Laporan Kajian Penyusunan Model Peningkatan KUKM Di Kawasan Perbatasantertinggal

(1)

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, atas petunjuk dan hidayahNya kami telah dapat menyelesaikan laporan Kajian Penyusunan Model Peningkatan KUMKM di Kawasan Perbatasan/Tertinggal. Kajian ini dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat pada kawasan perbatasan dan pengentasan kemiskinan melalui peningkatkan peran KUMKM dalam pengembangan potensi unggulan daerah. Kajian dan pengamatan dilakukan pada 2 provinsi yaitu: Provinsi Nusa Tenggara Timur pada kawasan perbatasan yang berada di Kabupaten Belu dan Provinsi Kalimantan Barat pada kawasan perbatasan yang berada di Kabupaten Sanggau.

Kajian ini telah memberikan gambaran yang jelas tentang potensi ke dua kawasan perbatasan yang bisa dikembangkan melalui peningkatan peran KUMKM. Untuk kawasan perbatasan Kabupaten Belu terdapat dua komoditi potensial daerah yang perlu diperhatikan yaitu : komoditi Sapi dan Jagung, sedangkan pada kawasan perbatasan Sanggau adalah : komoditi Lada dan Kakao. Kajian ini telah menghasilkan model peningkatan peran KUMKM untuk menangani komoditi potensial/unggulan pada masing-masing daerah.

Pada kesempatan ini, disampaikan ucapan terima kasih kepada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang telah banyak memberikan arahan dan masukan; Tim Peneliti atas upaya kerasnya dilapangan dan menyusun laporan hasil kajian; Tenaga Ahli; Nara Sumber; Instansi pemerintah di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Belu, serta Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Sanggau dan berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kajian ini.

Kami menyadari bahwa hasil kajian ini belum sepenuhnya mampu menjawab permasalahan yang dihadapi terutama dalam peningkatan peran KUMKM. Akhirnya harapan kami, semoga hasil kajian ini bermanfaat hendaknya.

Jakarta, November 2010

Asisten Deputi Urusan Penelitian Usaha Kecil dan Menengah

Ir. Martono Djohari, MABM NIP. 195402111980031001


(2)

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

Peningkatan peran KUMKM merupakan bagian dari upaya mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, khususnya daerah pedesaan dalam upaya pengentasan kemiskinan. sekaligus menjadi salah satu alternatif bagi pengembangan kawasan perbatasan. Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan kawasan perbatasan terutama untuk daerah-daerah tertinggal/terisolir tidak lain untuk menjaga perimbangan pembangunan dengan daerah lain yang lebih maju dan dinamis. Pada sisi lain kawasan perbatasan suatu negara dinilai memiliki nilai strategis yang tinggi baik ditinjau dari sudut politik,pertahanan keamanan, ekonomi dan sosial budaya. Keadaan dan potret pengelolaan sumberdaya alam dan pemberdayaan masyarakat yang bermukim di kawasan perbatasan hendaknya mencerminkan kondisi yang lebih baik atau minimal tidak jauh berbeda dengan kawasan perbatasan negara tetangga. Tidak berlebihan bahwa slogan yang mengatakan “kawasan perbatasan negara hendaknya menjadi halaman depan bangsa” telah banyak diterapkan dan dianut negara-negara di dunia.

Kajian ini dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat pada kawasan perbatasan dan meningkatkan peran KUMKM. Sedangkan tujuan dilakukannya kajian ini adalah : 1) Mengetahui potensi ekonomi daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan yang bisa ditangani KUMKM; 2) Menyusun model peningkatan KUMKM dalam pengembangan sektor ekonomi daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan. Adapun manfaat dari kajian ini adalah sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan dalam peningkatan peran KUMKM dalam pembangunan daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan. Sedangkan lingkup kegiatan meliputi identifikasi dan analisis : potensi ekonomi, potensi KUMKM dan menyusun model peningkatan peran KUMKM untuk pengembangan kawasan perbatasan. Model analisis untuk mencapai tujuan kajian digunakan pendekatan : deskriptif analisis, analis AHP dan analisis LQ shere.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat perbatasan dalam pemanfaatan potensi daerah pada 2 lokasi pada dasarnya tidak jauh berbeda yaitu : kemampuan sdm, modal kerja, penguasaan teknologi, penggunaan benih dan sarana produksi, prasarana dan sarana, serta tingkat pemanfaatan lahan. Perbedaan hanya terletak pada bobot prosentasenya saja dimana secara berurutan untuk Kabupaten Belu (15,46%, 30,47%, 10,00%, 15,55%, 20,67%, 8,00%) dan untuk Kabupaten Sanggau (18%, 39%, 29%, 3%, 4%, 7%) Berarti modal kerja masih menjadi masalah krusial untuk peningkatan peran KUMKM di kawasan perbatasan, disamping kemampuan sdm dan penguasaan teknologi. Masalah modal kerja terkait dengan akses masyarakat dengan lembaga keuangan baik formal maupun informal yang masih sangat terbatas menfasilitasi masyarakt perbatasan. Kondisi kemampuan SDM masih rendah, rata-rata pendidikan masyarakat petani pada


(3)

taraf SMP. Hal ini akan berkait dengan daya serap terhadap penguasaan teknologi, sehingga sangat diperlukan berbagai pelatihan terutama yang berkaitan dengan penanganan dan pengembangan komoditi yang mereka tangani.

Potensi daerah perbatasan yang bisa dikembangkan berdasarkan, analisa Location Quotient (LQ) dan AHP dan kemudian dibahas melalui forum FGD yang dilaksanakan pada masing-masing ibukota provinsi, yaitu : Kupang dan Pontianak, maka disepakati komoditi potensial/unggulan yang perlu dikembangkan dalam peningkatan peran KUMKM di kawasan perbatasan untuk Kabupaten Belu (NTT) adalah : komoditi Sapi dan Jagung, sedangkan untuk Kabupaten Sanggau (Kalbar) adalah komoditi Lada dan Kakao. Potensi KUMKM perbatasan Sanggau terhadap Kabupaten Sanggau : koperasi memberikan shere sebesar 2%, usaha mikro sebesar 5% dan usaha kecil sebesar 2%. Pada kawasan perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste potensi: koperasi memberikan shere sebesar 1,7 %, usaha mikro sebesar 3,2 %, usaha kecil sebesar 2,3 % dan usaha menengah sebesar 3 %. Peran KUMKM, terutama Koperasi masih kecil dalam pemberdayaan kawasan perbatasan, hal ini diperkuat pendapat peserta FGD di Kabupaten Sanggau (65%) menyatakan tidak ada koperasi pendukung yang menangani pengembangan potensi potensial/unggulan, sedangkan Kabupaten Belu (76%) menyatakan sudah ada namun belum berfungsi untuk pemberdayanan masyarakat di kawasan perbatasan. .

Untuk peningkatan peran KUMKM dalam pengembangan komoditi potensial tersebut telah dirancang model kemitraan dengan meletakkan peran Koperasi sebagai institusi kelembagaan petani berkerjasama dengan UKM melalui dukungan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan melibatkan peran akademisi, bisnismen dan pemerintah. Dukungan pemerintah dalam bentuk modal investasi, modal kerja, bantuan peralatan dan fasilitasi akses ke investor dan akademisi untuk pengembangan koperasi di kawasan perbatasan sangat dibutuhkan. Peran sentral koperasi mencakup pembinaan.petani/peternak/pedagang, quality control hasil produksi, marketing agent, arranger kemitraan, mitra perbankan dan penyedian modal anggota untuk pengembangan usaha. Pengembangan koperasi di kawasan perbatasan secara ideal disarankan untuk membentuk koperasi baru yang dipersiapkan secara khusus untuk menangani pengembangan komoditi potensial/unggulan dan pemberdayaan masyarakat yang berdiam di kawasan perbatasan. Namun tidak tertutup kemungkinan mengembangkan koperasi yang telah ada dengan catatan bahwa koperasi tersebut memenuhi kriteria untuk menangani pengembangan komoditi potensial/unggulan kawasan perbatasan sekaligus mampu berperan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan.

Model yang dirancang diharapkan dapat meningkatkan share KUMKM kawasan perbatasan Kabupaten Sanggau dengan Malaysian dari 5 % menjadi 15 % dalam jangka waktu 5 tahun, sedangkan untuk kawasan perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Timur dari 3 % menjadi 10 % dalam jangka waktu 5 tahun. Selain itu, melalui model yang dirancang kecenderungan masyarakat yang hanya menjual bahan baku tanpa pengolahan dapat ditingkatkan dengan menciptakan barang setengah jadi atau produk akhir. Untuk penerapan model ini perlu dibuat pilot proyek atau demplot oleh pihak-pihak terkait dan dirumuskan aktion plan untuk koordinasi pelaksanaannya.--


(4)

KATA PENGANTAR i

RINGKASAN EKSEKUTIF ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GRAFIK ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG... 1

1.2. PERMASALAHAN ... 3

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT ... 4

1.4. RUANG LINGKUP... 4

1.5. OUTPUT... 5

BAB 2 KERANGKA PIKIR DAN KEBIJAKAN 2.1 KERANGKA PIKIR ... 6

2.2 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAERAH TERTINGGAL/TERISOLIR ... 8

2.3 KEBIJAKAN PENINGKATAN PERAN KUMKM... 13

BAB 3 METODOLOGI 3.1 KERANGKA ANALISIS KAJIAN ... 17

3.2 PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI ... 19

3.3 LOKASI KAJIAN ... 19

3.4 POPULASI DAN SAMPEL ... 19

3.5 PENGOLAHAN DATA... 20

3.6 ANALISA DATA ... 21

3.7 PELAKSANA KEGIATAN... 22


(5)

BAB 4 GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1. PROVINSI NTT... 24

4.1.1. Kabupaten Belu... 26

4.1.1.1. Sarana dan Prasana... 29

4.1.1.2 Perkembangan Sektor Sektor Produksi ... 35

4.1.1.3 Kawasan Prioritas Pembangunan ... 48

4.1.1.4 KUMKM dalam Perekonomian di Kabupaten Belu ... 50

4.2. PROVINSI KALIMANTAN BARAT... 52

4.2.1. Kabupaten Sanggau ... 53

4.2.1.1. Sarana dan Prasarana ... 55

4.2.1.2. Perkembangan Sektor Sektor Produksi ... 59

4.2.1.3. Kawasan Prioritas Pembangunan ... 65

4.2.1.4. KUMKM dalam Perekonomian di Kabupaten Sanggau... 67

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. PERMASALAHAN DAN POTENSI DAERAH KAWASAN PERBATASAN... 70

5.1.1. Permasalahan dalam Pengembangan Potensi Daerah ... 71

5.1.2. Potensi Daerah Potensial Kawasan Perbatasan... 73

5.1.3. Hasil FGD di Lokasi Kajian ... 82

5.1.4. Kontribusi dan Karateristik KUMKM... 85

5.2. RANCANGAN MODEL PENINGKATAN PERAN KUMKM KAWASAN PERBATASAN ... 95

5.2.1. Rancangan Model Pengembangan Komoditi Potensial di Kebupaten Belu . 98 5.2.2. Rancangan Model Pengembangan Komoditi Potensial di Kebupaten Sanggau ...100

5.2.3. Identifikasi Tugas dan Fungsi Pemangku Kepentingan...101

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. KESIMPULAN...105


(6)

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. PAPARAN FGD DI KUPANG LAMPIRAN 2. PAPARAN FGD DI PONTIANAK


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3-1. Penyebaran Sampel untuk Survei Lapangan dan FGD ... 20

Tabel 3-2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan... 23

Tabel 4-1. Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan... 25

Tabel 4-2. Indikator Ekonomi Provinsi NTT ... 26

Tabel 4-3. Luas Daerah Kabupaten Belu Menurut Kecamatan ... 27

Tabel 4-4. Proyeksi Kebutuhan Fasilitas Perdagangan Di Kabupaten Belu Dirinci Per Wilayah Kecamatan Tahun 2016... 35

Tabel 4-5. Produksi Tanaman Pangan, Kabupaten Belu, Tahun 2007-2009 (000 ton) ... 36

Tabel 4-6. Luas Panen Dan ProduksiTanaman padi Menurut Kecamatan Di Kabupaten Belu Tahun 2006-2009 ... 36

Tabel 4-7. Produksi Jagung, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Kacang Tanah, dan Kacang Hijau di Kabupaten Belu, Tahun 2008 ... 37

Tabel 4-8. Produksi Tanaman Perkebunan yang Dihasilkan Selama Tahun 2008, Kabupaten Belu ... 39

Tabel 4-9. Banyak Ternak Menurut Jenis Ternak dan Kecamatan di Kabupaten Belu, 2008 ...40

Tabel 4-10. Luas Kawasan Hutan berdasarkan Luas Hutan Kesepakatan di Kabupaten Belu, Tahun 2008 (dalam Ha) ... 41

Tabel 4-11. Penyebaran lokasi hutan berdasarkan TGHK di Kabupaten Belu ... 42

Tabel 4-12. Produksi Hutan di Kabupaten Belu, Tahun 2008... 43

Tabel 4-13. Sebaran dan Kondisi Mangrove di Kabupaten Belu, 2008... 43

Tabel 4-14. Produksi Perikanan di Kabupaten Belu Menurut Sub Sektor, Tahun 2003 — 2005 (ton)... 44

Tabel 4-15. Nilai Tambah Bruto dan Peranan Sektor Pertambangan dan Penggalian di Kabupaten Belu Tahun 2000 — 2005... 46

Tabel 4-16. Distribusi Prosentase Nilai Tambah Bersih (NTB) Listrik, Gas, dan Air Bersih Terhadap PDRB Kabupaten Belu Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2009... 47

Tabel 4-17. Distribusi Prosentase Nilai Tambah Bersih (NTB) Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel Terhadap PDRB Kabupaten Belu Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2009.... 47


(8)

Tabel 4-18. Banyaknya Perusahaan/Usaha Sektor Perdagangan Menurut Jenis Usaha dan

Kecamatan di Kabupaten Belu , Tahun 2009 ... 48

Tabel 4-19. Banyaknya Koperasi, Anggota, dan Simpanan di Koperasi Menurut Kecamatandi Kabupaten Belu 2008... 51

Tabel 4-20. Perkembangan Panjang Jalan Beserta Jenis Permukaan Jalan ... 55

Tabel 4-21. Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Sanggau... 56

Tabel 4-22. Fasilitas Perdagangan di Kabupaten Sanggau dirinci Per Wilayah Kecamatan Tahun 2008... 57

Tabel 4-23. Data Potensi Kehutanan Kabupaten Sanggau ... 62

Tabel 4-24. Produksi Dan Nilai Ikan Perairan Umum Dan Ikan Budidaya Tahun 2004 – 2007...63

Tabel 4-25. Banyaknya Industri Pengolahan Hasil Pertanian di Kabupaten Sanggau Tahun 2007 – 2008 ... 64

Tabel 4-26. Kondisi Koperasi (KUD dan non KUD) di Kabupaten Sanggau pada Tahun 2008... 68

Tabel 5-1. Penentuan potensi berdasarkan penghitungan LQ di Kabupaten Belu...75

Tabel 5-2. Penentuan potensi berdasarkan penghitungan LQ di KabupatenSanggau ... 79


(9)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1. Permasalahan Pengembangan Potensi Daerah Kabupaten Belu...71

Grafik 5.2. Permasalahan Pengembangan Potensi Daerah Kabupaten Sanggau...72

Grafik 5.3. Potensi Daerah Potensial Kabupaten Belu berdasarkan persepsi stakeholders...74

Grafik 5.4. Penghitungan Potensi unggulan menggunakan Expert Choice di Kabupaten Belu...77

Grafik 5.5. Penentuan Potensi Unggulan Kabupaten Sanggau berdasarkan persepsi stakeholders...78

Grafik 5.6. Penghitungan Potensi unggulan Kabupaten Sanggau menggunakan Expert Choice..82

Grafik 5.7. Share KUMKM pada 2 kecamatan Kawasan Perbatasan...85

Grafik 5.8. Ketersediaan Koperasi Pendukung di Kabupaten Belu dan Sanggau...86

Grafik 5.9. Ketersediaan UMKM pendukung di Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau...88

Grafik 5.10. Karakteristik hubungan UMKM dengan instansi terkait di Kabupaten Belu...92


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Penyebaran Lokasi Daerah Tertinggal di Indonesia...2

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Kajian Penyusunan Model Peningkatan UMKMK di daerah Tertinggal /Terisolir ...7

Gambar 3.1. Kerangka Analisis Kajian ...18

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Belu ...28

Gambar 5.1. Skema penghitungan AHP di Kabupaten Belu...76

Gambar 5.2. Skema penghitungan AHP di Kabupaten Sanggau...81

Gambar 5.3. Karakteristik UMKM di sektor pertanian dan peternakan...90

Gambar 5.4. Karakteristik UMKM sektor Pertanian dan Perkebunan di Kabupaten Sanggau...93

Gambar 5.5. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM di Kawasan Perbatasan...96

Gambar 5.6. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM dalam Pengembangan Komoditi Sapi...98

Gambar 5.7. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM dalam Pengembangan Komoditi Jagung...99

Gambar 5.8. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM dalam Pengembangan Komoditi Lada...100

Gambar 5.9. Rancangan Model Peningkatan Peran KUMKM dalam Pengembangan Komoditi Kakao...101


(11)

1.1.

LATAR BELAKANG

Peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal/terisolir merupakan bagian dari upaya mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, khususnya daerah pedesaan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sungguhpun sebagian besar masyarakat di daerah tertinggal/terisolir diperbatasan hidup dari sektor pertanian, namun dalam membangun daerah tertinggal/terisolir bukan semata hanya ditujukan untuk mengembangkan sektor pertanian saja, melainkan mencakup seluruh kegiatan pembangunan yang meliputi seluruh aspek kehdupan masyarakat. Dengan demikian pembangunan ekonomi daerah tertinggal/terisolir mestinya bisa dirajut melalui pendekatan keterpaduan pengembangan dan pertumbuhan antar sektor yang ada. Perlunya penekanan pembangunan daerah tertinggal/terisolir tidak lain untuk menjaga perimbangan pembangunan dengan daerah lain yang lebih maju dan dinamis.

Daerah Tertinggal merupakan daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Ke-6 (enam) kriteria tersebut diolah dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) 2003 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2002 dan data Keuangan Kabupaten 2004 dari Departemen Keuangan. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan 199 kabupaten dikategorikan kabupaten tertinggal yang didalammnya juga tercakup daerah terisolir dan terpencil. Jumlah tersebut 43% dari jumlah keseluruhan kabupaten yang ada di Indonesia, dimana sebanyak 123 kabupaten (62%) berada pada Kawasan Timur Indonesia, 58 kabupaten (29%) berada di Sumatera, dan Jawa-Bali 18 kabupaten (9%). Penyebaran daerah Tertinggal di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1


(12)

Gambar 1.1 Peta Penyebaran Lokasi Daerah Tertinggal di Indonesia

Pada akhir-akhir ini pengembangan wilayah perbatasan menjadi perhatian pemerintah karena memiliki arti penting dan strategis terkait dengan otonomi daerah, perdagangan bebas, strategi globalisasi, dan bahkan pada konteks kedaulatan nasional. Sunguhpun demikian, kawasan perbatasan di Indonesia ditandai dengan kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga, kemiskinan yang tinggi, isolasi karena akses yang sulit, kualitas sumber daya yang rendah, serta sarana prasarana yang minim. Pada umumnya wilayah perbatasan merupakan daerah tertinggal/terisolir dimana secara umum rawan baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Fenomena yang sangat menonjol adalah maraknya kegiatan illegal logging, illegal trading, arus migrasi ilegal (illegal traficking), serta bergesernya patok-patok pembatas antar negara. Mengingat kerugian yang besar yang dapat ditimbulkan secara ekonomi dan politik, pembangunan kawasan perbatasan menjadi sangat penting untuk dilakukan agar daerah tersebut tidak menjadi daerah tertinggal/terisolir.

Paradigma yang semestinya digunakan adalah menjadikan kawasan perbatasan justru sebagai halaman/wilayah “muka”. Pengalihan halaman belakang menjadi halaman muka berarti menuntut pengembangan ekonomi kawasan perbatasan dengan pengalokasian sumber daya nasional untuk mengatasi rendahnya tingkat ekonomi eksisting kawasan perbatasan. Pada konteks inilah, pembangunan ekonomi lokal dengan peningkatan peran KUMKM dapat menjadi salah satu alternatif


(13)

bagi pengembangan kawasan perbatasan. Pemberdayaan KUMKM ini semestinya dilaksanakan secara simultan dalam kerangka kerja yang komprehensif dengan berbagai upaya lain seperti pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan sosial, penyediaan infrastruktur dan lainnya. Keseluruhan kerja tersebut diarahkan untuk mendukung tegaknya kedaulatan nasional di kawasan perbatasan negara.

Oleh karena itu, untuk mendukung pembangunan ekonomi daerah dan meningkatkan peran KUMKM dalam pembangunan daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan, maka perlu dilakukan kajian untuk mendeskripsikan potensi daerah yang bisa dikelola KUMKM dan/serta merumuskan model peningkatan peran KUMKM dalam mendorong partisipasi masyarakat membangun ekonomi daerah perbatasan.

1.2.

PERMASALAHAN

Daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan merupakan daerah yang memerlukan pengembangan yang terarah dan terencana dengan baik. Maka pendekatan dalam peningkatan peran UMKMK ditujukan untuk meningkatan kualitas dan kemanfaatannya bagi masyarakat lingkungannya. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan peningkatan peran KUMKM untuk menangani potensi daerah melalui pengembangan kegiatan usaha produktif pada sektor yang bisa dikembangkan. Peningkatan peran KUMKM dalam menangani potensi ekonomi daerah tertinggal/terisolir dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan pemerataan pembangunan, sehingga KUMKM yang umumnya terdiri dari petani, pedagang, pengrajin atau bentuk usaha produktif lainnya bisa ikut berpatisipasi dalam pembangunan daerah.

Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diindentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanan potensi daerah dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan;

2. Bagaimana kondisi KUMKM dan pemasalahan yang dihadapi, sehinggga KUMKM di daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan perkembangannya lamban jika dibandingkan dengan daerah lain;


(14)

3. Bagaimana prospek pengembangan dan peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan untuk masa mendatang dalam memanfaatkan potensi daerah.

1.3.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan kajian ini adalah :

1. Mengetahui potensi ekonomi daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan yang bisa ditangani KUMKM;

2. Menyusun model pemberdayaan KUMKM dalam pengembangan sektor ekonomi daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan;

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan dalam peningkatan peran KUMKM dalam pembangunan daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan.

1.4.

RUANG LINGKUP

Lingkup kajian terdiri atas dua : (1) pembahasan makro, dan (2) pembahasan mikro. Pembahasan makro membahas hal-hal yang berhubungan dengan potensi daerah. Analisis ini diperlukan untuk memperoleh informasi tentang potensi daerah yang bisa mendukung pembangunan UMKMK di masa mendatang. Isi pembahasan makro terdiri atas : (1) gambaran umum daerah kajian, (2) keadaan kependudukan, dan (3) potensi perekonomian daerah sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, pertambangan, dan sector lainnya. Untuk potensi sumber daya manusia dan potensi ekonomi daerah sengaja dipilih yang mempunyai keunggulan komperatif bagi pengembangan KUMKM. Pembahasan mikro ditujukan guna melihat prosfek pengembangan KUMKM yang dititik beratkan pada : (1) potensi KUMKM yang mempunyai prosfek untuk dikembangkan, (2) perkembangan dan prosfek usaha UMKMK yang telah ada dan (3) kelembagaan KUMKM baik yang telah ada maupun yang bisa dikembangkan. Analisis perkembangan kondisi makro dan mikro akan dilihat secara kuantitas maupun kualitas. Pembahasan makro dan mikro juga ditujukan untuk melihat faktor kelemahan, kekuatan, tantangan, dan peluang KUMKM untuk bisa memanfaatkan potensi ekonomi daerah. Atas dasar analisis kondisi mikro dan makro maka dijadikan dasar bagi penyusunan model peningkatan peran UMKMK. Untuk lebih jelasnya, maka lingkup kajain ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :


(15)

1. Identifikasi dan analisis potensi ekonomi daerah terutama sektor pertanian, dan sektor perdagangan, dll.

2. Identifikasi dan analisis potensi KUMKM yang dapat dikembangkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

3. Penyusunan model peningkatan peran KUMKM dalam pengembangan potensi unggulan daerah kawasan perbatasan

1.5.

OUTPUT

Output dari kajian ini adalah :

1. Terdiskripsinya permasalahan yang dihadapi masyarakat daerah tertinggal/terisolir dalam memanfaatkan potensi ekonomi daerah;

2. Terdiskripsinya potensi ekonomi daerah tertinggal antara lain : sektor pertanian, sektor perdagangan, dll.

3. Terdiskripsinya potensi KUMKM yang dapat dikembangkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

4. Tersusunnya model peningkatan KUMKM dalam pengembangan ekonomi daerah tertinggal kawasan perbatasan


(16)

2.1

KERANGKA PIKIR

Perkembangan perekonomian masyarakat di daerah tertinggal/terisolir kawasan perbatasan harus diakui masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Pengertian pembangunan daerah tertinggal/terisolir adalah melakukan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan sarana fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya (KPDT, 2006). Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah tertinggal/terisolir diperbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris. Oleh sebab itu, banyak kalangan menginginkan perubahan pradigma pembangunan daerah tertinggal/terisolir diperbatasan dari sisi pemberian anggaran dilihat tidak sebagai membangun “halaman belakang negara” tapi membangun “halaman depan negara.”

Pembangunan daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan melalui peningkatan peran KUMKM berarti mendorong partisipasi masyarakat daerah tertinggal/terisolir di perbatasan dalam pembangunan daerahnya terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan KUMKM dalam menangani potensi daerah merupakan suatu alternative bagi pengembangan daerah tertinggal/terisolir pada konteks kompleksitas kawasan perbatasan, walaupun disadari bahwa pengembangan ekonomi kawasan perbatasan mestinya dilaksanakan secara simultan dalam kerangka kerja yang komperhensif dengan berbagai upaya lain seperti : pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan sosial, penyediaan infrastruktur dan lainnya. Oleh sebab itu, dalam penyusunan model peningkatan peran KUMKM di daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan disusun kerangka pikir sebagai berikut :


(17)

Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Asdep Urusan Penelitian UKM 7

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Kajian Penyusunan Model Peningkatan KUMKM di daerah Tertinggal /Terisolir


(18)

2.2

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAERAH TERTINGGAL/TERISOLIR

Pada umumnya daerah yang berada diperbatasan dengan negara tetangga merupakan daerah tertinggal/terisolir. Penanganan daerah perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Sabarno, 2001). Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara proporsional, dapat dilihat dari kurangnya sarana prasarana pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans nasional (transnational crimes). Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.Keamanan wilayah perbatasan mulai menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain.

Terdapat sekitar 20 kabupaten di wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal yang merupakan bagian dari 199 daerah tertinggal berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005. Penentuan daerah tertinggal mengacu pada beberapa kriteria, misalnya tingkat kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, ketersediaan infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas pelayanan publik, kondisi geografis, dan kondisi sumber daya alam yang rendah. Menurut Eddy MT. Sianturi, SSi dan Nafsiah, SP, Peneliti Puslitbang Strahan Balitbang Dephan Pengembangan daerah perbatasan perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah mengingat daerah perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :

1. Mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara.

2. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.


(19)

4. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.

Pembangunan di daerah tertinggal/terisolir dihadapkan pada kendala yang cukup berat, permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal/terisolir (KPDT, 2004), mencakup : (1) permasalahan pengembangan ekonomi lokal yaitu keterbatasan pengelolaan sumberdaya lokal dan belum terintegrasinya dengan kawasan pusat pertumbuhan, (2) permasalahan pengembangan sumberdaya manusia yaitu rendahnya kualitas sumberdaya manusia, (3) permasalahan kelembagaan, terutama rendahnya kemampuan kelembagaan aparat dan masyarakat daerah tertinggal/terisolir, (4) permasalahan kurangnya sarana dan prasarana terutama transportasi darat, laut dan udara; telekomunikasi dan energi, serta keterisolasian daerah, dan (5) permasalahan karakteristik daerah terutama berkaitan dengan daerah rawan bencana (kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, dan lainnya) serta rawan konflik sosial.

Untuk mengatasi permasalahan yang dikemukakan di atas, Kementerian PDT mengambil strategi dasar yang terdiri atas empat pilar :

Pertama, meningkatkan kemandirian masyarakat dan daerah tertinggal melalui : (1) pengembangan ekonomi lokal, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) penyediaan prasarana dan sarana local/pedesaan, dan (4) peningkatan kapasitas kelembagaan daerah, dunia usaha, dan masyarakat;

Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah, melalui : (1) penyediaan informasi potensi sumberdaya wilayah, (2) pemanfaatan teknologi tepat guna, (3) peningkatan investasi dan kegiatan produksi, (4) pemberdayaan dunia usaha dan UMKM, dan (5) pembangunan kawasan produksi;

Ketiga, memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju, melalui: (1) pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah, (2) pengembangan jarimgam prasarana antar wilayah, dan (3) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah;

Keempat, meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik “keterisolasian”, dilakukan melalui: (1) pembukaan keterisolasian daerah (pedalaman, pesisir dan pulau kecil terpencil), (2) penanganan komunitas adat terasing, dan (3) pembangunan daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil.

Penanganan daerah perbatasan khususnya daerah terpencil selama ini memang belum dapat dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Banyak ditemukan kebijakan dilapangan yang tidak saling mendukung dan atau kurang sinkron satu sama lain. Koordinasi yang


(20)

dibangun belum sinergi dan terpadu sehingga hal ini sering menimbulkan masalah. Koordinasi pengelolaan daerah tertinggal/terisolir di kawasan perbatasan, hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing, kompabilitas dan komplementaritas dengan wilayah negara tetangga.

Siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan, menyediakan, memelihara infrastruktur terutama daerah yang sulit dijangkau, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi. Pemerintah pusat, pemerintah daerah Tingkat I dan Tingkat II mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat di daerah tertinggal/terisolir terutama di daerah perbatasan antara negara. Perkembangan masyarakat tertinggal/terisolir terutama sekitar daerah perbatasan negara, mestinya tidak lepas dari perhatian semua pihak dimana penanganan masalah daerah batas negara tidak domain hanya urusan pemerintah pusat saja, tetapi pemerintah daerah dan masyarakat harus tahu dan memahami kebijakan yang selayaknya disepakati bersama.

Komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut :

1. Pendekatan keamanan yang diterapkan Mabes TNI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan.

2. Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan (interface) dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integrative dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo


(21)

3. Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbatasan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan

Selain itu, Isu pengembangan daerah perbatasan yang terkategorikan terpencil lainnya secara umum diilustrasikan sebagai berikut :

1. Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001). 2. Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan

eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal lodging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001). 3. Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah

perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan hutan dengan system tebang pilih . Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.

4. Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang


(22)

perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.

5. Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan Serawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada.

6. Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang untuk memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian Malaysia lebih berkembang.

7. Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.

8. Tidak tercipta keterkaitan antar kluster social ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun kluster binaan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, baik keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.

9. Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek ke-amanan dan politis, maupun pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas negara, baik sumber daya alam darat maupun laut.

Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal tertuang dalam “Rencana Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Daerah”, Bab 26 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 memiliki sasaran : Terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang terintegrasi dan sinergis; melalui kebijakan :

1. Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis melalui keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi.


(23)

2. Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain.

Mengacu pada RPJM Nasional 2004-2009 dan mempertimbangkan kompleknya permasalahan di daerah tertinggal menuntut pembangunannya harus dilaksanakan secara menyeluruh dan sistemik, untuk itu langkah yang harus diambil adalah:

1. Pendekatan perwilayahan (regional development approach). 2. Koordinasi antar sektor secara sinergi

3. Keterpaduan rencana pusat dan rencana daerah

4. Diarahkan pada kerangka sistem yang berkesinambungan

2.3

KEBIJAKAN PENINGKATAN PERAN KUMKM

Perekonomian Indonesia di masa mendatang diperkiranakan semakin membaik sebagai dampak dari kondisi ekonomi global, regional dan adanya perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi domestic. Namun beberapa isu yang perlu dicermati antara lain : (1) tingginya pengangguran, (2) rendahnya investasi, dan (3) biaya ekonomi tinggi. Ketiga issu ini harus cepat direspon pemerintah khususnya dalam menentukan kebijakan pengembangan ekonomi nasional pada tahun 2005-2009. Kondisi perekonomian Indonesia yang pernah ambruk pada masa lalu disebabkan antisipasi yang lamban dari pengambil keputusan yang membiarkan perekonomian Indonesia hanya bertumpu pada beberapa usaha skala besar (konglomerat). Pada hal dalam perkembangannya peran KUMKM ternyata tidak dapat disangkal telah membawa kondisi perbaikan ekonomi nasional. BPS (2008) menyebutkan bahwa jumlah UMKM tercatat 51,3 juta atau 99,90 % dari total jumlah unit usaha.UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 90,9 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja. Kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB sebesar 56,70 %. Kemudian sumbangan UMKM terhadap penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor sebesar Rp 75,80 triliun atau 19,90 % dari total nilai ekspor. Dengan berbagai spefikasinya, terutama modalnya yang kecil sampai tidak terlalu besar, dapat merubah produk dalam waktu yang tidak terlalu lama dan manajemennya yang relatif sederhana serta jumlahnya yang banyak dan tersebar di wilayah nusantara, menyebabkan UMKM memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap berbagai gejolak ekonomi. Pada sisi lain dalam pengembangan KUMKM ditemukan banyak masalah yang mesti diatasi. Badan Pusat Statistik (2003)


(24)

mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi KUMKM antara lain: 1) Kurang permodalan; 2) Kesulitan dalam pemasaran; 3) Persaingan usaha ketat; 4) Kesulitan bahan baku; 5) Kurang teknis produksi dan keahlian; 6) Keterampilan manajerial kurang; 7) Kurang pengetahuan manajemen keuangan; 8) Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/ perundangan)

Berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor : 01/Per /M.KUKM /1/2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM Tahun 2010 - 2014, yang ditetapkan pada tanggal 18 Januari 2010. Secara nasional arah kebijakan di bidang koperasi dan UKM ditujukan pada peningkatan akses pembiayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro dan Kecil, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selain itu dilaksanakan revitalisasi sistem pendidikan pelatihan dan penyuluhan perkoperasian bagi anggota dan pengelola Koperasi serta calon anggota dan kader Koperasi. Hal ini ditujukan pada peningkatan usaha masyarakat yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan atau peningkatan kesejahtraan masyarakat miskin.

Strategi Pemberdayaan Koperasi dan UMKM diarahkan kepada pembangunan kompetensi inovasi dan teknologi, sehingga dapat lebih berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan posisi tawar dan efisiensi usaha secara lebih terukur dan terlembaga melalui perkoperasian. Untuk itu, perlu diperbaiki lingkungan usaha yang lebih kondusif bagi peningkatan daya saing Koperasi dan UMKM . Seiring dengan itu, perlu juga dilakukan peningkatan akses usaha Koperasi dan UMKM kepada sumber daya produtif, serta ditingkatkan juga kapasitas, kompetensi, dan produktivitas usaha.

Sejalan dengan strategi tersebut dan dengan mempertimbangkan kondisi internal maupun eksternal ke depan, maka arah kebijakan prioritas bidang pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang akan ditempuh dalam priode lima tahun mendatang melalui 5 (lima) fokus prioritas, melalui :

1. Peningkatan Iklim usaha yang kondusif bagi Koperasi dan UMKM 2. Peninkatan akses terhadap sumber daya produktif

3. Pengembangan produk dan pemasaran bagi Koperasi dan UMKM 4. Peningkatan daya saing SDM Koperasi dan UMKM


(25)

Peningkatan peran KUMKM dalam pembangunan daerah tertinggal/terisolir di perbatasan merupakan langkah dan upaya mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu, pemberdayaan Koperasi dan UMKM dapat dilakukan melalui;

1. Revitalisasi peran Koperasi dan perkuatan posisi UMKM dengan (a) Memperbaiki akses Koperasi dan UMKM terhadap permodalan, tekologi, informasi dan pasar, serta (b) memperbaiki iklim usaha;

2. Mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan dan; 3. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.

Untuk tujuan tersebut di atas, Kementerian Negara Koperasi dan UKM bekerjasama dengan instasi terkait dan pemerintah daerah provinsi serta pemda kabupaten/kota, telah melaksanakan program-program pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang difokuskan pada ;

1. Pemberdayaan Institusional UMKM dalam bentuk program:1) Penyederhanaan Perizinan dan pengembangan system perizinan satu pintu, serta bagi usaha mikro perizinan cukup dalam bentuk registrasi usaha; 2) Penataan Peraturan Daerah (Perda) untuk mendukung pemberdayaan KUMKM; 3) Penataan dan penyempurnaan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan pengembangan KUMKM; 4) Pengembangan koperasi berkualitas, dan 5) Revitalisasi koperasi

2. Peningkatan Akses UMKM terhadap Sumber-Sumber Pendanaan : 1) Pengembangan berbagai Skim Perkreditan untuk UMKM ;1) Program pembiayaan produktif koperasi dan usaha mikro; 2) Program pembiayaan wanita usaha mandiri dalam rangka pemberdayaan perempuan, keluarga sehat dan sejahtera ; 3) Program skim pendanaan komoditas KUMKM melalui Resi gudang. 3. Pemberdayaan di Bidang Produksi melalui Bantuan Sektor Usaha Selektif sebagai stimulant; 1)

Program pengembangan Pengadaan Pangan Koperasi dengan sistem Bank Padi; 2) Program pengembangan usaha KUMKM melalui pengadaan bibit Kakao Jambu Mente dan Jarak; 3) Program pengembangan usaha penangkapan ikan; 4) Program pengembangan usaha sarana penunjang perikanan; 5) Program pengembangan usaha budidaya ternak; 6) Program bantuan perkuatan alat penecah batu; 7) Program bantuan perkuatan pengolahan eceng gondok dan alat tenun bukan mesin; 8) Program pengembangan penggunaan LPG dan bioenerji untuk mendukung kegiatan produksi UMKM; 9) Program pemberdayaan UMKM melalui pengembangan Pembangkit Listrik tenaga Matahari (PLTMH); dan 10) Pemberdayaan KUMKM melalui usaha pengolahan dan budidaya Rumput Laut


(26)

4. Pengembangan Jaringan Pemasaran; 1) Promosi produk UMKM; 2) Modernisasi usaha ritel koperasi; 3) Pengembangan sarana pemasaran UMKM; 4) Pengembangan Trading Board dan Data Center; dan 5) Pameran di dalam dan di Luar negeri

5. Pemberdayaan Sumberdaya UMKM; 1) Penumbuhan Wirausaha baru ; 2) Peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Koperasi dan UMKM; 3) Pengembangan kualitas layanan Koperasi; 4) Pendidikan dan pelatihan perkoperasian bagi kelompok usaha produktif; dan 5) Pengembangan prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan

6. Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya UMKM dan Koperasi; 1) Pengkajian, Penelitian Dan Pengembangan Potensi Kendala Dan Permasalah Koperasi dan UKM; 2) Diskusi Permasalahan dan Isu-isu strategis dalam proses pemberdayaan UMKM; 3) Sosialisasi hasil-hasil kajian, penelitian, pengembangan dan diskusi pemberdayaan Koperasi dan UKM, melalui penerbitan buku, jurnal dan majalah Ilmiah; dan 4) Pengkaderan dan Pengawasan kinerja aparat dan Sumberdaya Koperasi dan UMKM


(27)

Metodologi kajian yang akan dilakukan sangatlah erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai dan ketersedian data dan informasi yang didapat serta beberapa pertimbangan lainnya, seprti pemenuhan tujuan penelitian. Untuk mengidentifikasikan berbagi permasalahan yang ada serta membahas solusinya akan dilaksanakan dengan menggunakan metode Diskusi Terbatas/Focus Group Discussion (FGD).

3.1

KERANGKA ANALISIS KAJIAN

Langkah awal dari kajian ini dimulai dari menelaah dan menganalisis kembali kebijakan yang terkait dengan peningkatan peran UMKMK secara umum dan kebijakan tentang pengembangan daerah tertinggal/terisolir. Kemudian mencermati fakta penerapan di lapangan secara situasional berdasarkan dukungan data primer (survey lapangan) dan masukan dari diskusi terbatas (FGD) di lokasi kajian. Atas dasar data dari kedua perolehan sumber data tersebut maka disusun model peningkatan peran UMKMK di daerah tertinggal/terisolir. Secara diagram langkah diatas dapat dilihat berikut ini :


(28)

(29)

3.2

PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI

1. Data sekunder dikumpulkan dari studi literatur melalui berbagai sumber dan hasil penelitian sebelumnya, buku literatur sampai dengan materi yang diperoleh melalui jaringan internet yang terkait dengan ekonomi pembangunan, pembangunan wilyah, pembangunan pedesaan dan berbagai hasil penelitian/kajian pengembangan daerah tertinggal/ terisolir; dan dari instansi terkait di daerah : (1) Kantor Statistik provinsi dan kabupaten, (2) Kantor Koperasi Kabupaten,(3) Instansi terkait di daerah meliputi : Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Perbankan, BKPM, (4) Gerakan Koperasi.

2. Data Primer, diambil langsung dari lapangan baik melalui wawancara (interview) maupun melalui daftar pertanyaan (kuesioner);

3. Focus Group Discussion

Kegiatan dilaksanakan dengan instansi terkait di daerah, perguruan tinggi, pemerhati pembangunan daerah, LSM , dan UKMKM;

3.3

LOKASI KAJIAN

1. Kegiatan ini akan dilaksanakan di 2 provinsi yaitu : Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur.

2. Lokasi kajian dipilih daerah tertinggal yang berada didaerah perbatasan pada 2 (dua) lokasi diatas, yaitu Kabupaten Sanggau (Kalbar) dan Kabupaten Belu untuk (NTT). Pemilihan lokasi dengan pertimbangan bahwa daerah perbatasan tersebut merupakan daerah tertinggal dan terisolir yang memerlukan perhatian untuk dikembangkan mengingat kedua kabupaten tersebut berada di perbatasan antar Negara

3.4

POPULASI DAN SAMPEL

Populasi dari penelitian ini adalah stakeholderdi kabupaten Sanggau maupun di kabupaten Belu Oleh karena itu penarikan sampel dilakukan secara purposive. Untuk memperoleh data dan


(30)

informasi ditetapkan sebagai responden adalah: usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, koperasi, dinas/instansi, dan expert. Penyebaran sampel dan responden dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 3-1. Penyebaran Sampel untuk Survei Lapangan dan FGD

No Kabupaten Usaha Mikro

Usaha Kecil

Usaha Menengah

Dinas Terkait

Pemuka Masykat

Expert Total

1 Sanggau 5 5 5 5 5 3 28

2 Belu 5 5 5 5 5 3 28

Total 10 10 10 10 10 6 56

3.5

PENGOLAHAN DATA

Data yang terkumpul dari lapangan diinventarisasi dan diklasifikasikan berdasarkan kategori pemenuhan karakteristik data yang sudah ditentukan terlebih dahulu dilakukan editing dan seterusnya ditabulasi berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan. Terhadap hasil tabulasi kemudian dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan keakuratan dan kelogisan penyajiannya. Untuk data yang tidak

valid dan tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya dari responden akan dibuang. Entri data akan dilakukan setelah data divalidasi dan sudah layak untuk diolah. Data diolah dalam bentuk spreadsheet agar mudah dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan berbagai program aplikasi statistik. Adapun langkah pengolahan data melalui proses sebagai berikut :

1. Pengembangan struktur database

Membangun struktur basis data yang akan digunakan untuk mempermudah analisis dan selanjutnya dimasukkan ke dalam kompute,

2. Entri data ke komputer

Memasukkan data ke dalam basis data yang telah dirancang, setiap nilai yang diperoleh dimasukkan variabel yang tepat. Kemudian dimasukkan dalam komputer sehingga akan menghasilkan data yang informatif.

3. Transformasi data

Mengambil data dari variabel yang telah ada di dalam basis data komputer untuk kebutuhan analisis


(31)

3.6

ANALISA DATA

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan banyak ditentukan atas dasar pengamatan dari objek yang diteliti. Adapun analisa data yang digunakan dalam kajian ini adalah :

1. Analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh sebagai acuan untuk melihat karakteristik data yang diperoleh. Untuk melakukan analisis terhadap data primer yang diambil pada kegiatan kajian ini akan digunakan metode analisis statistic sederhana (simple descriptive statistic) sebagaimana yang dikemukakan oleh Welch & Comer (1998). .Perlakuan dan pengolahan akan dilakukan terhadap distribusi frekuensi, tendensi pemusatan dan penyebaran (Draper & Smith,1981). Teknik ini digunakan karena secara sederhana dapat menggambarkan kecenderungan yang terdapat pada suatu populasi. Dengan melihat kecenderungan dari data yang terolah, maka kita akan dapat memprediksikan kemungkinan maupun alternatip yang ada dari data.

2. Analisis AHP untuk melihat pengembangan potensi UKMKM. dan potensi UMKMK. Menurut Saaty (1975), AHP merupakan teori pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala ratio dari perbandingan pasangan yang diskret maupun kontinue. Pengukurannya bisa secara aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan perasaan dan preferensi. Sedangkan prinsip yang digunakan pada AHP adalah : 1) dekomposisi, 2) pendapat yang bersifat komperatif, 3)sentisis terhadap prioritas, dan 4) konsestensi dalam pemikiran

3. Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui sejauh mana sektor-sektor di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sector. Hasil dari analisis ini akan memperlihatkan sektor yang berperan secara dominan sebagai sektor basis dan sektor yang tidak berperan secara dominan disebut sebagai sektor non basis. Pengelompokan sektor basis dan non basis berdasarkan besaran LQ yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebagai berikut:

x LQ < 1 , berarti sektor tersebut memiliki potensi yang kecil untuk menjadi sector basis wilayah

x LQ = 1 , berarti sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan lokalnya dan dapat berpotensi sebagai kegiatan basis ekonomi wilayah.


(32)

3.7

PELAKSANA KEGIATAN

Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola dilakukan pada tahun 2010 dengan dana APBN, dibawah pengarahan Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK dan Asdep Urusan Penelitian UKM dengan Tim sesuai Surat Keputusan Sekretaris Menteri Negara KUKM, sebagai berikut:

1. Ketua : Indra Idris, SE, MM 2. Wakil Ketua : Drs. Saudin Sijabat, MM 3. Anggota : Ferry Indraputra, SE

Drs. Joko Sutrisno, MM Iskandar

Yori Andriani, SS

4. Tenaga Ahli : Prof. Dr. Buyung Drs. Syaiful Abidin, MM

5. Pengolah Data : Nurul A’isyah, S.Kom

6. Penulis Laporan : Indra Idris, SE, MM Drs. Saudin Sijabat, MM Drs. Syaiful Abidin, MM


(33)

Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Asdep Urusan Penelitian UKM 23

3.8

JADUAL PELAKSANAAN KEGIATAN


(34)

(35)

Kajian ini dilakukan pada dua provinsi yang mempunyai kawasan perbatasan dengan negara tetangga yaitu : Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Negara Timor Leste dan Provinsi Kalimantan Barat dengan Negara Malaysia. Adapun kawasan perbatasan pada dua provinsi tersebut yang menjadi objek kajian masing-masing berada pada Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau. Gambaran umum lokasi kajian dapat dikemukakan secara ringkas berikut ini :

4.1. PROVINSI NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak di belahan Selatan Indonesia dan berdampingan dengan Negara tetangga Timor Leste dan benua Australia, Merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 599 (lima ratus sembilan puluh sembilan) pulau, 411 (empat ratus sebelas) sudah mempunyai nama dan 188 (seratus delapan puluh delapan) saat ini belum mempunyai nama. Dari seluruh pulau yang ada, 69 (enam puluh sembilan) pulau diantaranya telah berpenghuni sedangkan 530 (lima ratus tiga puluh) pulau belum berpenghuni.

Dilihat dari letak geografis Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagian wilayahnya berbatasan dengan Negara Timor Leste, seperti Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Alor yang hanya dipisahkan oleh laut Sawu. Wilayah provinsi ini juga dikelilingi oleh lautan dengan wilayah-wilayah pesisir yang karakteristiknya berlainan. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 19 (sembilan belas) Kabupaten dan 1 (satu) Kota sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4-1.


(36)

Tabel 4-1. Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan

Sumber : NTT Dalam Angka 2009

Pertumbuhan ekonomi NTT mengalami peningkatan jika dibandingkan triwulan I 2010. pertumbuhan ekonomi selama triwulan II, tercatat sebesar 5,24%;year on year. Pada triwulan mendatang, akselerasi pertumbuhan ekonomi NTT diperkirakan akan tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan II. Pada triwulan III-2010, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada pada kisaran 4,8% – 5,1%. Indeks keyakinan dan ekspektasi konsumen yang cenderung optimis menjadi salah satu sentimen positif. Kontribusi sektor pertanian, perdagangan dan jasa masih tetap dominan. Sektor pertanian, sebagai sektor unggulan tumbuh signifikan dibandingkan triwulan lalu. Dari sisi penggunaan, peningkatan pendapatan masyarakat menjadi salah satu pendorong aktivitas konsumsi.

Sejalan dengan kondisi nasional, pergerakan tekanan inflasi NTT pada triwulan II-2010 meningkat menjadi 10,68%; year on year. Peningkatan inflasi untuk Provinsi NTT terjadi baik di Kota


(37)

Kupang, maupun untuk Maumere. Selama triwulan II, tekanan paling dominan berasal dari kelompok bahan makanan. Secara umum, Kupang dan Maumere termasuk kota di Indonesia dengan persistensi yang cukup tinggi. Kondisi geografis yang dikelilingi oleh laut, dan tingkat ketergantungan cukup tinggi kepada daerah lain, menyebabkan kedua kota tersebut rentan terhadap fluktuasi harga.

Tabel 4-2. Indikator Ekonomi Provinsi NTT

Indicator III-2009 IV-2009 I-2010 II-2010

PDRB Harga Konstan (Rp. Miliar) 3019.37 3147.72 2958.24 3052.02

Pertumbuhan PDRB (yoy, %) 2.64% 4.14% 4.02% 5.24%

Laju Inflasi Tahunan (yoy, %)

Kupang 6.02% 6.49% 9.03% 11.08%

Maumere 2.45% 5.22% 7.02% 8.52%

4.1.1. Kabupaten Belu

Kabupaten Belu sebagai salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur wilayahnya berada di sebelah Timur berbatas dengan Negara Timor Leste, dan terletak pada koordinat 1240-1260 lintang selatan. Posisinya sangat strategis berada pada persimpangan Negara Timor Leste serta pada titik silang antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten TTU. Adapun batas wilayah Kabupaten Belu : sebelah Utara dengan Selat Ombai, sebelah Selatan dengan Laut Timor, sebelah Timur dengan Negara Timor Leste serta sebelah barat dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengan Selatan. Luas wilayah 2,445.57 Km2 atau 5.16% dari luas wilayah daratan Povinsi Nusa Tenggara Timur. Bentuk topografi wilayah merupakan daerah datar berbukit-bukit hingga pegunungan dengan sungai-sungai yang mengalir ke Utara dan Selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Kabupaten Belu terbagi dalam 24 Kecamatan, luas dan kecamatan dapat dilihat pada Table berikut :


(38)

Tabel 4-3. Luas Daerah Kabupaten Belu Menurut Kecamatan Kecamatan

Districk

Luas Area ( Km2)

Persentase Percentage

(1) (2) (3)

01. Malaka Barat 87,41 3,57

02. Rinhat 151,72 6,20

03. Wewiku 97,90 4,00

04. Weliman 88,25 3,61

05. Malaka Tengah 168,69 6,90

06. Sasita Mean 65,48 2,68

07. Io Kufeu 67,79 2,77

08. Botin Leobele 39,03 1,60

09. Malaka Timur 83,28 3,41

10. Laen Manen 94,02 3,84

11. Raimanuk 179,42 7,34

12. Kobalima 120,95 4,95

13. Kobalima Timur 96,11 3,93

14. Tasifeto Barat 224,19 9,17

15. Kakuluk Mesak 187,54 7,67

16. Nanaet Dubesi 60,25 2,46

17. Kota Atambua 24,90 1,02

18. Atambua Barat 15,55 0,64

19. Atambua Selatan 15,73 0,64

20. Tasifeto Timur 211,37 8,64

21. Raihat 87,20 3,57

22. Lasiolat 64,48 2,64

23. Lamaknen 105,90 4,33

24. Lamaknen Selatan 108,41 4,43

Kabupaten Belu 2 445,57 100,00


(39)

Wilayah datar terletak di bagian selatan memanjang sampai ke tenggara pada pesisir pantai Laut Timor dengan kemiringan kurang dari 2%, sedangkan daerah datar berombak sampai bergelombang 3-40% hampir merata di seluruh wilayah yaitu mencapai 55.86% dari luas wilayah. Wilayah pegunungan (>40%) terdapat di wilayah tengah ke arah Timur dengan luas wilayah sekitar 17.40%. Sebagian besar Kabupaten Belu bertekstur tanah sedang yang meliputi hampir seluruh wilayah dan sebagian kecil bertekstur tanah halus dan kasar. Jenis tanah yang ada seperti tanah aluvial dapat di jumpai di dataran Besikama, sepanjang pantai Selatan dan sedikit di Utara, dan pada umumnya jenis tanah ini sangat subur karena banyak mengandung unsur hara.


(40)

4.1.1.1.

Sarana dan Prasana

Sarana dan prasarana merupakan indikator yang diperlukan untuk mengetahui sejauhmana daya dukungnya terhadap aktivitas perekonomian di Kabupaten Belu. Pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan daerah terkait erat dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan daya dukung sarana dan prasarana yang ada. Secara umum kondisi sarana dan prasarana di Kabupaten Belu dapat digambarkan berikut ini :

a.

Transportasi Darat

Sebagai bagian dari sistem transportasi regional yang terpadu, transportasi darat diharapkan bisa mendukung urat nadi kehidupan sosial, politik, kebudayaan, dan Hankam di Kabupaten Belu. Sistem transportasi yang ditata baik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan baik untuk keperluan lalulintas perdagangan barang/material maupun manusia sebagai faktor produksi sehingga pada gilirannya dapat memperpendek jarak kesenjangan tingkat pembangunan dengan daerah perkotaan.

Sampai akhir tahun 2008 di Kabupaten Belu telah dibangun jalan sepanjang 932.55 Km terdiri dari: jalan Kabupaten 611,62 Km (65,58%), jalan Provinsi 247,93 km (26,59%) dan jalan Negara 73.00 km (7.83%) Dilihat dari aspek kualitas permukaan jalan yang berkategori diaspal 603,69 Km (64,74%), kerikil/ diperkeras 269,64 Km (28,89%) dan jalan tanah sepanjang 59,49 Km (6,37%). Kendatipun panjang jalan tanah relatif masih cukup banyak namun hampir semua desa yang tersebar di wilayah Kabupaten Belu dapat dijangkau dengan kendaran umum. Dalam kurun waktu 2006-2008 jumlah berbagai jenis kendaraan bermotor menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah kendaraan bermotor roda dua 15 384 unit dan meningkat tajam menjadi 23 518 unit pada tahun 2008 atau naik 34,59%. Kendaraaan roda empat untuk angkutan penumpang (mikrolet dan bus) pada tahun 2006 sebanyak 1 228 unit dan meningkat menjadi 1 316 unit pada tahun 2008 atau naik 6,69%. Sedangkan untuk kendaraan angkutan barang (truk, light truk, dan pick up pada periode waktu yang sama mengalami peningkatan 19,37%. Dari jumlah kendaraan roda empat tersebut yang berfungsi sebagai kendaraan umum sebanyak 493 unit dengan perincian untuk angkutan penumpang 303 unit (naik 4,62%) dan angkutan barang 190 unit (turun 57,37%) dari tahun yang lalu.


(41)

b.

Perhubungan Laut

Wilayah Kabupaten Belu bukan daerah kepulauan, tapi perhubungan laut merupakan salah satu sarana yang cukup penting untuk menunjang aktivitas perekonomian daerah. Disini terdapat pelabuhan laut Atapupu yang terletak di Kecamatan Kakuluk Mesak dan kegiatan pelabuhan relatif ramai karena mempunyai jaringan angkutan laut yang sifatnya regular. Sesuai data akhir tahun 2008 terdapat 481 kali kunjungan kapal yang semuanya berklasifikasi sebagai pelayaran nusantara. Jumlah bongkar barang pada tahun 2006 sebanyak 84 803 ton, meningkat menjadi 106 646 ton (25,76%) pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 menurun menjadi 98 735 ton (turun 7,42%). Sedangkan banyaknya muat barang lewat pelabuhan Atapupu pada tahun 2006 sebanyak 19 786,8 ton menurun menjadi 15 370 ton (turun 22,32%) pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 23 801 ton (naik 54,85%). Volume bongkar jauh lebih tinggi dari volume barang yang dimuat menunjukkan bahwa hasil produksi Kabupaten Belu yang diantar pulaukan ke daerah lain masih sangat terbatas, dan sebaliknya lebih menjadi wilayah pasar hasil produksi dari Jawa dan daerah lainnya.Jumlah penumpang yang datang pada tahun 2007 sebanyak 3 007 dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 561 orang (turun 81,34%). Sedangkan yang berangkat pada tahun 2007 sebanyak 2 431 orang dan pada tahun 2008 tercatat 1 363 orang atau turun 43,93%.

c.

Perhubungan Udara

Kabupaten Belu mempunyai satu pelabuhan udara yakni pelabuhan udara Haliwen, dimana jumlah pesawat yang datang dan berangkat pada tahun 2008 sebanyak 86 kunjungan pesawat. Bila dibandingkan dengan tahun 2007, pesawat yang datang dan berangkat tercatat 98 kunjungan sehingga mengalami penurunan sebesar 12,24%. Jumlah penumpang yang datang dan berangkat pada tahun 2008 sebanyak 1 535 orang yang terdiri dari 714 orang yang datang dan 821 yang berangkat dibandingkan dengan tahun 2007 jumlah penumpang yang datang dan berangkat tercatat sebanyak 2 154 orang atau turun sebesar 28,74%.


(42)

d.

Pos dan Telekomunikasi

Pos dan telekomunikasi merupakan sarana yang amat penting mencakup jangkauan pelayanan regional, nasional dan internasional sehingga arus informasi dan data dapat menjangkau seluruh dimensi ruang dengan baik dan lancer. Meningkatnya permintaan akan jasa pos dan telekomunikasi merupakan konsekuensi logis dari adanya kemajuan pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. PT Pos dan Giro serta PT Telkom tentunya diharapkan mampu meningkatkan kinerja pelayanannya sejalan dengan meningkatnya permintaan masyarakat.

Pada tahun 2008 di Kabupaten Belu tercatat satu buah kantor pos dan 5 kantor pos pembantu, dimana sepanjang tahun 2008 melayani pengiriman surat sebanyak 32 674 buah paket surat dengan rincian surat biasa 7 789 buah atau 23,84%, kilat 23 845 atau 72,98% dan surat tercatat 1 040 buah atau 3,18%. Sedangkan jumlah barang yang dipaketkan dan jumlah uang yang diweselkan masing-masing sebanyak 17 602,5 kg dan Rp 3 602 314 225,- Untuk sarana telekomunikasi terdapat satu buah kantor telepon BUMN, dengan jumlah pelanggan sampai akhir tahun 2007 sebanyak 3,119 sambungan pelanggan dengan perincian : pemerintah 395 sambungan atau 12.66% dan 2,724 sambungan atau 87.34% adalah pelanggan swasta dan perorangan. Dibandingkan tahun lalu, jumlah pelanggan telepon mengalami peningkatan sebesar 41.52%.


(43)

e.

Kesehatan

Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah. Program dan kegiatan di bidang kesehatan diarahkan untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang baik dan pada gilirannya tercipta kehidupan yang sehat dan produktif. Pada tahun 2008 ketersediaan sarana kesehatan secara umum mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya antara lain Puskesmas naik 10,53%, Puskesmas Pembantu naik 6,25% dan Balai Pengobatan juga meningkat 15,38%. Jumlah tenaga pelayanan kesehatan (medis dan paramedis) juga mengalami peningkatan signifikan seperti S1 kesehatan (15,00%), D3 kesehatan (86,07%) perawat dan bidan (21,92 % dan 0,43 %). Jumlah penderita rawat jalan pada Puskesmas, selama tahun 2008 sebanyak 599 410 kali kunjungan (pasien) atau turun 3,00% dibanding dengan keadaan tahun lalu. Dari jumlah kunjungan tersebut, komposisi jenis penyakit yang dominan masing-masing infeksi saluran pernafasan (ispa), 29,27%, dan rematik 14,70%.

Penderita rawat inap selama tahun 2008 pada RSU Atambua sebanyak 882 kunjungan (pasien) atau turun 30,00% dari keadaan tahun sebelumnya. Komposisi penyakit dominan untuk kunjungan rawat inap masing-masing TBC (30,38%), ISPA (19,50%), Dyspepsia (10,77%), Bronchitis (8,39%), dan penyakit lainnya (20,86%). Jumlah pasangan usia subur (PUS) pada tahun 2008 sebanyak 48 998 pasang, dimana 34 951 (71,33%) diantarannya adalah peserta pasangan peserta KB aktif. Metode kontrasepsi yang digunakan pasangan KB aktif sebanyak 83,61% memilih KB suntik, sedangkan sisanya pil (6,26%), IUD (2,69%), Implant (4,63%), MOW dan MOP (2,23%) dan cara kondom (0,58%).

f.

Pendidikan

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa banyak dipengaruhi tingkat pendidikan sebagaian besar penduduknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan membawa dampak positif bagi masa depan berbagai bidang kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Demikian pentingnya peranan pendidikan , maka tidaklah mengherankan apabila pendidikan senantiasa mendapat perhatian pemerintah maupun dari kalangan swasta. Peningkatan partisipasi sekolah dari berbagai lapisan masyarakat tentunya harus diimbangi penyediaan sarana fisik pendidikan maupun tenaga guru yang


(44)

memadai. Pada tahun 2008 jumlah Taman Kanak-Kanak 24 unit dengan jumlah murid 1 066 siswa, jumlah sekolah SD 338 unit, SLTP 48 unit ,SLTA umum 21 unit dan kejuruan 11 unit. Dibandingkan dengan tahun lalu, guru SD meningkat 6,89%, guru SLTP (1,56%) dan SLTA (1,37%). Sementara untuk jumlah murid masing-masing jenjang pendidikan yaitu SD naik 3,85% SLTP turun 6,35%, dan SLTA meningkat 3,52%.

Dilihat dari tingkat pendidikan berdasarkan hasil Susenas 2008 memperlihatkan bahwa sebanyak 68,79% penduduk umur 10 tahun ke atas berpendidikan paling tinggi cuma tamat SD. Sedangkan sisanya tamat SLTP (15,61%), tamat SLTA (12,95%), serta tamat akdemi dan perguruan tinggi cuma 3,10%. Sebagai perbandingan Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa penduduk umur 5 tahun keatas pada tahun 2000, sampai tingkat SD (82,62%), tamat SLTP (8,68%), tamat SLTA (7,54 %), tamat akademi dan sarjana 1,15%. Persentase penduduk umur 10 tahun keatas yang buta huruf pada tahun 2008 hanya 17,80%, dimana lebih dari separuhnya adalah kaum perempuan. Ini memperlihatkan bahwa pendidikan bagi kaum perempuan masih dianggap kurang perlu oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten Belu. Masih rendahnya tingkat pendidikan formal dari sebagian besar penduduk Kabupaten Belu akan sangat mempengaruhi akselerasi pembangunan, dan kecepatan transformasi tenaga kerja dari sektor ekonomi tradisional ke sektor-sektor ekonomi modern.

g.

Fasilitas Perdagangan dan Jasa

Kebijakan di sektor perdagangan selalu diarahkan untuk menjamin penyebaran serta ketersediaan berbagai barang kebutuhan secara lebih merata dengan harga yang dapat dijangkau daya beli masyarakat. Fasilitas di sektor perdagangan merupakan sektor yang sangat strategis dalam mata rantai aktivitas ekonomi karena berperan sebagai mediator antara rumah-tangga konsumen dan rumahtangga produsen. Sebagai jaringan distribusi yang melayani kebutuhan masyarakat baik untuk barang konsumtif maupun produktif. Fasilitas perdagangan antara lain pasar, kios/warung, toko/pertokoan, pusat perbelanjaan di kawasan dengan penduduk yang berjumlah 30.000 penduduk, pusat perbelanjaan niaga dengan 120.000 penduduk, pusat perbelanjaan niaga & industri dengan 480.000 penduduk.

Pasar. Saat ini sudah terdapat beberapa unit pasar yang tersebar di kecamatan-kecamatan, namun masih ada kecamatan yang belum memiliki pasar, terutama kecamatan yang baru dimekarkan. Umumnya pasar yang ada berupa pasar mingguan sedangkan pasar harian hanya terdapat di


(45)

beberapa kecamatan seperti Kecamatan Kota Atambua dan Kecamatan Malaka Tengah di Betun. Khususnya di kawasan perbatasan dengan Negara Timor Leste, dikembangkan pasar perbatasan seperti pasar Motaain, Pasar Turiskain, Pasar Builalu, dan pasar Motamauk. Dalam perkembangan kedepan diharapkan pada setiap ibu kota kecamatan terdapat sebuah pasar harian.

Kios/Warung. Fungsi utama yang diemban sebuah warung/kios adalah tempat penjualan barang-barang keperluan sehari-hari. Radius pelayanan maksimal 500 m (± 78,57 ha); sedangkan wilayah pelayanan minimal 7,5 ha, dengan jumlah penduduk pendukung untuk satu unitnya 250 jiwa. Jumlah kebutuhan kios/warung di Kabupaten Belu pada akhir Tahun 2008 adalah sebanyak 2.143 unit yang menyebar di daerah permukiman di seluruh wilayah kecamatan.

Toko/Pertokoan. Fungsi utama sebuah unit toko/pertokoan adalah pelayanan penjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lokasinya dekat dengan pusat permukiman, di sekitar taman-taman atau lembaga pendidikan. Jumlah penduduk pendukung untuk keberadaan 1 unit toko adalah 2.500 orang; luas persil yang dibutuhkan minimal 1.200 m2, dengan building coverage 40 %. Jumlah kebutuhan toko untuk melayani penduduk di Kabupaten Belu pada akhir tahun perencanaan (2016) sebanyak 214 unit toko, menyebar disetiap wilayah kecamatan dalam kawasan permukiman. Berdasarkan kriteria-kriteria sebagaimana disebutkan di atas maka pada tahun 2016 mendatang dibutuhkan adanya fasilitas perdagangan seperti ditampilkan pada Tabel 4-4.


(46)

Tabel 4-4. Proyeksi Kebutuhan Fasilitas Perdagangan di Kabupaten Belu per Wilayah Kecamatan Tahun 2016

No. Kecamatan Pasar Kios/ Warung Toko

01 Malaka Barat 1 126 13

02 Rinhat 1 83 8

03 Wewiku 1 106 11

04 Weliman 1 113 11

05 Malaka Tengah 1 205 21

06 Sasitamean 1 129 13

07 Malaka Timur 1 60 6

08 Laen Manen 1 87 9

09 Raimanuk 1 80 8

10 Kobalima 1 137 14

11 Tasifeto Barat 1 140 14

12 Kakuluk Mesak 1 90 9

13 Tasifeto Timur 1 120 12

14 Raihat 1 86 9

15 Lasiolat 1 42 4

16 Lamaknen 1 118 12

17 Kota Atambua 1 401 40

Kab. Belu : 17 2.143 214

Sumber : Hasil analisis.

4.1.1.2 Perkembangan Sektor Sektor Produksi

a.

Sektor Pertanian

Sawah banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan seperti tanaman padi, jagung kacang tanah, kacang kedele, dan kacang hijau. Lahan pertanian dibedakan menjadi lahan basah dan lahan kering. dari seluruh lahan yang ada di Kabupaten Belu lahan basah (sawah) hanya mencakup 3,Bo .%, sedangkan lahan keringnya mencapai 96,13%. Tabel 4-6 berikut menampilkan luas panen dan produksi tanaman pada di Kabupaten Belu. Pada tahun 2007 hingga tahun 2009 luas lahan ,panen terbesar terdapat di kecamatan Malaka Timur dan pada tahun 2008 lahan panen terluas berada di kecamatan Tasifeto Timur sedangkan untuk produksi padi (beras) pada tahun 2007 hingga 2009


(47)

terdapat di Kecamatan Malaka Timur dan pada tahun 2008 antara Kecamatan Malaka Timur dan Laenmanen sama-sama memproduksi sebanyak 400 ton. Secara keseluruhan produksi tanaman pangan menurun dari tahun 2007 hingga 2009.

Tabel 4-5. Produksi Tanaman Pangan, Kabupaten Belu, Tahun 2007-2009 (000 ton)

No . Jenis Tanaman 2007 2008 2009

1 Padi 20,86 15,14 7,85

2 Jagung 49,88 52,72 48,24

3 Ubi kayu 39,33 38,05 4,17

4 Ubi jalar 1,64 2,30 0,36

5 Kacang tanah 0,68 0,62 0,32

6 Kacang kedele 0,16 -

-7 Kacang hijau 3,70 4,18 3,54

8 Lain-lain - - 0,16

Ju ml ah 116,25 113,01 64,64

Produksi tanaman pangan paling besar dalam arti tonasenya adalah tanaman jagung mencapai 48,24 ribu ton pada tahun 2009. Tingkat produksi ini lebih rendah bila dibanding dengan produksi jagung pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tabel 4.5 diatas terlihat bahwa kuantitas jagung paling dominan sedangkan produksi terendah oleh kacang tanah, bahkan untuk Kacang kedele nampak tidak ada produksi pada tahun 2008 dan 2009. Sedangkan luas panen dan produksitanaman padi menurut kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2006-2009 dapat dilihat pada Table 4.6 berikut

Tabel 4-6. Luas Panen dan ProduksiTanaman Padi menurut Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2006-2009

No Kecamatan Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Malaka Barat 1.086 799 803 70 3.896 258 1.296 336

2 Rinhat 32 - - - 121 - -

-3 Wewiku - - -

-4 Weliman - - - 49 - - - 367

5 Malaka Tengah 832 653 658 146 2.918 2.048 1.028 371


(1)

6.1. KESIMPULAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan stategi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan peningkatan peran KUMKM dalam pembangunan kawasan perbatasan terutama untuk daerah-daerah tertinggal/terisolir dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peningkatan peran KUMKM dalam penanganan/pengelolaan potensi potensial/unggulan daerah diharapkan bisa memberikan solusi bagi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan. Kajian difokuskan untuk menemukan potensi potensial/unggulan daerah kawasan perbatasan yang biasa dikelola KUKMK dan sekaligus menyusun model peningkatan peran KUMKM dalam pemberdayaan masyarakat menangani komoditi unggulan tersebut. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada 2 kabupaten di kawasan perbatasan (Kabupaten Belu dan Kabupaten Sanggau) maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pada daerah kawasan perbatasan dI lokasi kajian terdapat potensi potensial/unggulan daerah yang bisa dikembangkan masyarakat, namun selama ini belum ditangani dengan sungguh-sungguh dan optimal. Potensi yang ada bila ditangani dengan baik diyakini .bisa memberikan nilai tambah yang signifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama ini, peran KUMKM dalam menangani potensi potensia/unggulan kawasan perbatasan masih sangat kecil, oleh sebab itu perlu peningkatan dan penataan dimana keterlibatan pemerintah sangat diperlukan.

2. Permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pengembangan potensi unggulan kawasan perbatasan pada kedua lokasi pada dasarnya tidak jauh berbeda yaitu : kemampuan sdm, modal kerja, penguasaan teknologi, penggunaan benih dan sarana produksi, prasarana dan sarana, serta tingkat pemanfaatan lahan. Perbedaan hanya terletak pada bobot prosentasenya saja dimana secara berurutan untuk Kabupaten Belu (15,46%, 30,47%, 10,00%, 15,55%, 20,67%, 8,00%) dan untuk Kabupaten Sanggau (18%, 39%, 29%, 3%, 4%, 7%).


(2)

3. Modal kerja masih menjadi masalah krusial untuk peningkatan peran KUMKM di kawasan perbatasan, karena akses masyarakat dengan lembaga keuangan baik formal maupun informal masih sangat terbatas. Lembaga keuangan formal seperti perbankan belum banyak yang mau memberikan layanannya, karena menfasilitasi masyarakt perbatasan tentu akan mengeluarkan biaya operasional yang cukup tinggi dan tidak akan memberikan keuntungan. Untuk lembaga non formal seperti para pelepas uang (rentenir) sudah barang tentu sangat merugikan masyarakat karena beban bungan yang dikenakan cukup tinggi.

4. Kemampuan SDM dan penguasaan teknologi masyarakat pada umumnya masih rendah terhadap komoditi yang mereka usahakan. Kondisi kemampuan SDM ini juga terkait dengan kondisi tingkat pendidikan masyarakat petani/peternak rata-rata pada taraf SMP. Sehingga kemampuan untuk mengelola usaha dengan lebih efisien dan memanfaatkan kemajuan teknologi sangat terbatas.

5. Potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dalam peningkatan peran KUMKM berdasarkan kajian ini yang ditentukan melalui proses analisa Location Quotient (LQ), AHP dan kemudian dibahas/disepakati dalam forum FGD maka disepakati komoditi potensial/unggulan di kawasan perbatasan untuk Kabupaten Belu (NTT) adalah : komoditi Sapi dan Jagung, sedangkan untuk Kabupaten Sanggau (Kalbar) adalah komoditi Lada dan Kakao.

6. Keterlibatan KUMKM di masing masing lokasi terhadap pengusahaan komoditi diatas terutama Koperasi, Usaha Kecil dan menengah masih sangat kecil dan belum optimal karena selama ini kurang difasilitasi sehingga peran masing-masing masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara simultan. Peran KUMKM, terutama Koperasi masih kecil dalam pemberdayaan kawasan perbatasan, hal ini diperkuat pendapat peserta FGD di Kabupaten Sanggau (65%) menyatakan tidak ada koperasi pendukung yang menangani pengembangan potensi potensial/unggulan, sedangkan Kabupaten Belu (76%) menyatakan sudah ada namun belum berfungsi untuk pemberdayanan masyarakat di kawasan perbatasan. Sedangkan Potensi KUMKM perbatasan Sanggau terhadap Kabupaten Sanggau : koperasi memberikan shere sebesar 2%, usaha mikro sebesar 5% dan usaha kecil sebesar 2%. Pada kawasan perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste potensi: koperasi memberikan shere sebesar 1,7 %, usaha mikro sebesar 3,2 %, usaha kecil sebesar 2,3 % dan usaha menengah sebesar 3 %.


(3)

7. Berdasarkan kondisi dan permasalahan yang dihadapi maka untuk peningkatan peran KUMKM dalam pengembangan komoditi potensial tersebut telah dirancang model kemitraan dengan meletakkan peran sentral Koperasi sebagai institusi kelembagaan petani yang diharapkan dapat berkerjasama dan melakukan kemitraan dengan UKM. Untuk tahap awal, maka penerapan model ini perlu mendapat dukungan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan melibatkan peran akademisi, bisnismen dan pemerintah.

8. Model yang dirancang untuk pengembangan KUMKM dikawasan perbatasan (Kabupaten Belu dan Kabupaten sanggau) diharapkan dapat meningkatkan peran KUMKM pada kawasan perbatasan dari 3 % menjadi 10 % dalam jangka waktu 5 tahun. Selain itu, masyarakat yang selama ini cenderung menjual bahan baku tanpa pengolahan, dapat ditingkatkan nilai tambahnya dengan menjual barang setengah jadi atau produk akhir.

6.2.

SARAN

1. Untuk penerapan model yang direkomendasikan perlu dibuat pilot proyek dan demplot untuk masing-masing komoditi, karenanya pihak-pihak terkait perlu menindaklanjuti terutama Kementrian Pengembangan Daerah Tertinggal dan Kementrian Koperasi dan UKM. Pilot proyek ini bersifat khusus dengan melibatkan semua instansi yang terkait dengan komoditi potensian/unggulan masing-masing kawasan perbatasn yang ingin dikembangkan. Rencana dan kalkulasi anggaran hendaknya diperhitungkan secermat mungkin, dengan mempertimbangkan kendala dan permasalahan kawasan perbatasan. Perhitungan dampak ekonomis hendaknya dilihat untuk proyeksi manfaat jangka panjang, dan aspek finansial tidak bisa menjadi patokan untuk mengambil keputusan apakah pilot proyek ”go” atau tidak mengingat kendala dan keterbatasan kondisi kawasan perbatasan yang dihadapi.

2. Dinas Koperasi dan UKM masing-masing kabupaten kawasaan perbatasan bekerjasama dengan Badan Pembangunan Perbatasan segera mengambil langkah untuk merumuskan action plan dari pilot proyek secara jelas dengan menyebutkan pembagian tugas dan peran masing-masing pemangku kepentingan untuk diusulkan kepada pihak-pihak terkait.


(4)

Tingkat I dan memperjuangkan agar pagu anggaran pilot proyek bisa dimasukkan pada APBD Tingkat I dan II, serta APBN sesuai dengan peran dan tugas pemangku kepentingan yang telah dibuat dalam action plan.

4. Pengembangan koperasi di kawasan perbatasan secara ideal disarankan untuk membentuk koperasi baru yang dipersiapkan secara khusus untuk menangani pengembangan komoditi potensial/unggulan dan pemberdayaan masyarakat, namun tidak tertutup kemungkinan mengembangkan koperasi yang telah ada dengan catatan bahwa koperasi tersebut memenuhi kriteria untuk menangani pengembangan komoditi potensial/unggulan kawasan perbatasan sekaligus mampu berperan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan.

5. Badan Pembangunan Perbatasan mengkoordinasikan dan mengintegrasikan pihak-pihak yang terlibat dalam Visi dan misi yang sama dan memiliki job desk yang jelas untuk mendukung pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan melalui peningkatan peran KUMKM. Kesamaan mindset, fungsi dan peran masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat mulai dari petani/peternak sampai ke pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta perlu disosialisasikan agar dapat difahami secara baik.

6. Perlu dipertimbangkan aspek keamanan secara cermat dalam pengembangan pilot proyek mengingat masih sering terjadi konflik antar masyarakat di kawasan perbatasan.

Jakarta, November 2010

. .


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Atterton, J. 2001. The Role of Civil Society and Business Community in Rural Restructuring. Arkleton Centre of Rural Development Research. University of Abardeen. Scotland. Dani, Irwan. 1999. Bagaimana Memperbaiki Pemasaran Usaha Anda. Grafika Desa Putera. Jakarta. Bappenas (2004), Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan

Perbatasan Antar Negara di Indonesia.

Dirjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil (2002), Laporan Akhir, Penyusunan Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara Indonesia Malaysia.

Dirjen Penetaan Ruang Departemen Kimpraswil (2004), Laporan Akhir, Pengembangan Kawasan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kawasan Perbatasan Pulau Kalimantan.

Dirjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil (2004), Rancangan Keputusan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan.

Dirjen Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri (2004), Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan.

Dirjen Kebijakan dan Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan (2004), Rencana Induk Pengembangan Wilayah Perbatasan NKRI.

Eriandi, Harlan. 2009. Perdagangan Bebas dengan China 2010 akan Bangkrutkah Industry Nasional. kompas, 5 desember 2009

Indra. 2010. Ekspor Nonmigas Turun 12 Persen. Diakses pada tanggal 7 Januari 2010 [www.suarakaryaonline. com]

Mustofa, Anton.2009. Perdagangan bebas ASEAN dengan china 2010. Kompas, 11 November 2009. Porter, M.E. 1990. Competitive Advantage of Nations. Mass : Free Press, Canada. Rebecca, M.

Winders. 1997. Small Business Creation and Economic Well-Being of Non Metropolitan Countries : The Case of Georgia. TUA Rural Studies Programe. University of Kentucky. USA.

Redaksi. 2006. Pengkajian Produk Unggulan dalam Meningkatkan Ekspor UKM dan Pengembangan Ekonomi Lokal. (Jurnal pengkajian Koperasi dan UKM nomor 1 tahun 2006)


(6)

Robert Ho & Pactricis Kontur. 2001. “Enterprenership” as A Rural Development Strategy. Defining a Policy Framework for Maine. Maine Rural Development Councol. Maine. USA.

Sanim, B. 2000. Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi dalam Mewujudkan Sistem Ekonomi Kerakyatan Menanggulangi Krisis Nasional. MMA-IPB. Bogor.

Tambunan, T. 2001. Peranan UKM bagi Perekonomian Indonesia dan Prospeknya. Makalah Presentasi pada Seminar “Strategi Bisnisdan Peluang Usaha bagi Pengusaha Kecil dan Menengah” IFMS dan Lab. Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.

Winata, Atma. 2009. Peran UKM Bagi Perekonomian Nasional Di Tengah Ancaman Krisis Global . Diakses pada tanggal 7 Januari 2010

Saaty, T.L. 1987. Uncertainty and rank order in the analytic hierarchy process. European Journal of Operational Research 32:27-37.

Susila, W dan Munadi, Ernawati. 2007. “Penggunaan Analytic Hierarchy Process Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian”, Jurnal Informatika Pertanian Vol. 16, No. 2. Departemen Pertanian.