Rekonstruksi Pertanahan KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM

tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh Mantan Project Manager RALAS tahun 2008, pada tahap ini, BPN telah melaksanakan beberapa langkah kegiatan pertanahan sebagai berikut: 121 1. kegiatan penyiapan personil, 2. kegiatan penyiapan sarana dan prasarana, 3. kegiatan penyediaan peralatan teknis dan teknologi, 4. kegiatan penyiapan data yuridis dan data fisik, 5. kegiatan perawatan dan penyelamatan dokumen pertanahan.

C. Rekonstruksi Pertanahan

122 120 Rehabilitasi meliputi perbaikan dan pemulihan: a. prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; b. prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; c. prasarana dan sarana kesehatan dan psiko-sosial; d. prasarana dan sarana kehidupan keagamaan serta adat istiadat; e. prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; f. hak-hak atas tanah dan bangunan; g. prasarana tempat tinggal sementara yang memadai dan manusiawi, dan h. prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Lihat Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2005. 121 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh Mantan Project Manager RALAS tahun 2008 di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. 122 Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisikobyek dan subyek tanah terhadap tanah pertanian dan perumahan melalui penerbitan sertipikat hak milik. Universitas Sumatera Utara Rekonstruksi 123 Rekonstruksi pertanahan dilaksanakan untuk mengembalikan setiap jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum bencana alam tsunami di Provinsi Aceh. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah kepada masyarakat di lokasi tsunami. pasca tsunami bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha. Obyek rekonstruksi pertanahan tersebut meliputi tanah yang berada di lokasi bencana tsunami dan lokasi yang terkena dampak baik terhadap pemilik tanah yang berdomisili di lokasi bencana atau di luar lokasi bencana. Rekonstruksi pertanahan dilakukan melalui kegiatan pendaftaran tanah berbasis masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, bahwa BPN melakukan rekonstruksi pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat terkena bencana guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat melalui 123 Pelaksanaan rekonstruksi meliputi: a. penataan ruang; b. penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; c. pembangunan prasarana dan sarana perumahan serta pemukiman; d. pembangunan prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; e. pembangunan prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; f. pembangunan prasarana dan sarana kehidupan keagamaan dan adat istiadat; g. pembangunan prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; h. penciptaan tenaga kerja yang menunjang kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan i. pembangunan prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan j. pelaksanaan rekonstruksi lainnya sesuai dengan rencana induk dan rencana rinci. Lihat Pasal 5 Perpu No. 2 Tahun 2005. Universitas Sumatera Utara kegiatan RALAS. Dalam kegiatan RALAS masyarakat dilibatkan dan masyarakat mempunyai peranan penting terhadap kegiatan rekonstruksi pertanahan. Obyek kegiatan RALAS meliputi tanah yang berada dilokasi bencana tsunami termasuk bidang-bidang tanah yang telah dilakukan penataan melalui kegiatan konsolidasi tanah. 124

a. Maksud dan Tujuan RALAS

RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System merupakan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Pengertian rekonstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1996 diuraikan sebagai: 125 Pengertian sistem adalah “Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas” atau “susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya” atau “metode”. “Pengembalian sebagai semula” atau “penyusunan penggambaran kembali”. 126 Pengertian administrasi dapat diuraikan sebagai berikut: 127 “Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi” atau “usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan” atau 124 Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB. 125 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 829. 126 Ibid, hal. 950. 127 Ibid, hal. 8. Universitas Sumatera Utara “kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan” atau “kegiatan kantor dan tata usaha”. Sebagai perbandingan dikutip pendapat Dann Sugandha, dalam bukunya Kepemimpinan dalam Administrasi mengartikan “Administrasi adalah organisasi dan manajemen dari semua sumbernya agar secara berdaya guna dan berhasil guna dapat dicapai tujuan yang telah ditentukan. 128 Selanjutnya dibandingkan dengan pendapat John M. Pfeifener dalam bukunya Public Administration yang mengatakan “Administration may be defined as the organization and direction of human and material resources to achieve desired end”. 129 Administrasi pertanahan termasuk dalam bidang Administrasi Negara Public Administration. Administrasi Negara adalah sebagai keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dan suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara. 130 Dalam fungsinya, administrasi negara mempunyai tugas utama yakni: 131 1. menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai organization goal; 2. menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi general and over all policies. 128 Dann Sugandha, Kepemimpinan dalam Administrasi, dalam Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan: Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Cetakan I, Edisi Revisi, Bandung: Mandar Maju, 2013, hal. 1. 129 Rusmadi Murad, Op.Cit. 130 Sondang Siagian, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, MCMLXXVV, hal.8. 131 Ibid, hal. 6. Universitas Sumatera Utara Rochmat Soemitro 132 Pertanahan yang dimaksud di sini merupakan suatu kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang sebagaimana yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA, membedakan pengertian administrasi dalam arti luas sebagai terjemahan “administration” yaitu “Bestuur van de staat, de provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In de U.S. verstaat men order ‘the administration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder begrepen” …. Pemerintah suatu negara, provinsi, subak, kota-kota dan maskape- maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata “the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden dan dalam arti sempit dalam pengertian “tata usaha” yaitu “Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en ordening van gegevens, samengesteld met het doel een overzicht vandeze gegevens te verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelinggen van aantekeningen kan men als administratie qualificeren” Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi. Selanjutnya Rochmat Soemitro, bahwa dalam kegiatan “administrasi” telah termasuk kegiatan “tata usaha” dengan kata lain “tata usaha” sebagai bagian dari kegiatan “administrasi”. 132 Rochmat Soemitro dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004, hal. 30. Universitas Sumatera Utara sehingga menurut Rusmadi Murad administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 133 Berdasarkan kajian RALAS merupakan kerangka kebijakan untuk merekonstruksi hak atas tanah di Provinsi Aceh atau sebagai suatu usaha pengembalian sebagaimana keadaan semula semua unsur-unsur perangkat organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan di Provinsi Aceh pasca terjadi gempa bumi dan tsunami. Adapun yang menjadi tujuan RALAS adalah: 134 1. memulihkan dan melindungi terhadap hak atas tanah masyarakat di daerah tsunami; 2. membangun kembali merekonstruksi sistem administrasi pertanahan; 3. meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah; 4. meningkatkan efisiensi dan transparansi serta kualitas pelayanan pertanahan; 5. memperbaiki kapasitas kelembagaan untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien sesuai dengan Agenda Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sasaran spesifiknya adalah untuk: 1. memulihkan dan memproteksi pemilikan tanah masyarakat di sekitar wilayah bencana; dan 2. membangun kembali sistem administrasi pertanahan. 133 Rusmadi Murad, Op.Cit, hal. 2-3. 134 Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System, Presentase, 2014. Universitas Sumatera Utara Pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah itu penting untuk dilakukan segera, oleh karena itu pemulihan dan proteksi itu menempatkan pondasi yang solid bagi pekerjaan rekonstruksi, perencanaan spasial, kompensasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah juga penting untuk membangun keadilan sosial dan menjamin stabilitas sosial jangka panjang. 135 BPN melakukan pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana tsunami termasuk di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sehingga masyarakat, pemilik tanah atau ahli waris korban bencana mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya.

b. Komponen dan Lokasi Kegiatan

RALAS RALAS melaksanakan rekonstruksi pertanahan terhadap 3 tiga komponen kegiatan. Ketiga komponen kegiatan RALAS adalah; Pertama penerbitan sertipikat hak-hak atas tanah, yang meliputi kegiatan: rekonstruksi data-data pertanahan, ajudikasi berbasis masyarakat dan kepedulian serta partisipasi masyarakat, pengukuran dan pemetaan, pendaftaran serta penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan kebijakan dan isu-isu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, merekonstruksi kelembagaan BPN di Aceh, yang meliputi kegiatan: rekonstruksi fasilitas dan pengadaan peralatan dan furniture, pelatihan dan 135 Joyo Winoto, “Reconstruction of Land Administration System in Nanggroe Aceh Darussalam NAD and Nias”, Makalah pada ‘Expert Group Meeting on Secure Land Tenure: New Frameworks and Tools in Asian and Pacific’, 2005, hal. 1-2. Universitas Sumatera Utara pengembangan kapasitas, dan komputerisasi dan pengembangan sistem cadangan back up system. Ketiga, manajemen proyek, meliputi: dukungan terhadap manajemen proyek, pemantauan dan evaluasi serta mekanisme penanganan pengaduan, dan bantuan teknis terhadap pelaksanaan kegiatan. RALAS menetapkan 3 tiga kriteria lokasi prioritas. Ketiga kriteria prioritas lokasi RALAS tersebut, yaitu: wilayah yang akan menjadi prioritas utama pembangunan kembali infrastrukturperumahan, wilayah yang terkena langsung tsunami dan lokasi terpilih di sekitar lokasi yang terkena langsung tsunami. Berdasarkan asil penelitian, pendaftaran tanah melalui kegiatan ajudikasi RALAS dilaksanakan dalam 3 tiga tahun anggaran, yaitu: Lokasi kegiatan RALAS tahun 2005 adalah 2 dua kabupatenkota yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, dengan total target sebanyak 50.000 bidang tanah, terdiri dari 30.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh dan 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar. Lokasi kegiatan RALAS tahun 2006 adalah 9 sembilan KabupatenKota yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Nagan Raya. Target pensertipikatan tanah di kesembilan lokasi tersebut sebanyak 150.000 bidang tanah, terdiri dari 15.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 30.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000 Universitas Sumatera Utara bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 25.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya. Lokasi kegiatan RALAS tahun 2008 adalah 13 tiga belas kabupatenkota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Singkil dan Kabupaten Simeulue. Target pensertipikatan tanah di ketiga belas lokasi tersebut sebanyak 110.000 bidang tanah, terdiri dari 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 5.000 bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Timur, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Selatan, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat Daya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Singkil dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Simeulue. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa obyek kegiatan RALAS meliputi pendaftaran bidang-bidang tanah di lokasi tsunami atau yang terkena dampak dari bencana tsunami. Namun demikian pelaksanaan pendaftaran tanah juga dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang menjadi obyek kegiatan konsolidasi tanah di lokasi tsunami. Universitas Sumatera Utara

c. Konsolidasi Tanah

Konsolidasi tanah adalah suatu metode pembangunan yang merupakan salah satu kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Guna TanahTata Ruang dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta kualitas lingkungan hiduppemeliharaan sumber daya alam. 136 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah menyatakan bahwa: “Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mewujudkan suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur”. Partisipasi aktif masyarakat berwujud kesepakatan para pemegang hak atas tanah danatau penggarap tanah negara yang menjadi objek konsolidasi tanah, yang menjadi Peserta Konsolidasi Tanah PKT untuk melepaskan hak atas tanah dan penguasaan fisik atas tanah-tanah yang bersangkutan, yang sebagian ditata kembali menjadi satuan-satuan baru yang akan dikembalikan kepada mereka dan sebagian lain merupakan sumbangan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain serta pembiayaan pelaksanaan konsolidasi. 137 Pemberian hak atas satuan-satuan tanah baru tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pemberian keringanan- 136 Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA - UUPR- UUPLH, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 309. 137 Pasal 1, Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Universitas Sumatera Utara keringanan tertentu bagi para Peserta Konsolidasi Tanah mengenai kewajiban- kewajiban finansialnya. 138 Prinsip konsolidasi tanah adalah sebagai berikut: 139 1. kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri; 2. adanya “land polling” yang juga merupakan ciri khas konsolidasi tanah; 3. hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah; 4. konsolidasi tanah melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah; 5. tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi daripada sebelum konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah meliputi kegiatan penataan kembali bidang-bidang tanah termasuk haknya dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah secara langsung. Pengaturan bentuk-bentuk tanah yang semula terpecah-pecah dan tidak teratur menjadi bidang tanah yang teratur, baik bentuk maupun tata letaknya, dilakukan dengan cara: 1. penggeseran letak; 2. penggabungan; 3. pemecahan; 4. penukaran; 5. penaatan letak; 6. penghapusan letak. Lokasi konsolidasi tanah kemudian dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas yang diperlukan, seperti jalan, jalur hijau sehingga menghasilkan pemanfaatan tanah 138 Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. 139 Hasni, Op.Cit, hal. 310. Universitas Sumatera Utara yang optimal dan memenuhi berbagai persyaratan, agar menunjang kecepatan pembangunan dan pengembangan kota sesuai dengan rencara tata ruang. Bagi pemilik tanah, langsung menikmati nilai tambah atas tanahnya dan mendapatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanahnya. Walaupun luas tanah yang diberikan kembali kepada pemilik tanah lebih kecil daripada sebelum konsolidasi, namun nilainya menjadi lebih tinggi karena di wilayah letak tanah tersebut sudah tersedia fasilitas jalan dengan kavling yang teratur. Konsolidasi tanah pada pokoknya bertujuan menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta memberikan pemanfaatan tanah yang optimal. 140 Secara sadar rakyat diajak ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan dalam rangka merealisasikan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Tanah tersedia untuk prasarana jalan dan fasilitas umum tanpa ganti rugi. Lingkungan tertata secara baik sesuai dengan rencana tata ruang. Sasaran konsolidasi 140 Dengan tercapainya tujuan tersebut di atas, beberapa manfaat yang dapat diraih adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan akan adanya lingkungan pemukiman atau areal pertanian dapat terpenuhi, 2. Membantu mempercepat laju pembangunan pemukiman atau pembangunan daerah pertanian di pedesaan, 3. Pemerataan hasil-hasil pembangunan yang langsung dinikmati oleh pemilik tanah, 4. Menghindari akses-akses yang sering timbul dalam hal penyediaan tanah secara konvensional, 5. Konsolidasi tanah merupakan manifestasi prinsip gotong royong dan penerapan dari Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial hak atas tanah, 7. Rakyat pemilik tanah dapat menikmati secara langsung keuntungan-keuntungan akibat konsolidasi, baik kenaikan harga tanah ataupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur. Adanya sumbangan tanah sebagai peran serta, masih tetap menguntungkan sekalipun luas tanah yang dimilikinya berkurang, 8. Bagi Pemerintah sendiri, di samping dapat merealisasikan rencana umum tata ruang kota atau tata ruang daerah, sekaligus dapat menertibkan administrasi pemilikan tanah, menghemat pengeluaran biaya pembangunan dan bahkan terbuka kemungkingan peningkatan pemasukan keuangan melalui PBB, 9. Lebih jauh dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dalam pembangunan. Universitas Sumatera Utara tanah adalah terwujudnya penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya dalam rangka tata tertib pertanahan. Konsolidasi tanah sebagai suatu modal pembangunan yang merupakan kegiatan terpadu lintas sektoral yang berkaitan dengan penataanpengaturan kembali kepemilikan, penguasaan tanah dan kebijakan pengadaan tanah untuk prasarana dan fasilitas umum lainnya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakatpara pemilik tanah. Konsolidasi tanah pada hakikatnya meliputi aspek-aspek antara lain: 1. aspek pengaturan penguasaan atas tanah, tidak saja menata dan menerbitkan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi juga hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya; 2. aspek penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata guna tanahtata ruang; 3. aspek penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan dan fasilitas umum lainnya yang diperlukan; 4. aspek peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber daya alam. Konsolidasi tanah pada prinsipnya dilakukan berdasarkan atas kesepakatan para pemilik tanah. Kesepakatan para pemilik tanah ini merupakan dasar dalam pelaksanaan konsolidasi karena sejak awal telah melibatkan partisipasi masyarakatpemilik tanah, baik dalam proses perencanaan, pengawasan, pelaksanaan, Universitas Sumatera Utara dan terutama kesediaan mereka menyerahkan sebagian dari tanahnya untuk keperluan pembangunan prasarana umum. Kepemilikan tanah yang semula tidak teratur bentuknya setelah dikonsolidasi akan menjadi teratur, baik letak dan bentuknya, sesuai dengan tata ruang yang bersangkutan. Tiap persil mendapatmenghadap ke jalan, tempatnya bergeser sesedikit mungkin dari tempat asalnya, serta sudah dikurangi dengan peran serta masing-masing pemilik. Konsolidasi tanah sesuai Peraturan BPN Nomor 4 Tahun 1991 dapat dilihat dalam tahapan sebagai berikut: a. pemilikanpenguasaan tanah di lokasi yang dikonsolidasi dilakukan inventarisasi dan identifikasi; b. masing-masing dihitung dan diukur luasnya; c. pemilikpenggarap hak atas tanah tersebut membuat pernyataan pelepasan hak dengan syarat bahwa tanahnya dilepaskan kepada negara untuk kemudian diterbitkan haknya atas nama masing-masing pemilik setelah dikurangi sumbangan peran serta; d. pemerintah cq. Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota setempat menerima pelepasan hak tersebut, sekaligus menyatakan bahwa tanah yang dilepaskan haknya akan dikembalikan kepada yang bersangkutan setelah dikonsolidasidiredistribusi dan luasnya dipotong dengan sumbangan peran serta, juga letaknya akan bergeser dari tempat semula; Universitas Sumatera Utara e. Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor Wilayah BPN yang memohonkan penegasan tanah tersebut menjadi tanah negara sebagai objek konsolidasi yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan konsolidasi tanah; f. atas dasar usulan tersebut, Kepala BPN menerbitkan surat keputusan tentang penegasan tanah negara yang menjadi objek konsolidasi, yang selanjutnya dibagikan kembali redistribusi kepada para pemilik; g. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang bersangkutan dapat meredistribusikan kepada masing-masing pemilik sesuai usulan dari Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota yang bersangkutan; h. Surat Keputusan redistribusi di atas dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikatnya oleh Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991, konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya. Persyaratan persetujuan dari calon peserta konsolidasi tanah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 mutlak diperlukan, karena apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka konsolidasi tanah tidak dapat terlaksana di lokasi tersebut. Persyaratan persetujuan sekurang-kurangnya 85 dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 dari luas Universitas Sumatera Utara seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi juga berlaku pada konsolidasi tanah di lokasi tsunami, karena pasca tsunami tidak ada aturan khusus yang dibuat dalam rangka konsolidasi tanah. Berdasarkan kajian proses yang terpenting dari pelaksanaan konsolidasi tanah berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami adalah kegiatan konsolidasi tanah menghasilkan dasar kepemilikan baru yaitu berupa Surat Keputusan redistribusi. Surat Keputusan redistribusi ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Sebagaimana diketahui bahwa bencana tsunami mengakibatkan dokumen pertanahan yang berada pada masyarakat, Kantor Pertanahan dan pada pihak-pihak terkait seperti PPAT PPATS dan Kantor Desa atau Kecamatan banyak yang musnah, hancur dan hilang, namun dengan telah dilakukannya konsolidasi tanah akan memudahkan pihak RALAS dalam melakukan pendaftaran tanah di lokasi konsolidasi tanah karena telah tersedianya bukti-bukti kepemilikan baru. Namun disayangkan konsolidasi tanah di lokasi tsunami tidak dilakukan secara maksimal dan berdasarkan hasil penelitian kegiatan konsolidasi tanah di lokasi tsunami pada masa rekonstruksi pertanahan hanya terdapat di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh mantan Project Manager RALAS tahun 2006: 141 “Di lokasi tsunami konsolidasi tanah hanya dilakukan di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Anggaran APBK Kota Banda Aceh. Konsolidasi tanah di Desa Lambung tersebut awalnya telah dilakukan pengukuran tanah 141 Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh Mantan Project Manager RALAS tahun 2006, hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB. Universitas Sumatera Utara oleh Tim Ajudikasi RALAS dan belum seluruhnya diterbitkan sertipikat hak atas tanah karena masih terkendala dengan penentuan subyek dan dokumen yang diperlukan. Setelah dilakukan konsolidasi tanah BPN melakukan sertipikasi namun bukan dalam masa rekonstruksi pertanahan”. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh: 142 “Pendaftaran tanah pada lokasi konsolidasi tanah di Desa Lambung lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan pendaftaran tanah pada bidang- bidang tanah lain di lokasi tsunami. Hal ini dikarenakan pada lokasi konsolidasi tanah telah tersedia dasar kepemilikan baru alas hak baru dalam bentuk Surat Keputusan tentang redistribusi tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, berbeda halnya dengan bidang-bidang tanah di lokasi tsunami yang belum dilakukan konsolidasi tanah”. Sebagai pembanding dapat dilihat contoh negara yang melaksanakan konsolidasi tanah untuk menangani bencana tsunami dan gempa di negaranya yaitu Jepang. Penanganan bencana tsunami dan gempa di Jepang menggunakan Konsep konsolidasi tanah yang disebut Land Readjustment atau kukaku seiri. Land Readjustment LR didesain untuk menciptakan areal perkotaan yang nyaman, dilengkapi dengan berbagai perlengkapan perkotaan, dengan cara pertukaran dan penggabungan persil exchange and merger of land, dan perubahan bentuk bidang tanah shape of lots. 143 142 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh Mantan Project Manager RALAS tahun 2008 di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. Hakikat Land Readjustment sebagai kebijakan partisipatif ditandai oleh adanya peran serta masyarakat melalui sumbangan tanah lot contributionland sharingland reduction dari peserta Land Readjustment untuk prasarana jalan dan infrastruktur lainnya serta untuk biaya pelaksanaan Land 143 Masahide Sugiyama, “Major Issue and Promotion System for Land Readjustment Project Implementation”, Makalah pada 7 th Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93’, 1993, hal. 4. Universitas Sumatera Utara Readjustment cost equivalent land - CEL. 144 Sebagai negara yang rawan bencana tsunami itu, Jepang tampaknya telah meyakini betapa konsep konsolidasi tanah mampu menata kembali wilayah perkotaan yang sudah terlanjur berkembang tidak teratur atau yang rusak akibat bencana alam. Meskipun pada awalnya konsep Land Readjustment diintroduksi dari Jerman, 145 fakta menunjukkan bahwa instrumen penataan wilayah perkotaan partisipatif itu berkembang pesat di Jepang. Sampai 31 Maret 2000, pelaksanaan Land Readjustment di Jepang sudah mencapai lebih dari 11.200 proyek Land Readjustment, yang meliputi areal 380.000 Ha 146 atau lebih kurang 30 dari areal agregat aglomerasi perkotaan. 147 Japan International Cooperation Agency JICA juga menyatakan bahwa 90 dari kawasan yang sudah direncanakan pembangunannya melalui proyek peremajaan kota, ditata melalui Land Readjustment. Karena kontribusi Land Readjustment sangat berarti bagi pengembangan areal perkotaan yang sistematis, maka di Jepang Land Readjustment disebut “Mother of City Planning”. 148 144 Peter Nakamura, dalam Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System, Boston: Penerbit A Lincoln Institute of Land Policy Book, 1986, hal. 43. 145 Hirohide Konani, “Urban Development in Japan and International Technical”, Makalah pada 7 th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93, 1993, hal. 2, menandaskan: “Land readjustment was first introduced from Germany in the late 19 th century”. 146 Tetsuzo Iwasaki, “The Implementing System of the Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10 th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, Denpasar-Bali, 7-9 November 2000, hal. 3, menunjukkan bahwa 11.000 Ha dari luas seluruh areal kota yang terkonsolidasi di Jepang itu berada di Kota Osaka. Di kota ini 50 dari luas wilayah kotanya terbangun dengan pola Land Readjustment LR. 147 Hideo Madsuda, “Emerging Issues for Japanese Urban Development and Prospective Role of Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10 th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, di Denpasar, Bali, Indonesia, tanggal 7-9 November 2000, hal. 1, 3. 148 Hayashi dan Mayasuki, Final Report Land Readjustment, Laporan Tenaga Ahli JICA, Jakarta: Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional, 1994. Dalam Oloan Sitorus et.al, Op.Cit, hal. 5. Universitas Sumatera Utara Momentum perkembangan pengaturan Land Readjustment, dapat dikelompokkan dalam lima tahapan penting: 149 Pertama, tahun 1899 yakni saat pertama kali 150 Kedua, tahun 1919 yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Perencanaan Kota Planning City Act. Tahap ini disebut juga sebagai awal institusionalisasi Land Jepang melakukan konsolidasi tanah berdasarkan Agricultural Land Conservation Act of 1899 dan Arable Land Consolidation Law 1899. Konsolidasi tanah yang dilakukan oleh para pemilik tanah land owner yang mendapat persetujuan minimal dari duapertiga para pemilik tanah di seluruh areal yang direncanakan, ditujukan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah arable land. Dengan demikian, pada tahap ini pelaksanaan konsolidasi tanah belum ada hubungannya dengan ketentuan perencanaan kota. Arable Land Consolidation Law 1899 ini kemudian direvisi pada tahun 1909 dengan maksud bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah tidak lagi hanya ditunjukkan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah arable land, tetapi juga penggunaan seluruh tanah-tanah pertanian. Menurut revisi Arable Land Consolidation Law ini, badan pelaksana konsolidasi tanah tidak terbatas pada pemilik tanah land owner, tetapi juga koperasi pertanian sawah yang anggotanya separuh dari para pemilik tanah di lokasi yang direncanakan. 149 William Doebele, Land Readjusment, USA: D.C. Heat and Company, 1982, hal. 18; lihat juga Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System A Reconnaisssance and A Digest, Boston-USA: Penerbit Oelgeschlager, Gunn Hain, 1986, hal. 17-30; dan Takayuki Kishii, “Land Readjustment Projects Implementation by Cooperatives in Japan”, Makalah pada 7 th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93’, 1993, hal. 5. 150 Minerbi, et.al, 1986, Op.Cit. hal. 17, menyatakan bahwa konsolidasi tanah yang pertama kali dilakukan di Provinsi prefecture Shizuoka, tetapi pengakuan konsolidasi tanah sebagai metode pengembangan kota secara legal dilakukan setelah adanya the 1888 Tokyo Urban Renewal Ordinance. Universitas Sumatera Utara Readjustment the beginning of the institutionalization of land readjustment. Undang-undang yang juga disebut the basic law of Japanese city planning ini, antara lain 151 Ketiga, tahap yang ditandai oleh The Great Kanto Earthquake, September 1923. Agar Land Readjustment dapat dilakukan secara masif sebagai upaya untuk merehabilitasi kota, terutama Tokyo dan Yokohama, yang rusak karena gempa bumi yang amat hebat pada waktu itu, maka ditetapkanlah Special Planning Act 1923. Konsolidasi tanah yang khusus dilakukan untuk merehabilitasi kota itu dilaksanakan oleh Imperial Capital Rehabilitation Agency. Selain badan tersebut, undang-undang di atas menyebutkan bahwa yang dapat menjadi badan pelaksana konsolidasi tanah lainnya adalah badan-badan administrasi administrative agencies, badan-badan publik lokal local public bodies, koperasi konsolidasi tanah land readjustment cooperative. Akan tetapi, pada tahap ini tidak ada pelaksanaan konsolidasi tanah yang dilakukan oleh koperasi. Special Planning Act 1923 terbukti efektif sebagai bertujuan untuk meningkatkan penggunaan tanah sebagai tapak bangunan building lots. Tegasnya, Pasal 12 dari UU tersebut menyatakan bahwa konsolidasi tanah dilaksanakan “in order to develop and improve facilities for public use and to increase the utility of sites….”. Selanjutnya, Pasal 13 dan 16 menyatakan bahwa konsolidasi tanah harus dilaksanakan sebagai sebuah proyek perencanaan kota. Badan pelaksana konsolidasi tanah pada tahap ini meliputi para pemilik tanah secara individual atau kelompok, koperasi, dan badan publik lokal. 151 Ibid, hal. 18, menyatakan bahwa City Planning Act memuat definition of city planning areas, a zoning system, an acquisition system for structures and the land readjustment system. Universitas Sumatera Utara landasan pelaksanaan konsolidasi tanah dalam skala besar, karena sejak tahun 1923- 1930, lebih kurang telah 2.000 Ha areal yang direhabilitasi dan dibangun. Keempat, tahap restorasi Pasca Perang Dunia II. Pada masa ini konsolidasi tanah diarahkan untuk memperbaiki kota-kota yang rusak karena bom pada waktu terjadi Perang Dunia II, yang sekaligus merupakan realisasi dari perencanaan kota secara khusus pada waktu itu. Badan Pelaksana konsolidasi tanah adalah badan-badan administratif seperti War Damage Rehabilitation Agency dan koperasi konsolidasi tanah. Ketentuan hukum yang menjadi landasan konsolidasi tanah pada tahap ini pada dasarnya sama dengan sebelumnya yakni Undang-Undang Perencanaan Kota City Planning Act sebagai ketentuan dasar perencanaan kota di Jepang. Kelima, tahap pemberlakuan Undang-Undang Land Readjustment, yaitu UU No. 119 Tahun 1954 Land Readjustment Act 1954, yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999. Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran dari LR adalah “the development and improvement of public facilities and promotion of site utility”. Undang-undang yang terdiri dari 7 bab dan 148 pasal ini secara komprehensif mengatur pelaksanaan Land Readjustment di Jepang. Di dalam Bab 2 UU konsolidasi tanah ini misalnya, diatur badan-badan pelaksana konsolidasi tanah yang terdiri atas: badan pelaksana individual individual implementing body; asosiasi konsolidasi tanah land readjustment association; pemerintah provinsi dan kota prefectural and municipal governments Menteri Konstruksi, Gubernur, dan Walikota Minister of Construction, Governor and Mayors; serta korporasi publik perumahan lokal local housing public Universitas Sumatera Utara corporation. 152 Momentum ketiga dan keempat dari pengaturan konsolidasi tanah di Jepang kiranya pilihan untuk memilih Land Readjustment sebagai solusi penataan kembali wilayah perkotaan dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan yang tepat. Hans Kuppers dan Yosuo Nishiyama mengatakan bahwa pada tahun 1945 Pemerintah mengumumkan “the General Framework for Reconstruction in War- Damaged Areas”, yang menyatakan: ‘rehabilitation would take place both by purchase of lands by bonds issuance as well as by land readjustment. Ironically, fear that land prices would fall and cause the value of land bonds to decline eventually would make land readjustment the major rehabilitation method utilized”. Selain, mengatur tahapan pelaksanaan secara rinci, Undang-Undang konsolidasi tanah ini juga mengatur pengawasan dan peraturan-peraturan berkaitan dengan sanksi terhadap penyimpangan pelaksanaan. Pengaturan yang demikian komprehensif itu menjadi faktor yang berarti mendukung keberhasilan pelaksanaan konsolidasi tanah di Jepang. 153 152 UU tentang KT di Jepang ini tidak memuat ketentuan spesifik mengenai pelaksanaan KT oleh koperasi. Menurut Oloan Sitorus, hal itu karena pengertian asosiasi KT pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai “koperasi”. Lihat Hiedo Matsuda, Op.Cit, hal. 3 dan Tetsuzo Iwasaki, Loc.Cit, yang menyamakan pengertian asosiasi KT dengan koperasi KT. Artinya, ketika pilihan rehabilitasi kerusakan yang tersedia adalah ‘penerbitan bonds’ atau ‘pelaksanaan Land Readjustment’ maka pilihan masyarakat lebih terarah pada pelaksanaan Land Readjustment, sebab ada kecemasan bahwa harga tanah akan jatuh dan menyebabkan nilai land bonds turun. Dengan demikian, kondisi yang memungkinkan Land Readjustment menjadi pilihan kebijakan penataan kembali 153 Hans Kuppers dan Yasuo Nishiyama, Selected European Land Readjustment Experiences, dalam Luciano Minerbi, dkk. Land Readjustment: The Japanese System, Op.Cit, hal. 36-37. Universitas Sumatera Utara wilayah kota di Jepang adalah kesadaran masyarakat dan penyelenggara pemerintahan terhadap fungsi dan manfaat Land Readjustment. Kesadaran ini pula kiranya kemudian membuat tingginya komitmen penyelenggara untuk mengatur Land Readjustment dalam suatu undang-undang khusus, yakni UU No. 119 Tahun 1954 Land Readjustment Act 1954, yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999. Land Readjustment juga merupakan instrumen kunci pada waktu pemulihan Kota Kobe, Jepang, yang dilanda gempa bumi pada 17 Januari 1995, dengan korban: 6.400 orang meninggal dunia, 15.000 terluka, 400.000 meninggalkan rumah dan 240.000 membutuhkan rumah. 154 154 Laurie A. Jhonson, “Kobe and Northridge Reconstruction A Look at Outcomes of Varying Public and Private Housing Reconstruction Financing Models”, Dipresentasikan pada “EuroConference on Global Change and Catastrophe Risk Management: Eartquake Risks in Europe”, International Institute for Applied System Analysis HASA, Luxemburg, Austria, 8 Juli 2000, hal. 6. Tepatnya beberapa program dan instrumen kunci dalam memulihkan Kota Kobe itu adalah: a Proyek Land Readjustment, yang mencakup modifikasi batas properti bagi proyek-proyek perluasan jalan di masa mendatang, ruang terbuka, fasilitas publik lainnya; b Proyek Pembangunan Kembali Perkotaan urban redevelopment projects, yang meliputi proses Land Readjustment dan proyek rekonstruksi subsequent, seperti perluasan jalan, bangunan ruang terbuka, fasilitas publik dan pembangunan terpadu komersial dan residensial, biasanya dikerjakan di bawah skema pembelian total total purchase scheme; c Proyek- proyek bagi areal perumahan, yang menerapkan pembangunan tapak bangunan perumahan secara terserak atau pembangunan lingkungan baru yang tidak hanya Universitas Sumatera Utara mencakup bangunan perumahan yang baru, tetapi tujuan-tujuan pembangunan perluasan kota; kedua varitas itu dapat melalui LR dan komponen-komponen pembangunan perkotaan. Masing-masing distrik mendapat penekanan model pembangunan yang bervariasi sesuai dengan permasalahan kerusakan yang timbul. 155 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Jepang telah berhasil melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana termasuk rekonstruksi pertanahan dengan menggunakan pendekatan konsolidasi tanah. Berbeda halnya dengan rekonstruksi pertanahan pasca bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Pemerintah tidak menjadikan kegiatan konsolidasi tanah sebagai prioritas dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Dalam rekonstruksi pertanahan pasca bencana tsunami di Provinsi Aceh konsolidasi tanah hanya dilakukan di Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.

D. Ketersediaan Aturan Hukum Rekonstruksi Pertanahan Pasca