Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Asumsi

Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam mengapa pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan sesuai dengan target yang telah direncanakan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh? 2. bagaimana peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh? 3. bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. mengkaji ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; 2. mengkaji peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; 3. menggali partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, sebagai berikut: 1. Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penemuan konsep-konsep perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang pertanahan terhadap masyarakat yang mengalami bencana gempa, tsunami atau keadaan darurat luar biasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi BPN sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, DPR, Pemerintah dalam upaya pembentukan pranata hukum pertanahan di Indonesia khususnya dalam rangka penanganan masalah pertanahan akibat bencana alam, seperti gempa dan tsunami.

E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teoretis

26 Kerangka teoretis merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem, yang menjadi 26 Kerangka teoretis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoretis ini adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari seluruh analisis. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 325. Universitas Sumatera Utara bahan perbandingan, pegangan teoretis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui”. 27 Kerangka teoretis 28 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan asumsi-asumsinya. Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, 29 analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: “theory means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source”. 30 27 Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar valid atau sahih. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori berguna untuk: Maksudnya pengertian teori adalah suatu langkah dalam kerangka penelitian yang berhubungan dengan literatur, isu kebijakan atau dari sumber substansi yang lain. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk 1 Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; 2 Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan; 3 Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan 4 Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Lihat Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 10. 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa di dalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti. Bandingkan dengan pendapat Robert K. Yin, Application of Case Study Research, New Delhi: Sage Publications International and Professional Publisher Newburry Park, 1993, hal. 4, bahwa teori adalah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Gorys Keraf mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Lihat Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Jakarta: PT. Gramedia, 2001, hal. 47. 29 Koentjaraningrat, 1997, Op.Cit, hal. 21. 30 Robert K. Yin, 1993, Op.Cit, hal. 4. Universitas Sumatera Utara menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum. 31 Pembahasan mengenai Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami di Provinsi Aceh, teori dasar grand theory yang digunakan sebagai pisau analisis adalah Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Unsur- unsur sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: substance, structure and culture. 32 Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum law in book tetapi juga ada hukum yang hidup living law termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Dalam penelitian ini, substansi hukumnya adalah keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh sebagai dasar hukum bagi BPN untuk melakukan rekonstruksi pertanahan. Struktur dari sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsur- unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan dan upaya-upaya 31 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 134. 32 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, New York: Russel Soge Foundation, 1969, hal. 16. Universitas Sumatera Utara hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya. Suatu unsur yang sangat penting dalam struktur hukum adalah agency-agency organ-organpejabat- pejabat yang melaksanakan fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Struktur hukum dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh diwakili oleh BPN dan BRR yang bekerja secara struktural, terintegrasi dan holistik untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah. Budaya hukum menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum yang dikaji dalam penelitian ini adalah budaya hukum yang hidup the living law dalam masyarakat Aceh selama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Budaya hukum menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. 33 33 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: CV. Mandar Maju, 2003, hal. 156. Dengan demikian, budaya hukum masyarakat Universitas Sumatera Utara tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. 34 Sebagai middle theory, dalam penelitian ini menggunakan Teori Perlindungan Hukum oleh Salmond yang berasal dari Teori Hukum Alam. Awal mula dari munculnya Teori Perlindungan Hukum ini bersumber dari Teori Hukum Alam atau Aliran Hukum Alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles murid Plato, dan Zeno pendiri aliran Stoic. 35 Salmond mengatakan dalam Teori Perlindungan Hukum, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 36 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 37 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk 34 Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Jakarta: Chandra Pratama, 1999, hal. 196. 35 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 116. 36 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53. 37 Ibid, hal. 63. Universitas Sumatera Utara mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. 38 Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia HAM yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 39 Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. 40 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. 41 Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 dua, yaitu: 42 1. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan inspraak atas 38 Ibid, hal. 53. 39 Ibid, hal. 54. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Lihat Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993, hal. 118. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Lihat Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991, hal. 55. 40 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, hal. 2 . 41 Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Malang: Universitas Brawijaya, 2010, hal. 18. 42 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 2-5. Universitas Sumatera Utara pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. 2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 tiga badan, yaitu: a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindakan pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. c. Badan-badan khusus Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara. Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota Universitas Sumatera Utara masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. 43 Perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan Pemerintah BPN kepada masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh yang tanahnya musnah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar adalah memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian melalui pelaksanaan rekonstruksi pertanahan dengan cara melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat secara gratis. Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007 mengatakan permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009. Sebagai applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Utrecht. Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum recht zekerheit dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian 43 Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan. Lihat Maria Alfons, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. 44 Van Apeldoorn juga sependapat di mana dengan adanya kepastian hukum berarti ada perlindungan hukum. 45 Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum terhadap tanah, sehingga setiap pemilik dapat terjamin haknya dalam mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar. 46 Untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah, Pasal 19 ayat 1 UUPA, mengamanatkan pemerintah untuk diadakan pendaftaran tanah 47 Pasal 19 ayat 2, menyebutkan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam ayat 1 meliputi: di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 44 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957. 45 Ibid. 46 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, Jakarta: PT. Intermasa, 1980, hal. 21. 47 Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre bahasa Belanda Kadaster suatu istilah teknis untuk suatu record rekaman, menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan atau lain-lain atas hak terdapat suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin “Capistratum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi Copotatio Terrens. Dalam arti yang jelas, cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat untuk memberikan uraian dan identifikasi tersebut dan juga sebagai continuous recording rekaman yang bersinambungan dari hak atas tanah, lihat A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999, hal. 18-19. Universitas Sumatera Utara Pasal 19 ayat 3, menyebutkan pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat 1 terkait pengaturan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam perkembangan berikutnya Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang pendaftaran tanah di Indonesia. Kebijakan baru tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997 tentang Pendaftaran Tanah selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997. PP No. 24 Tahun 1997 telah ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 selanjutnya disebut Peraruan MNAKepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksana penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia. 48 Lahirnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 telah menyempurnakan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Menurut A.P. Parlindungan, PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena: 49 48 Soni Harsono, Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional, “Kebijakan Baru di Bidang Pertanahan Dampak dan Aplikasinya dalam Pembangunan Nasional”, Sambutan KunciMakalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis XXVII KM. Teknik Geodesi-Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 15 November 1997. 49 Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara 1. dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum; 2. dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya; 3. dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana. PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. 50 Terdaftarnya bagian tanah tersebut, sebenarnya tidak semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal sebagai berikut: 51 a. adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah security; b. mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut simplity; c. adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan accuracy; d. mudah dilaksanakan expedition; Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, Medan, 2 September 2006, hal. 8-9. 50 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005, hal. 81. 51 S. Rowton Simpson, Land Registration, Cambridge University, 1976, hal. 260 dalam A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2004, hal. 10 dalam Muhammad Yamin, 2006, Op.Cit, hal. 7. Universitas Sumatera Utara e. dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah cheapness, dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak suistable. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 justru dipertegas dan diperjelas di dalam PP No. 24 Tahun 1997. Penegasan yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 merupakan upaya penyempurnaan terhadap peraturan yang ada sekaligus penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana prinsip-prinsipnya telah diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru pendaftaran tanah dimaksud secara substansial tetap menampung konsepsi-konsepsi hukum adat yang hidup dan berakar dalam masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat kerangka tujuan UUPA yaitu untuk menciptakan unifikasi hukum tanah nasional yang memang didasarkan pada hukum adat. 52 Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat 1 UUPA ditentukan bertujuan tunggal yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadastar artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan. 53 52 Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung: Mandar Maju, 2008, hal. 15. 53 Ibid, hal. 13. Universitas Sumatera Utara PP No. 24 Tahun 1997 merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk menyediakan dasar hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkepastian hak sekaligus menampung aspirasi masyarakat di dalam hal kepastian hukum atas tanah. 54 Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 24 Tahun 1997 adalah: “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah yang sudah ada hak-haknya dan hak milik atas rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas sederhana berarti ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkentingan. Asas aman terkandung maksud bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Asas terjangkau di sini terkandung makna keterjangkauan dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. Sedangkan asas mutakhir adalah kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia menunjukkan keadaan yang mutakhir, untuk itu perlu diikuti kewajiban pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Pengertian terbuka pada pendaftaran adalah adanya 54 Soni Harsono, 1997, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara transparansi dalam setiap proses kegiatan pendaftaran tanah, dan masyarakat dapat memperoleh data yang benar dan setiap saat. 55 Pendaftaran tanah mempunyai tujuan sebagai berikut: 56 a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum yang selanjutnya diberikan sertipikat hak atas tanah kepada yang bersangkutan, merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Menurut Boedi Harsono, memperoleh sertipikat hak atas tanah, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang. 57 Demikian pentingnya peranan sertipikat, sehingga kekuatan pembuktiannya tidak hanya berlaku ekternalterhadap pihak luar, tetapi juga mempunyai daya kekuatan internal, yakni memberikan rasa aman bagi para pemegangpemiliknya serta ahli warisnya agar ahli warisnya di kemudian hari tidak mengalami kesulitan, dalam 55 Ibid bandingkan dengan Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997. 56 Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997. 57 Boedi Harsono, 2007, Op.Cit, hal. 475. Menurut Muhammad Yamin, bahwa sertipikat tanah adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang, lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 132-133. Universitas Sumatera Utara arti tidak perlu bersusah payah untuk mengurusnya, hanya harus menjaga keamanannya serta menghindari kerusakannya. 58 Hal penting lain ditekankan dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, diberikan penafsiran mengenai makna “alat pembuktian yang kuat” dari sertipikat, yaitu selama belum dibuktikan dan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan hukum tanah yang bersangkutan. 59 Bahkan disebutkan pula bahwa sesuatu pihak yang akan kehilangan haknya untuk menuntut pelaksanaan hak atas suatu bidang tanah yang telah dibukukan dan dikeluarkan sertipikat atas nama pihak lain, jika yang bersangkutan telah memperoleh tanah itu dengan iktikat baik dan menguasainya secara nyata lebih dari 5 lima tahun, keterangan atas penjelasan seperti ini merupakan refleksi kepastian hukum yang pasti. 60 Karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi mengenai bidang tanah, maka data fisik yaitu keterangan tentang letak, batas dan luas bidang tanah, termasuk mengenai bangunan yang ada di atasnya, dan data yuridis yaitu keterangan mengenai status hukum bidang tanah 58 Beni Bosu, Perkembangan Terbaru Sertipikat Tanah, Tanggungan, dan Kondominium, Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997, hal. 5. 59 Ibid. 60 Pasal 32 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997. Universitas Sumatera Utara terkait dibukukan, dengan demikian setiap data fisik dan data yuridis mengenai data itu semuanya tercatat dalam dokumen pendaftaran. Pemberian kesempatan kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam pemberian dan pengumpulan informasi tentang data yuridis tanah. Dalam kaitannya dengan data fisik tanah, masyarakat khususnya pemegang hak atas tanah dan pemilik tanah di sekitarnya diikutsertakan dalam menentukan batas-batas pemilikan tanahnya secara musyawarah. Apabila musyawarah itu tidak dapat menghasilkan kesepakatan, maka hal tersebut diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan dan menetapkan batas-batas kepemilikannya, sehingga nilai kepastian hukumnya dapat menjamin. Bentuk partisipasi lain dalam kaitannya dengan data fisik tanah adalah dibukanya kesempatan badan usaha ikut melakukan pengukuran dan pemetaan. Berkenaan dengan pengumpulan data yuridis tanah, masyarakat dapat memberikan kesaksian untuk memperkuat kepemilikan orang lain atas sebidang tanah, terutama jika alat-alat bukti tertulis tidak tersedia. 61 Partisipasi masyarakat dalam pendaftaran tanah adalah terkait dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam pendaftaran tanah sangat penting sehingga kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan harus dipatuhi dan dilaksanakan. Menurut Zainuddin Ali, salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yaitu berupa kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, 61 Soni Harsono, Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional, “Masalah Pertanahan Memasuki Era Globalisasi”, Makalah, disampaikan dalam Rangka Memperingati Dies Natalis XXXIX Universitas Janabadra, Yogyakarta, 31 Oktober 1997. Universitas Sumatera Utara derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 62 Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk baik dari segi kehidupan sosial budayanya maupun dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh masing-masing kelompok masyarakat. Oleh karenanya perbedaan merupakan suatu realita yang harus dihormati. Pemberian perhatian dan penghormatan terhadap perbedaan itu tercermin dalam ketentuan tentang alat-alat bukti awal yang dapat digunakan untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah. Kelompok-kelompok masyarakat yang pada masa lalu sudah pernah bersentuhan dengan administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern seperti yang berlangsung dalam masyarakat di Jawa dan daerah swapraja, alat bukti awal yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkonversi dan mendaftarkan hak atas tanahnya berupa bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan seperti grosse akte dari hak-hak Barat, sertipikat model E atau D yang dikenal di Yogyakarta, dan girik atau petuk pajak tanah. Jika alat-alat bukti tersebut tidak ada, maka dapat dipergunakan kesaksian orang lain atau pernyataan yang diberikan oleh pihak yang mendaftarkan. Sedangkan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat, alat bukti yang dapat digunakan kenyataan tentang 62 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 37. Universitas Sumatera Utara penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu telah berlangsung secara turun-menurun dan atas dasar iktikat baik selama 20 dua puluh tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya seperti ketua-ketua adat, dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan keadaan sekarang di mana alat-alat bukti tertulis tersebut banyak yang sudah tidak ada lagi dan keadaan di daerah-daerah yang memang tidak mengenal adanya alat bukti tertulis. 63 PP No. 24 Tahun 1997 juga mengatur secara terinci tentang penerbitan sertipikat pengganti karena sertipikat rusak, hilang, masih menggunakan blangko lama atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi. Berdasarkan Pasal 57 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997, permohonan sertipikat pengganti hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat 1, atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53 atau kuasanya. Dalam hal pemegang 63 Soni Harsono, 1997, Op.Cit. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, PP No. 24 Tahun 1997 telah memberikan perhatian dan perlindungan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah oleh anggota-anggota suku atau masyarakat hukum adat yang hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik. Dengan penegasan inipun, PP No. 24 Tahun 1997 telah mengakomodasi pandangan kelompok- kelompok tertentu yang mengkhawatirkan kurang terlindungnya pengusahaan dan pemilikan tanah oleh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara hak atau penerima hak 64 Demi kepentingan kepastian hukum terhadap sertipikat hilang dan penggantian sertipikat baru, diperlukan pernyataan di bawah sumpah dari yang bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk, selanjutnya diumumkan 1 satu kali dalam salah satu surat kabar harian setempat dengan biaya pemohon. Jika dalam jangka 30 tiga puluh hari tidak ada yang mengajukan keberatan atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, maka diterbitkan sertipikat baru, dan apabila keberatan tersebut dianggap beralasan, maka Kepala Kantor Pertanahan menolak menerbitkan sertipikat pengganti. sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan bukti sebagai ahli waris. 65 Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat 4 UUPA terkait biaya-biaya dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, mengatur sebagai berikut: 66 1 besarnya dan cara pembayaran biaya-biaya dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri; 2 atas permohonan yang bersangkutan, Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dapat membebaskan pemohon dari sebagian atau seluruh biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu membayar biaya tersebut; 3 untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran; 4 tata cara untuk memperoleh pembebasan atas biaya pendaftaran tanah diatur oleh Menteri. Pendaftaran tanah berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 berbeda pelaksanaan dengan pendaftaran tanah dalam keadaan darurat 67 64 Pasal 57 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997. seperti bencana gempa dan 65 Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997. 66 Pasal 61 PP No. 24 Tahun 1997. Universitas Sumatera Utara tsunami tahun 2004 di Provinsi Aceh, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Pendaftaran tanah pasca tsunami di Provinsi Aceh dilaksanakan melalui program RALAS yang dikenal dengan istilah pendaftaran tanah berbasis masyarakat mempunyai perbedaan dengan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 antara lain dalam hal penentuan lokasi pendaftaran tanah, tidak dikenakan biaya apapun dalam keseluruhan program pendaftaran tanah, penentuan batas-batas bidang tanah dan kepemilikan hak atas tanah didasarkan kepada kesepakatan warga, dilaksanakan dalam jangka waktu cepat, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem digital, pemetaan dilakukan dengan menggunakan sistem satelit, dilaksanakan dengan prinsip: partisipatif, transparans, akuntabel, dan adanya monitoring secara independen dan pelaksanaan program mencakup seluruh bidang tanah di seluruh gampong yang terkena bencana tsunami. Sesuai dengan Teori Perlindungan Hukum di atas yang dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan kebutuhan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan 67 Darurat adalah adalah keadaan sukar sulit yang tidak disangka-sangka darurat bahaya, kelaparan dan sebagainya yang memerlukan penanggulangan segera, lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal. 211. Menurut Telly Sumbu et.al, Darurat adalah 1. Keadaan sukar atau sulit sehingga memerlukan suatu tindakan cepat dan tepat sasaran misalnya penanggulangan bahaya banjir, kelaparan dan sebagainya; 2. Keadaan terpaksa yang harus dilakukan atau ditangani karena tidak ada cara lain lagi, lihat Telly Sumbu, et.al, Kamus Umum, Politik Hukum, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010, hal. 128-129. Universitas Sumatera Utara dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 68 Kepentingan atau kebutuhan masyarakat yang terkena dampak tsunami di Provinsi Aceh adalah perlindungan terhadap kepemilikan tanahnya yang diwujudkan dengan pemberian sertipikat hak atas tanah oleh Pemerintah untuk melindungi pemilik atau ahli waris yang sebenarnya dari pihak-pihak yang tidak berhak.

2. Kerangka Konsepsional

69 Kerangka konsepsional 70 penting dirumuskan agar tidak tersesat ke pemahaman lain, di luar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan “alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar”. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. 71 68 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53. Dalam konsepsional diungkapkan beberapa 69 Konsepsional berarti berdasarkan konsepsi, pikiran dan cita-cita. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal. 520. 70 Kerangka konsepsional biasanya sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam pengumpulan, pengolahan, analisa, dan konstruksi data. Lihat Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 137. 71 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1996 dan Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 48-49. Dalam bahasa Latin, kata conceptus di dalam bahasa Belanda: begrip atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “definisi” yang di dalam bahasa Latin adalah definition. Definisi tersebut berarti perumusan di dalam bahasa Belanda: onschrijving yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian di samping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Konsep berbeda dengan teori, di mana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau Universitas Sumatera Utara konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 72 Selanjutnya konsepsional atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Kalau masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsepsional sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsepsional merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. 73 Menjawab permasalahan dalam penelitian disertasi ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi atau pandangan agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup dari variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Beberapa definisi secara konsepsional dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisikobyek dan subyek tanah terhadap tanah pertanian dan perumahan melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah. lebih. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996, hal. 22-23, 58-59. 72 Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 21. Pada hakikatnya, konsepsional merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis tinjauan pustaka yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian, lihat Satjipto Rahardjo, 1996, Op.Cit, hal. 30 dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 48. 73 Koentjaraningrat, Op.Cit, hal. 21. Universitas Sumatera Utara b. Rekonstruksi fisikobyek pertanahan adalah penentuan kembali batas bidang- bidang tanah yang telah rusakhilang. c. Rekonstruksi yuridis pertanahan adalah sebagai upaya Pemerintah dalam rangka menemukan kembali pemilik-pemilik tanah, guna dihubungkan dengan pemilikan tanahnya secara fisik dan administrasi yang terputus sebagai akibat bencana tsunami. d. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. e. Bencana adalah gangguan serius terhadap masyarakat yang menyebabkan kerugian, baik terhadap manusia, material maupun lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk menanganinya dengan sumberdaya sendiri. f. Kondisi darurat adalah suatu situasi yang luar biasa di mana terjadi ancaman yang serius terhadap kehidudpanan manusia sebagai akibat dari bencana. g. Tsunami adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan manusiamasyarakat akibat gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh macam-macam gangguan di dasar samudera. Universitas Sumatera Utara h. Ketersediaan hukum adalah kesiapan dari peraturan perundang-undangan terutama dibidang pertanahan untuk digunakan atau dioperasikan dalam rangka menyelesaikan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. i. Peran Badan Pertanahan Nasional adalah kesiapan Badan Pertanahan Nasional meliputi sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta sarana dan prasarana yang diperlukan dalam rangka rekonstruksi pertanahan. j. Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang melibatkan masyarakat, yaitu proses komunikasi dua arah yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat secara penuh dalam rangka mendukung kegiatan rekonstruksi pertanahan yang bertujuan mengembalikan hak atas tanah kepada pemiliknya pasca tsunami di Provinsi Aceh.

F. Metode

74 Penelitian 75 74 Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang artinya “jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008, hal. 13. Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007, hal. 43. 75 Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah. Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009, hal. 13. Universitas Sumatera Utara Pemilihan suatu metode yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam pengumpulan bahan materi penulisan disertasi. Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif yang memberikan pemecahan suatu masalah problem solving dan tidak sekedar deskriptif just to describe something as it is. 76

2. Jenis Penelitian

Dengan sifat penelitian preskriptif ini maka dapat dicari solusi aturan hukum pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, kesiapan BPN dalam melakukan rekonstruksi pertanahan dan partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan rekonstruksi pertahanan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris 77 76 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Jakarta: PT. Sofmedia, 2012, hal. 107. merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum tidak tertulis dan penelitian terhadap efektivitas hukum. 77 Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 51. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terjadi di masyarakat lapangan secara langsung untuk menjawab Universitas Sumatera Utara

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Undang-Undang statute approach. Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007.

4. Lokasi Penelitian

Mengingat luasnya Provinsi Aceh yang terkena tsunami, maka dipilih 2 dua kabupatenkota sebagai lokasi penelitian yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan kedua lokasi tersebut berkaitan dengan kepadatan penduduk, sebagai ibukota provinsi atau berdekatan dengan ibukota Provinsi dan merupakan lokasi prioritas pelaksanaan kegiatan RALAS terutama di awal kegiatan rekonstruksi pertanahan, juga berdasarkan pertimbangan hal-hal berikut: a. Kota Banda Aceh: 1 Luas 6.136 Ha pada saat sebelum gempa dan tsunami terdiri dari 32,65 penggunaan tanah bangunan dan 67,35 penggunaan tanah non bangunan, sesudah bencana tanah bangunan berubah menjadi 12,58 tanah bangunan rusak sedangkan selebihnya 20,07 terdiri dari 2,87 rusak ringan, 0,39 rusak beratmusnah dan 16,81 bebas tsunami. Penggunaan tanah non bangunan berubah menjadi 35,27 rusak sedangkan selebihnya 32,08 tidak rusak yang dirinci menjadi 7,06 rusak ringanaman tidak terkena tsunami dan 5,54 rusak beratmusnah. 2 Total kerusakan sebesar 47,85, terdiri dari: pokok permasalahan, lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 24. Lihat juga pendapat Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya “Metodologi Penelitian Hukum”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, yang mengatakan bahwa hukum empiris adalah penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Universitas Sumatera Utara i. 12,58 penggunaan tanah bangunan dengan kualifikasi 4,19 rusak berat, 4,69 rusak sedang, dan 3,70 rusak ringan. ii. 35,27 penggunaan tanah non bangunan dengan kualifikasi hampir seluruhnya rusak berat dan sedang. b. Kabupaten Aceh Besar: 1 Luas kabupaten 296.690 Ha yang terkena tsunami seluas 11.566 Ha atau 3,89 dari total luas wilayah, meliputi Baitussalam, Darul Imarah, Leupung, Lhoknga, Lhoong, Mesjid Raya, Pekanbada dan Pulo Aceh. 2 3,89 luas wilayah yang terkena tsunami hampir seluruhnya dalam kondisi rusak sedang sampai berat. 78

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris ini menggunakan: a. Penelitian Kepustakaan Library Research. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, yang meliputi: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. 1 Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari: a Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; c Undang-Undang 51Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya; d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas dan Benda-benda yang ada di atasnya; e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi 78 Badan Pertanahan Nasional, Op. Cit., hal. 5-6. Universitas Sumatera Utara Sumatera Utara menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550; f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633; g Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; i Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; j Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; k Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696; l Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan; m Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara; n Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksana Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia; o Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114- II2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah Berbasis Masyarakat pada Lokasi Terkena Bencana Tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang Menjadi Objek Universitas Sumatera Utara Kegiatan Pemulihan Hak Atas Tanah dan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh; p Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 57-VII- 2005 tentang Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; q Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 267-X- 2005 tentang Perpanjangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Recontruction of Aceh Land Administration System RALAS Tahun Anggaran 2005; r Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 28-IX- 2006 tentang Struktur Organisasi dan Penunjukan Tenaga PengelolaPelaksana Kegiatan Recontruction of Aceh Land Administration System RALAS Tahun Anggaran 2006; s Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12-III- 2008 tentang Pembentukan Struktur Pengelolaan dan Penunjukan PengelolaPelaksana Kegiatan Recontruction of Aceh Land Administration System RALAS Tahun Anggaran 2008; t Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13-III- 2008 tentang Pembentukan PanitiaTim Ajudikasi dalam Rangka Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh RALAS di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008; u Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10; v Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20; w Surat Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam MPU NAD Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H27 April 2005 M. 2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: RUU, hasil-hasil penelitian atau doktrin, Universitas Sumatera Utara 3 Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 79 b. Penelitian Lapangan Field Research.

6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: studi dokumen, dan wawancara. 80 Wawancara dilakukan terhadap responden. 81 dan narasumber 82 a. 1 orang Pejabat pada BPN Kantor Wilayah Provinsi Aceh, . Responden yang diwawancarai sebanyak 30 tiga puluh orang terdiri dari Kota Banda Aceh sebanyak 15 lima belas orang dan Kabupaten Aceh Besar sebanyak 15 lima belas orang. Narasumber yang diwawancarai, sebagai berikut: b. 1 orang mantan Pelaksana Rekonstruksi Administrasi Pertanahan pasca gempa dan tsunami di Provinsi Aceh, c. 1 orang Pejabat Badan Pertanahan Kota Banda Aceh, d. 1 orang Pejabat Badan Pertanahan Kabupaten Aceh Besar, e. 1 orang pejabat pada Baitul Mal Provinsi Aceh, f. 1 orang pejabat pada Majelis Adat Aceh MAA, g. 1 orang pejabat pada Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh. 79 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, hal. 31-32. 80 Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden, narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi. Wawancara adalah bagian penting dalam suatu penelitian hukum terutama dalam penelitian hukum empiris. Karena tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara langsung kepada responden, narasumber atau informan. Lihat Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal. 161. 81 Responden adalah seseorang atau individu yang akan memberikan respons terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti. Responden ini merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan, Ibid, hal. 174. 82 Narasumber adalah seorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti. Dia bukan bagian dari unit analisis, tetapi ditempatkan sebagai pengamat. Hubungan narasumber dengan objek yang diteliti disebabkan karena kompetensi keilmuan yang dimiliki, hubungan struktural dengan person-person yang diteliti, atau karena ketokohannya dalam populasi yang diteliti, Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal. 175. Universitas Sumatera Utara

7. Analisis Data

83 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Bogdan dan Biklen mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 84 Seidel mengemukakan analisis data kualitatif prosesnya berjalan sebagai berikut: “Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya. 85 Janice McDrury dalam Collaborative Group Analysis of Data, mengatakan bahwa tahapan analisis data kualitatif adalah: 86 1. membacamempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data; 2. mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data; 3. menuliskan “model” yang ditemukan; 4. koding yang telah dilakukan. Lexi J. Moleong mengatakan: 87 83 Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasainya, Ibid, hal. 183. 84 Runtung, “Metode Penelusuran Literatur dan Penulisan Hukum”, Bahan Kuliah, Medan: Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011, hal. 13. 85 Ibid. 86 Ibid. Universitas Sumatera Utara “Bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu: dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data, yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikatagorisasikan pada langkah berikutnya. Katagori-katagori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu”. Setelah semua proses di atas dilaksanakan, maka dilakukan penarikan kesimpulan dengan metode induktif-deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang berasal dari bahan-bahan yang bersifat khusus kepada yang umum.

G. Asumsi

Asumsi adalah suatu pernyataan yang dianggap benar tanpa perlu menampilkan data untuk membuktikannya. 88 1. Ketersediaan aturan hukum sebagai dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh belum memadai karena Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak ada mengatur pendaftaran tanah dalam keadaan darurat pasca tsunami. Peraturan yang mengatur rekonstruksi pertanahan pasca tsunami hanya Keputusan Kepala Badan Pertanahan Asumsi Dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 87 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 247-248 dalam Runtung, Op.Cit. hal. 13-14. 88 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1997, hal.114. Universitas Sumatera Utara Nasional No. 114-II2005. Sedangkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 yang mengadopsi Keputusan Kepala BPN No. 114-II2005 terlambat diterbitkan. Hal ini mengkibatkan program rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh tidak berjalan sesuai yang direncanakan dan realisasi target tidak tercapai. 2. Peran BPN dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh belum maksimal, hal tersebut dikarenakan lemahnya perencanaan sertifikasi program, lemahnya monitoring lapangan, kurangnya dukungan tekhnis di lapangan, terlambat penunjukan dan mobilisasi SDM manajemen RALASTim Ajudikasi dan kurangnya koordinasi di lapangan. Akibatnya, menghambat pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh. 3. Partisipasi masyarakat dalam mendukung rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh masih kurang, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap program kegiatan RALAS, kurangnya informasi yang diterima oleh pemilik tanahahli waris atau masyarakat di tempat pengungsian, dan tingginya trauma yang dialami masyarakat terutama pemilik tanahahli waris pada awal pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Hal ini mengakibatkan program pensertipikatan tanah tidak berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

H. Sistematika Penulisan