dan dia ingin duduk. Os tidak menyadari bahwa orang tersebut marah dan ia hanya duduk dengan tenang. Namun
setelah dijelaskan bahwa Os harus berdiri bila bus telah penuh, dia pun tidak lagi menyuruh orang untuk berdiri.
“Kalau anak normal kan punya simpati dan empati ya, kalau anak autis mana punya. Mereka gak bisa ngerti perasaan-
perasaan orang lain.” W. S2. 06.03.07. 81. “Pernah dulu waktu dia naik bus, kalau busnya penuh,
ya dia nyuruh orang berdiri supaya dia bisa duduk. Orang itu marah ya mana dia ngerti. Tapi setelah dikasih tau kalau busnya
penuh Os harus berdiri, sekarang dia berdiri.” W. S2. 06.03.07. 82.
Hal lain juga terjadi pada Os anak subjek, bila ia
merasa bersalah. Subjek mengatakan bahwa anaknya akan meminta maaf padanya bila diberitahu bahwa tindakan yang
dilakukannya telah menyusahkan banyak orang dan diminta untuk tidak mengulanginya. Hal ini seperti menimbulkan
perasaan bersalah pada dirinya dan akan membuatnya mengatakan maaf pada subjek.
“Tapi kalau misalnya dia merasa membuat orang lain gak senang, trus kalau dia merasa bersalah, dikasih tau kalau
tindakannya dia itu membuat semua orang susah, jangan diulangi, dia pasti bilang minta maaf “iya, Os minta maaf..” gitu.
Dan ini sering terjadi ya…” W. S2. 06.03.07. 83.
C. Perkembangan Kognitif
Terkait dengan gangguan komunikasi yang terjadi pada Os yaitu sensitivitasnya terhadap suara dan orang yang
mengatakan banyak kata, hal ini mempengaruhinya dalam menerima intruksi, perintah ataupun informasi. Karena hal
tersebut, setiap kali memberikan instruksi atau informasi kepada Osi, subjek memberikannya dengan kalimat yang
singkat, jelas dan pelan. Selain itu subjek juga melihat bagaimana suasana hati anaknya tersebut, karena hal ini
mempengaruhi respon Os terhadap instruksi maupun informasi.
“Instruksi…bagi dia adalah singkat jelas. Jadi begini untuk beberapa anak autis itu ada masalah dengan pendengaran.
Jadi artinya semakin banyak kita ngomong, semakin banyak informasi yang masuk dia bingung, sehingga bahasanya adalah
singkat, jelas, sederhana itu saja.” W. S2. 06.03.07. 36.
“Pokoknya kalau sama dia itu yang penting perintahnya singkat, jelas dan pelan…ya itu don’t talk to much
and don’t fast.” W. S2. 06.03.07. 41. “Kalau memberi instruksi itu pada timing yang tepat,
itu pasti masuk dan itu tidak cukup hanya dengan verbal, dengan visual kalau ada kesulitan.” W. S2. 06.03.07. 37.
Subjek menjelaskan bahwa selain perintah yang diberikan secara singkat, jelas dan pelan, anaknya juga
mampu menangkap informasi lebih cepat dan baik bila menggunakan visualisasi misalnya gambar. Cara
penyampaian informasi dengan visualisasi memungkinkan Os untuk menerima informasi tersebut dengan lebih mudah
dan mengingatnya secara terus-menerus karena ia juga memiliki daya ingat yang kuat.
“Kalau udah main visual enak, dengan visual itu jelas dia, dia bisa memahami apa yang diinstruksikan.” W. S2.
06.03.07. 38. “Os itu kalau diberi tahu dengan cara yang sesuai
dengan kemampuannya menerima informasi itu dia mudah sebenernya. Dia itu kan daya ingatnya juga kuat, jadi sekali
diberi tahu ya dia ingat itu.” W. S2. 06.03.07. 39.
D. Perkembangan Sosial
Ketika anaknya memasuki masa pubertas, subjek melihat bahwa anaknya mengalami perubahan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Sejak usia sebelas tahun, Os memang sudah menolak kehadiran orang lain dalam
kamarnya. Subjek menjelaskan bahwa Os pernah melakukan suatu tindakan yang menunjukkan penolakan terhadap teman
di sekolahnya, karena anaknya tidak menyukai apa yang dilakukan temannya itu.
“Sekarang ini ada murid baru yang toilet training belum jalan, masih suka ngompol dimana-mana, nah Os tidak
suka, makanya ketidaksukaannya terbawa sampai sekarang. Misalnya dia melempar mobil anak itu, gitu.” W. S2. 06.03.07.
42.
“Os itu sejak umur sebelas tahun sudah gak mau ada orang lain di kamarnya, itu sejak adik bungsunya, perempuan
lahir.” W. S2. 06.03.07. 44.
Perubahan ini juga terjadi dalam interaksi antara Os dengan ibunya. Subjek mengatakan bahwa sejak masuk
usia pubertas, anaknya menunjukkan sikap seperti membenci ibunya. Os selalu melarang ibunya melakukan apapun, tapi
tak jarang Os menunjukkan sikap sayang terhadap ibunya seperti menciumi ibunya.
“Kalau gak salah sejak tiga tahun ini, waktu dia masuk pubertas itu, dia jadi kayak benci sama ibunya. Ibunya gak boleh
nyanyi, gak boleh nelpon atau nerima telpon, gak boleh terima tamu…gitu. Tapi kadang sering juga diciumin gitu.” W. S2.
06.03.07. 43.
Subjek melihat anaknya mulai menunjukkan minat yang besar terhadap lawan jenisnya. Os mulai tertarik pada
perempuan yang menurut subjek termasuk cantik. Subjek sering melihat anaknya menggambar wanita yang dia sukai,
menyebutkan atau menulis nama wanita itu dan menunjukkannya pada subjek. Os juga sering menuliskan
apa yang dia inginkan terkait dengan wanita yang dia sukai.
“Os memang menunjukkan minat terhadap orang lain, biasanya terhadap perempuan yang membuat dia merasa tertarik.
Dia itu tau mana perempuan yang cantik, yang dia suka.” W. S2. 06.03.07. 45.
“Biasanya dia kalau tertarik sama perempuan gitu, dia biasanya gambar, nyebut namanya kalau enggak dia tulis dia mau
apa trus dikasih lihat ke saya.” W. S2. 06.03.07. 46.
4. Perilaku Seks Anak
Sejak usia empat belas tahun, subjek melihat bahwa anaknya mulai menyukai wanita-wanita cantik. Hal ini terlihat
dari sikap Os yang terus-menerus memperhatikan wanita tersebut. subjek mengatakan bahwa anaknya tidak menunjukkan
perilaku yang berlebihan seperti memeluk ataupun menciun wanita itu. selama ini yang terjadi adalah Os hanya melihat
wanita itu dan bersalaman dengannya.
“Os itu sejak empat belas tahun dia udah mulai tertarik sama satu cewek. Ya karena kami memantau dia setiap hari ya dia itu
hanya melihat kalau tertarik tidak sampai jadi agresif gitu, paling ya cuma melihat saja tidak sampai gimana, merangkul itu enggak sama
sekali.” W. S2. 06.03.07. 47.
“Sekarang cara dia nunjukkin ketertarikannya sama perempuan gimana pak?
Ya itu tadi dengan melihat…tapi hanya sekedar melihat dia itu. yang penting itu dia disapa. Apalagi mau salim ya udah seneng, gak sampai
mau mencium atau meluk.” W. S2. 06.03.07. 53.
Os memang pandai menggambar, dan ketertarikannya terhadap wanita cantik dia tuangkan dalam lukisan. Subjek
menceritakan bahwa banyak tokoh-tokoh wanita cantik yang digambar oleh anaknya, seperti Tamara Blezenski dan Titi DJ.
“Masa pubertas itu dia itu tau oh ini cewek cantik…dia tau..dia punya selera…makanya dia gambar Tamara Blezenski, Titi
Dj…itu dia gambar.” W. S2. 06.03.07. 50.
Perilaku lain yang terjadi pada Os ketika memasuki masa pubertas adalah kesukaannya terhadap pakaian dalam
wanita. Ketika Os berumur empat belas tahun, subjek menemukan bahwa anaknya sering menyembunyikan pakaian
dalam ibunya yang bermerk triump dibawah tempat tidurnya. Os pun sangat menyukai melihat gerai pakaian dalam wanita di toko
yang mereka datangi, sampai ia membuat suatu lukisan pakaian- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pakaian dalam wanita yang bermerk triump. Lukisan itu diberi judul “Jemuran Pakaian Celana Dalam Wanita Merk Triump”
yang sekarang dipajang di sekolah Os. Os juga membuat sebuah lukisan yang berjudul “Orang-orang Sedang Memakai Celana
Dalam Wanita Merk Triump.”
“Waktu dulu dia lagi birahi itu, dia nyimpenin pakaian dalam ibunya di bawah kasur. Itu cara-cara dia ya gak papa, daripada
nanti dilarang dia malah gak mau apa-apa ya sudah.” W. S2. 06.03.07. 49.
“Os itu sampai sekarang sangat senang melihat gerai
pakaian dalam wanita…ada cel-dal…anda tau lukisannya itu, iya lukisan celana dalam, bra itu ya…
ya itu menunjukkan pada saat itu, birahinya tinggi-tingginya, dia tunjukkan ekspresikan dengan
menggambar cel-dal, anda tau kan sekarang banyak wanita-wanita yang pakai pakaian yang terlihat belakangnya itu…itu dia tunjukkan
dan dia menggambar tokoh-tokoh wanita yang dia sukai. Anda sudah lihat lukisan-lukisan dia yang dipajang di sekolah yang tentang
jemuran pakaian dalam wanita merk triump sama lukisan orang sedang memakai celana dalam wanita?” W. S2. 06.03.07. 48.
Subjek juga menceritakan bahwa anaknya tertarik pada wanita yang berpakaian minim sehingga terlihat celana
dalamnya. Untuk menunjukkan ketertarikannya. Os akan menggambarnya dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia
ingin melihat celana dalam wanita.
“Kadang kalau ada remaja putri yang memakai celana sama kaos, trus kalau duduk agak kelihatan celana dalamnya, nanti Os
langsung gambar dan bilang “Os ingin melihat celana dalam wanita”. W. S2. 06.03.07. 54.
Subjek menceritakan bahwa sejak berumur empat belas tahun, ia mengetahui bahwa anaknya melakukan mastrubasi
didalam kamarnya. Menurut subjek hal ini dapat terjadi setiap hari dan sering.
“Umur 14 tahun itu, Os sudah melakukan aktivitas-aktivitas seperti masturbasi didalam kamarnya, setiap hari, setiap saat itu.” W.
S2. 06.03.07. 55.
5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua
Subjek memperhatikan setiap perkembangan anaknya, terutama yang berkaitan dengan seksualitas. Subjek menyediakan
kamar pribadi untuk anaknya, ketika dirasa anaknya mulai menunjukkan perilaku seks yang menonjol. Termasuk perilaku
masturbasi yang sudah dilakukan anaknya sejak umur empat belas tahun. Subjek tidak melarang anaknya melakukan hal itu,
karena menurut subjek hal itu wajar dilakukan melihat asupan gizi yang dimakan oleh anaknya. Hanya saja subjek tidak
membiarkan anaknya melakukan hal tersebut di tempat umum atau didepan orang yang akan membuat anaknya menjadi
tontonan orang lain.
“Hal paling sederhana, metodenya adalah yang alami saja, kira-kira sudah menunjukkan ketertarikan terhadap perempuan
apalagi sudah menunjukkan ketertarikan terhadap atau mengarah kepada atau hal-hal yang menonjol…ya pada saat itulah orang tua
harus mulai ya….kamar harus dipersiapkan supaya sendiri.” W. S2. 06.03.07. 58.
“Kalau masturbasi itu, dia sering, logikanya kan begini, gimana dia tidak masturbasi kalau makanannya proteinnya tinggi dan
sebagainya. Itu kan beberapa…itu kan wajar ya, tapi kita kan punya agama, punya kepercayaan, itu yang menjadi hambatan. Kalau saya ya
karena ini kan penyandang cacat ya daripada dia mengeluarkan di luar kemudian mempertontonkan.” W. S2. 06.03.07. 56.
Kemampuan anaknya yang baik untuk menerima instruksi melalui visualisasi, dimanfaatkan oleh subjek untuk
mengajarkan anaknya tentang melakukan masturbasi di dalam kamar. Subjek menggunakan gambar untuk memberitahu
anaknya tidak boleh memperlihatkan kemaluannya didepan orang. Dengan menggunakan gambar dan sketsa tidak boleh
dengan tanda silang dan boleh dengan tanda centang memungkinkan Os untuk memahami apa yang boleh dan tidak
boleh dia lakukan.
“Kalau istilahnya masturbasi, bisa lebih dari dua kali itu bisa saja tergantung makanannya. Tapi saya anggap itu wajarnya,
karena itu hubungannya dengan yang masuk dengan yang keluar. Tapi masalahnya etika itu dia punya, di dalam kamar.
Itu bapak yang kasih tau kalau itu di dalam kamar? Iya…karena dia punya kamar sendiri, ada gambar juga
toh…iya…gambar gitu..atau dengan kata-kata singkat aja “Os…ini di dalam kamar” W. S2. 06.03.07. 63.
“Kita liat dari hari ke hari…misalnya mulai membuka kemaluannya itu…nah kita visualisasikan di kamarnya, dengan
sketsa…ini gak boleh, gak boleh jangan dengan kata-kata.” W. S2. 06.03.07. 59.
“Jadi dengan visualisasi, ini ping tanda silang…ini tidak boleh, kalau centang boleh….ini di kamar…itu akan masuk ke dalam
pikirannya dia.” W. S2. 06.03.07. 60.
Kata-kata yang singkat, jelas dan pengucapan yang pelan juga digunakan subjek untuk memberikan instruksi pada
anaknya untuk melakukan masturbasi didalam kamarnya. Sejak kecil subjek mengajarkan pada Os untuk buang air kecil di
tempat yang tertutup, dan hanya boleh memegang kemaluannya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di kamar. Menurut subjek konsep yang ditanamkan sejak kecil tersebut, mempermudah proses mengajarkan Os untuk melakukan
masturbasi didalam kamar, karena ia sudah mengerti bahwa mengeluarkan kemaluan hanya boleh ditempat tertutup.
“…..Iya…karena dia punya kamar sendiri, ada gambar juga toh…iya…gambar gitu..atau dengan kata-kata singkat aja “Os…ini di
dalam kamar” W. S2. 06.03.07. 63. “Pendidikan seks itu ya dimulai sejak dia sadar sampai dia
nanti selesai. Misalnya tentang pipis, dia sudah tau kalau pipis itu gak sembarangan pipis, tapi harus ditempat tertutup.” W. S2. 06.03.07.
65.
“Kalau dia pegang kemaluannya ya harus dikamar, kalau diluar begitu juga kan bahaya. Itu dari kecil sudah ditanamkan.” W.
S2. 06.03.07. 66.
Subjek menekankan pentingnya mengajar anaknya dengan menggunakan visualisasi dan contoh kongkrit karena itu
merupakan strategi pembelajaran yang akan cepat dipahami oleh anaknya, termasuk perilaku yang tidak boleh dilakukan karena
tidak sesuai dengan norma sosial seperti membuka baju di tempat umum dan memperlihatkan kemaluan didepan orang. Subjek juga
menekankan bahwa orang tua adalah pihak yang bertanggungjawab untuk memantau perilaku anak untuk
mengurangi anak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma sosial.
“Jadi metodenya alami saja yang penting visualisasi saja, dengan visual.” W. S2. 06.03.07. 61.
“Selain dengan visualisasi ada gak metode lain yang bapak pake untuk mengajarkan seksualitas?
Ini…kita ini…oh contoh…iya contoh kongkrit. Iya itu aja dengan contoh kongkrit
.”
W. S2. 06.03.07. 72. “Os itu cepat sekali dalam memahami peta dan tau harus
diapakan peta itu. kalau narasi itu sulit Os tapi kalau gambar, peta, grafik dia gampang menerimanya. Jadi strategi itu yang dipakai untuk
memberikan pelajaran buat dia.” W. S2. 06.03.07. 73.
“Orang tua yang dua puluh empat jam bersama dia ya harus diikuti, dia melakukan itu apa…hal yang di luar norma, misalnya
buka baju, masturbasi ya harus divisualisasikan.” W. S2. 06.03.07. 62.
Os pernah mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia
ingin melihat kelamin wanita. Subjek berusaha memenuhi permintaan anaknya tersebut dengan cara yang tidak vulgar.
Subjek memberikan gambar kelamin wanita kepada anaknya yang subjek ambil dari buku pelajaran Biologi. Menurut subjek
hal ini dapat mengatasi permintaan anaknya tanpa menimbulkan masalah lain.
“Os pernah bilang “Os mau melihat kelamin wanita” nah kalau begitu gimana, apa mau vulgar memperlihatkan, kan enggak.
Nah kita pake sketsa, gambar. Dipelajaran biologi itu kan ada gambarnya, nyatanya dia malu kok. Oh dia malu toh pak…iya dia
malu…ini loh..ini loh…dia malu. Jadi kita harus kreatif, tapi jangan vulgar, lalu diambilkan gambar porno ya ini gak menyelesaikan
masalah.” W. S2. 06.03.07. 71.
Subjek juga mengajarkan kepada anaknya untuk membedakan antara pria dan wanita. Untuk memberitahu hal ini
subjek menggunakan contoh kongkrit yaitu dirinya sendiri sebagai laki-laki dengan organ tubuh yang menunjukkan bahwa
dirinya laki-laki seperti penis. Selain itu subjek juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan gambar untuk memberitahu Os mana yang perempuan dan laki-laki.
“Kalau untuk membedakan laki-laki dan perempuan?
Kalau itu pake dia sendiri, trus ada gambar laki-laki. Nah ini dia kalau laki-laki itu punya penis, nanti kalau laki-laki sudah agak besar punya
kumis, bapak punya kumis. Kalau perempuannya gak usah sampai detail nanti dia malah kepengen. Kalau wanita gambarnya pake rok,
misalnya kalau yang tua pake konde yang muda pake rok itu perempuan.” W. S2. 06.03.07. 70.
Subjek merasa perlu mengajarkan kepada anaknya tentang bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh dipegang
oleh orang lain, juga bagian tubuh orang lain yang boleh dan tidak boleh dipegang oleh Os. Hal ini subjek rasa perlu karena
subjek melihat anaknya sudah mulai menunjukkan birahi atau keinginan untuk memegang lawan jenisnya. Subjek mengajarkan
hal ini dengan membuat gambar orang dan memberikan tanda silang pada bagian tubuh yang tidak boleh dipegang seperti
kemaluan, payudara dan lain-lain. Untuk bagian tubuh yang boleh dipegang dan Os pegang diberikan tanda centang, misalnya
tangan, pundak dan lain-lain.
“Nah karena sudah mulai besar kan sudah mulai birahi, sudah mulai pengen pegang-pegang. Nah dikasih gambar, ini tidak
boleh dipegang orang, ini kamu tidak boleh pegang orang lain. Tapi penyampaiannya tidak dengan mulut tapi dengan gambar kalau boleh
dicentang kalau tidak boleh disilang.” W. S2. 06.03.07. 67.
“Misalnya ada gambar orang kan, bagian ini menunjuk kemaluan tidak boleh dipegang, kamu tidak boleh pegang punya
orang lain. Kalau yang ini tangan boleh dipegang.” W. S2. 06.03.07. 68.
Gambar Family Circle adalah metode yang digunakan oleh subjek untuk memberitahu anaknya tentang siapa saja yang
boleh dipegang dan dicium. Family Circle berupa gambar lingkaran-lingkaran dari yang paling kecil hingga yang paling
besar. Lingkaran yang paling kecil adalah orang tua, yaitu orang- orang yang boleh memeluk dan dipeluk, mencium dan dicium.
Lingkaran kedua adalah adik-adiknya, yaitu orang-orang yang tidak boleh dicium dan dipeluk dengan sembarangan. Begitu
seterusnya sampai lingkaran paling besar adalah orang-orang luar yang hanya boleh bersalaman.
“Kalau untuk berpelukan, itu ada yang namanya family circle. Jadi ada lingkaran-lingkaran. Lingkaran yang paling dalam itu
dia, lingkaran di luar dia itu lingkungan dekat dia, itu bapak ibu. Mereka itu boleh dirangkul, boleh dicium, tapi kalau disini lingkaran
yang lebih luar lagi itu adik-adik. Mereka sudah tidak boleh dicium, atau dipeluk-peluk sembarangan. Apalagi lingkaran yang paling luar
itu orang luar, tetangga-tetangga itu yang boleh paling bersalaman.” W. S2. 06.03.07. 69.
Subjek mengaku tidak mempunyai tolak ukur kapan harus mulai mengajarkan kepada anaknya tentang seksualitas.
Bagi subjek yang terpenting adalah kejelian orang tua dalam melihat perkembangan anaknya sendiri. Orang tua adalah pihak
yang paling mengerti perkembangan anaknya. Dengan melihat perkembangan anak orang tua bisa mengetahui kapan pendidikan
seksualitas diberikan dan menuntut cara yang kreatif sesuai dengan kemampuan anak.
“Os sejak kapan diajari tentang seksualitas itu tadi?
Jadi gini, itu tergantung pada kejelian orang tua, kalau mulai sudah ada tanda-tanda miscommunication dengan kata-kata yang orang tua
harus kreatif, jadi tidak ada tolak ukur umurnya, tergantung individunya.” W. S2. 06.03.07. 74.
Kesulitan yang dialami subjek dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anaknya adalah sulitnya memahami
kondisi Os untuk masuk dalam dunianya. Bila salah memahami bagaimana kondisi anaknya saat itu, maka sulit bagi Os untuk
mengerti yang diajarkan dan yang terjadi malah Os akan marah. Untuk mengatasi hal itu, subjek selalu berusaha memahami
kondisi anaknya dan melihat apa yang disukai dan tidak disukainya sehingga mudah bagi subjek masuk kedalam dunia
Os.
“Kalau kesulitan-kesulitan ngajar Os itu apa pak?
Sebetulnya…ah begini…sebetulnya kesulitan itu muncul karena kita tidak komunikatif. Kita tidak melihat suasananya. Kami kadang orang
tua susah kok masuknya, kalau masuknya aja sudah salah ya susah.” W. S2. 06.03.07. 75.
“Jadi kita itu jangan memaksakan atau membawa dia ke dunia kita. Normalnya orang normal dan normalnya mereka kan beda.
Nah seperti itu juga, kalau kita menginginkan sesuatu dari dia, nah dia sukanya apa itu kita bisa masuk.” W. S2. 06.03.07. 76.
Subjek mengatakan bahwa selama ini Os tidak pernah mengalami pelecehan seksual, karena subjek yakin bahwa Os
sudah mengerti konsep tentang boleh dan tidak boleh dilakukan dan dipegang sehingga Os sendiri mampu menghindari hal
tersebut. Subjek menjelaskan bahwa pelecehan seksual tidak terjadi karena semua sudah terstruktur dan teratur sesuai dengan
yang diajarkan. Kondisi ini menurut subjek dapat terwujud karena pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada anaknya
melalui visualisasi dan contoh kongkrit.
“Kalau pelecehan seksual saya kira tidak terjadi ya pada dia, karena apa..konsep, atau theory of seks itu dia udah tau. Dia
tau…akhirnya toh dia tau, tau kalau tidak boleh melakukan itu disembarang tempat kan dia tau “W. S2. 06.03.07. 78.
“Jadi pelecehan seksual tidak pernah terjadi karena semua sudah terstruktur, sudah teratur. Karena apa..karena pengarahan-
pengarahan dari orang tua dengan visualisasi, contoh-contoh kongkrit tadi.” W. S2. 06.03.07. 79.
C. Subjek 3 1. Penerimaan Keluarga
Ketika mengetahui bahwa ada kejanggalan pada anak keduanya, subjek merasa sedih. Subjek mempertanyakan
mengapa Dd bisa mengalami autisme sedangkan anaknya yang pertama tumbuh menjadi anak yang normal dan baik-baik saja.
Subjek juga membandingkan keadaannya dengan saudara- saudaranya yang lain, karena baru dirinya yang memiliki
keturunan menderita autisme. Tapi dengan berjalannya waktu, subjek sudah dapat menerima kondisi Dd, karena menurut subjek
anaknya sekarang sudah tidak merepotkan seperti dulu, sudah lebih baik.
“Ya…waktu tau ada hal yang janggal sama Dd ya saya sedih ya. Sedihnya gini mbak, kenapa saya yang mengalami ini,
padahal anak saya yang pertama baik-baik saja. Saudara-saudara saya gak ada yang begini, baru saya aja yang anaknya begini.” W. S3.
5,8..06.07. 1.
“Tapi kalau sekarang ya saya sudah bisa menerima, sudah gak repot lagi, karena memang Dd gak ngerepotin kayak waktu kecil
dulu yang sering ngamuk. Sekarang dia manis, kayak anak normal lainnya.” W. S3. 5,8..06.07. 2.
Kejanggalan yang terjadi pada anak subjek adalah kemunduran perkembangannya. Awalnya Dd menunjukkan
perkembangan yang sesuai dengan anak berumur satu tahun, seperti merangkak, mengeluarkan kata-kata dan sebagainya.
Namun semakin lama, kemampuan bicara Dd menghilang dan muncul perilaku hiperaktif sampai umurnya tiga tahun. Sewaktu
merasakan ada keanehan dalam diri Dd, subjek memeriksakan anaknya ke dokter, tapi dokter tidak memberikan diagnosis yang
pasti. Kemudian dokter menyuruh Dd meminum obat untuk mengurangi hiperaktifnya, subjek pun melakukan saran tersebut.
“Pertama itu saya ke dokter, karena dia mengalami kemunduran sampai umur tiga tahun. Jadi sebelumnya dia ada
ngomongnya, normal, merangkak, jalan gak ada kekurangan. Tiga tahun itu tiba-tiba ngomongnya hilang, trus muncul hipernya. Dokter
juga bingung jadi diagnosisnya serba mungkin. Akhirnya mengikuti dokter aja, minum obat biar cepet ngomong, biar hipernya
berkurang..” W. S3. 5,8..06.07. 3.
Akhirnya subjek membawa Dd ke seorang psikiater yang mendalami masalah autisme, dan psikiater itu menyatakan
bahwa Dd mengalami autisme. Berdasarkan diagnosis tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan perilaku hiperaktifnya yang masih menetap, subjek memberikan terapi pada anaknya termasuk terapi wicara karena
kemampuan bicara Dd menghilang. Selama tiga tahun menjalani terapi subjek tidak merasakan kemajuan yang berarti dalam diri
anaknya.
“Baru dokter Meli Budiman itu yang berani bilang kalau Dd itu autis, karena beliau itu psikiater anak jadi tau persis dan
mendalami tentang autis.” W. S3. 5,8..06.07. 4. “Terus Dd terapi, terapi wicara karena ngomongnya kan
hilang. Trus terapi konsentrasi karena dia gak bisa diam, hipernya itu kan. Tapi tiga tahun gak ada perkembangan.” W. S3. 5,8..06.07. 5.
Kondisi anaknya yang tidak mengalami kemajuan, membuat subjek berusaha mencari informasi sebanyak-
banyaknya tentang autisme. Subjek banyak membaca buku dan mengikuti berbagai seminar yang membahas masalah anak autis.
Akhirnya subjek menyadari bahwa anak autis merupakan anak yang unik dan membutuhkan proses belajar mengajar yang
berbeda. Akhirnya subjek membangun sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis.
“Setelah itu saya banyak mengikuti seminar, baca buku, baru saya tau kalau autis itu memang beda. Proses belajar
mengajarnya itu berbeda, trus ada sekolah ini.” W. S3. 5,8..06.07. 6.
Kebingungan yang dialami oleh subjek juga terjadi pada keluarganya. Anak pertama subjek sulit memahami kondisi
Dd adiknya, tapi subjek berusaha memberi penjelasan dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengertian pada anak sulungnya agar memahami bahwa adiknya mengalami kondisi khusus yaitu autisme. Akhirnya anak subjek
mau mengerti dan subjek mengaku sekarang kondisinya sudah membaik.
“Ya..awalnya kami sekeluarga bingung ya, tapi akhirnya kami semua berusaha memahami. Anak saya yang pertama juga gitu,
saya coba kasih pengertian ke dia tentang kondisi Dd. Ya syukur Alhamdulilah dia mau mengerti dan menerima Dd.” W. S3. 5,8..06.07.
7.
“Kadang kakaknya itu suka godain Dd, ya entah berebut apa, apa makanan Dd diambil. Paling Dd-nya nangis, teriak-teriak.
Tapi setelah itu ya sudah baik-baik aja gak ada masalah.” W. S3. 5,8..06.07. 8.
2. Karakteristik Anak A. Gangguan Komunikasi
Sebagai karakteristik utama dari anak autis, Dd pun mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Menurut cerita
subjek, Dd memang mampu berbicara secara verbal, namun kata-kata yang dikeluarkannya terbatas, sangat sedikit dan
tidak lancar. Dd akan berbicara bila dia menginginkan sesuatu, selebihnya dia akan diam. Untuk berkomunikasi dua
arah Dd juga mengalami kesulitan, ketika ditanya oleh orang, Dd tidak menjawab atau diam saja. Lain halnya bila diberi
perintah, Dida akan mampu melakukannya. Subjek mengatakan bahwa ia sering meminta tolong pada Dd untuk
mengambilkan sesuatu dan anaknya mampu melakukan apa yang ia perintahkan.
“Dd itu bisa bahasa verbal ya, jadi gak ada masalah dalam komunikasi. Tapi ya itu, dia ngomong terbatas, kalau dia
mau apa baru dia ngomong. Kalau enggak ya dia diam saja. Gak seperti kita yang bisa ngobrol dua arah gitu. Bicaranya juga gak
lancar.” W. S3. 5,8..06.07. 9.
“Jadi kalau dia minta sesuatu ya dia ngomong, misalnya makan ya dia ngomong “mama Dd mau makan”. Tapi
kalau dia bisa sendiri ya dia ambil sendiri. nanti saya bilang “ya sana makan ambil sendiri.” W. S3. 5,8..06.07. 10.
“Kalau komunikasi dua arah itu dia sulit, misalnya saya tanya “Dd kenapa?” gitu dia gak bisa jawab. Tapi dia tau
perintah misalnya “mama tolong itu, Dd ambilkan Koran.” Itu dia bisa.” W. S3. 5,8..06.07. 11.
B. Gangguan Interaksi Sosial
Dalam interaksi sosialnya, subjek menjelaskan bahwa anaknya lebih banyak menghabiskan waktu didalam
kamarnya melakukan aktivitas yang dia sukai, seperti mendengarkan musik. Di sekolah menurut subjek, Dd juga
tidak merespon terhadap kehadiran orang lain disekitarnya. Ia akan lebih banyak diam dan tidak akan berinteraksi dengan
orang lain bila tidak diajak bicara. Walaupun demikian subjek mengatakan bahwa anaknya akan menoleh dan berkontak
mata dengan orang yang memanggil namanya. Dd juga tidak terlalu suka diberi sentuhan fisik, ia hanya mau dipegang oleh
orang yang sudah dia kenal baik, seperti ibu, ayah dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kakaknya. Bila teman-teman sekolahnya berusaha menyentuh Dd, maka Dd akan menghindar dan menjauhi temannya itu.
“Dia itu kalau ada orang datang ya dia cuek aja, lebih banyak menyendirinya. Kalau ada saudara datang ya paling dia
datang, kasih salam, diajak ngomong sedikit, kalau sudah ya dia kembali ke kamar. Gak bisa duduk berlama-lama, ngobrol-ngobrol
gitu. Ya secukupnya aja nanti dia kembali lagi ke yang dia sukai.” W. S3. 5,8..06.07. 16.
“Kalau sama temen-temen di sekolah, dia cuek aja. Gak ada omong-omongan. Memang ada anak yang kalau misalnya saya
bawa laptop dia tanya”bu NF sedang apa, sedang kerja ya?” kalau Dd gak bisa mana urusan dia itu.” W. S3. 5,8..06.07. 12.
“Tapi dia kalau dipanggil tau, trus nengok dan bilang “ya..”. atau dibilangin “Dd..sini.” ya dia mau deketin. Ya pokoknya
dia tau kalau dipanggil dan pasti nengok.” W. S3. 5,8..06.07. 13. “Kalau kontak mata ada, ya sudah bagus Dd itu. Kalau
diajak ngomong sudah mau melihat orang yang ngajak ngomong, kalau dipanggil nengok.” W. S3. 5,8..06.07. 15.
“Kalau sama saya atau bapaknya, kakaknya ya dia gak apa-apa kalau dipegang, disayang gitu. Mungkin kalau sama orang
deket dia gak apa-apa. Tapi kalau ada temennya yang mau salaman itu mesti dia ngerengek “aahhhh…” gitu sambil agak menjauh gitu
kayak menghindar.” W. S3. 5,8..06.07. 14.
C. Gangguan Perilaku