasi, macam organisme, dan suhu (Furia, 1972).

Aktivitas antimikrobial asam organik ditentukan oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Bahan makanan yang memiliki pH rendah, banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikrobial juga akan meningkat. Nilai pKa adalah nilai dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai.

Asam organik yang memiliki pKa lebih tinggi maka banyaknya molekul yang tidak terdisosiasi dalam larutan lebih banyak, sehingga pH larutan menjadi asam. Oleh karena itu, proton yang jumlahnya lebih banyak akan masuk ke dalam sitoplasma sel mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya penurunan pH dan denaturasi di dalam sel, proton-proton yang berada di dalam sel berusaha dikeluarkan oleh sel mikroorganisme. Pertumbuhan sel mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel. (Eklund, 1989; Fardiaz, 1992).

Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut :

Asam lemah dapat terurai seperti ini : R-COOH → RCOO- + H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak, akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat membuat semakin


(36)

36 banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO- dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt, 1997).

G. PENGEMASAN

Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi lingkungan atau sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dengan demikian memerlukan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada biasanya diketahui (Buckle et al., 2007). Fungsi dari pengemasan adalah untuk mempertahankan agar bahan pangan tetap bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya (mikroba) dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan fisik, oksigen, sinar, sehingga bahan yang dikemas memiliki umur simpan yang lebih lama.

Polimer plastik terdiri dari kelompok yang tersusun oleh rantai hidrokarbon yang meliputi polietilen (PE), polipropilen (PP), polistiren (PS), polivinilklorida (PVC), dan derivat-derivatnya; kelompok yang mengandung rantai bernitrogen meliputi polyester (myler), nilon, polietilen-tereftalat (PET), dan poliuretan; serta kelompok kopolimer yaitu polimer campuran.

Pada penelitian ini, bakso yang sudah dicelup kemudian dimasukan ke dalam plastik HDPE dan ditutup rapat (sealing). Maksud dari kegiatan sealing ini adalah agar tidak ada mikroba kontaminan yang dapat masuk dan mencemari bahan pangan, serta untuk mencegah oksigen masuk sehingga tidak terjadi reaksi oksidasi.

Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri arang dan minyak. Polietilen merupakan jenis plastik yang banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan sebagai laminasi. Berdasarkan densitasnya polietilen terbagi atas (1) Polietilen Densitas Rendah (LDPE = Low Density Polyethylene), yang dihasilkan melalui proses tekanan tinggi dan paling


(37)

37 banyak digunakan sebagai kantung, mudah dikelim dan sangat murah harganya, (2) Polietilen Densitas Tinggi (HDPE = High Density Polyethylene), yang dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan rendah (50-70oC, 10 atm), sifatnya lebih kaku dan tahan terhadap suhu tinggi (120oC) sehingga banyak digunakan untuk produk yang mengalami proses sterilisasi, (3) Polietilen Densitas Menengah (MDPE = Medium Density Polyethylene), yang mempunyai sifat lebih kaku daripada LDPE dan memiliki titik leleh lebih tinggi daripada LDPE.

Beberapa keuntungan dalam penggunaan kemasan plastik adalah dapat melindungi isi dengan baik, ringan sehingga menurunkan biaya transportasi, tidak mudah pecah sehingga mengurangi faktor resiko dan kerugian selama penyimpanan dan transportasi, dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan selera, tidak korosif serta tahan terhadap beberapa bahan kimia.


(38)

38 III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dan tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso, bahan tambahan yang terdiri dari garam, STPP, dan es batu serta bumbunya seperti bawang merah, bawang putih, merica bubuk, dan MSG. Bahan pengawet yang digunakan adalah asam asetat, asam cuka pasar (asam asetat 25 %), dan asam laktat. Bahan untuk analisis mikrobiologi, yaitu KH2PO4, alkohol 70 %, media Plate Count Agar (PCA), Potatoes Dextrose Agar (PDA), Asam tartarat 10 %. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0,1 N, kalium hidroksi phtalat (KHP), indikator phenophtalein, dan akuades.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk membuat bakso seperti kompor, panci perebusan, baskom, pisau, meat cutter, chopper. Sedangkan alat untuk analisis adalah pH meter, penetrometer, Chromameter Minolta CR-200, buret, alat-alat gelas, bulb, sudip, plastik HDPE, stomacher, inkubator, mikropipet, cawan petri, bunsen, dan lain-lain.

B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan

Tahap ini bertujuan mencari dan mendapatkan jenis dan konsentrasi larutan pengawet asam organik yang mampu memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang. Pengawet yang mampu mengawetkan bakso hingga empat hari akan digunakan pada penelitian utama. Jenis pengawet yang digunakan adalah asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar. Penelitian pendahuluan ini terdiri dari dua tahap.

a. Tahap 1

Perlakuan pada tahap ini adalah :

A0 : Bakso dengan asam asetat 0 % (kontrol)

A1 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam asetat 4 %


(39)

39 A3 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam asetat 8 %

B0 : Bakso dengan asam laktat 0 % (kontrol)

B1 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 4%

B2 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 6 %

B3 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 8%

Bakso dicelupkan ke dalam larutan asam organik selama 1 menit. Sampel kemudian dikeringanginkan, dikemas dengan plastik, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan visual (warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium kapang) selama penyimpanan empat hari serta analisis total mikroba (TPC) dan pengukuran pH. Perlakuan yang paling efektif ditentukan berdasarkan umur simpan.

b. Tahap 2

Perlakuan pada tahap ini adalah

A0 : Bakso dengan asam asetat 0 % (kontrol)

A1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan

asam asetat 5 %

A2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan

asam asetat 10 %

B0 : Bakso dengan asam laktat 0 % (kontrol)

B1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan

asam laktat 5 %

B2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan

asam laktat 10 %

C0 : Bakso dengan asam cuka pasar 0 % (kontrol)

C1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan

asam cuka pasar 5 %

C2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan


(40)

40 Larutan asam cuka pasar 5 % dan asam cuka pasar 10 % dibuat dengan cara mengencerkan larutan asam cuka pasar 25 %. Asam cuka pasar 25 % ini setara dengan asam asetat 25 %. Di bawah ini merupakan contoh perhitungan untuk membuat 500 ml larutan asam cuka pasar 10 %. Jumlah larutan asam cuka pasar 25 % yang ditambahkan sebanyak 200 ml. Adapun cara perhitungannya sebagai berikut.

V1 x M1 = V2 x M2 V1 x 25 % = 500 ml x 10 %

V1 = (500 ml x 10 %)/25 %

V1 = 200 ml

Bakso direbus pada air rebusan kedua selama 10 menit. Sampel kemudian dikeringanginkan, dikemas dengan plastik, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan visual (warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium kapang) selama penyimpanan empat hari. Perlakuan yang paling efektif ditentukan berdasarkan umur simpan.

2. Penelitian Utama

Penelitian utama ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologis bakso yang menggunakan bahan pengawet terpilih.

a. Perlakuan pada tahap penelitian utama

A0 : Bakso dengan asam cuka pasar 0 % (kontrol)

A1 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 0,5 %

A2 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 1,0 %

A3 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 1,5 %

A4 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 2,0 %

A5 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 2,5 %

b. Metode coating bakso pada larutan asam cuka pasar

Bakso yang sudah terapung pada air rebusan pertama diangkat kemudian dimasukkan ke dalam air rebusan kedua yang berisi larutan


(41)

41 asam cuka pasar. Pada air rebusan kedua, bakso direbus sekitar 10 menit hingga bakso tersebut matang. Kemudian bakso dikeringanginkan sebelum dikemas dalam plastik dan disimpan pada suhu ruang.

c. Pengamatan

Pengamatan ini dilakukan terhadap semua perlakuan pada penelitian utama selama empat hari penyimpanan yaitu hari ke-0, hari ke-1, hari ke-2, hari ke-3, dan hari ke-4 karena target peyimpanannya adalah selama empat hari. Parameter mutu bakso yang diamati dalam tahap penelitian ini meliputi karakteristik mikrobiologis (total mikroba dan total kapang khamir), karakteristik kimia (pH dan total asam tertitrasi), serta karakteristik fisik (kekerasan bakso dan warna).

C. METODE ANALISIS 1. Analisis Mikrobiologi

a. Total Mikroba (BAM, 2001)

Analisis total mikroba dilakukan dengan menggunakan metode BAM (2001). Sebanyak 10 gram sampel yang ditimbang secara aseptik dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril. Kemudian ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan dihancurkan sampai halus. Sampel yang telah dihancurkan dengan stomacher kemudian dilakukan pengenceran desimal sesuai dengan kebutuhan kemudian dilakukan pemupukan secara duplo. Selanjutnya ditambahkan media PCA cair steril yang telah didinginkan hingga mencapai suhu 45oC ± 1°C sebanyak 12-15 ml ke dalam masing-masing cawan yang telah dipupukan dan dibiarkan hingga membeku. Setelah membeku, diinkubasi pada suhu 35oC selama 2 hari dengan posisi terbalik. Setelah waktu inkubasi selesai, dihitung koloni total dengan metode Harrigan seperti di bawah ini:

Batas koloni yang dihitung : 25-250 cfu

N = C


(42)

42 Keterangan :

N : Total koloni per ml atau gram sampel

C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan

b. Total Kapang Khamir (Fardiaz, 1987)

Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan pengencer. Pemupukan dilakukan duplo untuk setiap pengenceran dengan cara memipet 1 ml sampel yang telah diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15-20 ml Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) cair steril. Cawan petri digoyangkan secara mendatar agar sampel menyebar rata. Setelah agar membeku, segera diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37oC selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan menggunakan metode Harrigan dengan satuan cfu/g (Harrigan, 1998).

2. Analisis Kimia

a. Pengukuran pH (Sadler dan Murphy, 2003)

pH-meter harus selalu distandardisasi terlebih dahulu untuk memberikan akurasi pengukuran yang maksimum. Standardisasi pH-meter dapat dilakukan dengan menggunakan dua larutan buffer yang memiliki selisih pH 3 unit (kalibrasi dua titik). Tiga larutan buffer yang paling sering digunakan untuk standardisasi adalah buffer pH 4, buffer pH 7, dan buffer pH 9 (pada suhu 25oC). Ketika standardisasi elektroda pH, dilakukan kalibrasi satu titik. Setelah terukur nilai pH-nya, elektroda pH dibilas menggunakan air destilata dan dikeringkan (dilap). Selanjutnya dilakukan pengukuran ke dalam buffer pH 4 dan proses pengukuran ini diulangi hingga memperoleh selisih nilai sebesar 0.1 unit pH antar pengukuran. Jika memberikan


(43)

43 TAT = V x FP x 100

w

hasil dengan selisih lebih besar dari 0.1 unit pH, pH-meter tersebut tidak berfungsi dengan baik.

Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 5 gram dan dicampur dengan sedikit air destilata sebagai pelarut. Campuran ini dihancurkan sampai halus dan homogen, kemudian dilakukan pengukuran pH. Elektroda ditempatkan ke dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH terukur. Elektroda diangkat lalu dibilas dengan air destilata dan selanjutnya dapat digunakan untuk mengukur pH sampel berikutnya.

b. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989) Standardisasi NaOH

Sebanyak 0.8 g KH2PO4 (BM=204.228 g/mol) ditimbang kemudian ditambahkan 50 ml air destilata dan diteteskan 2-3 tetes indikator PP. Selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang akan distandardisasi sampai terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:

Persiapan Sampel

Sebanyak 10 gram sampel dihancurkan sampai halus kemudian ditambahkan 90 ml akuades. Dari campuran tersebut diambil 4 ml kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya ditambahkan akuades sampai tanda tera. Sampel diambil 50 ml dan ditambahkan indikator fenolftalein 2-3 tetes. Kemudian sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Total asam tertitrasi dinyatakan dalam persen asam organik dan dihitung dengan rumus:

Keterangan:

Normalitas NaOH = g KHP


(44)

44 TAT : TAT (ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel)

V : Volume NaOH (ml) FP : Faktor pengenceran

w : Volume sampel tertitrasi (ml)

3. Analisis Fisik

a. Warna (Pomeranz, et al., 2000)

Alat yang digunakan dalam pengukuran bakso adalah Minolta Chroma Meters CR-200. Alat ini dapat memberikan lima sistem notasi warna yang berbeda untuk mengukur nilai warna absolute (CIE Yxy, L* a* b*, LoCoHo, densitas kolometrik DxDyDz dan notasi Munsell), dan empat sistem untuk mengukur perbedaan warna yaitu ∆ (Yxy), ∆ (L* a* b*), ∆ (LoCoHo), ∆ (DxDyDz).

Sistem notasi warna yang digunakan adalah sistem notasi Comission Internationale de I’Eclairge (CIE), yang kemudian dikonversi ke sistem notasi Hunter. Pada sistem notasi CIE Yxy, Y adalah nilai kecerahan (%), x dan y adalah koordinat dimana pada bidang koordinat tersebut terdapat peta warna-warna monokromatis (merah, hijau, biru) dan warna-warna campurannya. Sedangkan sistem notasi warna Hunter memiliki parameter L, a, b. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan, nilai a menyatakan warna merah jika positif atau hijau jika negatif, dan nilai b menunjukkan warna kuning jika positif atau biru jika negatif.

Cara penggunaan :

 Kalibrasi

Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan standar warna yang mendekati warna bakso, yaitu nilai Y = 25.30, nilai x = 0.3630, dan nilai y = 0.3360.


(45)

45 Tempatkan kepala pengukur (measuring head) pada target contoh, lalu tekan tombol “Measure”. Hasil pengukuran akan terbaca pada layar sebagai nilai Yxy.

 Konversi nilai Yxy ke nilai L, a, b

Nilai L, a, b dapat dihitung dari persamaan berikut : Y = Y

X = Y (x/y)

Z = Y {(1 – x – y) / y } L = 10 Y½

a = { 17.5 ( 1.02 X – Y ) } / Y½ b = { 7.0 ( Y – 0.847 Z ) } / Y½

b. Kekerasan Objektif

Pengukuran kekerasan bakso menggunakan alat penetrometer yang dilakukan sebanyak 2 kali (duplo) pada 3 titik yang berbeda. Angka yang diperoleh dirata-ratakan, dimana kekerasan dinyatakan dalam satuan mm per 10 detik.

4. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Pengujian organoleptik bakso mencakupi 5 macam atribut sensori, yaitu pengujian terhadap rasa, warna, aroma, tekstur, dan overall. Sampel bakso disajikan tanpa menggunakan kuah bakso. Uji yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik). Pengujian ini dilakukan oleh 30 orang panelis. Skala hedonik yang digunakan terdiri dari 7 titik dengan urutan menaik menurut tingkat kesukaan seperti terlihat pada Tabel 5 sebagai berikut :


(46)

46 Tabel 5. Skala pengukuran uji hedonik

Skor Penilaian 1 Sangat Tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Biasa

5 Agak Suka

6 Suka

7 Sangat suka

5. Uji Statistik

Data hasil penelitian utama diolah secara statistik menggunakan program komputer statistik SPSS 13.0 untuk uji keragaman (ANOVA/ Analysis of Variance) dan Uji Duncan. Uji-uji ini digunakan untuk menarik kesimpulan, apakah penambahan pengawet dan lama peyimpanan memberikan perbedaan yang nyata atau tidak.

6. Analisis Biaya

Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui berapa banyak biaya yang diperlukan untuk mengawetkan satu kilogram bakso dengan larutan asam organik. Pengujian terhadap analisis biaya ini dilakukan dengan menghitung selisih volume larutan sebelum perebusan dengan volume larutan setelah perebusan. Analisis ini nantinya digunakan untuk mengetahui nilai jual bakso setelah pengawetan.


(47)

47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pada tahap ini bertujuan mencari dan mendapatkan jenis dan konsentrasi larutan pengawet asam organik yang mampu memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang. Jenis pengawet yang digunakan adalah asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar. Penelitian pendahuluan ini terdiri atas tiga tahap.

1. Tahap 1

Pada tahap ini, jenis asam organik yang diujicobakan ada dua macam yaitu asam asetat dan asam laktat dengan konsentrasi mulai dari 4 %, 6 %, dan 8 %. Pemilihan asam asetat dan asam laktat sebagai pengawet didasarkan pada kemampuan asam organik tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroba lebih baik dibandingkan jenis asam organik yang lain. Pemilihan konsentrasi 4 % pada asam asetat karena pada konsentrasi 4% asam asetat mampu menghambat pertumbuhan mikroba Salmonella dan Staphylococcus (Furia, 1972).

a. Pengukuran nilai pH

Nilai pH sangat erat hubungannya dengan struktur protein daging, daya kelarutan protein daging, yang berakibat lebih lanjut terhadap kemampuan daging untuk mengikat air serta daya emulsi protein daging. Protein sebagai salah satu penyusun daging memiliki karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh pH daging. Kemampuan daging dalam mengikat air dan kontinyuitas emulsi daging merupakan peranan protein yang signifikan pada produk tersebut.

Produk emulsi daging memerlukan bahan baku daging yang memiliki nilai pH yang tinggi. Menurut Sheard (2002), hal ini disebabkan pada pH tinggi (pH >5.5) protein daging akan lebih mudah larut sehingga proses ekstraksinya dengan garam akan lebih maksimal. Semakin tinggi protein miosin yang terekstrak, maka produk yang dihasilkan akan memiliki WHC yang baik sehingga cooking loss


(48)

48 semakin rendah. Nilai pH bakso selama empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.

Pengukuran nilai pH dilakukan terhadap produk bakso selama empat hari penyimpanan. Nilai rata-rata pH awal sampel bakso kontrol pada penyimpanan hari ke-0 mendekati pH netral yaitu 6.07. Nilai pH pada bakso kontrol cenderung mengalami penurunan dengan bertambahnya lama penyimpanan yaitu pada hari 1, 2, 3, dan 4 sebesar 5.99, 5.74, 5.17, dan 5.10. Sedangkan sampel bakso yang lain memiliki kecenderungan penurunan nilai pH hingga penyimpanan hari ke-2, namun nilai pH-nya kemudian meningkat hingga penyimpanan hari ke-4.

Menurut Jay et al. (2005), sebagian besar mikroorganisme tumbuh optimal pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5). Sebagian besar kapang berkembang pada pH 2.0-8.5 sedangkan khamir tumbuh dengan baik pada pH antara 4.0-4.5. Berdasarkan data di atas (Gambar 1), dapat diketahui bahwa kisaran pH tersebut merupakan kondisi yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan kapang dan khamir serta bakteri yang suka asam (asidofilik). Penurunan pH produk dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroba terutama dari golongan pembentuk asam. Beberapa jenis mikroorganisme dalam bahan pangan seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh baik pada kisaran pH 3.0-6.0. Bakteri

3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50

0 1 2 3 4

N

il

a

i p

H

Lama Penyimpanan (Hari)

Kontrol

As.Asetat 4 %

As.Asetat 6 %

As.Asetat 8 %

As.Laktat 4 %

As.Laktat 6 %


(1)

5 Nilai pH dan TAT bakso selama penyimpanan menunjukkan bahwa sampel bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki pH yang paling rendah dan TAT yang paling tinggi. Bakso kontrol dan bakso dengan perlakuan asam cuka pasar konsentrasi 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki tingkat kecerahan dengan kisaran nilai 51.23-52.43. Untuk pengukuran nilai kekerasan, sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar memiliki nilai kekerasan relatif sama selama penyimpanan empat hari yaitu berkisar antara 11.20-12.60 mm/10 detik. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa skor kesukaan tertinggi panelis terhadap parameter rasa, aroma, warna, tekstur dan penilaian umum mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut yaitu bakso kontrol, bakso dengan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %.

Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan, hasil uji organoleptik, dan pertimbangan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa pengawet asam cuka pasar 1.5 % memberikan hasil terbaik dalam mengawetkan bakso karena mampu mempertahankan umur simpan bakso hingga empat hari dengan biaya tambahan pengawet yang relatif rendah yaitu sebesar Rp. 227,14 , sehingga asam cuka pasar 1.5 % dapat direkomendasikan untuk mengawetkan bakso.


(2)

6 RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Maret 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan C. H. Yusuf dan Karlina. Bangku sekolah penulis dimulai dari TK Bhayangkari Sumedang, SD Negeri Sukasirna 2 Sumedang, SLTP Negeri 2 Sumedang, dan SMA Negeri 1 Sumedang. Penulis kemudian diterima menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004.

Selama menimba ilmu dibangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) BEM Fateta IPB periode 2005-2006, Sekretaris Kabinet BEM Fateta IPB periode 2006-2007, serta Sekretaris Kabinet BEM KM IPB periode 2007-2008. Penulis juga pernah menjadi staf Divisi Kajian Pangan dan Produk Halal (KAPPAL) Forum Bina Islami (FBI) Fateta periode 2005-2006 dan pengurus Food Processing Club HIMITEPA sebagai Koordinator Divisi Snackfood periode 2006-2007. Keaktifan penulis dalam mengikuti berbagai kegiatan organisasi menjadikan penulis sebagai salah satu penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE) pada tahun 2008.

Disamping kegiatan organisasi, penulis juga aktif mengikuti beberapa perlombaan, diantaranya Program Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) dan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Proposal PKM yang penulis ajukan berhasil didanai oleh DIKTI yaitu proposal PKM bidang Penelitian (PKMP) pada tahun 2006 dan proposal PKM bidang Pengembangan Masyarakat (PKMM) tahun 2007.

Penulis memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan KKN di Desa Purwasari pada tahun 2007. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.


(3)

7 KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam Organik terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso” sebagai bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalas amal pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Amin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah (C.H. Yusuf) dan Ibu (Karlina) yang demikian sabar dan perhatian sekali, selalu memberikan semangat, dukungan, dan dorongan yang positif demi kemajuan penulis, serta Kakak (Kartiwa) atas pengorbanan dan segala bantuannya. Terima kasih banyak atas semua kasih sayang dan support baik moril maupun materiil yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan, dan bantuan serta nasihat yang sangat berharga bagi kehidupan penulis kelak. Terima kasih banyak atas kesabaran dan pengertiannya selama membimbing penulis. Saya beruntung dan bersyukur sekali mendapatkan dosen pembimbing seperti Bapak yang mampu memahami kegiatan organisasi saya. Jazakallah Khoiron Katsiron.

3. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji serta memberikan waktu dan sarannya dalam perbaikan skripsi ini.

4. Sahabat-sahabat terbaik penulis di kelas ITP 41 : (1) Dyah Ayu Puspitasari yang telah membuat hidup ini lebih berwarna dengan segala keceriaan, canda tawa, serta sifat kekanakannya. (2) Shofia Kusuma Dewi, sahabat yang selalu


(4)

8 ada dan meluangkan waktu untuk mendengarkan segala hal. Terima kasih atas nasihat-nasihat yang telah diberikan. (3) Gema Buana Putra yang telah mengajari banyak hal di “Kampus Kehidupan”, terimakasih banyak atas semua cerita-cerita lucu dan konyol (pastinya sangat menghibur) serta sharing pengalamannya yang sangat luar biasa. Sungguh inspiratif.

5. Mellisa Putri, sahabat yang sangat mengerti kondisi penulis serta selalu setia menemani dan menjadi tempat berbagi cerita suka dan duka.

6. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Pengabdian 05-06 terutama anggota Departemen PSDM (Rina, Shohib, Achid, Firly, Dena, K’Ale, K’Lita) dan para pimpinan (K’Redy, K’Bubun, Gema, K’Nirwan, K’Lala, K’Maya, K’Oneth, K’Santo, K’Alliy, K’Isti, dan K’Iqro) yang telah membuat penulis menjadi begitu tertarik untuk terus berkontribusi dalam kelembagaan kampus. 7. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Totalitas Pengabdian 06-07 terutama

BPH dan para pimpinan (Gema, Eka Feb, Nona, Venty, Achid, Firly, Othiz, Cahyo, Fitrah, Irvan, Sofiyan, Nitta, Syelvia, Nova, Benk) yang selalu membuat penulis tertawa, senang, riang, gembira dan perasaan bahagia lainnya. Tiada hari tanpa tertawa bersama kalian di kabinet yang amat sangat ceria ini.

8. Keluarga Besar BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan 07-08 terutama BPH dan para pimpinan (Gema, Fahmi, Feri, Nidia, Ruri, Weni, Betty, Irvan, Dani, Afid, Rudi, Shohib, Wahyu, Eka Feb, Ike, Duta, Reza, Gadis, Yuyun, Mb ii, Vina, Eka Wulan,Yogi Waldingga). Rasanya waktu berlalu begitu cepat, terima kasih atas kerjasama, kekeluargaan, dan indahnya ukhuwah islami yang selama ini terjalin, semoga terus berlanjut. Sampai bertemu di medan juang lainnya.

9. Prof.Dr.Ir.Herry Suhardiyanto, M.Sc, Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono,M.S, Dr.Rimbawan, Bambang Riyanto, S.Pi.,M.Si., Bu Tuti, serta staf-staf di Ruang Ditmawa (Bu Ari, Bu Neni, Pak Parta, Adhit) yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

10. Dr.Ir.Sam Herodian, MS, Dr.Ir.Sugiyono,M.App.Sc, serta staf dekanat (Ibu Sri, Ibu Ratna), terima kasih banyak atas bantuannya selama penulis aktif di kelembagaan fakultas.


(5)

9 11. Rekan satu bimbingan Nene, Kopetz (ITP’41), K’Denang, Teddy (ITP’40), K’Ajeng (ITP’39), Nina, Tiyu, Nanda, Muji (ITP’42), Rosy, Amel (ITP’44) terima kasih banyak atas bantuan, dorongan, dan motivasinya untuk mengerjakan penelitian ini

12. Rekan lembur di Laboratorium Mikrobiologi Pangan (Tjan, Khrisia, Sisi, Olo, Ikhwan, Wiwi)

13. Teman-teman kostan di Wisma Shambala, Ambar, De Cici, MeQu, Fina, Sisi dan Dini, serta teman-teman kostan di Pondok Nuansa Sakinah Ophie, Ayi, Nanda, Putri, Lita, Aci, dan Uul.

14. Teman-teman ITP 41 yang telah mengiringi langkah penulis selama 4 tahun lebih dalam masa-masa perkuliahan yang tak terlupakan : Dilla, Ame, Taqi, Ode, Ecymon, Sioe Cen, Faried, Shinta, Tomi, Gina, Qia, Chabib, Nanang, Kak Ran, Sigit, Yunita, Ratih, Ade, Tika Oneng, Aris, Ofa, Risma, Ririn, Dikun, Novi, Hans Puke, Iqbal, Ary Binjay, Soun, Kani, UQ, Tuko, Ros, Yuke, Ety, Jamz dan semua ITPers 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

15. Kakak kelas di ITP, TIN, dan TEP angkatan 40 dan 39, serta adik kelas ITP, TIN, dan TEP angkatan 42, 43, dan 44.

16. K’adit, K’nur heri, K’nur alim, Hendro, Ilmyana, Retno, Zuni, Delfi, Choir, Betty, dan Obi atas kebersamaannya di Tim Desa Sukadamai.

17. Teknisi dan laboran : Pak Gatot, Mas Edi, Pak Sidik, Pak Sobirin, Pak Mul, Pak Yahya, Pak Rojak, Pak Wahid, Bu Rubiyah, Bu Antin, Mba Ida, Mba Darsih, atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan penelitian.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis


(6)

10 DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN ... 3

D. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. BAKSO DAGING SAPI ... 4

B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI ... 5

1. Bahan ... 5

2. Proses Pengolahan ... 9

C. KERUSAKAN BAKSO ... 10

D. PENGAWETAN BAKSO ... 12

E. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI ... 13

1. Asam Laktat ... 13

2. Asam Asetat ... 15

F. MEKANISME PENGAWETAN ASAM ORGANIK... 17

G. PENGEMASAN ... 19

III. METODE PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

1. Penelitian Pendahuluan ... 21

a. Tahap 1 ... 21

b. Tahap 2 ... 22

2. Penelitian Utama ... 23