1.3. Hasil Wawancara A. Subjek 1
1. Penerimaan Keluarga
Subjek menaruh curiga kepada anak laki-lakinya yang menderita autis ketika ia berusia dua tahun delapan bulan. Saat
itu subjek melihat bahwa anaknya mengalami perkembangan yang tidak sama dengan anak-anak lain pada usia yang sama.
Tidak seperti kebanyakan anak, anak subjek belum bisa berbicara ataupun mengeluarkan satu kata. Selain itu perilaku
yang ditunjukkan anak subjek juga berbeda dengan anak lain, anak subjek cenderung lebih aktif. Subjek mengatakan bahwa
anaknya memiliki cara bermain dengan alat permainan yang berbeda dengan anak lain dan tidak bisa duduk tenang untuk
waktu yang lama.
“Dua tahun delapan bulan, pas masuk playgroupkan saya anterin, iyalah anak pertama. Saya juga kan udah ada bayi, udah ada
adiknya satu. Waktu itu saya bingung, kok anak saya belum bisa ngomong….W. S1. 06.02.07. 1.
“Nah di playgroup itu saya liat, kok anak saya beda ya, cara dia mainin mainan , terutama yang paling nyata kayak gitu ya.
Cara dia duduk, dulu duduk itu cuma bisa satu menit, selebihnya wah…gerilya,itu istilah saya buat dia, gerilya. Orang gak bisa diam,
kesana-kesini. W. S1. 06.02.07. 2.
Kecurigaan subjek bertambah ketika subjek mendapatkan sebuah informasi tentang autisme. Akhirnya
subjek benar-benar yakin bahwa anaknya mengalami gangguan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan segera melakukan tindakan. Subjek berusaha mencari informasi sebanyak-banyak dan sejelas-jelasnya tentang
autisme, termasuk melakukan konsultasi dengan orang yang ahli.
“Trus saya dikasih selebaran dari kompas tentang autis itu. trus saya baca, oya ya…saya baru ngeh, iya ya…kok anak saya beda.
Ya udah saya cari informasi kemana-mana, konsultasi ke Dokter Meli Budiman.” W. S1. 06.02.07. 3.
“Saya cari informasi sebanyak-banyaknya, autis itu apa, dimana yayasannya, autis yang jelas itu seperti apa.” W. S1.
06.02.07. 5.
Subjek juga memberikan terapi Medikametosa terapi dengan obat-obatan dan menjalankan diet untuk anaknya,
setelah mendapat penjelasan dari dokter.
“Trus saya dijelasin mungkin yang sakit disebelah yang mana gitu, saya tanya bisa sembuh gak, katanya gak bisa
disembuhkan, cuma bisa diminimalisir dengan terapi medikametosa, terapi obat, diet gitu katanya. Ya kita coba aja.” W. S1. 06.02.07. 4.
Subjek melakukan banyak hal demi kemajuan anaknya itu. Subjek juga memutuskan pindah ke Yogyakarta, sebagai
usahanya yang terakhir dengan harapan anaknya bisa menunjukkan kemajuan yang berarti. Setelah pindah ke
Yogyakarta subjek merasakan anaknya banyak mengalami kemajuan, terutama masalah komunikasi. Nc juga menjalani
terapi tusuk jarum, yang dirasa subjek dapat mengurangi hiperaktif yang dialami anaknya.
“Sampe-sampe saya pindah ke Yogya ini, usaha saya yang terakhir buat Nc, kalau disini Nc gak ada kemajuan, ya udah saya
angkat tangan. Ternyata disini saya berhasil, bukan berhasil dalam arti Nc sembuh..enggak, tapi disini Nc banyak kemajuan, dia bisa
komunikasi itu ya disini, sebelumnya gak bisa dia.” W. S1. 06.02.07. 7.
“Buat Nc terapi tusuk jarum itu lumayan agak mendukung untuk ketenangannya. Tadinya kan dia hiper banget, sekarang sih
masih hiper tapi ya masih bisa dibilangin, dikasih tau ngerti..”jangan” gitu dia ngerti.” W. S1. 06.02.07. 8.
Sejak anaknya dinyatakan mengalami autisme, subjek merasa sedih karena kondisi ekonomi pada saat itu kurang
memungkinkan untuk memenuhi semua kebutuhan pengobatan anaknya. Walaupun demikian dia tetap menerima kondisi
anaknya dan tidak merasa malu dengan keadaan tersebut, hingga saat ini.
“Setelah dinyatakan autis aja saya udah nangis terus ya, saya sedih…sedih iya, sedihnya itu terbatas kok…apa…kondisi saya
kan dulu beda sama sekarang ya…keuangan saya beda kan sama sekarang. Jelas banget itu…jelas banget, untuk Nc perlu biaya besar
terus terang itu.” W. S1. 06.02.07. 10.
“Kalau malu saya enggak, saya selalu bilang saya gak pernah malu punya anak Nc. Jadi saya enggak malu, beda ya
malu…saya sedih…sedih iya….” W. S1. 06.02.07. 11.
Subjek selalu berusaha menjelaskan tentang kondisi
anaknya yang mengalami autisme kepada orang lain yang merasa terganggu dengan perilaku anaknya. Hal ini subjek
lakukan agar orang lain mengerti penyebab anaknya berperilaku tidak wajar, bukan dalam rangka agar anaknya dikasihani oleh
orang lain. Subjek merasa anaknya tidak harus dikasihani oleh orang lain, karena subjek sendiri tidak pernah merasa iba
terhadap kondisi anaknya.
“Saya gak pernah merasa malu sama Nc. Kalau misalnya saya jalan, trus Nc berulah saya selalu bilang “maaf ya bu, ini anak
autis.” Kalau mereka tanya apa itu autis, ya saya kasih tau seperti ini anak autis. Jadi saya gak pernah malu.” W. S1. 06.02.07. 12.
“Kalau saya bilang autis mereka langsung bilang oh yang itu ya…trus mereka kadang bilang kasihan ya, “gak perlu dikasihani
kok Pak, mbak…saya aja gak pernah ngasihani anak saya..” W. S1. 06.02.07. 13.
Kepada dua anaknya yang lain, subjek selalu
memberikan penjelasan kepada mereka tentang kondisi saudaranya yang berbeda dengan mereka. Walaupun dulu
mereka sempat tidak bisa menerima saudaranya yang mengalami autisme, subjek tetap memberikan penjelasan agar
mereka mengerti dengan kondisi yang dialaminya saudara mereka. Subjek juga meminta mereka untuk sedikit mengalah
kepada anaknya yang mengalami autis, dan mereka mau mengerti.
“Selama ini gak ada masalah ya, tapi ya pernah ini menunjuk Tr ngoceh-ngoceh..ngomel gitu..dulu sering dia. “kenapa
sih ma..Nc harus autis aku jadi harus ngalah ini, ngalah itu terus…” Tapi kalau kita kasih tau dia mau ngerti, pelan-pelan kasih taunya.”
W. S1. 06.02.07. 14.
“Bisa sih…gak masalah. Soalnya Nico-nya juga gak nakal, sayang dia sama adik-adiknya…jadi ngapain juga adiknya
itu…tapi kadang dia sama tari berebutan nonton TV. Biasanya saya
suruh Nc yang ngalah, tapi kalau dia udah gak bisa ngalah banget ya adiknya yang saya suruh ngalah.” W. S1. 06.02.07. 15.
2. Karakteristik Utama A. Gangguan komunikasi