BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan masalah seksualitas pada anak autis memang mengundang daya tarik tersendiri, karena memang belum banyak dibahas dan
diteliti khususnya di Indonesia. Hal ini karena pengenalan terhadap individu autistik baru mulai pada tahun 90-an yang kemudian menjadi terkenal pada
tahun 2000-an. Terlebih sebagai masyarakat Timur yang seringkali merasa sungkan membicarakan masalah seksualitas. Perasaan malu akan muncul
ketika membicarakan masalah seksualitas Yoga, 2005:1 ; Puspita, 2003:1. Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa memiliki
gangguan perkembangan sebelum usia tiga tahun, dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi sosial
Puspita, 2003:1 . Wenar dan Kerig 2000:79-80 mendeskripsikan gangguan autisme ini sebagai gangguan dengan tiga karakteristik utama yaitu
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan, ecolalia atau bahkan mutism, rute ingatan yang
kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturannya dalam lingkungannya.
Safaria 2005:2 menambahkan bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu
fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Hal ini membuat individu autis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan keterampilan sosial yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka
dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain. Gangguan autisme yang dialami tampaknya menghambat mereka dalam memahami
tanda-tanda tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia. Gangguan dalam keterampilan sosial terkadang membuat mereka
melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana,
membuka celana di depan orang lain dan sebagainya Ujianto, 2005:1 . Fakta yang menunjukkan bahwa individu autis mengembangkan perilaku seksual
yang tidak semestinya disebabkan karena ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi
dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Perilaku tersebut sebenarnya menunjukkan ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan
emosional mereka. Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang
kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka juga akan masuk dalam usia remaja, dimana pada masa
itu individu autis mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan pada fisik mereka. Perubahan fisik mereka ditandai dengan pertumbuhan
seksual sekunder yaitu pertumbuhan payudara pada wanita, pembesaran testis pada laki-laki, tumbuhnya rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan,
pertumbuhan rambut diseluruh tubuh serta perubahan suara pada pria. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karakteristik seksual primer juga mengalami perubahan yang ditandai dengan menstruasi yang pertama pada anak wanita menarche dan ejakulasi yang
pertama kali berupa mimpi basah pada anak laki-laki Yoga, 2005:3 . Tidak hanya perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas seperti
anak menjadi suka menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengan seks dan bertambahnya kepekaan organ-organ seksual. tapi juga perubahan-
perubahan psikologis seperti adanya perasaan dan kebutuhan akan pemuasan dorongan seksual. Selain itu juga muncul kontradiksi-kontradiksi dalam diri
anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan Hutt Gibby, dalam Rusmawati, 2002:3 .
Yoga 2005:4 menjelaskan bahwa individu autistik ketika mengalami pubertas memiliki minat yang bertambah terhadap orang lain.
Dewey dan Everad dalam Puspita, 2003:2 menegaskan bahwa individu autis bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya dan ekspresi seksualitas mereka
seringkali naïf, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Hal ini membuat lingkungan seringkali cenderung menentang minat mereka terhadap orang lain
termasuk terhadap lawan jenis. Perkembangan fisik pada individu autis yang kurang lebih sama
dengan individu yang tidak mengalami gangguan, membuat individu tersebut juga membutuhkan suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun
pendidikan seksualitas bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan karena terkait dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan
komunikasi dimana individu autis tersebut tidak mampu berkomunikasi baik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
secara verbal maupun non verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya menyampaikan suatu informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang
menyebabkan sulitnya menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif dengan orang lain. Hal ini juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan
begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial dalam masyarakat Puspita, 2003:2,3 . Masalah-masalah yang mereka hadapi membuat mereka sulit
beradaptasi dengan lingkungan sehingga seringkali menghambat individu autis untuk berbaur dengan masyarakat.
Pemberian pendidikan pada individu autis juga terkait dengan ciri khas mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap individu
autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam memberikan
pendidikan dibutuhkan cara yang berbeda untuk setiap individu tergantung pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka terhadap proses
pengajaran Puspita, 2005:3 . Menurut Adams dalam Puspita, 2003:3 pendidikan seksualitas bagi
individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri seksualitas diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta memahami norma
masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di lingkungannya. Puspita 2003:6 menambahkan pendidikan dan informasi mengenai seksual
memperhatikan masalah yang membuat individu tersebut cemas terutama yang berkaitan dengan perubahan fisik dan emosi, serta membantu mereka dalam
menghindari dan menyelesaikan masalah ‘pelecehan seksual’. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lingkungan keluarga merupakan tempat yang tepat untuk memberikan pendidikan seksualitas sejak dini pada anak. Orang tua adalah pihak yang
bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Rumah adalah daerah ‘pribadi’ dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan
seksualitasnya. Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orang tua bisa membentuk kebiasaan yang
secara rutin dilakukan anak sehingga anak paham konsep-konsep ‘publik’ versus ‘pribadi’. Orang tua dan saudara kandung juga bisa menjadi model bagi
perilaku anak Puspita, 2003:5 . Ketertarikan peneliti untuk melihat pendidikan seksualitas yang
diberikan oleh orang tua terhadap anak mereka yang mengalami autisme dikarenakan banyak orang tua yang cenderung kurang memahami bahwa
pendidikan seksualitas bagi anak autis yang memerlukan penanganan khusus juga penting. Puspita 2003:6 menjelaskan ada kecenderungan dari orang tua
untuk menunda memberikan pendidikan seksualitas hingga anak tersebut menghadapi masalah. Padahal peran orang tua sangat menentukan dalam
mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa remaja dan dewasa mereka yang penuh dengan problematika seksualitas. Tanpa persiapan dalam
diri individu autis tersebut, maka akan muncul kecemasan dalam menghadapi perubahan fisik dalam dirinya. Selain itu berdasarkan keterangan dari beberapa
orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme, ternyata banyak perilaku dari anak mereka yang kurang sesuai dengan norma dalam
masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pendidikan seksualitas bagi anak autis merupakan bagian penting dalam pendidikan untuk
masa depan mereka. Orang tua yang banyak menghabiskan waktu bersama anak memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan anak tentang pendidikan
seksualitas. Mereka dapat membantu anak agar mampu mengembangkan tingkah laku seksual yang sehat sehingga mereka dapat diterima dalam
lingkungan masyarakat. Hal ini akan bermanfaat bagi mereka ketika mereka menginjak dewasa Rusmawati, 2002:6-7 .
Hal lain yang juga membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini adalah belum adanya penelitian yang membahas tentang
pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja. Hingga saat ini, berdasarkan survey yang dilakukan peneliti, penelitian tentang individu autistik
yang ada lebih banyak tentang deteksi dini Haryanti, 2006 , peranan orang tua dalam penanganan anak penyandang autisme Haniman, 2001 dan
berbagai terapi untuk mengurangi gejela-gejala autisme Nugraheni, 2006; Kuwanto dan Natalia, 2001 .
Pendidikan seksualitas yang diberikan pada individu autis mencakup beberapa hal yaitu, batasan tentang public vs private, dasar-dasar keterampilan
sosial dan membantu mereka mengatasi masalah pelecehan seksual. Selain itu pihak orang tua sebaiknya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan
perubahan aspek fisik dan emosi yang terjadi pada mereka sehingga mampu memberi pengertian kepada mereka tentang hal tersebut.
B. Rumusan Masalah