Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bagian ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang membahas issue- issue yang terkait dengan topik penelitian yaitu transfer fiskal antara tingkat peme- rintahan, kemiskinan, serta kaitan transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan.

1.2. Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan

Hubungan fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan intergovernmental fiscal relations merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam program desentralisasi fiskal. Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan financial relations diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, penge- luaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat peme- rintahan intergovernmental fiscal transfers yang terdiri atas hibah grants, dan bagi hasil revenue-sharing merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah subnasional di banyak negara sedang berkembang, dan desain dari transfer tersebut memiliki pengaruh terhadap efisiensi dan keadilan atau pemerataan equity penyediaan jasa-jasa lokal dan kesehatan fiskal dari pemerintah subnasio nal. Oleh karena itu, maka desain dari transfer dianggap merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi fiskal Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998. Hibah sebagai salah satu bentuk dari transfer fiskal antar tingkat pemerintahan memiliki peranan yang sangat penting, dan bahkan telah menjadi fakta kehidupan fact of life di dalam sistem pemerintahan multi tingkat. Hibah dapat diberikan untuk berbagai tujuan, baik untuk tujuan efisiensi efficiency ataupun tujuan pemerataan equity. Selain itu, grants juga dapat diberikan untuk mendorong jenis pengeluaran tertentu dari tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau untuk meningkatkan daya beli purchasing power mereka Boadway dan Wildasin, 1988. Secara umum, terdapat beberapa argumen ekonomi economic argument yang mendorong pemerintah untuk melakukan transfers fiskal antar tingkat pemerin- tahan Boadway dan Wildasin, 1988; Shah, 1991; Winker, 1994; Parker, 1995; Rao dan Singh, 1998; Litvack dan Seddon, 1999, Schroeder and Smoke 2002 yaitu : 1. Adanya kesenjangan fiskal fiscal gap. Bantuan atau transfer fiskal, yang diberikan dalam hal ini ditujukan untuk mengoreksi ’fiscal gap’ tersebut yaitu ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya dan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Adanya ketidakadilan fiskal fiscal inequity. Suatu negara yang meng-anut kemerataan fiskal horizontal horizontal fiscal equity perlu melakukan koreksi terhadap ketidakadilan yang secara alamiah muncul di dalam suatu sistem yang desentralistik. 3. Adanya inefisiensi fiskal fiscal inefficiency. Argumen untuk melakukan transfer didorong oleh kenyataan bahwa perbedaan serupa yang menimbulkan ketidak- adilan fiskal fiscal inequality juga dapat menyebabkan inefisiensi fiskal fiscal inefficiency . 4. Adanya efek luapan antardaerah interjurisdiction spillover effect, yang biasanya terjadi karena manfaat dari barang atau jasa yang disediakan secara lokal meluap spillover keluar jurisdiksi yang memberikan manfaat kepada yang tidak mem- berikan kontribusi pada biaya dan karena yang bukan penduduk nonresident datang ke lokalitas dan ikut menikmati jasa-jasa publik yang disediakan. Bantuan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengoreksi inefisiensi yang terjadi akibat adanya spillover effect dari bantuan tersebut. 5. Untuk harmonisasi fiskal fiscal harmonization. Sampai pada tingkat tertentu, redistribusi merupakan tujuan dari pemerintah pusat, yang berarti terdapat suatu kepentingan nasional di dalam redistribusi yang terjadi sebagai akibat dari penye- diaan jasa publik oleh pemerintah subnasional. Harmonisasi pengeluaran dapat diikuti dengan penggunaan nonmatching ‘conditional grants’, yang menyedia- kan kondisi yang mencerminkan efisiensi nasional dan keadilan, dan bahwa suatu pinalti finansial adalah berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai tujuan. 6. Untuk menjamin tercapainya standar minimum pelayanan common minimum standard of services antardaerah yang memungkinkan daerah-daerah miskin menyediakan tingkat pelayanan yang dapat diterima. 7. Untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Bantuan antar tingkat pemerintahan juga dapat digunakan untuk membantu dalam mewujudkan stabilisasi ekonomi. Hibah atau bantuan dapat ditingkatkan ketika kegiatan ekonomi menurun untuk men- dorong pengeluaran lokal dan sebaliknya dikurangi pada saat kegiatan ekonomi meningkat. Bantuan model merupakan instrumen yang tepat untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Dalam kaitan dengan “intergovernmental grants”, Oates 1999 menyebutkan ada tiga peran potensial dari hibah grants yaitu 1 internalisasi “spillover benefits” terhadap jurisdiksi lain; 2 pemerataan equalization fiskal antarjurisdiksi; dan 3 meningkatkan memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Selanjutnya, dikatakan bahwa hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama, yaitu hibah atau bantuan bersyarat conditional grants dan hibah tak bersyarat unconditional grants [lihat juga Boadway dan Wildasin, 1988; Cullis dan Jones, 1992; Rosen, 1992; Bahl dan Linn, 1992]. Bantuan bersyarat atau disebut juga bantuan khusus specific grants adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan yang dimaksud dengan bantuan yang tak bersyarat atau lebih dikenal dengan bantuan umum general grant atau bantuan blok block grant adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu. Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah. Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepen- tingan daerah yang bersangkutan. Adapun perbedaan dari kedua jenis bantuan atau hibah tersebut, terletak pada dampak yang ditimbulkannya. Bagaimana pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan dengan menggunakan Gambar 1 dan 2. Dalam Gambar 1 dan 2 posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan grant ditunjukkan titik M dan jumlah barang I dan J yang dikonsumsi masing-masing adalah I 1 dan J 1 . Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka garis anggaran budget line dalam gambar 1 akan bergeser dari AB menjadi CD posisi pemerintah daerah sekarang berada di titik N dan jumlah barang I dan J yang dikonsumsi menjadi I 2 dan J 2 . Barang J Barang J C L 2 L 1 L 1 A A L 2 J 2 N J 1 M J 1 M J 2 N’ 0 I 1 I 2 B D 0 I 1 I 2 ’ B D’ Barang I Barang I Gambar 1. Block Grant Gambar 2. Specific Grant Jadi konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang I maupun barang J meningkat dan hal ini menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah daerah kini bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu L 2 dimana L 2 L 1 . Sebaliknya, apabila pemerintah pusat kini memberikan bantuan dalam bentuk bantuan spesifik specific grant, maka dampak yang ditimbulkan adalah berupa penurunan harga biaya produksi barang I dan karena itu budget line bergeser dari AB ke AD’. Posisi peme rintah daerah kini berada di titik N’ dan jumlah barang I yang dikonsumsi menjadi I 2 ’, yang berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang I. Selain itu, bantuan spesifik juga meningkatkan kepuasan dari pemerintah daerah karena sekarang berada di titik N’ yang terletak pada indifference curve L 2 dimana L 2 L 1 . Namun demikian, dampak dari spesifik grant ini tidak dapat diprediksi secara langsung karena hal ini sangat tergantung pada bentuk indifference curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut barang I dan barang J. Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang J, tetapi income effect-nya adalah kebalikannya, yaitu cenderung meningkatkan produksi barang J tersebut. Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam Gambar 2, efek netto yang di- timbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi J. Jadi, perbedaan diantara kedua jenis bantuan tersebut adalah bahwa block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, sedangkan “specific grant” tidak dapat. Selain itu, kalau “block grant” hanya meng- hasilkan “income effect”, sedangkan “specific grant” selain “income effect” juga menghasilkan “substitution effect” dan “price effect” Prud’homme, 1987. Pertanyaannya sekarang adalah jenis bantuan manakah yang lebih sesuai atau tepat ? Jawabannya adalah sangat tergantung pada tujuan pemberian bantuan itu. Artinya, kalau tujuan pemberian bantuan itu adalah untuk mendorong jenis-jenis pengeluaran tertentu oleh pemerintah penerima, maka grants atau bantuan dalam bentuk “conditional matching grant” adalah lebih tepat. Tetapi kalau tujuan dari pemberian bantuan tersebut adalah untuk “transfer of purchasing power” dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, maka jenis bantuan yang lebih tepat adalah bantuan blok atau bantuan tak bersyarat unconditional grant Boadway dan Wildasin, 1988. Pertanyaan lebih jauh menyangkut bantuan atau transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah bagaimanakah sesungguhnya dampak transfers itu terhadap keseimbangan makroekonomi suatu negara ? Dalam hubungan ini, Bird dan Fiszbein Bird dan Vaillancourt, 1998 mengemukakan bahwa efek keseluruhan dari bantuan atau transfer sangat tidak tergantung pada jumlah transfer, tetapi pada apa yang terjadi dengan pengeluaran-pengeluaran nasional dan apa yang terjadi dengan penerimaan-penerimaan subnasional nontransfer. Kenaikan transfer menurut mereka bisa menyebabkan salah satu dari tiga kemungkinan berikut terjadi pada penerimaan pemerintah subnasional. Pertama, penerimaan mungkin menurun kemalasan fiskal, atau “fiscal laziness” penurunan upaya fiskal, atau efek substitusi dari transfer; kedua , penerimaan tetap sama pada tingkatan sebelum adanya kenaikan transfer flypaper effect; atau ketiga, kenaikan penerimaan transfer mungkin sungguh- sungguh menaikkan penerimaan sendiri PAD dari pemerintah lokal efek stimulatif bantuan. Dengan perkataan lain, reaksi lokal terhadap transfer mengisyaratkan tidak adanya perubahan skala pengeluaran dan defisit sektor pemerintah flypaper effect, atau bahkan terdapat kenaikan pada skala pengeluaran lokal, tetapi bukan pada sisi defisit stimulasi. Dari sisi pengeluaran nasional, jika pengeluaran nasional tidak menurun paling tidak sama dengan jumlah transfer, hasil akhirnya sudah pasti akan menaikkan skala pengeluaran sektor pemerintah, dan tentu saja skala defisitnya. Penerimaan- penerimaan nasional diasumsikan tertentu given, dan pengeluaran-pengeluaran subnasional diasumsikan meningkat dengan jumlah yang sama dengan transfer nasional. Dalam kondisi yang demikian, maka pengeluaran total sektor pemerintah akan meningkat karena adanya kenaikan transfer, jika pengeluaran nasional tidak turun dalam jumlah yang sama atau mungkin juga pajak-pajak subnasional, dan juga penerimaan sendiri - yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran subnasional – akan turun lebih dari transfer. Dalam Tabel 1 ditunjukkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, dimana pengeluaran nasional dan penerimaan-penerimaan sub- nasional merupakan peubah eksogen yang penting. Tabel 1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer Pengeluaran pemerintah nasional diluar transfer, Gn - - - + + + Pengel. Pemerintah subnasional termasuk transfer, Gs + + + + + + + + + Total pengel. sektor pemerintah, Gs + Gs ? ? ? + + + ++ ++ ++ Penerimaan sendiri subnasional, Ts - + - + - + Defisit subnasional termasuk transfer, Gs – Ts + - + - + - Defisit nasional di luar transfer Gn–Tn, Tn diasumsikan konstan - - - + + + Total defisit sektor pemerintah mengingat Tn konstan, variasi mengikuti Gt – Ts ? - -- + - ++ + ? Keterangan : + = meningkat; 0 = tidak berubah; ++ = kenaikan yang kuat; = penurunan yang kuat; ? = tidak diketahui tergantung pada nilai relatif imbangan perubahan-perubahan . Sumber : Bird dan Fiszbein Bird dan Vaillancourt, 1998, table 6.4. Defisit sektor pemerintah secara umum juga akan naik dengan adanya kenaikan transfer yang tidak disertai penurunan pengeluaran nasional secara proporsional; jika tidak dapat diimbangi dengan kenaikan pajak-pajak lokal yang cukup besar. Singkatnya, merujuk ke semua bukti bahwa pajak-pajak lokal akan tetap stabil atau mengalami kenaikan kecil dan bukan menurun atau meningkat banyak, maka kunci dari dampak adanya kenaikan transfer terhadap stabilitas makroekonomi terletak pada tingkah laku dari penge luaran nontransfer pemerintah nasional. Penelitian tentang peranan bantuan atau transfer fiskal antar tingkat peme- rintahan telah banyak dilakukan para ahli, diantaranya adalah : Pertama , adalah penelitian yang dilakukan oleh Hirawan 1993 yang meng- kaji tentang dampak pemberian alokasi dana bantuan Inpres terhadap perkem- bangan perekonomian daerah. Dengan menggunakan analisis korelasi ditemukan bahwa koefisien korelasi antara Inpres baik yang bersifat blok maupun spesifik dengan peubah penduduk adalah yang paling besar dibandingkan dengan peubah- peubah luas wilayah, PDRB per kapita, dan PAD per kapita. Dengan melakukan analisis regresi juga diperoleh hasil bahwa pengaruh penduduk terhadap Inpres adalah nyata secara statistik. Sebaliknya, peubah PDRB per kapita, dan PAD per kapita yang pada dasarnya juga dapat mencerminkan kemampuan dan potensi daerah, tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap alokasi Inpres. Selain itu, studi tersebut juga mengungkapkan bantuan Inpres, khususnya yang bersifat blok block grant secara statistik berpengaruh nyata terhadap perekonomian daerah, khususnya terhadap peubah PDRB dan tenaga kerja. Kedua , adalah penelitian yang dilakukan Wuryanto 1996 yang mengkaji mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kine rja perekonomian di Indonesia dengan menggunakan pendekatan interregional CGE. Penelitian tersebut menghasil- kan beberapa temuan, yaitu : 1. Desentralisasi sistem fiskal yang terjadi melalui ekspansi program Inpres meng- hasilkan pertumbuhan ekonomi GDP yang lebih besar dan memperkecil jumlah pinjaman luar negeri. 2. Pada tingkat nasional, besaran magnitudes ekspansi GDP yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok pada program-program prasarana sosial jauh lebih besar dibandingkan yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok tersebut pada program-program pembangunan ekonomi. 3. Pada tingkat regional, studi ini menemukan bahwa kinerja ekonomi Jawa umum- nya lebih baik ketika tambahan transfer dialokasikan untuk program pemba- ngunan prasarana sosial, tetapi sebaliknya kinerja ekonominya cenderung lebih jelek ketika tambahan transfer dialokasikan untuk jenis program pembangunan prasarana ekonomi, dan hal yang sebaliknya berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa. 4. Berkaitan dengan program Inpres, penulis menyaran-kan beberapa hal sebagai berikut : a program Inpres dapat diperlakukan sebagai suatu kebijakan fiskal yang penting key fiscal policy menuju kepada suatu sistem yang lebih desentralistik di masa-masa yang akan datang; b reformasi sistem fiskal yang ada menuju kepada sistem fiskal yang desentralistik secara penuh masih tetap merupakan kebijakan fiskal yang sangat penting, dan oleh karenanya perlu dilan- jutkan; c program Inpres yang ada sekarang perlu diperbaharui dan diseder- hanakan; dan d implementasi program Inpres hendaknya berjalan dibawah suatu sistem alokasi yang terpadu yang dirancang berdasarkan atas berbagai kondisi spesifik dan kapabilitas regional yang ada. Ketiga , adalah studi Brodjonegoro, et al 2001 yang melakukan simulasi kebijakan ekonomi dimana bagi hasil sumberdaya alam SDA dan bantuan pusat ke daerah DAU digunakan sebagai peubah kebijakan policy variables, dan sebagai peubah target target variables adalah disparitas antar daerah koefisien variasi pen- dapatan regional per kapita antar daerah, pertumbuhan ekonomi pertumbuhan PDRB, dan permintaan agregat di daerah perubahan yang terjadi pada peubah konsumsi dan investasi, menemukan bahwa : 1. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai peubah shock menghasilkan koefisien variasi PDRB yang meningkat dibanding- kan dengan simulasi historis. Sementara itu hasil yang sebaliknya justru ditunjukkan oleh simulasi model yang memasukkan DAU saja sebagai peubah shock , dimana terjadi penurunan koefisien variasi PDRB dibandingkan simulasi historis. Dalam konteks ini, DAU sebagai bantuan yang berfungsi untuk menye- imbangkan kesenjangan fiskal antar daerah terlihat cukup efektif. 2. Penyebab dari memburuknya keseimbangan antar daerah karena bagi hasil SDA adalah persebaran SDA yang sangat tidak merata, dimana paling tidak ada 10 Provinsi yang akan mendapatkan bagian yang relatif kurang berarti, sementara itu hanya 7 Provinsi Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Kaltim, Kalteng, Maluku dan Irian Jaya yang mendapatkan bagian sangat signifikan baik secara absolut maupun relatif terhadap PDRB. 3. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Secara umum, tingkat PDRB dengan SDA, DAU ataupun gabungan keduanya lebih besar jika dibandingkan dengan PDRB historis. 4 Dampak bagi hasil SDA dan DAU dari simulasi model secara terpisah justru menyebabkan pertumbuhan konsumsi dan investasi relatif rendah, namun pada model yang memasukkan gabungan alokasi bagi hasil SDA dan DAU menyebabkan peningkatan yang pesat untuk konsumsi dan investasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi bagi hasil SDA dan DAU merupakan kebijakan yang saling terkait dan dampaknya terhadap per- ekonomian makro cukup besar. Keempat , adalah studi dari Brodjonegoro dan Martinez 2002 yang meng- kaji dampak transfers DAU sebagai persentase dari pengeluaran daerah terhadap tax effort merupakan rasio antara pajak dan retribusi dengan PDRB dengan meng- gunakan beberapa peubah kontrol termasuk PDRB per kapita, baik untuk Kabupaten Kota maupun Provinsi masing-masing untuk tahun 2001 dan 2002. Hasil estimasi menunjukkan bahwa DAU berpengaruh nyata terhadap tax effort hanya untuk kasus Provinsi; sedangkan untuk kasus KabupatenKota DAU tidak berpengaruh nyata. Sebaliknya, PDRB per kapita memiliki pengaruh nyata terhadap tax effort dan itu hanya terjadi pada kasus KabupatenKota, tetapi tidak pada kasus Provinsi. Selain itu, studi ini juga mengkaji bagaimana dampak DAU terhadap ketim- pangan fiskal antara daerah koefisien variasi, dan mereka menemukan bahwa 1 ketimpangan PAD per kapita antar daerah, dimana koefisien variasi PAD per kapita Provinsi untuk tahun 2001 dan 2002 sebelum alokasi DAU adalah sebesar 1.79, setelah alokasi DAU mengalami penurunan menjadi 0.71 2001 dan 0.64 2002. Hal yang sama juga terjadi untuk PAD per kapita KabupatenKota, dimana koefisien variasi PAD per kapita sebelum alokasi DAU pada tahun 2001 dan 2002 adalah sebesar 2.24 , setelah alokasi DAU mengalami penurunan menjadi masing-masing sebesar 0.79 2001 dan 0.73 2002. Jadi, jelas DAU cenderung berdampak ‘equalizing’ terhadap PAD per kapita, baik untuk Provinsi maupun KabupatenKota. Hal yang sebaliknya, terjadi pada bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA, dimana kedua- nya memiliki dampak yang cenderung bersifat ‘disequalizing’ terhadap PAD per kapita, kecuali untuk KabupatenKota pada tahun 2002 dimana koefisien variasi PAD per kapita lebih kecil setelah adanya alokasi bagi hasil pajak. Kenyataan yang agak kontradiktif berkaitan dengan peranan DAU sebagai ‘equalizing factors’ diperlihatkan oleh hasil estimasi koefisien regresi dimana justru alokasi DAU cenderung meningkat bersama-sama dengan PDRB per kapita. Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, baik pada tingkat Provinsi maupun KabupatenKota, kecuali pada tahun 2002 untuk kasus Provinsi. Hal ini berarti bahwa daerah yang kaya memperoleh alokasi DAU yang semakin besar pula. Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk tax effort, dimana tax effort KabupatenKota justru memperlihat- kan pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, yang berarti Kabupaten Kota yang memiliki tax effort yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang semakin besar. Hal ini akan berarti bahwa ketimpangan fiskal antardaerah akan semakin melebar.

2.1. Kemiskinan