Pengalaman TINJAUAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN KAWASAN

2 Bab IV

4.1. TINJAUAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN KAWASAN

STRATEGIS EKONOMI DI INDONESIA DAN PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA LAIN

4.1.1. Pengalaman

Negara Lain dalam Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Perdagangan Bebas KPBPB A. Latar Balakang Pengembangan KPBPB Liberalisasi perdagangan barang dan jasa, jaringan transportasi, informasi, dan berkembangnya teknologi komunikasi ICT telah menciptakan peluang bisnis yang belum pernah terjadi dalam bidang perdagangan dan transportasi industri. Kenaikan tingkat persaingan dalam sektor publik dan sektor swasta membutuhkan pergerakan dari strategi bisnis nasional dan regional menuju strategi bisnis global. Untuk keberhasilan pengurangan biaya dan pemeliharaan dan pengembangan kualitas produk saat memenuhi permintaan konsumen memerlukan metode bisnis baru yang membolehkan perusahaan mengembangkan daya saingnya di pasar global. Perusahaan industri merupakan penentu utama pengelolaan rantai suplai bahan baku hingga produksi dan distribusi produk akhir. Perusahaan industri juga menentukan tahapan pelaksanaan pendirian pusat kawasan distribusi logistik, khususnya di sekitar hinterland pelabuhan. Untuk mengembangkan daya saingnya, perusahaan industri di negara maju melakukan strategi pengurangan biaya bahan baku, berproduksi dengan cepat, berorientasi pada selera komsumen permintaan pasar, dan meningkatkan nilai tambah pelayanan pada logistik. Untuk peningkatan pelayanan logistik di sekitar pelabuhan, pengelolaan tarif maupun non tarif perdagangan termasuk prosedur bea cukai, penyederhaaan proses investasi, cenderung dilakukan melalui hubungan bilateral, sub‐regional dan perjanjian multilateral, sehingga banyak negara‐negara di Asia membangun kawasan‐kawasan bernilai tambah khusus di sekitar kawasan pelabuhan atau di kawasan ‐kawasan hinterland pelabuhan, dengan harapan yang sangat tinggi yakni untuk mendapatkan manfaat perubahan yang besar dalam perekonomian, yang mana biasa disebut kawasan perdagangan bebas Free Trade ZoneFTZ. FTZ dalam bentuk pelabuhan‐pelabuhan bebas sudah pernah dikembangkan lebih dari 2000 tahun lalu. Pertengahan abad ke‐20, substansi FTZ mengalami perubahan beradaptasi dengan kondisi di berbagai negara, sebagai hasil pertumbuhan perdagangan dunia, pengembangan efisiensi transportasi terutama dalam sektor kepelabuhanan. Dalam 50 tahun lalu, FTZ kembali terkenal dalam pembangunan di negara‐negara berkembang. Konsep pendekatan FTZ dan cara pembangunannya berbeda antar satu negara dengan negara yang lain, dan hanya beberapa negara saja yang berhasil, diantaranya Singapura. Singapura mendirikan FTZ Tahun 1969, dilatarbelakangi oleh kepentingan menyediakan tempat pendistribusian barang dalam perdagangan, yang dibebaskan dari pabean. Tahun 1970, Singapura memperkenalkan FTZ Masan dengan latar belakang untuk meningkatkan investasi luar negeri FDI, yang kemudian berhasil mengembangkan modal dan teknologi asing secara simultan dan berkembang pesat di dalam iklim pasar bebas seperti yang diperkenalkan oleh WTO dan sejumlah persetujuan perdagangan bebas bilateral lainnya. Pemerintah Singapura sangat mendukung FTZ sebagai dasar pengembangan ekonomi jangka panjang negaranya, meskipun di dalam implementasi kebijakan FTZ terus diperbaiki untuk mengantisipasi perubahan di dalam negeri dan di luar negeri, tercermin dalam : Bab IV 3 • FTZ dipersiapkan untuk menarik investasi luar negeri FDI dan merupakan kebijakan yang dapat mengatasi pengaruh eksternal yang baru • Status konsep FTZ dalam ekonomi adalah menggerakkan pertumbuhan faktor input produksi menuju pengembangan inovasi • Mengintegrasikan dan menginterkoneksikan kebijakan FTZ dengan kebijakan lain yang serupa dalam rangka menarik investasi asing FDI guna meningkatkan efisiensi FTZ ‐ FTZ. • Konsep FTZ tumbuh sebagai bagian penting pengembangan ekonomi khususnya industri berbasis logistik, dimana melalui cluster ekonomi FTZ dapat menggerakkan dan meningkatan permintaan dan mendukung pertumbuhan sektor logistik. • FTZ merupakan bagian penting dari suatu kawasan khusus dimana tidak ada lagi hambatan perdagangan untuk kegiatan ekspor dan impor. Dengan demikian, pendirian FTZ dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk menarik investasi asing sebanyak‐banyaknya sehingga dapat tercipta peningkatan lapangan kerja di suatu daerah, namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata FTZ mampu menjadi penarik investasi asing. Untuk itulah FTZ memerlukan suatu proses pelayanan birokrasi yang mudah dan tidak berbelit‐belit, dan terus diupayakan dengan memberikan berbagai macam insentif seperti pembebasan pajak tax holiday bagi investor, dan lain sebagainya. Terinspirasi dari kesuksesan konsep FTZ ini, maka lahirlah konsep‐konsep baru yang dikembangkan oleh berbagai negara di dunia, seperti Ekspor Processing Zone EPZ, Free Processing Zone FPZ, Special Economic Zone SEZ, dll. Perkembangan FPZ dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 4.1 Perkembangan FPZ di Dunia Kusago and Tzannatos, 1998 Pertumbuhan FTZ 1975 1986 1995 1997 Jumlah Negara yang memiliki FPZ 25 47 73 93 Jumlah FPZ 79 176 500 ‐ Jumlah TK juta orang 0.8 1.9 ‐ 4.5 Sumber : FTZ and Port Hinterland Development, Korea Maritime Institute and United Nations ESCAP Economic and Social Comission for Asia and The Pasific New York, 2005

B. Defenisi

dan Karakteristik Pengembangan KPBPB Defenisi FTZ pertama kali adalah terkait dengan karakteristik pengembangan kawasan perdagangan beserta pengembangan hinterland pelabuhan. Selanjutnya, Kyoto Convention menggunakan istilah Kawasan Bebas Free Zone untuk suatu FTZ, yang didefinisikan sebagai “a part of the territory of a contracting party where any goods introduced are generally regarded, insofar as import duties and taxes are concerned, as being outside the custom territory” yang artinya adalah bagian dari wilayah suatu negara dimana setiap barang yang masuk bebas kewajiban pabean berada di luar wilayah pabean. Di Indonesia, FTZ merupakan kawasan yang terpisah dari pabean dibebaskan dari kewajiban bea masuk, PPN, PPnBm, yang ditetapkan dengan Undang‐undang. Di Singapura, FTZ disebut sebagai tempat utama pendistribusian barang, dimana semua wilayah Singapura merupakan FTZ. Berdasarkan Kyoto Convention, UU Nasional FTZ berisi pokok‐pokok pengaturan seperti : 1 persyaratan pendirian FTZ; 2 jenis barang yang boleh diimpor; 3 sifat kegiatan penyimpanan, penimbunan, gudang, alih kapal; 4 aparat kepabeanan berhak melakukan pemeriksaan setiap saat; 5 izin pemasukan barang dan pengeluaran barang dengan pertimbangan moral, ketertiban umum, keamanan, kesehatan, kebersihan, perlindungan HKI; 6 barang konsumsi penduduk; 7 kegiatan 4 Bab IV industri; 8 jangka waktu penyimpanan barang; 9 pemindahan barang; 10 pemindahan kepemilikan barang; dan 11 penghitungan bea masuk dan pajak jika ada. Beberapa defenisi FTZ dapat ditemukan dari beberapa literatur, sbb : 1. Kawasan industri dengan batas‐batas yang jelas dalam wilayah tertentu, yang berspesialisasi pada aktivitas pengolahan berorientasi ekspor, serta memberikan iklim perdagangan bebas dan kemudahan regulasi untuk perusahaan yang ada di dalamnya World Bank, 1992. 2. Kawasan industri dengan insentif‐insentif khusus yang ditujukan untuk menarik investor luar negeri, dimana dilakukan pengolahan terhadap bahan baku impor untuk kemudian diekspor kembali ILO, 1998. 3. Kawasan industri yang memiliki batasan yang jelas, umumnya terletak di lokasi strategis, dengan dukungan infrastruktur bagi kelancaran industri dan perdagangan, bebas kewajiban bea cukai dan pajak Madani, 1999. 4. Kawasan industri dengan batas yang jelas dengan aturan perdagangan bebas yang enclave dalam wilayah pabean suatu negara, dimana terdapat perusahaan‐perusahaan manufaktur asing yang mengutamakan ekspor, yang mendapat manfaat insentif fiskal Kusago and Tzannatos, 1998. Dari beberapa defenisi tentang FTZ, dapat ditarik suatu kecenderungan bahwa pengertian suatu KPBPB atau FTZ didasari oleh karakteristik utama sbb : 1. Kawasan industri pengolahan dengan batasan yang jelas atau enclave. 2. Orientasi ekspor Pelaku ‐pelaku usaha berlokasi di dalam kawasan produksi pengolahan dengan tujuan utamanya adalah untuk pasar luar negeri. 3. Terletak di lokasi strategis dekat atau memiliki akses terhadap jalur perdagangan internasional umumnya di sekitar pantaipesisir. FTZ dipilih sebagai suatu lokasi pusat distribusi kegiatan bisnis yang terletak di sekitar wilayah pesisir pelabuhan, untuk dapat menciptakan efisiensi harga pemasaran produk olahan. 4. Didukung oleh iklim kondusif bagi investasi melalui penciptaan regulasi perdagangan bebas termasuk insentif fiskal dan insentif non fiskal infrastruktur, perijinan satu pintu, dll. a. Kualitas infrastruktur pendukung bisnis di atas rata‐rata infrastruktur di dalam negeri. Dalam suatu kawasan industri yang terdeleniasienclave, pengelola kawasan menyediakan infrastruktur dan pelayanan berkualitas seperti lahan, kantor pelayanan, pelayanan bisnis, pelayanan logistik, dan lainnya, jika dibandingkan dengan kondisi infrastruktur dan pelayanan yang ada di dalam negara yang bersangkutan. b. Regulasi bagi dunia usaha lebih fleksibel dibandingkan dengan di dalam negeri. Pelayanan bea cukai sangat diutamakan dan yang perlu digaris merahi adalah hambatan birokrasi harus diminimalisir, yang disebut dengan one stop service untuk memberikan pelayanan perijinan investasi yang murah, mudah, cepat dan transparan. c. Peraturan ketenagakerjaan dan pengelolaan bisnis dalam peraturan perundang‐undangan sengaja dibuat sangat fleksibel jika dibandingkan dengan peraturan yang ada di dalam suatu negara yang bersangkutan. d. Memberikan paket insentif yang menarik. Komponen utama dari konsep FTZ adalah paket insentif yang ditawarkan untuk investor asing. Hal itu termasuk : ƒ Pengurangan biaya yang tidak terbatas, atau bebas dari bea impor bahan baku, bahan baku antara, dan barang‐barang modal yang digunakan di dalam produksi untuk ekspor. ƒ Bebas dari pajak eskpor produksi barang dan jasa atau penjualan barang dan jasa yang mereka hasilkan ƒ Bebas pajak, potongan atau pengurangan pajak pendapatan perusahaan dari kinerja ekspor perusahaan atau pajak ekspor dalam total produksi. 5. Terdapat dominasi investasi asing FTZ adalah pemusatan wilayah. Hal itu terbukti dari kontribusi Amerika Latin dan Carribean merupakan penyumbang 48 FTZ di dunia sementara di Asia 42 data tahun 1997. Investor Bab IV 5 FTZ umumnya berasal dari sebagian kecil negara di dunia yakni dari Jepang dan Amerika, seperti data tabel berikut ini : Tabel 4.2 Pemilik Investasi di FTZ Asal Investor Malaysia 1990 Republic of Korea 1991 Philippines 1996 Investor lokal 14,2 27,2 12,6 Investor Jepang 36,6 68,9 22,2 Investor Amerika 17,7 0,7 35,6 Investor dari negara Barat lainnya 12,6 ‐ 5,5 lainnya 15,8 3,3 5,8 Sumber : Kusago and Tzannatos Tahun 1998 dalam Laporan ESCAP Tahun 2005 Karakterisik pendukung di dalam KPBPBFTZ meliputi : 1. FTZ yang mengembangkan industri tradisional memilih suatu lokasi dalam FTZ dengan ciri‐ciri bersifat padat karya. Sektor‐sektor di FTZ berorientasi padat karya adalah FTZ yang menghasilkan produk‐produk tekstil, pakaian, pengolahan makanan, peralatan listrik dan elektronik, peralatan transportasi di sejumlah negara seperti Republik Dominika, ElSalvador, Guatemala, Honduras, Mauritius, Mexico, Madagaskar, Jamaica, Malaysia, Saint Lucia, Sri Lanka, Bangladesh. Menurut Kusago and Tzannatos Tahun 1998 dalam Laporan ESCAP Tahun 2005, rasio investasi padat karya terhadap total investasi di FTZ 66‐68 terjadi di wilayah FTZ Masan Korea, Kaohsiung Taiwan, Lat Krabang Thailand, sementara di China seperti di Shenzen investasi yang bersifat padat karya hanya 56 . 2. Komposisi jenis kelamin, umur dan pendidikan tenaga kerja di FTZ a. Kontribusi tenaga kerja perempuan di FTZ lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan ekonomi secara keseluruhan maupun sektor industri di luar FTZ, alasannya Industri padat karya lebih menyukai pekerja perempuan karena perempuan lebih sedikit meminta gaji yang tinggi dibanding tenaga kerja laki‐laki dan perempuan lebih tekun dalam bekerja seperti yang terjadi di Sri Lanka, Panama dan Philipina. b. Di beberapa negara yang memiliki jumlah penduduk besar, tenaga kerja yang diserap FTZ umumnya berumur 18 ‐ 25 tahun dimana umumnya belum menikah, dengan tingkat pendidikan umumnya sekolah dasar. 3. Upah dan Kondisi Pekerjaan Jumlah upah dan kondisi pekerjaan di FTZ tidaklah sama dibandingkan dengan industri manufaktur di dalam negara yang melaksanakan FTZ. Biasanya upah dinegosiasikan oleh individu karyawan kepada pemilik usaha, atau secara berkelompok. Namun beberapa negara sudah memiliki standar upah minimun bagi pekerja seperti yang terjadi di Thailand, United Kingdom, dll. Bebebapa negara memiliki kebijakan pembayaran upah yang terdiri dari upah minimum per jam, harian, mingguan, bulanan, yang bervariasi sesuai dengan keahlian atau keterampilan.

C. Permasalahan

Pengembangan KPBPB Di Haiti, FTZ secara umum juga disebut sebagai Kawasan bebas. Bagi negara‐negara yang diteliti menurut studi UNESCAP Tahun 2005 di beberapa negara diantaranya Haiti, China, Indonesia, Madagaskar tentang pelaksanaan free trade zone, dinilai bahwa FTZ sebagai suatu bagian dari strategi imperialist kaum kapitalis untuk mengembangkan dominasi modal mereka dan keuntungan mereka. Menurut tim studi, jika negara pengadopsi FTZ setuju bahwa kawasan bebas free zone ini adalah bagian dari upaya percepatan pembangunan, maka produksi adalah sebagai kata kuncinya yang menjadikan kawasan tersebut sangat penting. Namun apa yang terjadi di Haiti, sejak tahun 1960 negara imperialist menginvestasikan modalnya di Haiti, bukan melalui pengembangan sektor produksi ekonomi kerakyatan seperti perikanan ataupun pertanian, tetapi melalui spekulasi pada pengembangan industri yang bersifat rakitan dengan bahan baku impor seperti industri elektronik, 6 Bab IV pakaian, dimana semua hasil produksi barang‐barang tersebut dikirim kembali ke negara‐negara investor tersebut, dan sebagai sub‐kontraktor eksportir, mereka akhirnya mengekspor kembali produk dari Haiti tersebut ke berbagai negara‐negara lainnya dengan harga lebih tinggi. Negara‐ negara kapitalis tersebut memperoleh keuntungan berlipat‐lipat tidak hanya dari hasil produksi yang efisien di Haiti, tetapi juga sebagai agen eksportir ke berbagai negara. Selain itu industri milik kaum kapitalis yang berbentuk kawasan bebas mendapat manfaat dari insentif bebas bea dan pajak. Untuk itu negara‐negara kapitalis memerlukan kerangka aturan aspek legal yang diupayakan dengan bernegosiasi dengan pemerintah setempat sehingga aspek legal tersebut dikeluarkan oleh pemerintah negara bagian tentang pendirian kawasan bebas. Tahun 1979 investor dari negara kapitalis mencoba mengembangkan suatu peraturan pada kawasan bebas. Sejak tahap ini mereka terus mempersiapkan peluang yang dapat dimanfaatkannya dalam kawasan bebas di wilayah pesisir seperti pelabuhan bebas. Mereka berdalih bahwa FTZ ini penting untuk pengembangan ekonomi negara Haiti. Namun peraturan legal tersebut akhirnya tidak dapat diterapkan di Haiti. Alasannya adalah Investasi di kawasan bebas membutuhkan peran pedagang, dimana kasus di Haiti posisi tawar pedagang lokal kaum borjuis sangat lemah. Kemudian, keberadaan FTZ dibeberapa negara yang memiliki jumlah penduduk besar, akan kurang signifikan disebabkan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja baru.Selanjutnya, di Haiti terdapat masalah tingkat upah buruh yang sangat rendah artinya kehadiran kawasan bebas tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi pekerja. Masalah tenaga kerja, seperti di Madagaskar, Indonesia, China bahwa kawasan bebas yang di dalamnya terdapat kawasan industri, menyimpan masalah yang relatif sama kasusnya di banyak negara yaitu masalah tingkat upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar makan, transportasi, kesehatan dan pendidikan, namun industri‐industri tersebut tidak peduli dengan masalah upah para pekerja yang tidak mencukupi ini. EPZ atau FTZ Dakar Senegal didirikan Tahun 1974 beroperasi penuh Tahun 1976, merupakan salah satu contoh FTZ yang gagal mencapai tujuan yaitu gagal dalam menciptakan lapangan pekerjaan maupun dalam menarik investasi asing. Data Tahun 1986, jumlah tenaga kerja yang terserap di kawasan FTZ Dakar 1.200 orang dan mengalami penurunan drastis tahun 1990 menjadi 600 orang. Sebanyak 10 perusahaan asing yang menyumbangkan ekspor USD 14.700 terpaksa keluar dari kawasan meskipun ada lingkungan politik yang stabil serta promosi insentif yang menarik. Kebijakan insentif yang diterapkan oleh Pemerintah Senegal sebenarnya sama dengan negara‐negara lain seperti pembebasan pajak pendapatan, pembebasan kewajiban kepabeanan, serta pembebasan pajak mesin, input, produk setengah jadi, dan produk jadi. Namun terdapat kendala tingginya berbagai pungutan liar, minimnya jumlah tenaga kerja, rendahnya skill dan produktivitas tenaga kerja, kakunya lingkungan pasar tenaga kerja, tidak tersedianya standar sewa lahan, tingginya biaya transportasi dan biaya jasa publik lainnya. Permasalahan lainnya adalah dari perbedaan kategori FTZ, misalnya antara FTZ enclave dengan non enclave, dan antara FTZ yang dikelola oleh pemerintah dengan yang dikelola oleh swasta. FTZ yang dideliniasi terpisah dari wilayah sekitar enclave, memiliki kelemahan minimnya keterkaitan ke belakang dan transfer teknologi dari FTZ ke wilayah lain. FTZ tradisional yang dikelola oleh pemerintah bukan dibiayai oleh sektor swasta murni, memiliki kelemahan kurangnya perhatian dari pemerintah lokal, banyaknya pungutan liar, dan adanya korupsi. Namun di Taiwan dan Korea, FTZ yang dikelola oleh pemerintah relatif sukses. Dari penjelasan di atas, kecenderungan permasalahan yang terdapat di dalam pengembangan KPBPBFTZ meliputi : 1. FTZ yang dideliniasi terpisah dari wilayah sekitar enclave, memiliki kelemahan minimnya keterkaitan ke belakang dan transfer teknologi dari FTZ ke wilayah lain. Bab IV 7 2. FTZ tradisional yang dikelola oleh pemerintah bukan dibiayai oleh sektor swasta murni, memiliki kelemahan kurangnya perhatian dari pemerintah lokal, banyaknya pungutan liar, dan adanya korupsi. Namun di Taiwan dan Korea, FTZ yang dikelola oleh pemerintah relatif sukses. 3. Buruknya iklim investasi yang disebabkan oleh tingginya berbagai pungutan liar, minimnya jumlah tenaga kerja, rendahnya skill dan produktivitas tenaga kerja, kakunya lingkungan pasar tenaga kerja, tidak tersedianya kepastian lahan dan standar sewa lahan, tingginya biaya transportasi dan biaya jasa publik lainnya, menyebabkan FTZ tidak berkembang. 4. Tidak berkembangnya sektor produksi ekonomi kerakyatan pelaku usaha domestik, akibat industri manufaktur yang berbahan baku impor. Padahal FTZ akan bermanfaat dalam pengembangan perekonomian domestik apabila terjadi peningkatan industri domestik dalam penyediaan bahan baku bagi kawasan industri di FTZ. 5. Tidak berkembangnya eksportir domestik, karena posisi tawar sangat lemah terhadap pengekspor dari investor asing yaitu perusahaan multinasional MNC yang telah menguasai jaringan pasar global. Negara investor seringkali bertindak sebagai sub‐kontraktor pengekspor produk dari FTZ ke berbagai negara, sehingga keuntungan berlipat‐lipat lebih dinikmati oleh investor asing. 6. Jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja baru. 7. Tingkat upah buruh relatif masih rendah, sehingga keberadaan FTZ kawasan bebas belum mampu memberikan kesejahteraan bagi pekerja. 8. Investor asing lebih mendominasi aktifitas bisnis dan sangat jeli memanfaatkan berbagai peluang bisnis di negara pengembang FTZ untuk maksimisasi keuntungannya, namun sebaliknya pengusaha domestik di FTZ tidak banyak terlibat.

D. Tujuan

dan Sasaran Pengembangan KPBPB Tujuan utama banyak negara memutuskan pentingnya membangun FTZ adalah untuk menciptakan pengembangan lapangan kerja dan devisa negara melalui peningkatan investasi untuk sektor produktif yang berorientasi ekspor. Investasi yang ditarik berorientasi PMA sehingga membawa penambahan modal bagi suatu negara. Menciptakan pengembangan lapangan pekerjaan. Penciptaan dan pengembangan lapangan pekerjaan merupakan tujuan utama dari pendirian suatu FTZ. Di beberapa negara, pendirian FTZ dapat menyerap tenaga kerja secara optimum, sementara di beberapa negara lainnya peran FTZ dalam penyerapan tenaga kerja kurang signifikan. Dampak FTZ akan kurang signifikan disebabkan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja. ƒ Di Mexico, tahun 1966, terdapat 24 perusahaan di FTZ menyerap 6.107 tenaga kerja. Tahun 1994, jumlah perusahaan berkembang hingga 2000 unit dengan tenaga kerja sekitar 600.000 orang. ƒ Di Mauritius, pada tahun 1971, sembilan EPZ yang didirikan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 600 orang, dan berkembang menjadi 91.000 orang pada tahun 1991 atau satu pertiga dari jumlah total tenaga kerja nasional dan 80 persen tenaga kerja industri. Di Filipina, jumlah tenaga kerja dari empat kawasan pada tahun 1986 23,651 orang, dan pada tahun 1994 jumlahnya bertambah mencapai 70,000 orang. ƒ Di Malaysia, jumlah tenaga kerja dari tujuh kawasan tahun 1994 meningkat menjadi 123,000 orang. Pada umumnya di negara‐negara berkembang kondisi tenaga kerja umumnya bergerak di sektor pertanian dengan tingkat pendapatan rendah, dan ingin berpindah ke sektor industri pengolahan yang memberikan pendapatan lebih besar. Meningkatan devisa. Banyak negara, terutama negara berpendapatan rendah, devisa luar negeri merupakan salah satu sumber untuk membiayai impor dan membangun perekonomian lokal. Pengembangan ekspor yang modern akan memberikan dampak secara langsung pada : a 8 Bab IV peningkatan pendapatan ekspor, dimana pendapatan ekspor akan berdampak positif pada nilai tukar suatu negara dan PDB, b biaya impor lebih rendah bagi pembeli di dalam negeri. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa FTZ dapat menjadi instrumen untuk memperoleh devisa luar negeri. Di Mauritius, penerimaan ekspor bersih dari FTZ tahun 1971 dari 3 persen meningkat pesat menjadi 68.7 persen dari ekspor nasional tahun 1994. Sementara kawasan‐kawasan khusus seperti Kawasan Berikat dan EPZ di Indonesia, Korea, dan Taiwan, menyumbangkan ratio of net to gross exports dari 49 persen menjadi 63 persen pada pertengahan tahun 1980‐an. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, maka sasaran FTZ diantaranya : 1. Menarik investasi berorientasi PMA terkait dengan upaya peningkatan tambahan modal di suatu negara terkait dengan pengembangan sektor produktif industri dan jasa. 2. Peningkatan kinerja ekspor. FTZ memiliki peranan penting untuk meningkatkan kinerja ekspor di banyak negara. Di Taiwan, Korea, dan Dominika seluruh ekspor produksi manufaktur dihasilkan dari FTZ. Sementara di Mauritius, Kenya, dan Mexico, masing‐masing FTZ‐nya memiliki kontribusi terhadap ekspor nasional sebesar 95 persen, 75 persen, dan 50 persen. 3. Pengembangan keterkaitan ke belakang backward linkages. Perusahaan‐perusahaan di dalam FTZ melakukan outsourcing atau melakukan subkontrak bahan baku dan input kepada perusahaan domestik. Banyaknya kegagalan dalam membangun keterkaitan FTZ dengan dengan perusahaan ‐prusahaan domestik seringkali karena ketidaksesuaian antara jenis bahan baku yang diminta, kelangkaan inputbahan baku, kualitas dan harga produk, dan lambatnya pengiriman. Salah satu contoh FTZ yang berhasil membangun keterkaitan ke belakang adalah FTZ Masan di Korea. Pada tahun 1988, dari 79 perusahaan yang ada di dalam kawasan, 56 perusahaan diantaranya melakukan kemitraan dan kerjasama dengan 525 perusahaan domestik dalam bentuk proses outsourcing. Perusahaan‐perusahaan domestik memperkerjakan 16.686 pekerja, setara dengan setengah dari tenaga kerja Kawasan Masan. Berbeda dengan Di Mexico, FTZ‐nya sukses meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan namun tidak berhasil menciptakan keterkaitan ke belakang dengan perusahaan domestik karena sebagian besar inputnya diimpor dari Amerika Serikat. 4. Peningkatan kualitas infrastruktur. FTZ dapat mendorong peningkatan kualitas infrastruktur nasional. Kawasan yang sukses adalah kawasan dimana pemerintahnya dapat menyediakan sarana dan prasarana transportasi maupun logistik yang efisien sehingga kompetitif. 5. Meningkatkan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan yang memberikan dampak luas bagi suatu negara, akan menjadikan pelaku usaha lokal banyak terlibat dalam proses produksi secara modern, sehingga keuntungan pelaku usaha di FTZ akan sangat besar karena mampu memproduksi produk olahan sesuai standar kualitas internasional didukung pelatihan keterampilan tenaga kerja, staf dan pihak pengelola secara intensif. Namun perlu hati‐hati bahwa di sisi lain, jenis transfer teknologi ini juga dapat berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Contoh di Malaysia, pangsa pekerja per perusahaan terhadap total pekerja di FTZ terus menurun selama periode 1990‐1997, yang menunjukan adanya perubahan dari industri intensif tenaga kerja kepada industri intensif modal, sebagai indikasi terjadinya transfer teknologi. Negara yang sukses menerapkan FTZ diantaranya Singapura dan Korea. FTZ dipandang sebagai suatu instrumen untuk memperluas dan memodernisasi perekonomian dengan menarik investasi luar negeri sebesar‐besarnya, mengupayakan transfer teknologi dan penciptaan lapangan pekerjaan. FTZ di berbagai negara mampu berperan sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi berorientasi keluar, dan memiliki dampak signifikan bagi pengembangan industrinya. Berbagai hasil penelitian di banyak negara sebelumnya telah menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara pendirian FTZ dengan upaya peningkatan kinerja ekspor suatu negara. Kawasan perdagangan bebas FTZ mengalami perubahan substansial dan beradaptasi sebagai respon terhadap pertumbuhan perdagangan dunia yang cepat, peningkatan efisiensi transportasi terutama Bab IV 9 kepelabuhanan. Sebagai suatu instrumen dari kebijakan perdagangan dan pembangunan, konsep FTZ mengalami adaptasi dengan kondisi lokal dari setiap negara. Konsep tersebut akan berubah setiap saat, menyesuaikan dengan tuntutan sektor pemerintah maupun sektor swasta.

E. Kategori

KPBPB FTZ di seluruh dunia dapat dikategorikan berdasarkan empat bagian : 1. Perbedaan tujuan pasar : a. FTZ tradisional yang tidak mengizinkan penjualan produk ke pasar domestik b. FTZ yang mengizinkan penjualan produk ke pasar domestik dengan kuota tertentu seperti FTZ di Republik Dominika mengizinkan perusahaan‐perusahaan untuk menjual 20 persen outputnya di pasar Dominika c. FTZ yang membebaskan penjualan ke pasar domestik. 2. Perbedaan backward linkages : a. FTZ dideliniasi terpisah dari wilayah sekitar enclave, karena perusahaan mendapatkan keuntungan infrastruktur dan pelayanan dengan kualitas diatas rata‐rata dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya, namun kelemahannya minimnya keterkaitan ke belakang dan transfer teknologi dari FTZ ke wilayah lain b. FTZ terkait dengan perusahaan‐perusahaan di wilayah lain dalam negara tersebut. 3. Perbedaan status kepemilikan dan pengelolaan : a. Kepemilikan dan pengelolaan oleh pemerintah public FTZ : sebagian besar FTZ tradisional dijalankan oleh pemerintah, dengan fokus utama pada pencapaian sasaran sosial ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, menarik investasi asing, promosi industri, dan diversifikasi industri. Namun kelemahan FTZ model tradisional ini adalah kurangnya perhatian dari pemerintah lokal, banyaknya pungutan liar, dan adanya korupsi. Contoh pengelolaan FTZ seperti ini yang sukses adalah Taiwan dan Korea. b. Kepemilikan dan pengelolaan swasta private FTZ : sebagian besar merupakan sumbangan swasta. Keunggulannya cenderung lebih fleksibel, lebih inovatif lebih mudah beradaptasi dengan perubahan global. FTZ swasta yang sukses seperti FTZ di Filipina, Kenya, Republik Dominika. Peranan pemerintah hanya menciptakan kerangka hukum kompetitif dengan paket insentif yang menarik dan sesuai persyaratan WTO. Investasi swasta di FTZ umumnya dari beberapa negara, di Asia mayoritas investornya dari Amerika Serikat dan Jepang. 4. Perbedaan pelayanan : a. FTZ yang menawarkan paket pelayanan lengkap bagi penggunanya high‐end FTZ b. Low ‐end FTZ.

F. Bentuk

Implementasi Kebijakan Pengembangan KPBPB Beberapa Negara Letak Lokasi Agar FTZ dapat menciptakan lapangan pekerjaan, maka FTZ harus mampu bersaing di pasar global dan produknya harus sesuai permintaan pasar. Untuk memenuhi hal itu syarat utama pendirian FTZ adalah mempertimbangkan letak lokasi, karena salah satu kunci penentu keberhasilan dalam pemasaran adalah faktor “lokasi”. Lokasi FTZ sangat perlu dikaitkan dengan aksesnya terhadap pasar global, kebutuhan industri, sumber bahan baku, arah pergerakan bisnis dan semua yang berhubungan dengan globalisasi. Selain itu lokasi FTZ harus didukung oleh ketersediaan sistem transportasi laut dan udara, sistem transportasi antar wilayah, yang mana penyediaannya adalah tugas pemerintah. 10 Bab IV 1. Letak lokasi FTZ di Singapura Menurut investor, kekuatan Singapura terletak pada lokasinya yang strategis, stabilitas politik, kepastian hukum, adanya jasa keuangan, serta infrastruktur bisnis yang memadai. Selain itu, Singapura terintegrasi dengan jaringan transportasi global melalui keterkaitan pelabuhan dan bandaranya ke seluruh dunia. Singapura juga merupakan anggota dari ASEAN Free Trade Area, dengan total pasar sebesar 550 juta orang. 2. Letak lokasi FTZ di China Pada umumnya, FTZ di Cina didirikan di sekitar pelabuhan di sepanjang garis pantai. Total FTZ di China ada 15 diantaranya berlokasi di dekat pelabuhan, terminal container, stasiun kereta atau di sepanjang aliran sungai. Gambaran letak lokasi beberapa FTZ di China seperti : FTZ Shanghai Waigaoqiao berlokasi di dalam Kawasan Baru Shanghai Pudong dan berada di dekat terminal kontainer Waigaoqiao. FTZ Zhuhai berlokasi di selatan SEZ Zhuhai dekat Pelabuhan Wanxai berhadapan langsung dengan negara Macao, dimana Macao dan FTZ Zhuhai dihubungkan Jembatan Hengging dan Jembatan Lotus, dimana FTZ Zhuhai 11 km 2 dari pusat kota, 44 km dari Pelabuhan Zuhai, 18 km2 dari Pelabuhan Jiuzhou, 40 km2 dari bandara Zhuhai, 5 km2 dari Stasiun kereta api Zhuhai 36 km dari Hong Kong. FTZ Tianjin berada ditengah‐tengah Teluk Bohai, menghadap langsung ke Timur Laut Asia dan terhubung dengan 13 provinsi. FTZ Qingdao terletak di sebelah utara Cina sepanjang aliran Sungai Kuning. FTZ Zhangjiagang di Provinsi Jiangsu terletak di sepanjang aliran sungai. FTZ Shenzhen 3 kawasan Futian, Shatoujiao, Pelabuhan Yantian yang mana pembangunannya bersamaan dengan pembangunan SEZ Shenzen. 3. Letak lokasi FTZ di Korea Kawasan ‐kawasan industri dititikberatkan pada industri berat dan kimia, yang membentuk sabuk ‐sabuk industri di Ulsan, Changwon dan Yeochun, yang berorientasi ekspor EPZ yang kemudian berubah menjadi FTZ Masan dan Iksan, berbasis pelabuhan Busan, Gwangyang, Pelabuhan Incheon, Bandar Udara Internasional Incheon. Luas FTZ 1. Luas FTZ di Singapura FTZ di Singapura, Korea, Taiwan, memiliki luas antara 20 – 260 ha atau 0,2 – 2,6 km 2 . Namun luas FTZ di masing‐masing negara berbeda‐beda, tergantung pada dukungan politik, ekonomi, dan sosial. FTZ di Singapura mencakup seluruh wilayah Singapura. Berikut gambaran luas FTZ di Singapura. Tabel 4.3 Luas FTZ di Singapura FTZ Luas Kawasan m2 Keppel FTZ 2.590.000 = 259 ha Pasir Panjang FTZ 650.000 =65 ha Jurong FTZ 615.000 = 61,5 ha Sembawang FTZ 199.000 = 19,9 ha ALPS 237.000 = 23,7 ha Sumber : Free Trade Zone and Port Hinterland Development, ESCAP Secretariat, 2005 2. Luas FTZ di China Terdapat 15 FTZ memiliki luas total 52,49 km 2 , dengan ukuran masing‐masing FTZ antara 1‐10 km 2 atau 100 – 1000 ha seperti : FTZ Shanghai Waigaoqiao 10 km 2 ; FTZ Tianjin 5 km 2 telah terbangun 3.8 km 2 ; FTZ Zhuhai luas 3 km 2 ; FTZ Pelabuhan Tianjin luas 7 km2 terdiri dari kawasan industri bandar udara Tianjin Tianjin Airport Industrial Park dan Kawasan Logistik Internasional Tianjin Tianjin Airport International Logistics Zone merupakan perluasan dari kawasan FTZ, dimana 3,8 km2 telah terbangun; FTZ Qingdao luas 3.8 km2; FTZ Zhangjiagang; FTZ Zhangjiagang Bab IV 11 merupakan salah satu FTZ di sepanjang aliran sungai luas 4.1 km2. FTZ Guangzhou luas 2 km2. FTZ Shenzhen. FTZ Shenzhen terdiri dari 3 buah FTZ FTZ Futian, FTZ Shatoujiao, FTZ Pelabuhan Yantian luas 2,47 km2, pembangunannya dilakukan bersamaan dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus SEZ Shenzen. FTZ Futian luas 1.35 km2 dimana 0.33 km2 dialokasikan untuk keperluan permukiman. FTZ Shatoujiao merupakan FTZ yang pertama kali didirikan di Cina luas 0.27 km2. FTZ pelabuhan Yantian luas 0.85 km. FTZ Tianjin luas 5 km2. Disamping FTZ, di China juga terdapat kawasan pengolahan ekspor atau Export Processing Zones EPZ luas 2.54 km 2 di dalam kawasan Tianjin Economic and Technological Development Zone ETDZ, Chengdu Export Processing Zone luas 0.5 km 2 . 3. Luas FTZ di Korea