Deskripsi KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS KPBPB

Bab VI 23 Indikator Ke ‐ Nama Indikator Tingkat Kendala Keterangan 10 Adanya koordinasi antar instansi penegakkan hukum di laut ‐ 11 Persentase realisasi kegiatan rencana induk dan rencana bisnis setiap tahun Diperlukan kajian evaluasi untuk pengadaan data 12 Persentase realisasi kegiatan penyediaan sarana dan prasarana kawasan industri setiap tahun sesuai rencana induk dan rencana bisnis serta kualitasnya Diperlukan kajian evaluasi untuk pengadaan data 13 Persentase realisasi penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan setiap tahun sesuai masterplan pelabuhan serta kualitasnya Diperlukan kajian evaluasi untuk pengadaan data 14 Menurunnya frekuensi konflik ketenagakerjaan Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 15 Pelayanan perizinan usaha secara cepat dengan biaya yang wajar Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 16 Tercapainya rasio penggunaan tambatan kapal berth occupancy rateBOR sesuai standar yang dapat diterima secara internasional Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 17 Tercapainya waktu persiapan perjalanan pulang kapal vessel turn‐around timeTRT sesuai standar yang dapat diterima secara internasional Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 18 Biaya pelayanan pelabuhan yang wajar sesuai peraturan Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 19 Meningkatnya jumlah UKM Data tersedia 20 Menurunnya frekuensi kasus penyelundupan Diperlukan kajian khususn untuk pengadaan data 21 Meningkatnya nilai realisasi proyek investasi PMA dan PMDN di dalam KPBPB Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 22 Meningkatnya nilai PDB sektor UMKM Diperlukan kajian khusus untuk pengadaan data 23 Meningkatnya jumlah kunjungan kapal penumpang, kapal barang kargo, dan kapal peti kemas Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 24 Meningkatnya volume bongkar muat peti kemas dan barang kargo Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 25 Meningkatnya jumlah kedatangankeberangkatan penumpang Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 26 Meningkatnya nilai PDB sektor industri manufaktur di dalam KPBPB Rp Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 27 Meningkatnya nilai PDB angkutan laut dan jasa penunjang angkutan Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 28 Meningkatnya nilai ekspor non‐migas d dalam KPBPB Rp Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 29 Meningkatnya jumlah tenaga kerja sektor formal orang Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 30 Meningkatnya penerimaan pajak penghasilan dari KPBPB Rp Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 31 Meningkatnya PAD Rp Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun 32 Meningkatnya PDRB KPBPB Data tersedia, perlu jaminan koleksi data secara rutin setiap tahun Keterangan : Ringan Sedang Sulit

6.2.2. Deskripsi

Kinerja KPBPB Batam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam secara de jure baru diberlakukan sejak tahun 2007 melalui penetepan PP no 462007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan 24 Bab VI Bebas Batam. Oleh karena pada saat penelitian ini dilakukan KPBPB Batam baru berjalan satu tahun, maka evaluasi terhadap kinerja KPBPB Batam hanya dapat dilakukan pada hasil‐hasil yang telah dicapai sejak tahun 2007 hingga pertengahan tahun 2008 yang terfikus pada pencapaian indikator pada tahap prosesinput indikator 1‐ indikator 10, yaitu penyediaan perangkat hukumregulasi yang diperlukannya beserta kelembagaannya. Evaluasi pencapaian indikator output hingga outcome pasca pemberlakuan KPBPB dalam kajian ini belum dapat dilakukan, namun akan dideksripsikan gambaran mengenai capaian kinerja Batam lima tahun terakhir sebelum pemberlakuan KPBPB periode 2003‐ 2007 berdasarkan indikator output, sasaran, hasil, dan dampak yang telah disusun, untuk memberikan perspektif kepada pembaca mengenai kinerja Pulau Batam menyongsong pemberlakuan KPBPB.

A. Deksripsi Kinerja Batam Pasca Pemberlakuan KPBPB

Indikator 1 : Tersedianya payung hukum pembentukan KPBPB serta peraturan pelaksanaannya Perkembangan Pulau Batam dimulai sekitar tahun 1970, dimana Pemerintah pada awal Orde Baru melihat potensi Batam yang dapat dijadikan sebagai salah satu pilar perekonomian nasional. Pada awalnya Pulau Batam merupakan pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai PN Pertamina. Berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 Pemerintah menjadikan Batu Ampar sebagai wilayah entreport partikulir yang memberikan implikasi berdatangannya investor asing. Mereka mulai merelokasikan kegiatannya ke Batu Ampar, khususnya industri yang berkaitan dengan peralatan pengeboran minyak lepas pantai. Selanjutnya Pulau Batam dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Kawasan Batam mendapatkan insentif fiskal berupa bebas pajak PPN, PPnBM dan bea masuk. Berdasarkan Keppres No. 41 Tahun 1973, tugas Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam adalah sebagai berikut : 1 Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai suatu daerah industri; 2 Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi‐ instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; 3 Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalihkapalan transhipment di Pulau Batam; 4 Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para pengusaha serta mengajukannya kepada instansi‐instansi yang bersangkutan; 5 Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa‐jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha‐usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam. Keppres tersebut juga memberikan hak pengelolaan lahan kepada Otorita Batam yang kemudian diperkuat dengan adanya SK Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 dan Keputusan Menteri AgrariaKepala BPN No. 9‐VIII‐1993. Hak pengelolaan lahan tersebut diberikan untuk pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, permukiman, peternakan, perikanan dan lain ‐lain usaha yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, struktur organisasi Otorita Batam dipimpin oleh seorang Ketua yang dibantu oleh tiga orang Deputi yaitu Deputi Bidang Operasi, Deputi Bidang Administrasi dan Perencanaan, dan Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian. Kedudukan Otorita Batam mulai berubah seiring dengan berlakunya UU No. 531999 tentang Pembentukan Kota Batam sebagai Daerah Otonom dan UU No 221999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah menjadi UU No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pengembangan Kawasan Batam, Otorita Batam bekerja sama dengan pihak Pemerintah Kota Batam. Untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian di Kawasan Batam, maka berdasarkan UU 44 2007 mengenai Kawasan Perdagangan bebas dan Pekabuhan Bebas, yang kemudian diikuti oleh peneribitan PP 462007, Kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk Jangka waktu 70 tahun Bab VI 25 dengan kegiatan utama yaitu sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan dan pariwisata. Berdasarkan PP ini, batas‐batas dari KPBPB Batam yang akan mendapat insentif fiskal meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru, sedangkan Pulau Bulan tidak termasuk ke dalam KPBPB. Gambar 6.5 Batas‐batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai PP 462007 Sebagai penjabaran dari PP 462007 telah dibentuk Dewan Kawasan KPBPB melalui penerbitan Keputusan Presiden RI nomor 9 tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Selain itu telah diterbitkan pula Surat Keputusan Dewan Kawasan KPBPB nomor KPTS6DKIX2008 mengenai pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan BPK KPBPB Batam yang disahkan 3 bulan lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan yaitu tanggal 31 Desember 2008. Meski demikian hingga penelitian ini disusun, masih terdapat beberapa regulasi pelaksanaan dari PP no. 462008 yang belum diterbitkan dan masih dalam proses penyusunan, antara lain Peraturan Menteri keuangan PMK mengenai penetapan jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas serta pelayanan pelimpahan kewenangan dari pusat terkait izin usaha kepada Badan Pengusahaan Kawasan. Belum adanya beberapa regulasi pendukung tersebut menyebabkan pengusaha belum sepenuhnya merasakan kepastian hukum dalam melakukan usaha di Pulau Batam 1 Tabel 6.23 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐ 1 Pengukuran Ketersediaan Ketersediaan Regulasi pembentukan KPBPB Ada, PP 462008 Ketersediaan regulasi penetapan batas kawasan yang memperoleh fasilitas Ada, diatur dalam PP 462008 Ketersediaan regulasi pembentukan Dewan Kawasan Ada, diatur dalam Keppres RI nomor 92008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Ketersediaan regulasi pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan Ada, diatur dalam SK Ketua Dewan Kawasan KPBPB nomor KPTS6DKIX2008 tentang BP KPBPB Ketersediaan regulasi penetapan jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas Belum ada Ketersediaan regulasi pelimpahan kewenangan perizinan Belum ada Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masih ada beberapa regulasi pelaksanaan yang belum selesai, sehingga indikator 1 belum sepenuhnya terpenuhi. 1 www.tribunbatam.co.id . John Kennedy : Kita Belum Tenang. Selasa, 20 Januari 2009. 26 Bab VI Indikator 2 : Tersedianya dokumen perencanaan pengembangan dan pengusahaan KPBPB Beberapa dokumen perencanaan yang dibutuhkan dalam pengembangan dan pengusahaan KPBPB antara lain masterplan dan business plan KPBPB, rencana penataan ruang spasial plan, serta rencana pengembangan dan pengusahaan pelabuhan port masterplan. Dari sisi perencanaan ruang, telah disusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional KPBPB untuk Batam, Bintan, Karimun BBK oleh Direktorat Penataan Ruang Wilayah I Ditjen Penataan Ruang Departemen PU yang merupakan tugas pemerintah pusat atau kewajiban dalam rangka implementasi MOU kerjasama pengembangan BBK antara Indonesia‐Singapura. Agar dapat diimplementasikan, saat ini RTR KSN KPBPB BBK tersebut tengah disusun Rancangan Peraturan Presidennya bersama BKTRN dan diupayakan akan disahkan oleh oleh Presiden pada tahun 2009. Hal ini merujuk pada UU 262007 tentang Penataan Ruang, dimana RTR KSN harus ditetapkan dengan Perpres dan selanjutnya harus disinkronkan dengan RTRW Kota Batam PERDA No 22004 tentang RTRW Kota Batam Tahun 2004‐2014. Dengan demikian Pemko Batam tidak perlu lagi menyusun RTR KPBPB Batam. Dari sisi pengembangan dan pengusahaan kawasan, dokumen yang tengah disusun adalah masterplan dan business plan KPBPB. Hingga penelitian ini disusun, Badan Pengusahaan KPBPB tengah melakukan review terhadap masterplan dan business Plan KPBPB Batam yang rencananya akan disinkronkan dengan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional KPBPB Batam yang sedang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang Departemen PU. Dari sisi kepelabuhanan, Badan Otorita Batam yang mengelola beberapa pelabuhan meliputi Pelabuhan Batu Ampar, Sekupang, Teluk Senimba, Tanjung Uncang, Sagulung, Galang, Telaga Punggur, Kabil, Nongsa Pura, dan Batam Centre, telah mengajukan rencana induk pelabuhan untuk mendapatkan penetapan dari Menteri Perhubungan sejak tahun 2005 sesuai surat No. B205KAIX2005 tanggal 4 September 2005. Rencana induk pelabuhan meliputi rencana peruntukan lahan dan rencana peruntukan perairan. Berdasarkan rencana induk pelabuhan dapat ditetapkan batas‐batas daerah lingkungan kerja DLKR dan daerah lingkungan kepentingan DLKP pelabuhan yang dikelola Otorita Batam. Sampai dengan akhir Juni 2007, baru 2 rencana induk pelabuhan Batam yang telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan yaitu Pelabuhan Kabil sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. 62 Tahun 2006 tanggal 7 Nopember 2006 dan Pelabuhan Sekupang sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.7 Tahun 2007 tanggal 7 Maret 2007, sementara pelabuhan lainnya belum ditetapkan rencana induknya. Pengembangan Pelabuhan Batu Ampar misalnya, tampaknya masih menemui hambatan kepastian hukum, karena adanya perbedaan persepsi antara Otorita Batam, dengan Departemen Pehubungan, dimana Departemen Perhubungan cenderung mengembangkan Kabil sebagai entry‐port, sedangkan OB lebih cenderuing mengembangkan pelabuhan Batu Ampar 2 . Tabel

6.24 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐2